Istilah deparpolisasi telah mencuat di ruang publik, ramai
dibicarakan. Istilah itu digunakan untuk
menggambarkan sikap yang sedang dilakukan komunitas Teman Ahok terhadap partai politik. Deparpolisasi muncul ke permukaan
setelah Gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) menyatakan maju menjadi
calon gubernur dalam Pilkada 2017 melalui jalur independen. Rencananya Ahok akan
berpasangan dengan Heru Budi Hartono, Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset
DKI Jakarta.
Deparpolisasi pertama kali dimunculkan Sekretaris DPD PDI-P
DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi yang juga Ketua DPRD DKI. Prasetio menilai
adanya upaya deparpolisasi yang sedang berkembang di Indonesia.
Indikatornya adalah adanya upaya untuk
meniadakan peran partai politik dalam pemilihan kepala daerah. PDI-P akan melawan setiap upaya deparpolisasi. Hal
itu disampaikan Prasetio dalam menanggapi langkah relawan pendukung Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama yang menamakan diri
Teman Ahok. Pasalnya, mereka dianggap mendorong Ahok
mengambil jalur independen saat gubernur Jakarta itu merapat ke PDIP.
Ungkapan di atas,
dipandang oleh banyak pihak tak lebih sekadar sebuah kekecewaan. Pasalnya,
menurut berbagai survei popularitas dan elektabilitas Ahok sangat tinggi
mengalahkan bakal calon lainya. Partai politik semisal PDIP wajar jika berharap dapat mencalonkannya.
Ahok sendiri
beralasan memilih jalur independen karena faktor finansial. Melalui jalur independen diyakini tidak perlu mengeluarkan uang banyak
untuk mekanisme atau menggerakan mesin partai. Di samping itu, dengan independen partisipasi masyarakat terbuka
lebih luas. Sumbangan dan partisipasi
mereka dapat digunakan untuk mencetak 200 ribu formulir dukungan atau kaos
kampanye.
Dalam Kamus Bahasa
Indonesia, deparpolisasi dipahami sebagai pengurangan jumlah partai politik.
Sedangkan menurut Bambang Supriyadi (2009), deparpolisasi diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara
sistematis untuk meminimalkan atau bahkan menghilangkan peran dan fungsi partai
politik atau pengurangan jumlah partai politik. (http://anaktebidah.blogspot.co.id/)
Jika menengok sejarah, menurut Ikrar Nursabakti (2007), Indonesia pernah mengalami tiga era
deparpolisasi. Pertama terjadi pada Oktober 1956 sampai dikeluarkannya Dekrit 5
Juli 1959 yang mengakhiri sistem demokrasi Parlementer. Kedua, pada era Orde
Baru (1966-1998). Ketiga, era reformasi (1998- sampai sekarang). Pada era
pertama dan kedua, deparpolisasi dimotori dan digerakan oleh Presiden Soekarno
dan Soeharto yang didukung oleh ABRI dan segelintir partai politik. Sedangkan
pada era ketiga gerakan ini justru dimotori oleh para cendikiawan, masyarakat
sipil yang didukung oleh politisi nonpartai atau yang tak berumah.
Fenomena Ahok
Terlepas apa deparpolisasi atau bukan
fenomena pencalonan Ahok sebagai cagub DKI telah membangkitkan semangat
demokratisasi pada level paling bawah yakni masyarakat biasa. Fenomena Ahok , menurut
hemat menegaskan kepada kita hal-hal
berikut. Pertama, sebagai outo
kritik. Selama ini partai politik dalam Pilkada, pemilu atau pilpres dinilai
telah melenceng dari praktik demokrasi yang dikehendaki rakyat. Menjadi rahasia umum, partai politik kerap
meminta mahar politik pada setiap pencalonan seseorang baik sebagai Caleg,
calon kepala daerah, dan Capres. Apalagi sang calon bukan dari kader partai.
Karenanya, dalam penilain publik sangat logis apa yang menjadi pilihan Ahok.
Mahar politik telah menggerus proses kaderisasi. Karena kapabilitas, integritas
dan yang lainnya tidak menjadi pertimbangan utama lagi. Kemampuan
finansial menjadi bagian terpenting
dalam menetapkan calon.
Kedua,
politik sukarela membuka era independen. Kehadiran Teman Ahok menunjukkan
mulai bangkitnya kesadaran politik sukarela warga. Yakni aktifitas politik yang
berada di luar partai politik. Aktifitas yang digerakan oleh masyarakat atas
dasar cita-cita meraih tujuan politik seperti pengusungan calon kepala daerah.
Berbeda dengan yang ada di parpol, aktifitas mereka bersandar atas dasar
sukarela. Fenomena politik sukarela dalam kasus pencalonan Ahok telah membuka
era independen. Berbagai daerah bergeliat menyambut era baru dalam menentukan kepemimpinan
daerah. Teman Ahok akan menjadi model politik sukarela di masa yang akan
datang. Dan pada akhinya, partisipasi aktif warga dalam bentuk politik sukarela
akan melepaskan ketergantungan pada partai politik.
Calon
independen sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Bukan juga hal yang melanggar
aturan, sistem politik atau tatanan demokrasi. secara hukum calon independen telah dipayungi
oleh Undang-undang tentang Pilkada. Dalam UU No. 08
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Pasal 41 menyebutkan, Calon perseorangan dapat mendaftarkan diri
sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon
Wakil Walikota, jika memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a.
Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa harus didukung
paling sedikit 10% dari DPT Pemilu sebelumnya.
Ketiga, menolak praktik mahar politik dan
membangun tradisi dukungan tanpa syarat. Terlepas apakah PDIP meminta mahar
politik terhadap Ahok atau tidak, kasus ini menjelaskan dan meyakinkan publik bahwa mahar politik memang wajib
ditolak oleh semua pihak. Bukankah mahar politik adalah awal praktik korupsi,
kolusi para kepala daerah? Saatnya kita membangun tradisi dukungan tanpa
syarat. Apa yang dicontohkan Partai Nasdem di Pilkada DIK kali ini layak ditiru
oleh partai lain. Semangatnya harus mengalir ke daerah lain agar Piilkada berkualitas akan terwujud pada 2017
mendatang.
Singkat kata, Teman Ahok menjadi
momentum bangkitnya kesadaran politik aktif warga negara. Politik sukarela yang
digagas dan dibangun oleh mereka telah terbukti menggebrak publik. Momentum ini
seharusnya dijadikan pelajaran bagi partai politik. Ini menjadi tamparan keras bagi para politisi
sekaligus partai mereka. Partai politik selayaknya merekontruksi ulang sistem
atau mekanisme rekuitmen calon kepala daerah. Partai politik harus bersikap
trasnparan, bahwa tidak ada mahar politik dalam setiap rekomendasi pencacalonan
kepala daerah. Pasalnya, menjadi keyakinan orang banyak bahwa praktik
percaloan, mahar politik dalam setiap proses pencalonan nyata adanya. Di sini
kearifan, kecerdasan partai politik dibutuhkan. Jika Parpol tak mampu bersikap
tepat, maka kepercayaan rakyat semakin tergerus. Bukankah selama ini partai
politik sudah kehilangan kepercayaan dari rakyat? Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar