Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja
Sama Islam (OKI) tentang nasib bangsa Palestina telah selesai. KTT yang diselenggarakan pada 6-7 Maret itu
dibuka oleh
Perdana Menteri Mesir selaku Ketua KTT OKI ke-12 dan ditutup oleh Presiden Joko
Widodo.
Dalam sambutannya, Jokowi menegaskan kembali pentingnya bagi OKI untuk meningkatkan dukungan terhadap Palestina
melalui sejumlah langkah konkret, yakni pertama penguatan dukungan politis
untuk menghidupkan kembali proses perdamaian. Dia menekankan perlunya
peninjauan kembali Kuartet dengan kemungkinan penambahan anggotanya. Kedua, penguatan
tekanan kepada Israel termasuk boikot terhadap produk Israel yang dihasilkan di
wilayah pendudukan. Ketiga, peningkatan tekanan pada DK PBB untuk
memberikan perlindungan internasional bagi Palestina dan penetapan batas waktu
pengakhiran pendudukan Israel. Keempat,
penolakan tegas atas pembatasan akses beribadah ke Masjid Al-Aqsa serta
tindakan Israel mengubah status-quo dan demografi Al-Quds Al-Sharif. Kelima, pemenuhan kebutuhan kemanusiaan yang dipandang
mendesak. (http://www.antaranews.com/)
Penyelesaian konflik
Palestina-Israel telah diupayakan berbagai pihak, berbagai organisasi, berbagai
negara, juga PBB. Perundingan kedua belah
pihak tak terhitung berapa kali dilakukan. Tapi, sampai saat ini konflik
berkepanjangan itu belum menemukan titik penyelesaian. Belum mendapatkan solusi
yang bisa disepakati dan dilaksanakan secara bersama.
“One State Solution”
Secara garis besar opsi
terkait penyelesaian konflik Palestina dapat ditarik pada tiga kesimpulan. Pertama, anggapan perang sebagai solusi.
Kekuatan militer dijadikan alat untuk saling menaklukkan. Israel menghabisi bangsa Palestina
atau Palestina menghabisi Yahudi Israel.
Tak ada jalan keluar kecuali perang. Diplomasi, perundingan tak akan bisa
menyelesaikan. Ini yang diyakini kaum radilkal.
Kedua, usulan two-state solution (dua negara berdiri berdampingan). Usulan ini yang diserukan PBB. Yakni baik
Palestina maupun Israel dapat mendirikan negara. Keduanya berdampingan sebagai
negara merdeka. Palestina- Israel harus menyepakati batas wilayah. Dan soal
batas wilayah ini menjadi persoalan pelik yang belum terselesaikan hingga saat
ini. Di mata bangsa Palestina, Israel kerap merebut, menduduki wilayah mereka.
Begitu anggapan sebalinya. Konflik di
perbatasan menyulut perang di tanah Palestina selama puluhan tahun. Belum lagi
persoalan willayah Al-Quds. Baik Palestina atau Israel merasa paling berhak
atas tanah suci yang di sana ada masjid Al-Aqsho.
Ketiga, usulan
One State Solution. Gagasan ini di
prakarsai beberapa negara termasuk Iran. One
State Solution menawarkan solusi dengan menggabungkan dua bangsa
Arab-Yahudi dalam satu negara merdeka. Yaitu ide untuk mendirikan sebuah negara bersama
Palestina-Israel, dengan
dihuni oleh semua ras dan agama yang semuanya memiliki hak suara. Bila ide ini
diterima, konsekuensinya Rezim Zionis dan Otoritas Palestina dibubarkan. Batas
wilayah Palestina-Israel dilebur dan disatukan ke dalam satu negara. Kemudian para
pengungsi diizinkan kembali ke rumah mereka masing-masing. Selanjutnya
melaksanakan referendum oleh pihak independen yang dipercayai oleh kedua belah
pihak (Palestina-Israel) untuk menentukan
bentuk pemerintahan serta menetapkan
pemerintahan yang sah.
Ide One State Solution menarik untuk dikaji, didiskusikan. Hanya sayang,
gagasan One State Solution tak diagenda
dalam pembahasan KTT OKI beberapa waktu lalu. Maklum, karena negara-negara yang
tergabung dalam OKI memilih opsi kedua (Two State Solution) seperti yang
diprakarsai PBB. Padahal sebagai sebuah gagasan, One State Solution layak menjadi bahan diskusi bersama. Semua pihak
yang peduli dengan nasib Palestina layak mempelajarinya, paling tidak sebagai
sebuah pilhan solusi. Bukankah selama ini upaya penyelesaian dengan opsi Two State Solution selalu menemukan
jalan buntuh?
Menurut Pengamat Timur
Tengah, Dina Y Sulaeman (2016), Ide One State Solution dilandaskan pada
pemikiran, pertama, jika Rezim Zionis
terus berdiri, perang tidak akan pernah berhenti karena cita-cita Zionis adalah
mendirikan negara khusus Yahudi dan untuk itu, mereka akan terus mengusir
orang-orang Palestina demi memperluas wilayahnya.
Kedua, bila
Palestina ingin mendirikan negara khusus Palestina dan mengusir keluar
orang-orang Yahudi, perang juga akan terus berlanjut. Namun dalam perang ini,
Palestina berada dalam posisi yang lebih lemah. Kenapa? Karena wilayahnya lebih
kecil dan terpisah, dikepung oleh wilayah Israel, serta kekurangan logistik
karena blokade Israel. Akibatnya, penindasan akan terus berlangsung di
Palestina.
Nah, sekarang
pertanyaanya, apakah kedua belah pihak akan bisa menerima gagasan itu? Bagi
sebagian orang Palestina, berdiri satu negara dengan ‘perampok’ tanah air
mereka itu sesuatu yang mustahil. Mereka
tak akan menerima. Demikian sebaliknya, untuk mayoritas orang
Israel, melepaskan cita-cita historis pendirian “negara khusus Yahudi” juga hal
yang tidal mungkin. Bagi mereka lebih baik mati daripada melepaskan cita-cita
luhur ini.
Untuk mengatasi kesulitan
di atas, menurut hemat saya ada beberapa upaya yang kudu diupayakan, pertama, membangun kesadaran dan
kesamaan pandangan semua pihak yang bertikai untuk
menciptakan negara yang demokratis dan adil. Masing-masing membuang egonya.
Bukankah perang telah melulantakan kemanusan dan peradaban? Saatnya berpikir
kepada sesuatu yang lebih bermartabat. Menciptakan kedamaian dan keadilan di
bumi. Kaitan dengan ini, para cendikiawan, tokoh agama, pendidik dan akademisi
sangat ditunggu peran serta mereka. Mereka harus dapat mencerahkan kedua bangsa
yang bertikai terebut.
Kedua, membangun komitmen semangat
mencari solusi. Bukan sebaliknya, mencari masalah sebagai alasan untuk saling
menyerang satu sama lain. Semangat mencari titik temu harus dibangun. Dalam mencari
solusi membutuhkan kelapangan hati semua pihak.
Akhir kata, seperti yang
pernah diseruhkan Ahmadinejad, para pemikir,
cendekiawan, tokoh agama, akademisi selayaknya segera bangkit, maju memperjuangkan penghentian kejahatan di bumi
Palestina. One State Solution sebagai
sebuah gagasan besar dapat dipahami, dikaji lebih jauh. Karena tidak mustahil One State Solution akan benar-benar
menjadi solusi buat rakyat Palestina, juga Israel. Kita semua harus saling
bergandengan tangan dalam melakukan usaha global untuk menegakkan perdamaian
dan mengikis akar ketidakamanan dan ketidakadilan di dunia. Akhirnya usulan One State Solution untuk Palestina yang
digagasan oleh beberapa negara layak dipertimbangkan di waktu yang akan datang. Wa Allahu Alam
Dimuat Radar Cirebon, Jumat 11 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar