Judul dan tulisan ini tidak bermaksud
menjadikan kedua tokoh itu berhadapan, berkonfrontasi. Untuk itu, mengawali
tulisan, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa polarisasi itu.
Polarisasi, menurut kbbi.web.id ialah pembagian
atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang
berlawanan. Saya melihat pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik juga
media sosial, masyarakat terbelah mengikuti perkembangan poltik terkait Jokowi-SBY. Kalau saat Pilpres bisa dimaklumi. Mereka terbelah karena calon presiden hanya
dua. Tapi kalau sekarang, nampaknya ada
yang salah. Ada yang harus dikoreksi bersama.
Sejak
Presiden Joko Widodo dilantik dan memimpin pemerintahan, mantan Presiden
Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) senantiasa mengikutinya. SBY kerap mengkritisi
kebijakan yang diambil Jokowi. Beliau membandingkannya dengan masa saat
memimpin negeri ini. SBY juga menampik berbagai hal yang dianggap publik
sebagai warisan yang membebani pemerintahan baru. Kritik, sarannya disampaikan
SBY di media sosial seperti twiter. Publik dengan mudah mengaksesnya. Cuitan
SBY kadang ditanggapi pula oleh Jokowi. Jadilah isu politik. Masyarakat yang
mengikuti menjadi terbelah. Mereka saling adu argumen menguatkan tokoh yang
dipilihnya. Ironisnya, tidak sedikit yang telah keluar dari koridor diskusi.
Mereka saling mengejek, menyudutkan, juga mengecam.
Paling mutakhir tentang Tour De Java yang dilakoni SBY. Tour De Java
dimulai sejak 8 Maret dari Bekasi, Jawa Barat. Perjalanan SBY dan rombongan melintas sejumlah daerah dari Jawa Barat, Jawa
Tengah, hingga Jawa Timur, serta ditutup dengan rapat konsolidasi dengan ketua
DPD, pengurus DPP, dan puluhan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI di Surabaya.
Dalam Tour De
Java, SBY kembali melancarkan kritik
terkait berbagai hal. SBY mengkritik soal pemborosan uang negara dalam
pembangun infrastruktur ala Jokowi. Juga soal kebijakannya saat memerintah yang
dihapus. SBY sempat menegaskan kalau program yang dulu saya canangkan
dilanjutkan walau berganti nama itu dimaklumi. Tapi kalau ada program yang baik
untuk rakyat ditiadakan itu sangat disayangkan.
SBY dan partai Demokrat dibaca oleh publik sedang menjajagi
suara rakyat. Partai yang di ujung pemerintahan SBY menghadapi berbagai masalah
itu ingin memantau secara langsung aspirasi masyarakat. Aspirasi yang diterima
di lapangan akan dikaji lebih jauh. Dan tentu segera mengambil langkah politik
strategis. Dalam Tour De Java tersebut, Isu
pencalonan kembali, atau pencalonan Ani Yudhoyono di Pilpres 2019 pun
mencuat. Bahkan di media sosial, Ani
Yudhoyono disiapkan sebagai capres Demokrat mendatang pernah menjadi trend topic. Sebagian elit partai
berlambang mercy itu pun mengamini.
Secara kebutulan, Presiden Jokowi melakukan blusukan ke
Hambalang. Jokowi melihat langsung mega proyek yang terhenti karena banyak
kasus korupsi. Jokowi menegaskan akan
memerintahkan jajaranya dalam pemerintahan untuk mengkaji ulang apakah bisa
dilanjutkan atau tidak? Karena ini terkait uang negara yang tidak sedikit.
Blusukan ala Jokowi ini terjemahkan oleh para pengamat
sebagai serangan balik Jokowi pada SBY. Pengamat politik dari Indobarometer, M Qodari, menilai, blusukan Presiden Joko Widodo ke area pembangunan pusat olahraga Hambalang yang mangkrak
merupakan sindiran keras terhadap SBY.
Blusukan itu
bukan sekadar bicara warisan Pak SBY, melainkan juga pembangunannya yang
dihentikan karena banyak kasus korupsi dari sana yang melibatkan tokoh-tokoh
Partai Demokrat. (http://nasional.kompas.com/)
Koreksi
bersama
Melihat polarisasi di atas, rasanya
perlu pemahaman bersama pada hal-hal berikut. Anggap saja ini sebagai koreksi
bersama kita semua. Pertama, masyarakat
diminta tidak belebihan dalam mencinta dan membenci tokoh. Polarisasi
masyarakat sebenarnya terjadi karena mereka berlebihan dalam mencintai atau
membenci. Dalam media sosial, mencintaii berlebihan disebut lovver. Sebaliliknya, haters bagi yang membenci. Sikap lovver dan haters terhadap tokoh semisal Jokowi- SBY yang membuat masyarakat
kita terbelah. Sebab itu, ke depan kita semua dituntut untuk bersikap
proporsional dalam menilai, mengaggumi seorang tokoh.
Kedua, kritik itu idealnya
menyertakan solusi. Terkait dengan ini ada cerita menarik. Ada seorang pelukis pemula ingin menguji lukisannya. Ia meletakan salah satu lukisannya di pinggir jalan. Kemudian ia menuliskan pesan, saya adalah
pelukis baru. Mungkin ada beberapa kesalahan pada lukisan saya. Silakan beri
tanda silang di tempat saya membuat kesalahan.
Sore harinya, saat ia kembali ke jalan itu, dia mendapati lukisannya
sudah dipenuhi tanda silang.
Lain
waktu, sang pelukis melakukan hal yang sama kembali memajang tulisan jalan yang ramai. Kali ini dengan pesan
berbeda. Ia menulis, saya adalah pelukis
baru. Mungkin ada beberapa kesalahan pada lukisan saya. Saya menyediakan kuas
dan cat warna. Kalau Anda menemukan sesuatu yang kurang sempurna, silakan perbaiki
agar menjadi lebih baik. Sorenya, ia terkejut karena melihat lukisannya tidak
berubah. Tidak ada seorangpun yang menyentuhnya. Tidak satupun yang melakukan
perbaikan pada lukisannya.
Apa
arti di balik kisah di atas? Memberi kritik itu mudah. Ini terlihat pada kasus
pertama. Semua orang bisa melakukan. Gampang, Cuma mencari kesalahan. Saat
pelukis meletakan lukisannya yang pertama, semua orang memberi tanda silang.
Sebagian memberi komentar, bahkan ada yang mengejeknya. Sebaliknya, memberi
solusi itu tidak mudah. Tidak semua orang bisa. Ketika pelukis meminta orang
memperbaiki lukisannya. Tak satu pun yang melakukannya. Nah, di negeri ini
semua warga negara (termasuk Pak SBY) dapat mengkritisi pemerintah. Namun
alangkah bijak bila melakukanya dengan memberi solusi. Kalau ada yang
mengkritisi Jokowi tak menyertai solusi, jangan-jangan itu adalah haters yang gagal move on.
Ketiga, setiap orang harus
siap dikritik. Tidak boleh alergi terhadap kritik. Namun jangan mudah mengikuti
kata orang. Karena itu, mencirikan orang tak berpendirian. Dulu, ada seorang pengembara berkelana dengan
anaknya mengendarai keledai. Anaknya duduk di atas keledai, sang orang tua
menuntun keledai. Di pinggir jalan, orang membicarakannya. Mereka berpendapat,
itu anak tak memiliki sopan santun. Kenapa orang tua yang menuntun di bawah
sedang ia duduk manis di atas?
Mendengar
gunjingan orang, sang anak meminta turun. Ia memberi kesempatan ayahnya duduk
di atas punggung keledai. Perjalanan kembali dilanjutkan. Saat melintasi
keramain, mereka berdua kembali dikritisi. Masyarakat sekitar mengomentari
kenapa sang ayah tak menyayangi anaknya membiarkan menuntun keledai di bawah. Sekarang giliran
sang ayah yang merasa risih menjadi omongan orang banyak.
Setelah
berdiskusi singkat, ayah dan anak bersepakat untuk tidak menggunakan keledai.
Mereka berdua menuntun binatang itu. Punggung keledai dibiarkan, tak berpenumpang.
Orang pun kembali menggerutu. Ayah dan anak itu bodoh sekali. Ada keledai kok
tidak digunakan sebagai kendaraan. Ternyata tak ada pilihan yang benar. Semua
disalahkan orang.
Kisah
klasik di atas menjadi pelajaran buat kita. Bahwa tidak ada orang yang dapat
memuaskan semua orang. Setiap pendapat, tindakan, atau kebijakan yang diambil
pasti menuai pro dan kontra. Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin
menyambar. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin banyak hujatan, kritik.
Sebab itu menjadi orang besar seperti pemimpin kudu siap dihujat, dikritik.
Bila tak siap dikritik, jadilah orang biasa. Pasti sepi kritik. Singkatnya,
setiap dari kita (termasuk Pak Jokowi) harus siap dikritik.
Walhasil,
polarisasi itu tak perlu. Kita, sebagai bangsa besar harus tetap kuat, bersatu.
Bangsa besar adalah bangsa yang lihai mencari solusi, kritis terhadap setiap
persoalan. Bangsa besar juga bangsa yang demokratis yang siap menerima saran,
kritik dari siapa saja. Siapa pun kita (Jokowi, SBY atau rakyat jelata) berhak
mengkritisi, siap dikritisi serta gemar mencari solusi. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar