Diikutip dari wikipedia.org, politik ialah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional
maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang
berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga
negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
Untuk meraih
tujuan, dalam politik, semua hal dapat dilakukan. Berbagai strategi digunakan.
Bermacam-macam cara dilakukan. Siapa saja bisa dimanfaatkan. Apa saja ditempuh.
Politik hanya melihat target atau tujuan. Yang tak lain adalah kekuasaan. Maka,
tak jarang politik menghalalkan segala cara, strategi atau apa pun namanya.
Politik memang buta segala.
Salah satu
yang kerapkali digunakan dalam politik adalah dogma agama. Agama dijadikan
tunggangan. Ayat-ayat Allah SWT dijual murah untuk tujuan politik.
Mengatasnamakan agama politik memperalat penganutnya. Agama yang suci nan sakral itu tereduksi nilainya karena
bercampur dengan kepentingan duniawi yang hina. Karena kerakusan manusia,
politik tidak mampu mendatangkan kemaslahatan dan kebaikan bagi masyarakat
luas.
Masih segar
dalam ingatan, hirup pikuk Pilpres 2014 yang lalu. Persaingan kedua kubu
pasangan Calon Presiden (Capres) sangat keras. Konfrontasi kedua belah pihak
sangat dirasakan sampai pada level masyarakat paling bawah. Masing-masing
menggunakan berbagai cara, strategi. Tak bisa dihindari fitnah bermunculan.
Kebohongan dilakukan di setiap moment dan tempat. Semua itu dilakukan untuk mencapai tujuan politik
yang ingin dicapai.
Salah satu
yang ramai dibicarakan publik saat itu
diantaranya adalah nazar seorang Amin Rais, petinggi Parta Amanat Nasional
(PAN). Karena keyakinannya terhadap Capres yang diusung, mantan Ketua MPR RI
itu bernazar untuk berjalan dari Yogyakarta ke Jakarta bila pasangan Jokowi-JK
menang. Tokoh Koalisi Merah Putih (KMP) yang gaya bicaranya lugas itu sangat
yakin Prabowo-Hata yang didukungnya pasti akan menang. Bagaimana saat Jokowi-JK
menang, menjadi Presiden? Apa Nazar itu dilakukan? Anda pasti mengetahui
jawabanya.
Tak hanya Amin
Rais yang telah menggunakan nazar sebagai alat politik. Ahmad Dhani, musisi
ternama tanah air juga melalukan hal sama. Diiringi dengan kebencian yang
memuncak, ia bernazar akan memotong kemaluannya sendiri jika Jokowi-JK menang.
Kesombongan tingkat tinggi membuat Ahmad Dhani tak mampu berpikir rasional. Apa
nazar itu dilaksanakan setelah kemenangan diraih Jokowi-JK? Pastinya anda dan
saya tidak mungkin mengetahuinya. Hanya Mulan Jamela, istri Dhani, yang
mengetahuinya. Masih banyak para politisi tanah air yang menggunakan nazar
untuk tujuan atau kepentingan politik yang diperjuangkan. Sebut saja Anas
Urabaningrum, Dorce Gamalama, Debby Roma Irama dan lainnya.
Paling Mutakhir, adalah
nazar Habiburrokhman di panggung politik DKI Jakarta menjelang Pilkada serentak
2017. Kepala Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra itu berjanji akan terjun dari Monumen Nasional
(Monas) jika "Teman Ahok" berhasil
mengumpulkan data satu juta formulir KTP. Melalui
akun Twitter-nya, @habiburokhman, mengatakan, “Saya berani terjun bebas dari Puncak Monas kalau KTP
dukung Ahok beneran cukup untuk nyalon.
#KTPdukungAhokcumaomdo???" Ketika dikonfirmasi
awak media, Habiburrokhman menegaskan
bahwa jumlah formulir KTP yang diumumkan merupakan kebohongan. Sebab, dia
melihat booth (stand) Teman Ahok di mal selalu sepi. Itu hanya omong kosong. (megapolitan.kompas.com)
Fakta-fakta politik
di atas, saya menyebutnya sebagai politik nazar atau nazar politik. Yakni
politik yang menggunakan nazar dalam merebut atau meraih kekuasaan. Nazar
sendiri merupakan ajaran Islam. Nazar tak lain adalah sumpah dengan
mengatasnamakan nama Allah SWT atau Rasulullah SAW.
Apa
Nazar itu?
Nazar atau sumpah
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai: 1. Pernyataan yang diucapkan
secara resmi dengan bersaksi kepada Allah SWT untuk menguatkan kebenaran dan
kesungguhan. 2. Pernyataan yang disertai tekad melakukan sesuatu menguatkan
kebenarannya atau berani menerima sesuatu bila yang dinyatakan tidak benar.3.Janji
atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Dalam Islam,
Nazar itu bertujuan untuk menguatkan
sesuatu dengan menyebut nama Allah SWT, seperti; walLahi, bilLahi, talLahi. Imam Hambali berpendapat bahwa hukum bersumpah itu tergantung
kepada keadaannya. Bisa wajib, haram, makruh, sunnah ataupun mubah. Jika yang
disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib dilakukan, maka hukum bersumpahnya
adalah wajib. Sebaliknya jika bersumpah untuk hal-hal yang diharamkan, maka
hukum bersumpahnya juga sunnah dan seterusnya.
Namun melaksanakan atau menunaikan sumpah merupakan sebuah
kewajiban. Seperti halnya janji, sumpah itu hutang yang kudu ditunaikan. Nazar
juga dapat ditagih sama halnya dengan hutang. Dalam Al Quran ditegaskan, kemudian,
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah
mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka. (QS. Al Hajj: 29)
Nazar menurut para ulama ada dua macam, Pertama, nazar mu’allaq. Yakni nazar disssertai dengan syarat (nazar
bersyarat). Nazar Amin Rais, juga politisi lain termasuk kategori ini. Kedua,
nazar muthlaq, artinya nazar yang tidak menyebutkan syarat
apapun seperti nazar seorang pencuri yang mengatakan, demi Allah saya bukan
maling.
Menurut hemat saya, sebagai bangsa yang menjungjung tinggi
kesucian agama tak sepantasnya nazar digunakan sebagai alat meraih tujuan
politik. Paling tidak alasan berikut bisa dijadikan argurmentasi untuk itu. Pertama, nazar merupakan bagian dari
ajaran agama dalam hal ini Islam. Mempermainkan nazar sama saja dengan
mempermainkan Islam. Menggunakan nilai-nilai agama yang sakral untuk
kepentingan duniawi yang kotor berarti mereduksi kesuciannya.
Agama seyogyanya dijadikan standar nilai dalam politik. Cara berpolitik
seperti itu akan mewujudkan politik bermartabat, politik mulia. Politik yang
tidak menghalalkan segala cara. Politik yang menjadikan kekuasaan untuk
menghadirkan kemaslahatan bagi orang banyak.
Kedua, politik menghalalkan cara merupakan perbuatan keji dan
tercela. Semustinya politik dibangun atas dasar
sportifitas dan keadilan. Politik tidak boleh bertentangan dengan hukum
baik hukum positif maupun agama. Walau
harus diakui politik inkonstitusional telah menjadi fakta yang terkadang tak terelakan seperti kudeta
atau lainnya.
Ketiga, politik digunakan sebagai alat memperjuangkan keadilan,
menghadirkan kekuasaan yang mensejahterahkan. Motivasi dan tujuan mulia
tersebut akan mengendalikan cara dan strategi yang akan dipilih. Karena itu,
berpolitik idealnya disertai dengan niat dan motivasi yang baik. Politik tidak
dipakai sebagai media untuk memuaskan ambisi, meraih kekuasaan semata.
Singkat kata, fenomena politik nazar
atau nazar politik setiap pesta
demokrasi seperti Pilkada menjadi bukti bahwa tidak semua politisi itu bersih.
Rakyat wajib mengetahui dan memahaminya. Sehingga bisa memilih dan memilah.
Siapa yang terbaik, layak bagi rakyat mempercayakan amanat padanya. Sebaliknya.
Jangan percayakan amanat pada orang yang lidahnya berbisa, tak dapat dipercaya,
apalagi terbiasa mempermainkan nilai dan norma agama. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar