Ada yang menarik dari pernyataan Ketua
Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) beberapa hari lalu,
Sulistiyo mengatakan, PGRI sangat mendukung upaya peningkatan profesionalitas guru.
Namun, menjadikan meneliti dan menulis karya ilmiah masuk dalam publikasi
ilmiah wajib dilaksanakan oleh guru itu memberatkan. Apalagi jika guru tidak
melakukannya lalu dia tidak bisa naik pangkat. Bahkan tunjangan profesinya
terancam tidak diberikan, sungguh kebijakan yang keliru dan menyengsarakan guru, Sulistiyo menegaskan, guru bukanlah
peneliti (Republika.co.id)
Apa betul guru bukan peneliti? Mari
kita lihat definisi guru dalam Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pada Pasal 1 ayat 1, Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah.
Dalam ayat tersebut tidak disebutkan
fungsi guru sebagai peneliti. Berbeda dengan dosen, dalam pasal yang sama ayat
1, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan
tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat. Dalam ayat ini
dengan jelas menyebutkan penelitian sebagai salah satu cara dosen dalam
mengemban tugas utamanya.
Kemudian kaitan dengan profesionalisme
guru seperti disebutkan dalam pasal 7 dalam UU tentang guru dan dosen,
penelitian tidak dimasukan dalam prinsip profesionalitas seorang guru. Dan
penelitian tidak dikategorikan sebagai kompetensi guru seperti yang ditegaskan
dalam pasal 10, bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh
melalui pendidikan profesi. Dalam tugas
profesionalisme guru pun tidak ada kewajiban meneliti seperti yang tertulis
dalam pasal 20.
Demikian dalam Peraturan Pemerintah No.
41 tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen, sebagai penjabaran
lebih lanjut UU No. 14 tahun 2005 tidak
ada satu kata pun yang menyebutkan penelitian. Dengan demikian dapat ditegaskan
kalau guru memang bukan peneliti.
Lantas apa persoalannya?
Kalau guru bukan
peneliti, kenapa meneliti dijadikan syarat untuk kenaikan pangkat, bahkan
ancaman pencabutan sertifikasi bagi yang tidak melakukan. Penelitian tersebut
berupa tindakan kelas (PTK). Kewajiban penelitian diberlakukan kepada guru
golongan III.b. ke atas.Pemberlakuan PTK
mengacu pada Peraturan Menteri PAN No. 16 tahun 2009 pasal 11. C yang
menyebutkan bahwa Pengembangan keprofesian berkelanjutan,
meliputi: 1. pengembangan
diri: a) diklat fungsional; dan
b) kegiatan kolektif Guru yang meningkatkan kompetensi
dan/atau
keprofesian
Guru; 2. publikasi Ilmiah: a) publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau
gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal; dan b) publikasi buku teks
pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman Guru; 3. karya Inovatif: a) menemukan
teknologi tepat guna; b) menemukan/menciptakan karya seni; c) membuat/ memodifikasi
alat pelajaran/peraga/praktikum; dan d) mengikuti pengembangan penyusunan
standar, pedoman, soal dan sejenisnya.
Pasal
di atas telah memberatkan guru dalam menghadapi proses kenaikan pangkat.
Sebenarnya Permen PAN ini juga telah merubah waktu kenaikan pangkat para guru.
Kalau sebelumnya dua tahun sekali mereka bisa naik pangkat, sekarang paling
tidak empat tahun. Itu bisa ditempuh bila memenuhi persyaratan diantaranya apa
yang diatur pasal 11.c ini.
Keberatan guru bukan tanpa alasan. Di
samping karena faktor kesiapan dan sumber daya manusia (SDM), juga karena pasal
11.c tersebut tak sejalan, tak selaras dengan Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dan Peraturan
Pemerintah No. 41 tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen. Dalam UU
dan PP
tersebut tak menyebutkan sama sekali tentang penelitian seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga wajar bila para guru mencoba mempertanyakannya. Apa yang disampaikan Ketua
Umum PGRR merupakan cerminan dan aspirasi guru di tanah air.
Harus diakui bahwa sejak digulirkannya
tunjangan profesi guru telah merubah kehidupan guru lebih baik. Tapi harusnya
tujuan mulia tersebut tidak dibarengi dengan tuntutan-tuntutan yang berlebihan,
yang terkesan menyulitkan dengan memberlakukan berbagai kebijakan yang
memberatkan para guru. Dan tidak adil bila pemerintah bersikukuh dalam hal ini.
Saran
dan Solusi
Memperhatikan
permasahan di atas, menurut hemat saya ada beberapa item yang bisa disarankan
kepada pemerintah juga guru Pertama, merevisi
Permen PAN No. 16 tahun 2009 terutama Pasal 11.c. Alasanya sudah jelas karena
Permen PAN itu betentangan dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen
dan PP No. 41 tahun 2012 seperti telah diuraikan. Andai guru harus melakukan penelitian dan penulisan karya
ilmiah (walaupun dalam UU Guru dan Dosen, tidak disebutkan satu kata pun), maka
kegiatan itu tidak boleh menjadi kewajiban yang menghambat nasib guru jika dia
sudah melaksanakan tugas pokoknya dengan baik.
Kedua, guru selayaknya meningkatkan SDM
dan kualitas diri. Bukankah di antara tujuan tunjangan guru di samping untuk
mensejahterakan guru juga untuk meningkatkan kualitas mereka? Nah, kesempatan
dan momentum seperti ini harus disikapi dan bisa diambil dengan sebaik mungkin.
Jangan sampai masyarakat memberi penilaian negatif. Gaji cukup ditambah
tunjangan sertifikasi kenapa kualitas tak meningkat? Pertanyaan ini harus
selalu diingat oleh setiap guru. Bila perlu menjadi spirit atau dorongan buat
mereka agar selalu berusah mengembangkan diri, selalu belajar baik lewat pendidikan formal dengan melanjutkan ke S.2
misalnya, atau mulai melakukan penelitian.
Dua hal
di atas saya kira jalan tengah yang arif dan bijak. Baik pemerintah maupun guru
harus sama-sama memahami posisinya masing-masing. Dan semoga statemen ketua
PGRI itu dapat menjadi pengingat kita semua (baik pemerintah atau pun guru)
terkait peran, tugas, dan kewajiban masing-masing. Wa Allahu Alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar