Hari ini 10 Juni 2015 adalah jadwal
diumumkannya kelulusan UN SLTP. Menjadi tradisi peserta didik kita setelah
dinyatakan lulus mereka mengekspresikan kegembiraannya dengan melakukan sesuatu
yang negatif semisal mencorat-coret baju, tembok sekolah dan lainnya. Juga
ngebut di jalan raya ramai-rama dengan mengeraskan knalpot, berteriak-teriak.
Mereka konvoi keliling kota, berboncengan lebih dari tiga orang, tak berhelm,
dan melanggar setiap rambu-rambu lalu lintas. Ada apa sebenarnya dengan mereka?
Dari pengamatan saya, mereka melakukan
hal semacam di atas bertujuan (baca:bermotif), pertama, sebagai ungkapan kegembiraan mereka yang secara spontan
setelah mengetahui hasil UN. Kegembiraan yang meluap-luap membuat mereka lupa
dengan nilai etika, sosial, juga agama. Luapan kegembiran tak mampu
mengendalikan emosi sehingga melakukan hal-hal yang tak perlu, berbahaya, serta
melanggar norma sosial, hukum juga agama. Usia mereka yang relatif mudah, cara
berpikir yang belum matang, serta lingkungan mereka yang rentan dari hal-hal
negatif menjadikan mereka tak sadar bahwa mereka terjerumus ke hal-hal negatif.
Kedua,
untuk menunjukan eksistensi. Siswa-siswi SLTP sebagai anak remaja yang labil
biasa menuntut pengakuan dari masyarakat atau lingkungan sekitarnya. Pengakuan
dari masyarakat atau lingkungan akan menunjukan eksitensi mereka. Untuk tujuan tersebut
mereka terkadang melakukan segala cara, yang bisa jadi tidak lazim atau tak
biasa. Dan mereka tidak mau memahami bahwa apa yang dilakukan menggangu orang
lain, mencemaskan orang tuanya, dan mengoyak ketertiban.
Ketiga,
mencari identitas diri. Menurut Erik Homburger Erikson
menyatakan bahwa identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk
menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang
anak atau orang dewasa, apakah ia mampu percaya diri, sekalipun latar belakang
ras, agama maupun nasionalnya. Pencarian identitas ini menurut Erikson
mempengaruhi perilaku remaja, dan salah satu cara untuk menguatkan identitasnya
ini, biasanya menggunakan simbol status dalam bentuk motor, mobil, pakaian, dan
pemilihan barang-barang lain yang mudah terlihat, dengan kata lain untuk
menarik perhatian. Dan rupanya pengumuman kelulusan dijadikan momentum untuk
mencari identitas diri. Seakan mereka telah menemukan jati dirinya saat
menyaksikan keberhaslian lulus UN.
Mengubah Tradisi kearah
positif
Tradisi
negatif seperti dijelaskan di atas ternyata khas Indonesia. Artinya tradisi
corat-coret, konvoi di jalan raya dan lainnya tak didapati di negara lain saat
kelulusan sekolah. Sebagai bangsa yang memiliki banyak karakter baik yang
diakui oleh bangsa lain seperti budaya ramah, gotong royong, toleransi dan
lainnya tentu hal ini mencoreng kita semua sebagai bangsa yang berbudaya dan
teradab. Karenanya, saatnya kita mengubah tradisi itu ke arah yang lebih
positif. Dan menjadi tanggung jawab kita semua, para orang tua, para pendidik,
pemerintah juga masyarakat luas untuk bisa membantu terwujudnya perubahan tersebut.
Berikut beberapa hal yang bisa
dilakukan, pertama, sosialisasi bahwa
UN telah berubah. Peran UN telah tereduksi. UN tak seperti dulu lagi. Mendiknas
(2015) merilis UN hanya untuk 1) pemetaan mutu program dan/atau satuan
pendidikan 2) dasar seleksi masuk
jenjang pendidikan berikutnya dan 3)pembinaan dan pemberian bantuan kepada
satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tidak lebih
dari itu. Tidak seram lagi seperti dulu. Sosialisasi dilakukan ke seluruh
lapisan masyarakat, pemahaman masyarakat tentang peran dan fungsi UN yang telah
berubah diharapkan menjadi pencegah tindakan tidak pantas siswa-siswi.
Sebenarnya , siswa-siswi sudah memahami hal itu karena sekolah, juga pemerintah pusat melalui layanan televisi
telah menyampaikan. Hanya sosialisasi, barangkali belum berbuah kesadaran. Atau
mereka merasa sedang mempertahankan tradisi.
Kedua, melakukan desakralisasi UN.
Selama ini UN telah menjadi sesuatu yang sangat sakral. Siapa yang membuatnya
sakral? Awalnya, tentu kalangan pendidik sendiri saat memahami betapa besar
peran dan fungsi UN yang menjadi penentu tunggal kelulusan peserta didik. Nah,
sekarang saat UN tidak berpengaruh signifikan lagi mejadi tanggung jawab para
guru, sekolah untuk mendesakralisasi UN. Anggap UN seperti ulangan harian,
tidak lebih.
Ketiga,
ketegasan sekolah. Sekolah sebagai lembaga yang selama ini mendidik para
siswa tentunya mempunyai pengaruh yang besar bagi perilaku siswa-siswinya dalam
menyambut kelulusan. Sekolah mempunyai otoritas penuh untuk melarang praktik
corat-coret atau lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan.
Jika di detik-detik akhir masa aktif ini, sekolah tidak mampu mendidik mereka,
maka hal ini akan menjadi sebuah pembelajaran yang su’ul khotimah, akhir yang buruk. Sekolah
harus tegas melakukan treatment
dan sanksi bagi siswanya yang masih melakukan aksi corat-coret dan konvoi.
Sanksi bisa berupa pemanggilan orangtua wali, penangguhan ijazah bagi siswa
yang bersangkutan atau lainnya.
Keempat,
melakukan penyadaran akan nilai
negatif dalam tradisi corat-coret, konvoi, dan lainnya. Tentunya ini bukanlah
persoalan mudah, karena tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat. Proses
penyadaran ini sudah seharusnya include dalam proses pembelajaran dan
pendidikan di sekolah yang selama ini dilakukan. Inilah proses pembentukan
karakter siswa. Jika siswa sudah sadar dan terbangun karakter yang kuat, maka
secara otomatis mereka tidak akan melakukan aksi yang bertentangan dengan nilai
dan norma yang ada. Dan hal itu adalah tantangan bagi orangtua di rumah dan
guru di sekolah.
Kelima,
mengganti dengan tradisi atau kegiatan yang positif. Tugas kita semua, baik
kalangan pendidik, orang tua masyarakat luas untuk mendorong dan memberi
motivasi agar mengganti tradisi corat-coret, konvoi di jalan raya dengan
kegiatan positif seperti menggelar bakti sosia semisal donor darah, memberi
santunan ke anak yatim, atau memberi pakaian layak pakai ke yang membutuhkan.
Bisa juga dengan mengadakan syukuran dengan makan-makan di sekolah. Saya ingat
saat di SD dulu, setiap akhir tahun waktu bagi rapot siswa-siswi diminta
membawa tumpeng lengkap dengan lauk pauknya. Tumpeng itu dipotong oleh guru
kelas, setelah itu makan bersama. Indah rasanya bila mengingatnya.
Menjadi tanggung jawab semua pihak
untuk membimbing dan menumbuhkan karakter baik bagi anak-anak kita, generasi
muda. Salah satunya dengan mengganti tradisi-tradisi buruk yang biasa dilakukan
dengan tradisi yang lebih baik, lebih berkarakter, lebih bersifat
ke-Indonesian.
(Tulisan dimuat ini di Harian Radar Cirebon, Kamis, 11 Juli 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar