Nampaknya mejadi presiden harus siap
disorot, diamati, dinilai dalam segala hal termasuk pada soal-soal kecil
sekalipun. Dua pekan ini publik kembali mempersoalkan kesalahan yang dilakukan
presiden. Jokowi salah lagi. Ada peristiwa yang menjadi sorotan, bahkan
berujung cacian, tentu dari lawan-lawanya. Pertama, Jokowi salah kostum dalam
menerima tamu. Pada hari Selasa 16 Juni 2015, presiden Jokowi menerima Ketua
Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin di Istana Merdeka. Saat menerima Din
Syamsuddin, Jokowi mengenakan pakaian militer lengkap dengan baret warna hijau.
Kedua, presiden makan minum dengan tangan kiri sambil berdiri. Yaitu saat berbuka bersama dihadapan
anak-anak yatim se-jobodetabek pada hari kamis 18 Juni 2015 di istana negara.
Jokowi terlihat minum sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri. Momen ini tak
luput dari jepretan para wartawan. Perbincangan publik pun mulai ramai,
menyalahkan, menggunjing, bahkan sebagian mencaci.
Jokowi
memang beda
Tulisan ini tidak bermaksud untuk
membela pak Jokowi. Hanya yang perlu disadari oleh kita semua bahwa setiap
pemimpin itu memiliki tipikal, ciri, gaya masing-masing dalam segala hal
seperti gaya bicara, cara berpakaian,
bagaimana berpenampilan, nampang di layar kaca dan lainnya. Dan kebetulan
Jokowi memang banyak memiliki perbedaan dengan presiden-presiden sebelumnya
dalam berpakaian misalnya. Dalam berpakaian Jokowi dikenal sederhana dan simpel,
tentu menurut ukuran seorang presiden. Dalam soal pakain, sempat juga jadi
sorotan publik saat kunjungan pertama beliau ke Brunai Darussalam pada tanggal
9 Februari 2015. Saat bertemu dengan Sultan Hassanal
Bolkiah, ada yang cukup mengganggu dalam penampilan Jokowi ketika itu. Satu
buah kancing dalam jas yang dikenakannya terlihat tak terpasang. Hal itu
membuat dasi yang terselip dengan cukup panjang di dalamnya tampak menyembul.
Cara berpakaian beliau jauh dari kata necis, berbeda dengan presiden-presiden
sebelumnya pak SBY misalnya.
Kaitan
dengan salah kostum dalam menerima tamu, sebenarnya pihak istana sudah
melakukan klarifikasi bahwa saat itu presiden baru saja menghadiri acara
bersama TNI. Sedangkan Din Syamsuddin beserta rombongan sudah terlalu lama
menunggu. Mengambil langkah praktis, presiden langsung menemui. Itulah Jokowi.
Orang kebanyakan bisa jadi menganggapnya sebagai sesuatu yang salah tapi ia
tetap memilih caranya sendiri dalam
menghormati dan menghargai tamu. Di matanya apalah arti pakaian ketimbang
menjaga perasaan tamu karena terlalu lama menunggu.
Kemudian
mengenai buka bersama, memang istana mendesain acara tersebut dengan nuansa
berdiri. Hal demikian bertujuan untuk menggambarkan keakraban presiden dengan
tamunya, anak-anak yatim. Tapi yang disesalkan, persoalan sepele itu ditarik
jauh pada keagamaan sang presiden. Kenapa saya mengatakannya sepele? Misalnya
mengenai tata cara makan-minum, ternyata di samping ada larangan makan-minum
dengan berdiri juga ada hadist yang membolehkannya. Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan,
“Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.” (HR. Bukhari no.
1637, dan Muslim no. 2027)
Dalam hadist lain, dari An-Nazal, beliau menceritakan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu mendatangi pintu ar- Raghbah lalu minum sambil
berdiri. Setelah itu beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka
minum sambil berdiri, padahal aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah melakukan sebagaimana yang baru saja aku lihat.” (HR. Bukhari no.
5615) Jadi sangat tak elok kalau kita
memperbesar isu persoalan agama yang masih dalam perdebatan dan perselisihan
status hukumnya.
Mengambil
pelajaran
Namun demikian, tetap saja hal-hal di
atas harus menjadi pelajaran bagi kita semua terutama orang-orang yang berada
sekitar pak presiden. Ke depan harus lebih hati-hati, lebih teliti dalam
menyiapkan hal-hal yang terkait presiden. Berikut pelajaran atau hikmah yang
bisa dipetik oleh semua pihak, pertama,
mengkritisi pemerintah terutama presiden memang kewajiban kita semua. Itu juga
tanda atau bukti kalau kita mencintai dan menyayangi pemimpin agar tidak
terpeleset pada kesalahan terutama dalam mengambil keputusan dan kebijakan.
Tapi tidak berarti semua hal yang ada pada presiden kita bebas mengoreksi,
menyoroti, apalagi mencaci maki. Pada hal-hal yang tidak prinsip misalnya, tak
seharusnya kita menghabiskan waktu dan energi untuk memperdebatkannya. Masih
banyak yang lebih penting yang memerlukan kajian oleh kita semua. Jangan sampai
kita kehabisan energi dalam hal sepele, urusan bangsa dan negara yang lebih
besar terlewatkan dari mata dan pikiran kita.
Kedua,
luruskan niat. Niat kita harus kritik membangun, bukan kritik menjatuhkan.
Ini penting, agar tata cara berpolitik, berbangsa dan bernegara kita bermoral
dan bermartabat. Sebagai bangsa yang memiiki akar budaya dan moralitas yang
kuat, banyak contoh yang telah ditunjukan oleh para pendahulu. Selayaknya kita
meniru mereka dalam berbangsa dan bernegara. Jika semangatnya menjatuhkan maka
hal kecil nan sepele akan terlihat besar dan bisa dibesar-besarkan.
Ketiga,
melihat sesuatu secara proporsional, dan dari sudut pandang yang tepat. Ini
penting agar penilain kita terhadap seseorang atau terhadap permasalahan
menjadi adil. Jika tidak, kita akan terjebak pada mencar-cari kesalahan orang.
Itu tentu bukan karakter bangsa kita.
Terkhir saya mengutip Dr. Nurcholis
Madjid (1992), bahwa dalam hidup, kita
dihadapkan pada pilihan moral fudamental, bahasa lain dari akhlak karimah. Karenannya,
mari kita kedepankan akhlak mulia dalam segala tindak tanduk kita. Akhlak akan
menuntun ke kehidupan yang lebih baik.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara sangat relevan akhlak menjadi panglima. Apalagi
di bulan suci Ramadhan, selayaknya kita
mengintropeksi diri untuk memperbaiki kualitas hidup di waktu yang akan datang.
Dan semoga kasus ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua. Amin. Wa Allahu Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar