Melihat pro-kontra permasalahan di
atas, saya melihatnya sebagai berikut, Pertama, masing-masing pihak minta untuk
dihargai dan dihormati. Yang berpuasa meminta dihargai oleh yang tidak
berpuasa. Demikan sebaliknya. Padahal baik yang berpuasa maupun yang tidak
berpuasa mempunyai kewajiban yang sama yaitu menghargai dan menghormat sikap
dan prilaku orang lain. Nah, di sini menjadi sebuah ironi. Ternyata umumnya
orang lebih suka menuntut hak daripada menunaikan kewajiban.
Kedua, menguji toleransi kita semua. Toleransi
bukan saja sebatas nilai-nilai luhur bangsa kita yang harus kita jaga, negara
bahkan semua agama pun mengajarkannya. Kaitan dengan persoalan agama misalnya dalam
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 menegaskan bahwa negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu. Ini artinya masing-masing
pemeluk agama harus saling menghargai dan menghormati agama yang dipeluk atau
dijalani oleh orang lain karena semua agama dilindungi oleh negara. Dalam Islam
sendiri toleransi sangat dianjurkan. Dalam Al Quran Allah berfirman, untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku.(QS.109:06) Tidak ada paksaan dalam beragama,
(QS.02:256) yang ada kewajiban saling menghargai dan menghormati.
Ketiga, mengedepankan hikmah atau
pendekatan yang positif menjadi lebih penting daripada memaksakan subtansi pada
tataran praktis. Dalam Al Quran Allah berfirman, serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan
cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.(QS.16:125) Ayat ini menjadi acuan kita
semua bahwa dalam melaksanakan seruan atau ajakan harus dengan cara yang
terbaik, bijak, dalam bahasa Al Quran disebut dengan istilah hikmah. Bila
memaksa beraduh argumentasi (berdebat) maka gunakan akal sehat, logika lurus,
serta cara atau metode terbaik.
Keempat,
sebagai bulan rahmat, tidak sepantasnya bulan Ramadhan dijadikan alasan untuk meruntuhkan
sendi-sendi ekonomi. Warung sekecil apapun merupakan bagian kegiatan ekonomi
masyarakat. Menjadi tidak adil dan jauh dari kesan rahmat (kasih sayang) bila
kita menghancurkannya semata karena kegiatan puasa Ramadhan kita.
Mengambil
Sikap
Terlepas dari pro kontra tersebut,
menurut hemat saya yang paling penting adalah bagaimana kita menyikapinya.
Perbedaan memang hal wajar,lumrah dan tak bisa terhindarkan. Justru yang tak
wajar adalah yang tak siap berbeda dan lebih cenderung memaksakan kehendak.
Untuk alasan itu sebaiknya kita mengabil sikap, pertama membiasakan lebih mengutamakan melaksanakan kewajiban dalam
hal apa pun daripada menuntut hak. Bagi kita yang berpuasa lebih afdhol, lebih
baik dan lebih utama meningkatkan kualitas puasa kita ketimbang memaksa menutup
warung orang, apalagi dengan cara-cara yang anarkis. Lebih baik menghormati
orang yang tidak berpuasa apalagi ketidakpuasaannya karena alasan syar’i seperti
sebab bepergian ketimbang memaksa mereka menghormati kita yang sedang berpuasa.
Demikian sebaliknya, bagi mereka yang tidak berpuasa.
Kedua,
mari bersama menjaga kesucian bulan ini. Jangan kotori bulan yang penuh rahmat dan
maghfirah Allah SWT dengan prilaku kotor kita.
Jangan ciderai sebaik-baik bulan ini dengan tindak kekerasan, anarkis
hanya gara-gara soal sepele terkait warung harus tutup atau boleh buka. Tak
perlu sweeping berlebihan, ajak mereka dengan hikmah dan mauiddho hasanah
seperti anjuran Al Quran dalam setiap gerakan dakwah. Kebaikan bila dilakukan
dengan cara-cara yang tidak baik hanya menghasilkan sebaliknya.
Ketiga,
mempercayakan pemerintah untuk mengatur segala urusan rakyatnya, termasuk
yang terkait dengan ibadah puasa. Sebagai rakyat sebaiknya kita mengikuti
pemerintah. Apa yang menjadi kebijakan pemerintah semata untuk kepentingan
orang banyak yang lebih besar, dan pastinya sudah melalui kajian matang, tidak
asal. Berkaitan dengan ketaatan ini, Allah SWT mengaskan, Hai
orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.(QS.04:59) Sebagian
besar para ahli tafsir menafsirkan ulil amri sebagai pemerintah yang sah.
Akhirnya, sangat arif bila kita tak
terjebak pada persoalan kecil, yang bisa mengoyak kebersamaan, persatuan
(baca:ukhuwah) umat, dan merusak kesucian ibadah kita serta keberkahan dan
kerahmatan Ramadhan itu sendiri. Lebih baik kita memfokuskan diri meningkatkan
kualitas ibadah puasa. SELAMAT BERPUASA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar