Di
tengah pembicaraan publik cukup panjang mengenai ijazah palsu, saya terkejut
saat membaca tulisan saudari Cucum Suminar di salah satu media online nasional.
Ternyata selain ijazah palsu, ada juga dosen palsu. Berikut saya kutip sebagian tulisannya, tahun
2007 saat saya baru beberapa bulan lulus dari jenjang magister, saya sempat
ditawari oleh salah satu teman untuk menjadi dosen tetap di salah satu
perguruan tinggi di wilayah Jawa Barat. Namun teman saya itu mengatakan, saya
tidak perlu datang ke kampus untuk mengajar, saya hanya perlu mengirimkan
salinan ijazah dan transkrip nilai yang sudah dilegalisasi oleh perguruan
tinggi tempat saya belajar. Sebagai kompensasi, setiap bulan saya akan
mendapatkan uang Rp500 ribu. Salinan ijazah tersebut digunakan untuk EPSBED (Evaluasi Program
Studi Berbasis Evaluasi Diri) yang harus dipenuhi oleh setiap perguruan tinggi
untuk mengurus akreditasi. Salah satu syarat untuk mendapatkan akreditasi
adalah ketersediaan dosen yang seimbang dengan mahasiswa. Perguruan tinggi
tersebut tentu akan mendapatkan nilai lebih bila dosen mereka minimal lulusan
strata dua dengan jurusan yang linear. Seperti yang kita tahu, bila perguruan
tinggi tidak mendapatkan akreditasi, otomatis perguruan tinggi tersebut tidak
berhak mengeluarkan ijazah dan meluluskan mahasiswa.Saat mendapatkan tawaran
dari rekan saya tersebut, saya dengan tegas menolak. Apalagi saat itu saya
sudah mengajar paruh waktu di almamater saya. Saya hanya berpikir, bila nama
saya digunakan sebagai dosen tetap di perguruan tinggi lain, belum tentu
almamater saya mau menerima saya sebagai dosen paruh waktu.( http://www.kompasiana.com/cucum-suminar/selain-ijazah-palsu-ada-dosen-palsu)
Pengakuan
di atas tentu mengejutkan kita semua. Sedemikian jauhkah ketidakjujuran dan
kepalsuan dalam dunia pendidikan? Kita pasti prihatin dan sedih. Angan-angan
mewujudkan generasi berkarakter terhempas, ibarat mimpi di siang bolong.
Bagaimana tidak? Saat kepalsuan dan ketidakjujuran telah menggurita di
tubuh dunia pendidikan, menjadi mustahil
kita mencetak generasi berkarakter.
Menurut
Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi bab.I Pasal 1 disebutkan dosen
adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama
mentransformasikan,mengembangkan, dan menyebarluaskan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi melalui Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada Masyarakat.
Membaca definisi dosen yang sedemikan hebat, kenapa perguruan tinggi masih
berani memalsukan? Ini sebuah ironi memilukan dan memalukan. Ibarat tanparan
telak pada keilmuan. Apa yang melatarbelakanginya?
Penyebab
dan solusi
Menurut
hemat saya ada beberapa hal yang meletarbelakangi, pertama,
longgarnya pengawasan. Menurut UU No.12 Tahun 2012 tentang perguruan tinggi
bab. II Pasal 7, secara umum yang bertanggung jawab penyelenggaraan perguruan
tinggi adalah Menteri. Tanggung jawab Menteri atas penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
sebagaimana dimaksud mencakup
1)pengaturan, 2)perencanaan, 3)pengawasan, 4)pemantauan, dan 5)evaluasi
serta pembinaan dan koordinasi. Lebih jauh kewenangan menteri diatur dalam
Peraturan Pemerintah No.04 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan
Pengelolaan Perguruan Tinggi. Sampai di sini bisa disimpulkan, kementerian
pendidikan tinggi mengemban tanggung jawab besar atas longgarnya pengawasan
sehingga mendorong kecurangan dan kepalsuan. Ini menjadi PR penting untuk
Menteri Pendidikan Tinggi. Ke depan pengawasan seharusnya dijalankan dengan
ketat sesuai tuntunan perundang-undangan yang ada. Dalam kaitan dengan
pengawasan terhadap perguruan tinggi swasta (PTS) Prof Dr. Nanat Fatah Nasir pernah
mengusulkan untuk mengaktifkan kembali Kopertis. Sebab di PTS kerapkali terjadi
praktek-praktek menipulasi, memalsukan data dan lainnya untuk kepentingan keberlangsunganya. Usulan tersebut layak
dipertimbangkan, atau bisa juga dibentuk lembaga lain yang menjadi tangan
panjang kementerian pendidikan tinggi, khusus melakukan pengawasan terhadap
kemungkinan pelanggaran yang dilakukan perguruan tinggi.
Kedua, faktor rendahnya integritas di
kalangan penyelenggara pendidikan atau lebih jauh kita semua sebagai bangsa.
Integritas diartikan sebagai konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan
dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan. Pendidikan kita belum
berhasil mencetak generasi yang memiliki integritas tinggi, berkarakter kuat,
serta berakhlak mulia. Pendidikan kita hanya mampu melahirkan orang-orang
pandai, cerdas, juga trampil. Hal ini menjadi tantangan sekaligus tanggung
jawab dunia pendidikan sendiri di masa
yang akan datang untuk melakukan
revolusi yaitu perubahan besar-besaran di bidang pendidikan dengan melibatkan
peran serta semua elemen bangsa. Revolusi difokuskan pada gerakan jujur massal
di setiap aktivitas kependidikan. Kejujuran harus ditanamkan sejak dini. Para
pendidik selayaknya memberi contoh. Keteladanan akan mempercepat penanaman
kejujuran pada peserta didik. Menteri Anies Baswedan dalam sebuah acara di
salah satu televisi nasional beberapa waktu lalu menegaskan dengan optimis
bahwa penanaman kejujuran yang kita lakukakan sekarang akan merubah wajah
Indonesia 10 sampai 15 tahun ke depan. Indonesia akan bersih dari korupsi,
kepalsuan, dan kemunafikan.
Ketiga, bisnis menghalalkan segala cara.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga-lembaga pendidikan di semua jenjang
(terutama lembaga swasta) beraroma bisnis. Mendirikan lembaga atau sekolah untuk meraup keuntungan bukan semata-mata
membantu pemerintah mencerdaskan anak bangsa. Niat dan motivasi seperti ini
harus dibuang. Karena bila motivasi dan niat mendirikan sekolah atau lembaga
untuk tujuan berbisnis, maka bisnis cenderung menghalalkan segala cara demi
meraih apa yang menjadi target. Sekarang lembaga atau sekolah menjamur.
Berbagai pihak mendirikan. Contoh kecil, saat SMK (sekolah menengah kejuruan)
menjadi pilihan tervaforit calon peserta didik semua pihak berbondong-bondong
mendirikan SMK. Begitu pula perguruan tinggi. Ketika guru menjadi profesi menjanjikan
setelah adanya tunjangan profesi yang menyedot calon mahasiswa keguruan,
sekolah tinggi keguruan pun bermunmunculan di mana-mana. Akhirnya berbisnis sekolah
menjadi pilihan menarik, hanya sayangnya mengabaikan nilai-nilai luhur, etika,
moral, serta agama.
Singkatnya, pemalsuan data dosen telah
memperpanjang deretan permasalahan dunia pendidikan tinggi setelah sebelumnya ijazah
palsu menjadi isu nasional yang banyak menarik perhatian publik. Pemerintah
dalam hal ini kementerian riset dan pendidikan tinggi harus bekerja cepat
menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Tentu kita masih optimis bahwa kejujuran
akan segera datang, menggantikan kepalsuan di setiap sisi kehidupan. Dan
saatnya orang jujur berbicara melawan ketidakjujuran dan kepalsuan karena
ketika mereka diam secara tidak langsung menanam andil keseburan kepalsuan dan
ketidakjujuran.Wa allahu alam
(Tulisan pernah dimuat di harian Radar Cirebon, Senin, 8 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar