Ribut-ribut tentang dana aspirasi, apa
dana aspirasi itu? Dana aspirasi adalah dana pembangunan yang dianggarkan oleh
pemerintah pusat untuk daerah mengacuh pada aspirasi setiap anggota DPR. Setiap
anggota DPR akan mengusulkan aspirasi pembangunan di dapilnya, dianggarkan setiap
anggota sebesar 20 milyar. Dana aspirasi
diusulkan oleh fraksi Partai Golkar. Awalnya sejumlah fraksi seperti Demokrat,
PPP, PAN, PDIP, Gerindra, PKS, Hanura menolak, tapi dalam rapat Badan Anggaran
pada tanggal 15 Juni 2015, tak satu fraksi pun yang menolak, dana aspirasi
akhirnya menjadi usulan resmi.
Menurut kalangan DPR dana aspirasi
diusulkan bertujuan untuk pemerataan pembangunan. Selain itu dana tersebut
disebut sebagai realisasi dari janji para anggota dewan kepada konstuennya seperti
yang dinyatakan ketua DPR RI Setya Novanto (http://nasional.harianterbit.com/) Coba kita kritisi bersama, apakah
tujuan itu logis? Dan apakah akan tepat sasaran?
Bagi saya orang awan ada beberapa
keraguan, hal di atas akan dapat terwujud.Pertama,
mengenai pemerataan justru sebaliknya yang akan terjadi. Karena
daerah-daerah yang tertinggal dalam segala aspek pembangunan justru lebih
sedikit jumlah penduduknya, dan otomatis jumlah anggota dewan (perwakilan
mereka) juga sedikit. Sementara daerah semisal Jakarta yang dalam segala maju
memiliki jumlah penduduk banyak, dan tentu perwakilannya juga banyak. Dengan
demikian pastilah perolehan dana aspirasi daerah berpenduduk besar seperti
Jakarta akan lebih besar dibandingkan dengan Papua misalnya yang berpenduduk
sedikit. Logika pemerataan pembangunan menjadi tidaki logis. Bagaimana
tidak? Daerah seperti Jakarta akan lebih
besar mendapat dana aspirasi dibanding Papua yang tertinggal.
Kedua,
aspirasi masyarakat juga tak melulu harus dijawab dengan uang. Sebab
aspirasi bisa berbentuk ideologi, politik, atau lainnya. Anggota DPR menampung aspirasi
tersebut, kemudian menyampaikannya sesuai saluran, tak terbatas pada jumlah
uang. Jadi mungkin saja ada aspirasi dan keluhan masyarakat, tapi tak
mengharuskan menjawabnya dengan uang.
Ketiga, menurut Undang-Undang No. 17
Tahun 2003 tentang keuangan negara pasal 12 disebutkan (1) APBN
disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan kemampuan
dalam menghimpun pendapatan negara. (2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. (3) Dalam hal anggaran diperkirakan
defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untukmenutup defisit tersebut
dalam Undang-undang tentang APBN.(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus,
Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Mengacuh UU Nomor 17 Tahun 2003 ini, jelas bisa dipahami bahwa RAPBN
disusun berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah, bukan berdasarkan daerah pemilihan, oleh karena DPR
tidak memiliki instrumen perencanaan yang merupakan domain pemerintah.
Keempat, DPR hanya memiliki peran
pembahasan RAPBN untuk setuju atau tidak menyetujui. DPR tidak dalam kapasitas
sebagai ekskutor (baca:pelaksana) anggaran seperti ditegaskan Undanng-undang
Dasar 1945 Pasal 23 ayat 2 yang menyatakan bahwa rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan
dan Belanja diajukan oleh presiden untuk dibahas bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. Kemudian
apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan
pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu.
Kelima, dana aspirasi membuka peluang
percaloan anggaran. Akan menjadi lahan potensial penyalagunaan anggaran,
membuka kesempatan untuk melakukan tindak korupsi. Apalagi dana yang akan
dianggarkan sangat fantastis. Dua puluh milyar setiap anggota bukan dana kecil,
bila dikalikan dengan jumlah anggota dewan bisa mencapai kurang lebih 11
milyaran. Luar biasa, ditengah kesulitan ekonomi yang dialami rakyat.
Keenam, Dana Aspirasi akan melanggengkan
Status Quo. Menjelang Pemilu dana aspirasi akan menjadi efektif sebagai guna menarik simpati Pemilih. Hal ini akan
menghasilkan kontestasi politik yang tidak sehat antara peserta Pemilu dan
hanya memberikan peluang akan berkuasanya kembali DPR yang status quo. Dalam
konteks ini kepentingan pribadi (baca:anggota dewan) terlihat menonjol dan
jelas dapat dipahami setiap orang dibanding kepentingan rakyat yang memilihnya.
Anggota
Dewan Intropeksi dirilah
Ungkapan di atas tidak berlebihan.
Sekarang saatnya bapak/ibu anggota Dewan yang terhormat untuk berintropeksi
diri. Lebih baik memfokuskan diri pada kewenangan yang ada di tangan seperti tercantum
dalam UUD 1954 Pasal 20 A yang menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Di depan
mata antrian panjang RUU yang menanti sentuhan pemikiran anggota dewan melalui
pembahasan bersama pemerintah. Bukankah setiap tahun DPR tak dapat menuntaskan target
legislasi bersama pemerintah?
Kaitan
dengan hal di atas Anggota
Badan Legislasi (Baleg) DPR, TB Soemandjaja
(2015) mengakui sulit sekali mencapai target program legeislasi nasional
(prolegnas). Menurutnya, hal itu disebabkan Pertama,
pentingnya konsolidasi internal di DPR sendiri. Kedua, DPR perlu mempertimbangkan status
baleg agar tidak lagi bekerja di komisi lain.Ketiga,
DPR harus mengukur target pencapaian Prolegnas sesuai waktu dan kemampuan
secara rasional. Ia berharap DPR dan Presiden perlu meninjau kembali jumlah RUU
yang akan dibahas karena target pembahasan RUU terlalu tinggi.
Nah, saya kira lebih arif dan logis
kalau DPR memfokuskan diri pada pekerjaan yang memang menjadi kewenangan,
fungsi, dan perannya. Kecuali kalau mereka ingin ditinggalkan pemilihnya karena
dianggap gagal menjadi wakil mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar