Kawin beda agama kembali menjadi
polemik. Adalah Damian
Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi
yang telah mengajukan gugatan ke MK. Keempatnya mengajukan uji materi terhadap
isi UU yang menyebutkan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu seperti tertuang dalam UU No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2
ayat 1. Mereka beralasan bahwa aturan itu melanggar hak asasi manusia, mereka merasa hak-hak konstitusionalnya berpotensi dirugikan dengan
berlakunya syarat keabsahan perkawinan menurut hukum agama. Menurut pemohon,
pengaturan perkawinan sebagaimana yang tercantum dalam aturan tersebut akan
berimplikasi pada tidak sahnya perkawinan yang dilakukan di luar hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya, misalnya nikah beda agama.
Mahkama
Konstitusi (MK) pada kamis 18 Juni 2015 memutuskan menolak uji materi yang di
ajukan para pemohon. Dari sembilan hakim hanya satu hakim yang menyatakan beda
pendapat yaitu Maria Farida Indrati. MK beralasan (menurut delapan hakim
lainnya) bunyi pasal yang menyatakan bahwa perkawinan dianggap sah apabila
dilakukan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan,
bukanlah suatu pelanggaran konstitusi. Hakim berpendapat bahwa perkawinan tidak
boleh dilihat dari aspek formal, tapi juga aspek spiritual dan sosial.
Latar
belakang
Kawin beda agama biasanya berlatar
belakang cinta belaka. Cinta yang kuat antara seorang pria dan wanita
membutakan mata dan telinga sampai nekat berani melanggar norma agama juga
hukum negara. Cinta dua sejoli itu mampu berhadapan, menentang tradisi keluarga
mereka masing-masing. Dalam banyak kasus, orang tua tak dapat melarang dan
mencegah. Kegagalan perkawinan beda agama seringkali karena kesadaran di antara
mereka sendiri bahwa langkah yang mereka
ambil bertentangan dengan norma agama, tradisi, dan hukum.
Dalam banyak kasus, kawin beda agama
terlaksana hanya bermodalkan nekad. Keluarga mereka pasti tak menyetujui,
apalagi memberi restu. Karena semua agama dan keyakinan mensyaratkan seagama
pada pasangan yang akan melangsungkan pernikahan. Bagi orang tua yang taat
beragama pastilah tak akan mengijinkan putra/putrinya menikah dengan yang tak
seagama.
Agama merupakan hal yang sangat
prinsip. Sedangkan perkawinan menyatukan dua orang untuk menjalani hidup
bersama. Menyatukan watak, sifat,
karakter saja bukan hal mudah dalam sebuah keluarga karena masing-masing dari
pasangan itu memilki banyak perbedaan. Apalagi berkaitan agama, maka hal ini
pasti akan menjadi problem besar sepanjang waktu. Persoalan itu akan menjadi
bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Sekuat apapun cinta pasangan beda
agama rasanya akan sulit bertahan. Jamal Mirdad-Lidya Kandau misalnya, walau
sempat terkategorikan pasangan beda agama terkuat toh pada akhirnya runtuh
juga.
Harus
bersyukur, kenapa?
Kita semua layak bersyukur uji materi
tentang UU No.1
tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2
ayat 1 tidak dikabulkan (baca:ditolak) oleh MK. Kenapa? Karena dalam perkawinan
beda agama banyak kemudharatan di antaranya, pertama, berkaitan dengan keyakinan atau agama yang akan dipilih
anak. Apakah mengikuti ayahnya atau ibunya? Baik ayah maupun ibu akan menamkan
agama yang diyakini ke anak. Nah, bila mereka beda agama, anak mereka akan
menjadi korban, menjadi bingung berkepanjangan antara mengikuti agama ayahnya
atau ibunya. Bisa jadi anak akan memilih tak beragama. Ini sangat berbahaya.
Kedua,
menjadi penghalang dalam hal warisan. Dalam Islam misalnya, seorang anak yang
berbeda agama tidak berhak menerima harta warisan peninggalan orang tuanya.
Begitu pula sebaliknya. Persoalan ini tentu tidak mudah. Prihal warisan sering
menjadi sengketa berkepanjangan yang memecah keutuhan dan kasih sayang dalam
keluarga.
Ketiga,
menggugurkan perwalian. Ayah yang berbeda agama tidak sah menjadi wali
untuk pernikahan anaknya. Padahal wali merupakan syarat sah sebuah perkawinan.
Keempat, status anak mereka juga di tengah
masyarakat dipertanyakan karena bila pernikahan beda agama tidak sah menurut
agama, maka secara agama anak yang terlahir dari
perkawinan tersebut menjadi anak hasil di luar pernikahan bahasa lainnya anak
haram. Ini akan menjadi beban psikologis yang sangat berat bagi sang anak
selama hidupnya.
Kesimpulan
Tujuan perkawinan seperti ditegaskan
dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
Pasal 1 ayat 1 adalah membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan mulia
tersebut tak akan terwujud bila pernikahan mendatangkan berbagai mudharat seperti disebutkan di atas.
Karenanya, hemat saya sangat tepat saat MK memperkokoh UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan terutama Pasal 2 ayat 1 yang digugat oleh pemohom. Kemudian menjadi kewajiban kita semua sebagai
warga negara yang baik menaati peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang atau peraturan sebenarnya untuk kepentingan kita bersama dalam
hidup bermasrarakat, berbangsa dan
bernegara. Semoga dengan keputusan Mahkamah Konstitusi ini akan mengakhiri
polemik berkepanjangan yang selama ini terjadi di antara kita anak negeri,
amin.
(Dimuat di Harian Radar Cirebon, Senin 29 Juni 2015)
(Dimuat di Harian Radar Cirebon, Senin 29 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar