Tunjangan sertifikasi guru menjadi
sesuatu yang menyamakan guru dengan kaum profesional lainnya seperti dokter,
pengacara. Karenanya keberadaan dan eksistensi guru semakin menguat di tengah
masyarakat. Profesi guru semakin diburu. Namun demikian, dalam keyataan di
lapangan tunjangan profesi tidak sepenuhnya menggambarkan kesejahteraan ekonomi
guru, terutama bagi guru honorer. Tunjangan guru justru menjadi problematika
tersendiri bagi mereka. Ada apa dengan mereka?
Menurut peraturan pemerintah No. 41
Tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan
Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor Pasal 1 disebutkan bahwa profesi
guru adalah tunjangan yang diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki
sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya. Tunjangan
profesi tidak hanya diberikan kepada guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil
(PNS), guru honorer pun berhak memperolehnya. Tentu bagi mereka yang memenuhi
syarat dan ketentuan yang berlaku. Dalam PP No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan
Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan
Kehormatan Profesor Pasal 5, Tunjangan profesi bagi guru dan dosen bukan
pegawai negeri diberikan sesuai kesetaraan tingkat, masa kerja, dan kualifikasi
akademik yang berlaku bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil. Lebih lanjut
tentang kesetaraan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri sesuai
kewenangannya.
Membaca
peraturan atau perundang-undangan di atas seharusnya keadaan ekonomi guru
honorer relatif membaik, tentu masih di bawah guru negeri. Namun kenyataanya
ada beberapa problematika yang justru berlawanan dengan semangat dan ruh PP No.
41 Tahun 2009. Problematika tersebut antara lain adalah bahwa sebagian besar sekolah (baik yang
dikelolah pemerintah maupun yayasan atau swasta) tidak lagi memberikan honor
setelah mereka mendapat tunjangan profesi
atau sertifikasi. Tunjangan dari pemerintah yang tujuannya menambah
penghasilan dijadikan pengganti honor
yang sebelumnya mereka terima dari sekolah, berbeda dengan guru berstatus PNS.
Ditambah lagi pembayaran dilakukan tiga bulan sekali (triwulan). Tiga bulan
bukan waktu yang pendek bila dihadapkan dengan kebutuhan hidup yang selalu
merangkak naik.Tidak cukup sampai di situ, pembayaran yang dijadwalkan tiga bulan
sekali kerapkali terlambat, bisa menjadi empat, lima sampai enam bulan.Tentu
sangat memprihatinkan. Mengenai keterlambatan sebenarnya guru yang berstatus
PNS juga ikut merasakan. Tapi bedanya mereka masih mendapat gaji perbulannya.
Kemudian
panjangnya birokrasi sebagai prosedur yang harus ditempuh seorang guru untuk
memperoleh tunjangan sertifikasi menjadi perjuangan melelahkan. Pemberkasan,
pengumpulan data, ujian kompetensi, PLPG sebelumnya portofolio dan masih banyak
lagi proses yang harus dilalui telah memecah konsentrasi mengajar guru. Guru
sebagian banyak pikiran dan waktunya dihabiskan untuk mengejar sertifikasi. Ada
sebagian guru mengumpamakanya seperti mengejar dan mencari harta karun di hutan
belantara. Akhirnya mengajar yang merupakan tugas pokoknya terabaikan. Kondisi
seperti ini yang barangkali menyebabkan kualitas pengajaran guru tidak
meningkat setelah digulirkannya kebijakan sertifikasi. Guru profesional yang
diharapkan pemerintah justru menjadi tak profesional lagi.
Lebih
sedih lagi, ada guru honorer yang telah bersertifikat sebagai pendidik
profesional (sudah lulus PLPG) tapi terganjal oleh aturan, tunjangan tak bisa
dicairkan. Aturan bahwa SK honor harus ditandatangani oleh Bupati/Walikota
sebagai salah satu syarat dalam pemberkasan usulan pencairan. Mereka adalah
guru yang honor di sekolah-sekolah negeri. Sedang Bupati/Walikota tak bersedia
menandatangani karena terhitung 2005 tidak dipebolekan mengangkat tenaga
honorer sesuai PP No. 5 Tahun 2005 tentang Pengangkatan tenaga honorer menjadi
pegawai negeri sipil pasal 8 yang menyebutkan, sejak ditetapkan Peraturan
Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain di
lingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis,
kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Usulan untuk pengambil kebijakan
Untuk
mengembalikan semangat merubah keadaan
dan memperbaiki kesejahteraan guru
dengan meningkatkan kualiatas mereka, saya mengusulkan beberapa point kepada
para pengambil kebijakan terkait regulasi tunjangan profesi guru baik di pusat
maupun di daerah. Pertama, memasukan
tunjangan profesi ke daftar gaji. Artinya tunjangan profesi dicairkan setiap
bulan bersama gaji. Karenanya Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 41/PMK.07/2014 tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Transfer Ke Daerah dan Dana Desa terutama pasal 21, 22
yang menyangkut mekanisme pencairan tunjangan profesi guru harus dicabut atau
direvisi. Dalam pasal 21, 22 tersebut
dikatakan bahwa pencairan tunjangan profesi guru disalurkan secara triwulam
yaiitu pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Dengan demikian guru
honorer tidak harus menunggu tiga bulan sekali.
Kedua, memprioritaskan guru honorer. Praktek
di lapangan, pembayaran dilaksanakan secara bertahap dan guru honorer selalu diakhirkan dalam
pencairan setelah guru berstatus PNS.
Kenapa demikian? Karena mereka yang PNS-pun seringkali menuntut
pencairan, sedang posisi mereka lebih kuat.
Ketiga,
mempersingkat proses dan birokrasi. Pencairan tunjangan harus melewati proses
yang lumayan panjang, berupa pengumpulan atau pengisian data atau biasa yang
dikenal dengan pemberkasan baik saat awal pencairan atau setelahnya.
Pemberkasan dalam setahun dilakukan sampai empat kali. Pemberkasan ini
bertujuan disamping memantau jam mengajar guru, juga perubahan gaji pokok baik
karena berkala maupun karena naik pangkat bagi guru berstatus PNS. Kalau
sekadar memantau jam mengajar bagi guru honor, saya kira satu tahun sekali juga
bisa. Bukankah pembagian tugas mengajar dilakukan satu tahun sekali yaitu di
awal tahun pelajaran? Dengan demikian pemberkasan tidak lagi dimaknai sebagai
rintangan, mempersulit guru, atau sekadar mencari-cari alasan penundaan
pencairan.
Keempat, berilah honor mereka walau ada
tunjangan profesi. Bagi sekolah lebih arif dan bijak bila tetap membayar honor
mereka walau ada tunjangan profesi. Karena tunjangan profesi pada dasarnya
adalah penghaslan tambahan bagi guru dari pemerintah. Memang jumlahnya lebih
besar bila dibanding dengan honor mereka sehingga tunjangan profesi tidak
beralih fungsi menjadi pengganti honor atau gaji.
Kelima, menjalankan proses kebijakan
secara manusiawi. Yaitu melakukan pelayanan kepada guru honor sebagai obyek
kebijakan secara manusiawi dengan mengedepankan pendekatan hati nurani, akal
sehat, dan kasih sayang. Jangan memperlakukan mereka seperti robot dan mesin.
Ke
depan harusnya tunjangan profesi guru bisa merubah kesejahteraan guru honorer,
paling tidak mereka memperoleh penghasilan sesuai upah minimum regional (UMR).
Dan pastinya, mereka lebih fokus melaksanakan tugasnya sebagai pengajar dan
pendidik profesional, tidak sebaliknya.
(Tulisan ini dimuat di Harian Radar Cirebon, Senin, 15 Juni 2015)
(Tulisan ini dimuat di Harian Radar Cirebon, Senin, 15 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar