Cerai gugat dalam terminologi Islam
disebut Khulu’. Secara etimologi khulu’ berarti “melepaskan”.
Sedangkan menurut istilah di dalam ilmu fiqih,
khulu adalah permintaan cerai yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan
memberikan uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia menceraikannya. Dan,
dengan kata lain, Khulu adalah perceraian yang dibeli oleh si istri dari
suaminya karena ada beberapa hal dari suami yang tidak menyenangkan istrinya. (ttps://id.wikipedia.org/wiki/Khulu)
Pada
tanggal 17 Juni 2015, Pusat Penelitian dan Pengembanga (Puslitbang) Kemenag RI melansir
terkait meningkatnya angka cerai gugat secara nasional. Menurut Kepala
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag, Muharam Marzuki mengatakan, data kasus perceraian di Badan Pengadilan
Agama (Badila) Mahkamah Agung (MA) sejak 2010 ternyata terus meningkat.
Puncaknya ada di 2014, kasus cerai gugat di seluruh Pengadilan Agama mencapai
268.381 kasus. (http://www.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=269092) Ini
menjadi keprihatinan kita semua. Menurut Muharam Marzuki meningkatnya angka ini
dikarenakan adanya kesetaraan suami dan istri dalam penghasilan, banyak istri
berpenghaslan lebih sementara tidak sedikit suami yang menganggur (baca:tanpa
penghasilan). Juga karena ketidakharmonisan pasangan. Ketidakharmonisan itu banyak
penyebabnya, antara lain karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penelantaran suami terhadap istri. Tapi ada juga
ketidakharmonisan karena hal-hal sepele seprti istri tidak bisa memasak atau
lainnya.
Penyebabnya
Selain yang telah disebutkan di atas,
menurut hemat saya ada beberapa sebab lain, pertama,
rendahnya pendidikan agama. Agama memiliki peran yang sangat signifikan dalam
kehidupan seseorang. Agama akan banyak menuntun seseorang dalam setiap
pengambilan keputusan. Bagi mereka yang agamanya kuat tidak akan gegabah, tidak
mudah untuk memutuskan bercerai, atau meminta diceraikan. Selain itu agama juga
sangat lengkap bagaimana mengatur tentang perkawinan, mewujudkan keluarga
sakinah mawaddah wa rahmah. Agama mengajarkan bagaimana cara memilih pasangan, bersikap realistis dalam kehidupan keluarga,
memahami watak suami atau istri, mengatur dan menyeimbangkan kewajiban dan hak antara suami dan istri,
memahami kewajiban bersama dalam mendidik anak dengan membagi tugas sesuai yang
disepakati, dan masih banyak lagi.Agama juga memandang bahwa pernikahan adalah
sebuah perjanjian yang berat (QS.04:21), yang menuntut setiap orang di dalamnya
untuk memenuhi hak dan kewajibannya. Menurut Jalaluddin Rahmat (1993), masalah
akan timbul bila suami sudah mengabaikan kewajibannya, dan istri tak memenuhi
hak suaminya. Nah, terlihat dengan jelas bagaimana peran dan pentingnya
pendidikan agama dalam menentukan nasib dan perjalanan sebuah keluarga termasuk
kelanggenganya.
Kedua,
faktor ekonomi. Faktor ini akan sangat berpengaruh terutama saat sebuah
keluarga belum memilki tempat tinggal sendiri. Lebih jelas konflik akan sering
muncul saat pasangan suami-istri yang masih satu rumah dengan mertua. Konflik tidak
hanya muncul di antara suami-istri tetapi melebar ke semua penghuni rumah bisa
mertua, saudara ipar, dan lainnya.
Ketiga,
faktor intervensi dari luar. Intervensii bisa datang dari keluarga terdekat
semisal orang tua, saudara kandung atau lainnya. Intervensi datang tertutama
saat ekonomi keluarga belum mantap, apalagi ditambah bila mereka (orang tua,
anak, menantu) masih berkumpul dalam satu rumah. Intervensi juga kadang datang
dari luar keluarga seperti teman pergaulan, teman pekerjaan. Di sini kedewasaan
suami dan istri dibutuhkan agar tidak
cepat mengeluh, membuka aib pasangan ke orang lain.
Keempat,
perselingkuhan. Perselingkuhan identik (walau tidak selalu) dilakukan oleh
para suami. Tidak banyak istri yang tabah menghadapi perselingkuhan suami
sehingga perselingkuhan juga menjadi salah satu penyebab gugatan cerai istri.
Kelima,
menikah dalam usia dini. Kematangan atau kedewasaan suami-istri akan banyak
membantu mereka dalam mengarungi keluarga. Pasangan usia dini sangat rentan
menimbulkan konflik karena mereka belum bisa menyelesaikan setiap masalah yang
ada. Akhirnya perceraian menjadi solusi bagi mereka.
Solusi
ke depan
Untuk meminimalisir angka cerai gugat
di waktu yang akan datang, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan yaitu pertama, meningkatkan pendidikan agama.
Penanaman nilai-nilai agama harus dilakukan sejak dini terutama keimanan.
Kemudian pemahaman dan penguasaan terhadap hukum agama seperti tentang permasalahan
seputar pernikahan mestinya disampaikan sejak di bangku sekolah tingkat atas
(SLTA) karena pada usia itu peserta didik sudah mencapai baligh, menjelang masa
perkawinan. Ini semua menjadi tanggung jawab para orang tua, tokoh agama, dan
para guru Agama baik yang di sekolah apalagi di madrasah.
Kedua, menikah dalam usia matang. Dalam
undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkaawinan Pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun. Aturan batas usia di atas dapat dilanggar apabila mendapat
dispensasi dari pengadilan. Hal ini dinyatakan dalam ayat 2 dalam pasal yang
sama, disebutkan bahwa penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang
tua pihak pria maupun pihak wanita. Ayat ini yang melegitimasi pernikahan usia
muda. Untuk mencegah pernikahan dini pilihannya tidak lain kecuali merevisi
ayat ini, atau menghilangkannya. Usia 19 bagi pria dan 16 bagi wanita saja
sebenarnya tak cukup matang untuk sebuah pernikahan apalagi dibawahnya. Karenanya
Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan nikah Pasal 7
disebutkan apabila seorang calon mempelai belum mencapai 21 tahun maka harus
mendapat ijin tertulis kedua orang tua.
Ketiga, pendidikan pra nikah. Selama ini sebenarnya sudah ada yaitu kursus calon pengantin (SUSCANTIN). Hanya pelaksanaanya kurang maksimal. Pertama karena alokasi waktu yang sangat singkat, malah kadang prosedur itu dilewati hanya sebatas seremonial oleh pegawai KUA. Idealnya KUA atau Badan Penasehat Pembinaan Pelestarian Perkawinan (BP4) berperan lebih jauh misalnya dengan menyelenggarakan pendidikan (DIKLAT) pernikahan, dilaksanakan dalam beberapa hari dengan kurikulum yang konprehensif. Kemudian peserta yang lulus diberi sertifikat atau piagam. Sertifikat itu menjadi syarat menikah. Prosedur tersebut dituangkan dalam sebuah aturan, apakah berupa Undang-ndang, Peraturan pemerintah , atau Perda.
Keempat, faktor
keteladanan. Secara moral para orang tua, para pejabat, para guru, kaum
selebriti harus bisa memberi keteladanan kepada pasangan muda. Mereka butuh
contoh nyata. Saya sedih, melihat tayangan televisi tentang perceraian para
artis atau kaum selebriti lainnya. Trend kawin cerai mereka berdampak negatif
bagi masyarakat luas.
Hal-hal di atas tidak akan berpengaruh apa-apa bila kita
tak bergerak, diam seribu bahasa. Solusi di atas membutuhkan sentuhan tangan para
pegambil kebijakan, tokoh agama, para pendidik Agama, dan tentu para orang tua
untuk melakukan sesuatu guna menimalisir angka perceraian pada umumnya dan
kasus cerai gugat lebih khusus.Wa Allahu
‘Alam
(Dimuat di Harian Radar, Sabtu 27 Juni 2015)
(Dimuat di Harian Radar, Sabtu 27 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar