Dalam Ensiklopedia bebas bisnis adalah suatu organisasi yang
menjual barang atau jasa kepada konsumen
atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara
historis kata bisnis dari bahasa Inggris
business, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk"
dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk
mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan. Sedangkan
sekolah sebuah lembaga yang dirancang untuk pengajaran
siswa
/ murid
di bawah pengawasan guru. (https://id.wikipedia.org) Pertanyaanya
mungkinkah kita berbisnis sekolah?Menggabungkan dua kata tersebut.
Istilah bisnis sekolah memang masih
asing di telinga kita. Istilah ini
digunakan hanya untuk menyebut
sekolah yang ternyata lebih bermuatan bisnis daripada uapaya mencerdaskan
bangsa sebagaimana tujuan pendidikan nasional. Dalam UUD
1945, Pasal 31, ayat 3 menyebutkan,
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Dalam
Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Sekolah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan harusnya mengarah ke
tujuan tersebut, bukan ke arah lain untuk berbisnis meraih sebanyak keuntungan
misalnya. Apa sekolah bisa dijadikan lahan bisnis?
Sekolah
menjadi lahan bisnis
Akhir-akhir ini lembaga sekolah
bermunculan bak jamur di musim hujan, dari semua jenjang pendidikan. Kehadiran
sekolah-sekolah baru itu memunculkan tanya, apakah jumlah peserta didik tak
mampu ditampung lagi oleh sekolah yang ada? Apa mungkin karena minat belajar
masyarakat yang meningkat? Atau karena mudahnya mendirikan sekolah?
Dalam
peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 36 Tahun 2014 tentang pewndirian,
perubahan, dan penutupan satuan pendidikan dasar dan menengah Pasal 2
Pendirian dan perubahan satuan pendidikan dasar dan menengah dapat dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Pada Pasal 4 ayat 1
menyebutkan persyaratan pendirian satuan pendidikan meliputi hasil studi
kelayakan, isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan
sertifikasi dan manajemen dan proses pendidikan. Pada ayat 2 menjelaskan lebih
rinci bahwa Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendirian
satuan pendidikan harus melampirkan: a) hasil studi kelayakan tentang prospek
pendirian satuan pendidikan formal dari segi tata ruang, geografis, dan
ekologis; b) hasil studi kelayakan tentang prospek pendirian satuan pendidikan
formal
dari segi prospek pendaftar, keuangan, sosial, dan budaya; c) data mengenai
perimbangan antara jumlah satuan pendidikan formal dengan penduduk usia sekolah
di wilayah tersebut;d) data mengenai perkiraan jarak satuan pendidikan yang
diusulkan di antara gugus satuan pendidikan formal sejenis; e) data mengenai
kapasitas daya tampung dan lingkup jangkauan satuan pendidikan formal sejenis
yang ada, f) data
mengenai perkiraan pembiayaan untuk kelangsungan pendidikan
paling
sedikit untuk 1 (satu) tahun akademik berikutnya; dan g) data mengenai status
kepemilikan tanah dan/atau bangunan satuan pendidikan harus dibuktikan dengan
dokumen kepemilikan yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan atas nama Pemerintah, pemerintah daerah, atau badan
penyelenggara.
Membaca aturan di atas bukan perkara
yang mudah mendirikan sekolah itu. Tapi yang menjadi pertanyaan kenapa banyak
sekolah bermunculan bahkan di satu daerah dengan jenjang yang sama? Apa karena kelonggar
pada tataran praktek di lapangan?. Sebagai orang awam, saya menduga ada
motivasi kuat di balik pendirian sekolah-sekolah itu. Motivasinya tiada lain
karena tujuan bisnis. Untuk memperkuat asumsi di atas saya akan sebutkan
beberapa hal, pertama, sejak digulirkannya wajib belajar 9 tahun yang
berdampak logis bahwa pembiayaan peserta didik ditanggung negara atau
pemerintah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS) memberi rangsangan
tersendiri pada masyarakat untuk membangun dan mendirikan sekolah. BOS dihitung
persiswa. Setelah dihitung, bila siswanya banyak maka sekolah akan dengan mudah
beroperasi, bisa menarik tenaga kerja, bisa jadi pihak sekolah memperoleh dana lebih pada akhir tahun, dalam
dunia bisnis biasa disebut dengan keuntungan atau laba.
Kedua, mencari murid
sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara. Karena kuncinya ada pada
jumlah murid seperti disinggung sebelumnya maka sekolah mengupayakan berbagai
cara untuk memperoleh murid lebih banyak lagi. Dorongan bisnis yang membuat
buta, menghalalkan segala cara seperti dengan memberi uang jasa persiswa bagi
orang yang membantu mencarikan murid. Praktek percaloan yang tak elok dan tak
etis mewarnai penerimaan siswa baru (PSB) baik sekolah yang dikelola swasta
maupun sekolah negeri.
Ketiga, sejak sektor pendidikan
dianggarkan oleh pemerintah sebanyak 20 persen dari APBN, sekolah yang menjadi
bagian pentinng dunia pendidikan tentu mendapatkan imbasnya berupa mengalirnya
sejumlah proyek, bantuan dengan berbagai jenisnya dari bantuan siswa miskin,
rehab, pengadaan lokal baru, dan lainnya. Hal ini mendorong sekolah-sekolah
swasta juga sekolah negeri untuk beramai-ramai mengajukan proposal ke
pemerintah. Proyek-proyek itu dijadikan oleh oknum sebagai sesuatu yang
menguntungkan.
Sebatas
ajakan moral
Mendirikan sekolah tidak dilarang
selagi memenuhi ketentuan yang berlaku. Hanya lebih baik kalau kita
memberdayakan yang sudah ada. Kecuali sekolah yang ada tak mampu menampung
siswa lagi. Kemudian pendirian sekolah
harus dengan niat yang baik, tulus membantu pemerintah dalam
mencerdaskan dan menyiapkan generasi mendatang, bukan bermotifkan bisnis. Sebab
perbuatan itu akan menghasilkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Nabi Muhamad SAW
menegaskan, sesungguhnya amal perbuatan itu bergantung pada niatnya. Wa
Allahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar