Setiap kali saya berada di
Blitar, kota kelahiran proklamator kita, bapak bangsa kita, penggali Pancasila,
Bung Karno, hati saya selalu bergetar. Kalimat ini memposisikan presiden Jokowi
menjadi bahan cibiran publik dan khalayak umum. Presiden salah menyebut tempat
lahir Bung Karno dalam pidato kenegaraan memperingati hari kesaktian Pancasila
1 Juni 2015 lalu di Blitar. Seharusnya Surabaya, beliau menyebutnya Blitar.
Reaksi beragam bermunculan. Sebagian menanggapi dengan sinis, sementara lainnya
memaklumi. Tulisan ini tidak ingin memperpanjang pro-kontra tapi lebih pada mengambil hikmah dan
pembelajaran untuk semua elemen bangsa di masa yang akan datang.
Sebenarnya pihak istana sudah
memberikan klarifikasi. Adalah Sukardi Rinakit yang menyatakan bertanggung
jawab sebagai pembuat naskah pidato. Menurut Sukardi saat naskah itu disusun,
Presiden sempat memastikan lokasi kelahiran Bung Karno. Ketika itu, Jokowi
menyebut bahwa lokasi kelahiran Bung Karno yang diketahuinya adalah Surabaya. Presiden
waktu itu meminta saya untuk memeriksa karena seingat beliau, Bung Karno lahir
di Surabaya. Tanpa memeriksa lebih mendalam dan saksama, saya menginformasikan
kepada Presiden bahwa Bung Karno lahir di Blitar. Sukardi mengaku menggunakan situs Tropenmuseum.nl,
yang menyebutkan bahwa Bung Karno lahir di Blitar.
Membicarakan permasalahan di atas saya
teringat pepatah Arab, summiyal insanu
insanan linisyanihi. Artinya, manusia disebut manusia karena mudah dan
cepat lupa. Sehebat apapun yang namanya manusia pasti pernah lupa, juga salah.
Tapi tentu bukan kesalahan yang disengaja atau yang dibuat-buat. Demikian Juga
presiden Jokowi sebagai manusia tentu tak luput alpa, lupa, juga salah. Kalau
menurut agama yang penting bagi orang yang bersalah adalah mempertanggung
jawabkan dan meminta maaf. Rasulullah SAW bersabda, Setiap bani Adam pernah
bersalah dan sebaik-baik orang bersalah adalah meminta maaf (bertaubat). Sampai
di sini saya kira selesai persoalaanya. Tapi tidak bijak bila kita tak
mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa itu.
Catatan ke depan
Untuk mengambil hikmah dan pelajaran,
ada beberapa catatan sebagai bahan kajian agar kejadian serupa tak menimpa
presiden di masa mendatang. Pertama, sebagai
orang nomor satu di republik ini idealnya presiden tanpa cacat dan cela dalam
setiap ucapan, tindakan, dan perbuatan. Presiden harus menjadi teladan bagi
rakyatnya. Untuk itu segala hal yang berkaitan dengan presiden harus disiapkan,
direncanakan secara matang dan teliti. Pihak-pihak yang berada di sekeliling
presiden seperti pengelola istana, para
menteri sebagai pembantu presiden, para staf, team ahli, pegawai keprisidenan, protokoler,
semuanya memiliki tanggung jawab moral agar presiden terjaga dari salah, lupa
sekecil apa pun. Sebagai kepala negara dan pemerintahan presiden disiapkan team
berlapis menurut bidang dan sektor masing-masing. Ke depan harusnya kesalahan
tidak boleh terjadi lagi. Kejadian ini harus dijadikan bahan evaluasi dan
intropeksi bagi semua orang yang memiliki peran dan tanggung jawab terkait
dengan presiden.
Kedua, sanksi
tegas. Pak Jokowi sebagai presiden harus tegas dan memberi sanksi kepada mereka
yang melakukan kesalahan. Ketegasan diharapkan menjadi warning atau peringatan
agar mereka bekerja hati-hati, teliti, tentu profesional. Sanksi dapat berupa
teguran keras, bila dianggap perlu pemecatan. Kenapa? Karena presiden bukan
seperti pak RT, pak RW, pak Lurah yang bila terjadi kesalahan baik teknis,
ucapan, protokoler masih dapat ditolerir oleh publik.
Ketiga,
membangun
budaya mundur dari jabatan sebagai bentuk tanggung jawab. Mengakui kesalahan
sebenarnya sudah langkah maju di tengah budaya masyarakat yang hanya berebut
muka saat ada prestasi, saling melempar kesalahan saat ada sorotan. Tapi lebih
jauh dari itu, mundur dari jabatan saat melakukan kesalahan itu pasti sangat
terpuji. Pastinya tidak semua kesalahan. Kesalahan yang menurut ukuran standar
memiliki bobot berat baik secara moral apalagi di hadapan hukum. Untuk kasus Sukardi Rinakit, sebaiknya yang
bersangkutan mengukur diri. Apa harus mundur atau tidak? Di sini sensitifitas
moral mengambil peran, apalagi desakan publik juga cukup kuat.
Keempat, gaya kepemimpinan dan komunikasi Jokowi
yang low profil, sederhana, yang menurut Nurul Ibad Ms (2015) dalam bukunya, Jokowi dalam Cermin Dunia berbeda
dengan gaya kepemimpinan para pemimpin di Indoenesia sebelumnya jangan menjebak
protokoler presiden menjadi kendor, tidak teliti, apalagi cenderung
asal-asalan. Gaya kepemimpinan, komunikasi setiap presiden memang berbeda, tapi
standar baku protokoler harus sama. Bisa jadi kesalahan berikutnya berada di
wilayah protokoler istana. Kesalahan pada penulisan naskah pidato presiden
seperti sekarang harus menjadi peringatan untuk semua, termasuk protokoler
keprisidenan.
Catatan
dia atas harus menjadi pembelajaran buat kita semua, elemen bangsa. Pengalaman
ibarat guru terbaik, semestinya banyak menuntun agar tidak terjebak pada
kesalahan yang sama. Dan orang bijak pasti tak akan masuk dalam lubang yang
sama. SEMOGA.
(Tulisan dimuat di Radar Cirebon, Senin 10 Juni 2015)
(Tulisan dimuat di Radar Cirebon, Senin 10 Juni 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar