Sabtu, 27 Februari 2016

Paspor Hitam DPR, Untuk Apa?


          DPR RI kembali berulah. Melalui Komis I, mereka meminta paspor hitam ke Kementerian Luar negeri untuk 560 anggota parlemen. Hal itu disampaikan dalam rapat tertutup Rabu (10/2). Sebenarnya ini bukan yang pertama kalinya. Sebelumnya DPR pernah meminta hal yang sama namun belum ditanggapi oleh Kemenlu. Paspor hitam merupakan sebutan untuk paspor diplomatik. Dalam wikipedia.org disebutkan bahwa paspor diplomatik  diterbitkan bagi sebagian orang   guna mengidentifikasi mereka sebagai perwakilan diplomatik dari negara asalnya. Karena itu, pemegang paspor ini menikmati beberapa kemudahan perlakuan dan kekebalan di negara tempat mereka bertugas. Di Indonesia, paspor ini diberi sampul berwarna hitam dan dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri.
          Permintaan di atas diamini oleh Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Menurutnya, paspor hitam tak akan bisa digunakan untuk kegiatan selain urusan diplomatik. Selama ini hanya pimpinan DPR saja yang mendapatkan fasilitas tersebut dari kalangan legislatif. Namun demikian Fadli tak mendesak kepada pemerintah untuk menerbitkan paspor diplomatik untuk anggota DPR. Dia hanya menekankan bahwa penggunaan paspor diplomatik hanya teknis belaka. (https://news.detik.com)
          Berbeda dengan Fadli Zon, politisi Partai Demokrat menolak dengan tegas usulan tersebut. Menurut Ruhut, bahaya kalau anggota DPR terlalu dilindungi. Apalagi paspor diplomatik bisa menghambat penegakan hukum terhadap anggota DPR selama di luar negeri. Ruhut pun meminta rekan-rekannya di Komisi I DPR tidak memaksakan meminta paspor hitam. Karena DPR harus memberi teladan kepada masyarakat.
          Argumentasi DPR terkait paspor hitam tersebut adalah amanah undang-undang.  Bahwa DPR punya tugas diplomatik sehingga berhak memperoleh paspor diplomatik. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Komisi I, Mahfud Siddiq. Menurutnya, selama ini Kemenlu hanya memberikan paspor hitam kepada pimpinan DPR. Padahal pejabat eselon III di Kemlu saja sudah menggunakan. Terkait kekhawatiran penyalahgunaan paspor hitam oleh anggota DPR RI, menurut Mahfudz terlalu berlebihan. Paspor hitam tidak bisa selalu digunakan, harus ada exit permit, kemudahan secara protokoler.
Bagaiaman aturanya?
Kementerian Luar Negeri belum mngabulkan permintaan anggota Dewan. Alasanya tidak ada aturan yang mengatur tetntang hal tersebut. Dalam Pasal 37 PP Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian, disebutkan sejumlah posisi yang berhak mengantongi paspor hitam. Di antaranya adalah pejabat setingkat menteri. Berikut aturan lengkapnya: Pertama, paspor diplomatik diberikan untuk warga negara Indonesia yang akan melakukan perjalanan keluar Wilayah Indonesia dalam rangka penempatan atau perjalanan untuk tugas yang bersifat diplomatik. Adapun warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. ketua dan wakil ketua lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  c. menteri, pejabat setingkat menteri, dan wakil menteri; d. ketua dan wakil ketua lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang; e. kepala perwakilan diplomatik, kepala perwakilan konsuler Republik Indonesia, pejabat diplomatik dan konsuler; f. atase pertahanan dan atase teknis yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Luar Negeri dan diperbantukan pada Perwakilan Republik Indonesia; 
g. pejabat Kementerian Luar Negeri yang menjalankan tugas resmi yang bersifat diplomatik di luar Wilayah Indonesia; dan  h. utusan atau pejabat resmi yang ditugaskan dan ditunjuk mewakili Pemerintah Republik Indonesia atau diberikan tugas lain yang menjalankan tugas resmi dari Menteri Luar Negeri di luar Wilayah Indonesia yang bersifat diplomatik.
Kedua, selain diberikan kepada warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Paspor diplomatik juga dapat diberikan kepada:
a. isteri atau suami Presiden dan Wakil Presiden beserta anak-anaknya;
b. isteri atau suami dari warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf  c, yang mendampingi suami atau isterinya dalam rangka  perjalanan untuk tugas yang bersifat diplomatik; c. isteri atau suami dari para pejabat yang ditempatkan di luar Wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f beserta anak-anaknya yang berusia paling tinggi 25 (dua puluh lima) tahun, belum kawin, belum bekerja, dan masih  menjadi tanggungan yang tinggal bersama di wilayah akreditasi; atau
d. kurir diplomatik. Kemudian dalam Pasal 38 Paspor diplomatik dapat diberikan sebagai penghormatan kepada mantan Presiden dan mantan Wakil Presiden beserta isteri atau suami.
Saran
          Sebagai bagian dari rakyat yang mencintai wakil-wakilnya di parlemen, saya menyarankan kepada mereka  hal-hal berikut. Pertama, sudahlah, fokus bekerja. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Coba  berpikir seperti para pendahulu, apa yang dapat kita berikan kepada bangsa dan negara? Jangan dibalik, apa yang dapat negara dan bangsa berikan kepada kita? Saatnya fokus menyelesaikan prolegnas yang menumpuk. Mari dukung tekad Ketua DPR RI yang baru, Ade Komaruddin yang menyatakan akan fokus pada legislasi. Bukankah selama ini DPR baru bisa menyelesaikan tiga Undang-Undang?
          Kedua, pertimbangkan kepentingan yang lebih besar yakni bangsa dan negara. Saya melihat anggota Dewan yang terhormat kerapkali berputar-putar pada kepentingan mereka. Coba perhatikan wacana rehab gedung, kenaikan tunjangan, dana aspirasi, termasuk revisi UU KPK disinyalir sebagai upaya pelemahan dan proteksi diri  dari sentuhan hukum  KPK. Padahal banyak permasalahan rakyat yang membutuhkan perhatian dan kerja keras mereka prihal legislasi misalnya.
          Ketiga, ingat janji kepada pemilih. Sebagai wakil rakyat, anggota dewan seyogyanya selalu ingat janji yang pernah disampaikan pada konstituen. Jangan lupakan mereka. Anda ada di parlemen saat ini karena suara yang diberikan oleh mereka.
          Walhasil, permintaan paspor hitam oleh DPR dipandang oleh rakyat sebagai sesuatu yang  tak perlu, tidak dalam konteks yang tepat. Guru Besar Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana  menegaskan, tidak perlu (anggota DPR punya paspor diplomatik) kecuali ada tugas kenegaraan. Ini karena paspor diplomatik ada pengaturannya secara internasional terkait siapa yang berhak menggunakannya. Karenanya, bagi anggota DPR selayaknya mengurungkan niat, menuntut paspor hitam. Lebih baik fokus bekerja, menginggat janji-janji yang telah terucap di depan pemilih dengan berkonsentrasi merealisasikannya. Kesejahteraan dan persoalan rakyat harus dikedepankan di atas  segala kepentingan. Wa Allahu Alam


Menyoal Koalisi Tambun


          Ramai-ramai partai-partai yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) menyatakan dukungan ke Pemerintahan Jokowi-JK. Koalisi yang awalanya menyatakan diri sebagai koalisi permenanen itu nyaris tak berpenghuni ditinggal anggotanya. Partai Amanat Nasional (PAN) mengawali, disusul Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), juga Partai Keadilan sejahtera (PKS) walau secara malu-malu menyatakan mendukung Pemerintah. KMP hanya tersisa Gerindra. Kalau uluran tangan mereka disambut,  dipastikan koalisi Pemerintah menjadi gemuk, tambun.
Dalam sistem bernegara, kita tak mengenal Koalisi. Namun tidak berarti semangat dan spririt koalisi tidak perlu. Berdasarkan pengalaman selama Orde Baru  pelaksanaan prinsip checks and balances dinilai tidak seimbang. Kekuasaan Pemerintah (ekskutif) rellatif sangat dominan sehingga tak terkontrol. Akhirnya Pemerintahan dijalankan secara diktator.
          Itulah sebabnya amendemen UUD 1945 dilakukan untuk menciptakan tata hubungan yang lebih harmonis dan adil. Dengan penerapan sistem checks and balances, pemerintahan akan stabil karena dijalankan secara efektif dan efisien untuk memenuhi tujuan negara seperti yang telah digariskan dalam konstitusi.
          Koalisi tambun satu sisi menguntungkan Pemerintah karena barisannya lebih kuat yang secara otomatis mempermudah dalam setiap pengambilan kebijakan tanpa harus adu argumentasi di Parlemen yang menguras energi seperti yang selama ini dirasakan oleh Pemerintahan Jokowi-JK.
          Tapi gambaran indah seperti di atas kerapkali tidak terwujud karena adanya persoalan internal Pemerintahan. Gangguan dan rintangan tidak lagi di Parlemen tapi justru muncul di dalam Pemerinatahan. Kepentingan partai pendukung yang sangat beragam menjadi kendala yang lumayan serius, yang bisa menghambat laju cepat pelaksanaan pembangunan.
          Berdasarkan pengalaman sebelumnya di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono telah menunjukkan bahwa koalisi tambun tidak menjamin roda pemerintahan berjalan efektif. Kita menyaksikan di antara anggota koalisi saling sikut, saling berkonfrontasi, menyandera, bahkan berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Hal-hal seperti ini yang mengkhawtirkan kita semua terhadap apa yang disebut kolisi tambun.
Barisan KMP seperti  PAN, Golkar, PPP dan laiinya memang bertekad merapatnya mereka ke barisan partai pendukung pemerintah membawa misi agung demi kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara. Namun, sulit untuk dimungkiri bahwa di 'panggung belakang' mereka bergerilya dan bernegosiasi untuk meraih hal-hal di luar misi mulia tersebut. Ambisi mereka meraih kekuasan tak dapat ditutupi. Publik dengan mudah memahami seperti dalam isu rushufle kabinet jilid II beberapa waktu lalu.
Jokowi harus tegas
          Kekhawatiran rakyat terkait koalisi tambun harus disikapi oleh Presiden Jokowi. Jangan sampai rakyat kecewa. Kenapa? Saya masih ingat saat kampanye Pilpres, Jokowi menjanjikan kolaisi ramping dengan selogan koalisi tanpa syarat. Waktu itu Jokowi  terlihat tidak membutuhkan Parpol. Jokowi sangat percaya diri dengan dukungaan rakyat yang sangat besar. Sekarang rakyat menanti sikap tegasnya terkait keinginan parpol-parpol merapat ke Pemerintah.
Jokowi harusnya tidak menampung semua keinginan Parpol. Parpol sepatutnya diuji terlebih dulu, apa betul keinginan bergabung dengan pemerintah untuk kepentingan rakyat? Atau sebenarnya mereka sedang mengincar jatah, “kue pembangunan”? Ketulusan mereka harus dibuktikan. Jika ada Parpol yang sedari awal saja sudah meminta bahkan mentarget posisi menteri, maka Jokowi sepantasnya mengabaikann. Karena Parpol semacam ini yang kelak menjadi benalu di kabinet. Atau Parpol yang dari awal sangat keji menyerang dengan berbagai fitnah, sepatutnya Jokowi tidak meladeni bujuk rayu mereka. Karena perubahan sikap yang sangat mencolok itu tidak mungkin bila tidak dilatarbelakangi motif tersembunyi yang bisa jadi menjadi tujuan utamanya.
Kenapa khawatir?
          Ada beberapa alasan, menurut hemat saya kenapa kita khawatir terhadap koalsisi tambun, pertama, kekuasaan yang terlampau absolut, tanpa kekuatan penyeimbang, sangat rawan diselewengkan. Begitu pun dengan pemerintah yang terlalu jemawa, amat mungkin jalan mereka lebih mudah salah arah. Demokrasi tersesat. Ujung-ujungnya seluruh negeri ini yang bakal kena getah.
          Kedua, oposisi atau apa istiliahnya dapat berfungsi sebagai pengontrol, pengawas setiap kebijakan pemerintah. Sistem checks and balances yang dilakukan oposisi di Parlemen diharpkan dapat mengendalikan, mengontrol Pemerintah di rel yang dimaui rakyat. Pemerintah bisa saja keluar rel bila tidak ada pihak yang menjadi pengawasnya. Karena idealnya agar checks and balances berjalan dengan seimbang komposisi pemerintah dan oposisi berada pada 50-50 persen dari komposisi kekuatan parpol yang ada. Bolehlah Pemerintah lebih sedikit.
Ketiga, karena diawasi, diplototi, Pemerintah akan selalu waspada, bekerja dan bekerja. Pemerintah akan hati-hati jangan sampai kebijakanaya tidak menguntungkan rakyat. Pemerintah tak bisa santai apalagi tidur sebab oposisi di Parelemen selalu memolototi setiap apa yang dilakukan. Dan koalisi tambun bisa mengubah dari kerja keras menjadi lebih santai, ritme kerja menjadi lamban sebab Pemerintah merasa tidak ada yang ditakuti. Tidak ada oposisi.
Keempat,  koalisi tambun dikhawatirkan Pemerintahan tidak akan berjalan  efektif. Hal ini yang pernah dialami Partai Demokrat selama 10 tahun berkuasa, di mana Presiden SBY selalu terlibat tarik ulur kepentingan dengan partai-partai pendukungnya dalam menelurkan setiap kebijakan.
Akhir kata, koalisi tambun menjadi kekhawatiran bagi rakyat sekarang setelah parpol di  KMP ramai-ramai menyatakan dukungan ke Jokowi – JK. Jokowi sepatutnya tegas menolak parpol bila mamang dipanndang tak perlu. Koalisi ramping seperti sekarang membuat langkah Pemerintah lebih cepat. Walau diakui kegaduhan di Parlemen akibat ula oposisi di Parlemen membuat rakyat muak sebab kritik dan pengawasan mereka kebablasan. Sekarang saatnya Presiden memilih parpol yang ada (menyatakan dukungan) yang diyakini bisa diajak kerja sama. Satu partai lagi saya pandang cukup untuk memberi keseimbangan dan mengurangi kegaduhan. Wa Allahu Alam


Sabtu, 13 Februari 2016

Radikalisme dan Tantangan Pendidikan Kita


          Radikalisme sebenarnya sangat tidak relevan bila dikaitkan dengan agama. Pasalnya tidak ada agama yang mengajarkan cara-cara kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan para terorisme berpaham radikalisme itu lebih dimaknai sebagai sebuah pencatutan. Artinya nilai-nilai agama yang suci telah digunakan untuk sebuah kepentingan kelompok tertentu.
          Kenapa memilih agama? Karena agama merupakan bagian  terpenting dalam kehidupan manusia. Sehingga dengan memilihnya sebagai alat, tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud dengan cepat.  Mengatasnamakan agama mempermudah kelompok-kelompok radikal meraih tujuan sejatinya. Jadi bohong besar bila radikalisme dengan segala aksi kekerasannya itu dilakukan untuk tujuan membela, memperjuangkan agama. Agama sekadar dimanfaatkan kekuatan massifnya yang bisa diarahkan sesuai tujuan yang diinginkan.
          Lalu apa motiif para terorisme sebenarnya, yang telah melakukan kekerasan dan menebar rasa takut itu? Saya melihatnya dua hal yang paling menonjol. Pertama, motif politik. Kedua, motif ekonomi. Terkait poliitik misalya, belakangan Hearly Clinton mengakui bahwa Al Qaida diciptakan Amerika untuk mengikis dominasi pengaruh Uni Soviet di Afganistan saat itu.  Bagaimana dengan ISIS? Sama saja. Buktinya gerakan mereka sangat beraroma ambisi kekuasaan. Mereka merebut paksa wilayah negeri berdaulat Irak dan Syiria.
          Politik tentu terkait dengan ekonomi. Hubungan itu tercermin pada kenyataan bahwa kekuasaan akan mendatangkan kemapanan ekonomi atau kesejahteraan. Bahrun Naim, yang diduga sebagai otak pengeboman Sarinah bisa jadi sedang menikmati berbagai kemewaan hidup di Syiria saat anak buahnya harus ikhlas melepas nyawa mereka dengan iming-iming surga. Sembari menikmati roti, mereguk anggur, didampingi para wanita cantik dia  menyaksikan Jakarta panik, polisi dituduh kecolongan, masyarakat luas cemas dan takut.
          Kemudian radikalisme juga akan cepat tumbuh subur saat ketimpangan ekonomi sangat mencolok, korupsi menggurita, hukum tidak berdiri tegak menjungjung keadilan dan pemerintah telah menyimpang dari tujuan bernegara. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, saat mengomentari peristiwa sarinah menegaskan bila negara  dijalankan sesuai tujuan bernegara dan bermasyarakat dan sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa ini, tentu terorisme tak akan muncul. Mereka akan layu sebelum berkembang.(http://www.dpp.pkb.or.id/)
Berpendidikan rendah
          Para elit teroris seperti Bahrun Naim  terlebih tokoh utamanya Abu Bakar Al Bagdadi telah menggapai apa yang dicita-citaakan berupa kekuasaan dan kemapanan ekonomi. Tapi sebaliknya, para pengantin jihad hanya menjadi tumbal. Mereka korban penipuan bertopeng agama. Dijanjikan surga, mereka rela megakhiri hidupnya. Menjadi martir  bom bunuh diri, mereka meyakini seluruh dosanya terhapus. Sambil meneriakan “Allahu Akbar” menebar teror, mereka meyakini mengakhiri hiidup dengan jihad di jalan Allah.
          Dan sedihnya, berdasarkan fakta yang ada mereka yang menjadi tumbal adalah mereka yang berpendidikan rendah, berekomian tak mapan, dan tak bahagia karena berbagai kesulitan hidup. Dalam kasus Sarinah misalnya, mereka rata-rata berpendidkan SLTP, bekerja serabutan. Mereka cerminan masyarakat ekonomi kelas bawah. Keterbatasan pendidikan yang dienyam, membuat mereka miskin nalar. Mereka dengan mudah termakan bujuk rayu, terbius oleh seorang yang dianggap sebagai ustadz yang ahli agama. Selanjutnya proses cuci otak menjadikan tekad mereka meraih surga mengkristal.
Tantangan dunia pendidikan
          Latar belakang di atas, menjadi tantangan serius bagi pemerintah terlebih khusus dunia pendidikan kita. Dunia pendidikan selayaknya menekan angka putus sekolah. Pemerintah harus merencanakan lebih cepat meningkatkan wajib belajar menjadi 12 tahun. Berdasarkan data yang disampaikan oleh  Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas Nina Sardjunani dalam Seminar Daya Tawar Pemuda dalam Dunia Kerja, Rabu lali (20/1), rata-rata tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih berada di kisaran yang sangat rendah, yaitu baru tingkat pertama SMP. Ukuran pendidikan pada tingkat populasi dengan ukuran rata-rata lama sekolah usia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,2 tahun. Jadi, artinya penduduk Indonesia baru kelas 1 SMP. Ini yang mustinya segera disikapi oleh dunia pendidikan kita.(http://edukasi.kompas.com/)
Selain itu, dunia pendidikan juga hendaknya mewaspadai masuknya pemahaman radikalisme di sekolah. Kehati-hatian ini tak berlebihan. Sudah terbukti pedidikan kita telah kecolongan. Masih segar dalam ingatan, beberapa waktu lalu Kemendikbud mengaku  kecolongan dengan masuknya materi beraroma radikalisme pada buku pegangan  siswa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam  dan Budi Pekerti SLTA di beberapa daerah Jawa Timur. Buku  untuk SMA/MA/SMK/MAK kelas XI, Kurikulum 2013, Cetakan 2014 dengan kontributor naskah Mustahdi dan Mustakim, penelaah Yusuf A Hasan dan Moh. Saerozi, penerbit Pusat Kurikulum Perbukuan, Balitbang Kemdndikbud  itu akhirnya ditarik  dari peredaran.
Paling mutakhir, Gerakan Pemuda (GP) Ansor menemukan buku-buku untuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang mengandung kalimat-kalimat berisi bentuk-bentuk terorisme dan radikalisme. Dalam buku berjudul Anak Islam Suka Membaca, ditemukan pemggalan kata dalam kalimat bermuatan ajaran radikalisme. Seperti pada jilid lima, ada kata-kata "sa-hid di me-dan ji-had" serta "se-le-sai ra-ih ban-tai ki-yai". Pada jilid empat, ada kata-kata, "mu-na-fik", "bom", dan "ha-ti ha-ti man-haj ba-til". Pada jilid ketiga ada kalimat "ge-ga-na a-da di-ma-na", "re-la ma-ti de-mi a-ga-ma", "ki-ta se-mu-a be-la a-ga-ma", "ba-zo-ka di-ba-wa la-ri", dan "ha-ti ha-ti zo-na ba-ha-ya".  (http://news.okezone.com/)
Ini harus diwaspadai bersama. Ke depan sekolah harus bisa mengantisipasi masuknya radikalisme lebih dini. Untuk itu menurut hemat saya, sekolah harus lebih selektif menentukan buku bacaan peserta didik, melakukan sosialisasi bahaya radikalisme, memberdayakan masjid atau mushollah sekolah sebagai pusat kegiatan ke-Islaman, memproteksi organisasi kesiswaan seperti OSIS, Rohis (Rohani Islam), mengembangkan toleransi dan menanamkan hidup plural, dan menyelenggarakan kegiatan khusus terkait bahaya paham radikalisme dengan bekerja sama Kepolisian, MUI, dan wali siswa.
          Akhir kata, redikalisme jelas bukan untuk memperjuangkan agama. Radikalisme hanya memperlat agama. Radikaliseme sebatas idiologi kekerasan bertopeng agama. Tidak ada agama yang mengajarkan cara-cara kekerasan seperti diajarkan radikalisme. Dan salah satu sebab tumbuh kembangnya radikalisme adalah rendahnya pendidikan sebagian masyarakat sehingga mereka menjadi miskin nalar. Dan pada akhirnya mudah terpengaruh  terhadap ajakan bergabung pada ajaran radikal. Dan itu semua menjadi tantangan nyata dunia pendidikan kita. Wa Allhu ‘Alam



Gambar Bercerita Lejitkan Kreatifitas Anak


          Istri saya mengeluh, kenapa anak kami yang kedua jika materi menggambar, yang digambar selalu matahari. Tidak pernah menggambar yang lain. Padahal ibunya sering menasihati,  coba nak gambar yang lain. Tetap saja, matahari yang digambarnya. Dalam hati, saya bertanya apa anak ini seperti ayahnya, tidak bisa menggambar? Bukankah seperti yang diyakini banyak orang menggambar itu butuh bakat?
          Terkait masalah ini,  saya mengatakan ke istri untuk mengusulkan ke gurunya agar tidak memerintahkan peserta didik dengan menggambar bebas. Pasalnya, berdasarkan pantauan istri, guru-guru di TK tersebut selalu membebaskan anak dalam menggambar. Menjadi rahasia umum menggambar bebas itu sangat disukai oleh peserta didik. Karena dengan tidak menentukan tema, mereka dapat menggambar apa saja. Dan pasti yang dipilih adalah tema  yang dirasakan bisa dan disukai. Dan sayangnya, saran istri saya diabaikan. Saya menduga, guru-guru itu merasa kesulitan kalau harus menggambar dengan tema berbeda dalam setiap minggu. Sejak itu, saya melatihnya menggambar.
          Kemaren minggu (24/1), bertempat di salah satu hotel di Cirebon saya mengikuti seminar pendidikan dengan tema Gambar Bercerta melejitkan Kreatifitas Anak. Seminar yang diselenggarakan oleh Auliyah Kids Centre itu mendatangkan pakar gambar bercerita, Luna Setiati. Keyakinan bahwa menggambar membutuhkan bakat ternyata salah, menyesatkan. Luna Setiati menegaskan, gambar bukan persoalan bakat, karena setiap anak bisa menggambar. Lalu kenapa ada anak yang tidak senang menggambar dan akhirnya merasa tidak bisa menggambar? Jawabanya karena tidak belajar dan berlatih. Ya, menggambar tak perlu bakat tetapi butuh belajar dan berlatih.
          Kemudian apa gambar bercerita itu? Menurut Luna Setiati (2015),  gambar bercerita adalah gambar yang memiliki bahasa rupa anak dan bahasa rupa anak adalah cara kreatif anak menggambarkan ceritanya. Dengan demikian gambar bercerita baik yang dibuat oleh penggambar dewasa maupun oleh anak memegang peranan penting dalam proses belajar anak. Proses pembinaan kreatifitas ini terjadi ketika anak menatap gambar bercerita secara mandiri (tanpa bantuan tulisan) dan ketika memahami sebuah tulisan.
          Yang membedakan gambar bercerita dan cerita bergambar adalah bahasa rupa. Sedangkan bahasa rupa itu bisa berbentuk rebahan, image jamak, transparansi, cara kembar, juga obyek terpenting diperbersar. Singkatnya, bila tidak ada bahasa rupa dipastikan itu bukan gambar bercerita.
          Sekarang bagaimana kreatifitas dalam gambar bercerita diimplementasikan di dunia pendidikan kita? Luna Setiati menjawab bahwa gambar bercerita tidak banyak diterapkan kalau tidak menyebutnya tidak sama sekali. Padahal sejarah menunjukkan perjalanan jejak pola pendidikan dengan rupa dan dalam rupa itu hadir sebagai bagian budaya sejak jaman prasejarah sampai tradisi di Indonesia. Dimulai ketika huruf ditemukan dan mesin cetak mulai dikembangkan, gambar semakin lama semakin hilang dan lambat laun fungsinya jadi terabaikan. Gerakan ayo membaca dan menulis yang dikampanyekan untuk memberantas buta huruf yang tinggi di Indonesia menjadi bukti bahwa dampak budaya literasi aksara di Indonesia yang masuk di era modern masih sangat kuat dalam pola pendidikan kita.
Melejitkan Kreativitas
          Menggambar itu sangat membantu dalam menumbuhkan kreatifitas anak. Menggambar merupakan salah satu sarana untuk mengekspresikan kreativitas manusia. Menggambar sudah dilakukan oleh anak-anak kita sejak usia 1-2 tahun.  Anak seusia itu bila diberi pensil maka selalu melakukan coret-coretan. Coretan merupakan ekspresi kreatifitas yang bersifat awal. Semakin lama, sejalan dengan bertambahnya usia, akan berkembang menjadi bentuk yang semakin jelas dan variatif. Melalui gambar, anak mengungkapkan apa yang dirasakan, dipikirkan dan dialaminya. Begitulah, sangat mengagumnkan ekpresi kreatifitas anak melalui menggambar.
Berdasarkan penelitian Prof Dr. Primadi Tabrani, guru besar Seni Rupa dan Desain ITB Bandung, yang berkonsentrasi tentang bahasa rupa anak dan peran kreatifitas dalam humanitas menunjukkan adanya hubungan antara gambar dan kreatiftas dalam proses belajar anak. Sedangkan Luna Setiati sendiri telah merneliti dan penelitian itu menunjukkan pentingnya dua fungsi utama gambar bercerita sebagai pembawa pesan aktif dalam menatap gambar dan fungsi gambar sebagai penjelas tulisan dalam belajar membaca.
Krearifitas anak akan muncul melalui gambar bercerita bercirikan hal-hal berikut diantaranya,  pertama, menjadi peka dan luwes. Anak menjadi sangat peka terhadap peristiwa yang ada di hadapannya. Ungkapan terhadap perisitiwa yang dilaluinya itu dituangkan dalam gambar bercerita. Mereka juga menjadi lebih luwes dalam menggambarkan sebuah peristiwa.
Kedua, orginilitas dan redefinisi. Anak akan bersikap secara orsinil, asli tak dibuat-buat. Pengamalan menggambar bercerita mengajarkan dengan kuat tentang makna orginilitas. Karenanya dalam proses menggambar bercerita, pendamping baik oleh guru atau orang tua tidak disarankan mengajari atau mendikte. Biarkan mereka mengembangkan kreatifitasnya secara orsinil. Kemudian melalui gambar bercerita, anak bisa meredifinisi atau memaknai ulang sebuah peristiwa. Tentu dalam bentuk gambar bercerita.
Keriga, mampu memetakan masalah. Memetakan masalah bukan sesuatu yang mudah. Orang dewasa saja kadangkala tak bisa melakukkannya. Sehingga mereka mencapuraduk persoalan. Maka dipastikan penyelesaian masaalah menjadi lebih sulit. Dalam kegiatan menggambar bercerita, anak dilatih memetakan peristiwa yang dihadapi, dituangan dalam bentuk gambar. Saat mengurai cerita dalam gambar, anak tersebut dapat dengan mudah menjelaskan, menceritakan.
Keempat, elaborasi atau kemampuan mengembangkan masalah. Dalam gambar bercerita anak dengan sendirinya mengembangkan masalah atau perisitiwa. Maka biasanya gambar bercerita itu lebih banyak variasi, beragam bentuk. Anak dengan sesukanya menuangkan cerita dalam gambar.
Di samping hal-hal di atas gambar bercerita juga membantu anak dalam membaca tulisan (literasi). Karena bahasa rupa dan literasi itu saling berhubungan. Menurut Prof Dr. Primadi Tabrani (2015), rupa dan kata saling berkaitan dan mendukung dalam proses belajar. Rupa dan kata, keduanya tidak bisa berdiri sendiri, karena menggambar dan menatap gambar perlu dituturkan ceritanya, membaca dan menulis perlu dibayangkan pesan atau maknanya. Memahami pesan dan makna seseorang harus menggunakan imajinasinya dan dalam proses menangkap pesan dan makna seseorang harus kreatif. 
Akhir kata, gambar bercerita sangat bermafaat bagi anak. Gambar bercerita dapat melejitkan kreatifitas anak. Dalam aktivitas (baca:belajar0 menggambar bercerita, anak membutuhkan pendampingan. Pendampingan dilakukan oleh orang tua di rumah, guru di sekolah. Dalam pendampingan guru dan orang tua bukan untuk mengajari atau mendikte anak. Tapi pendampingan hanya untuk memotifasi dan memfasilitasi. Tidak lebih. Sehingga anak dengan bebas menuangkan imajinasinya dalam gambar bercerita. Wa Allu Alam