Selasa, 26 Mei 2015

MENIMBANG PENGAPUSAN SKRIPSI



          Kabinet pemerintahan Jokowi-JK belum genap setahun tapi berbagai gebrakan telah dilakukan. Gebrakan yang mengejutkan banyak pihak itu diambil oleh para pembantunya, tentu mengikuti arahan presiden. Adalah menteri Susi Pujiastuti, walau awalnya diragukan banyak orang keberaniannya membakar dan menenggelamkan kapal-kapal asing membuat rakyat tercengang kagum.  Menpora Imam Nahrowi membubarkan PSSI membangkitkan amarah bola mania. Tapi disadari banyak pihak kebijakan mengangkat tim transisi itu ibarat pil pahit yang menyembuhkan prnyakit kronis dalam tubuh persepakbolaan di tanah air. Menteri ESDM Sudirman Said membubarkan Petral menjadikan mafia migas meradang. Anies Baswedan menangguhkan kurikulum 2013 mengejutkan dunia pendidikan. Yang tak kalah mengejutkan sekarang Menristek PT Muhamad Nasir berencana menghapus kewajiaban penulisan skripsi bagi mahasiswa tingkat akhir.Wacana kontropersial ini mengguncang dunia kampus. Akademisi bergejolak, mempertanyakan dan menyangsikan wacana tersebut.  Muhamad Nasir beralasan bahwa penyusunan skripsi di perguruan tinggi syarat dengan palgiat, penjiplakan, jual beli yang hanya melahirkan generasi copy paste. Sebagai penggantinya menristek PT mengusulkan pengabdian ke masyarakat dan penelitian di laboratorium.
Untuk menimbang perlu tidaknya pengapusan skripisi sebaiknya memahami terlebih dahulu latar belakang kecurangan yang biasa dilakukan. Berikut beberapa alasan kenapa sebagian mahasiswa melakukan kecurangan dalam penyusunan skripsi baik menjiplak, plagiat, atau jual beli. Pertama, pola hidup instan. Ini menjadi virus dalam berbagai sisi kehidupan. Bangsa kita dalam banyak hal terjebak pada gaya hidup instan. Yang penting cepat, segera menikmati hasil tanpa memikirkan bagaimana prosesnya? Dengan cara apa memperolehnya? Gaya instan adalah hidup hanya diambil praktisnya saja, tidak siap bersusah-susah, enggan berusaha. Hidup instan menghasilkan generasi pemalas, hedonis, dan pragmatis. Kedua, faktor dosen killer. Dosen killer adalah sebutan untuk dosen yang gemar marah di ruang kuliah, hanya bisa menyalahkan mahasiswa tanpa memberi solusi, dan biasanya pelit dalam memberi nilai bahkan terkesan mematikan dan menyulitkan mahasiswa. Dosen semacam ini ditakuti banyak mahasiswa. Kelas dalam mata kuliah yang diampuh sepi, mahasiswa berlarian memilih dosen lain. Dosen killer punya andil dalam menggiring mahasiswa melakukan kecurangan dalam proses penyusunan skripsi. Mereka yang tak memiliki mental kuat memilih jalan pintas melakukan plagiat atau membeli skripsi untuk menghindari kesalahan dan kemarahan dalam proses bimbingan dengan sang dosen killer. Ketiga, lemahnya penegakan aturan. Kaitan dengan teknis pembuatan skripsi sebenarnya telah disusun banyak aturan. Aturan-aturan itu dibuat untuk mengatur tata cara atau mekanisme penyusunan skripsi mulai pengusulan judul, sidang proposal, proses bimbingan, usulan sidang dan sebagainya.  Hanya saja aturan baku yang dibuat oleh perguruan tinggi seringkali dilanggar oleh akademisi sendiri. Kelonggaran-kelonggaran itu yang memicuh kecurangan. Contoh ketika usulan judul yang mirip, atau yang pernah diteliti sebelumnya mudah disetujui oleh ketua jurusan maka otomatis mempermudah mahasiswa untuk melakukan penjiplakan atau plagiat. Keempat, menjamurnya perguruan tinggi atau sekolah tinggi.  Akhir-akhir ini kita menyaksikan bermunculannya PT atau sekolah tinggi di berbagai daerah. Setiap daerah lebih dari tiga perguruan tinggi bersaing ketat, bahkan kampus telah menembus ke perkampungan.  Pendirian sekolah tinggi bahkan universitas terkesan  sangat mudah. Pemerintah membuka peluang lebar-lebar pada masyarakat mendirikan sekolah tinggi. Kehadiran perguruan tinggi baru pada satu sisi sangat membantu untuk mendorong lebih banyak lagi lulusan SLTA meneruskan pendidikanya. Tapi sisi lain perguran tinggi baru relatif sangat longgar pengawasanya terhadap praktek kecurangan dalam penyusunan tugas akhir. Bahkan untuk beberapa kasus, justru pihak kampus yang melakukan kecurangan dengan penyediaan jasa pembuatan skripsi oleh dosennya sendiri. Asal ada mahasiswa, soal skripsi bisa diatur berikutnya.
          Wacana pengapusan skripsi ditanggapi beragam oleh kalangan akdemisi terutama mahasiswa. Bagi mereka yang merasa terbebani skripis tentu menjadi kabar gembira. Mereka sangat setuju karena skripsi di samping membutuhkan keuletan dalam meneliti juga kepiawaian dalam menulis. Dan tak semua mahasiswa bisa menulis dan mau berlatih. Lebih lagi berdasarkan pengalaman skripsi juga menghabiskan dana lumayan besar untuk pengetikan (sekarang menggunakan komputer tentu harus dengan printernya), kertas HVS, transportasi dalam meneliti, membeli buku refrensi, sovenir untuk responden dan sederet kebutuhan tak terduga lainnya. Namun tidak sedikit yang menyayangkan rencana pengapusan tersebut karena skripsi dipandang sebagai satu-satunya pembeda dengan jenjang pendidikan dibawahnya yang mencirikan keilmuan dunia kampus.
          Terlepas pro-kontra di atas kebijakan yang  diambil oleh pemerintah seharusnya selaras dengan tri darma perguruan tinggi yaitu 1)pendidikan dan pembelajaran, 2)penelitian, dan 3) pengabdian masysarakat. Skripsi sebenarnya sudah mengarah  ke tiga hal di atas andai tidak ada kecurangan. Karenanya penggantinya (bila dihapus) harus lebih menggambarkan kehidupan kampus yang ilmiah, edukatif, dan mengabdi pada lingkungan sekitarnya. Sebenarnya  pengabdian pada masyarakat dan penelitian di labioratorium sebagai ganti skripsi pun tidak ada yang menjamin pelaksanaanya akan bersih dari kecurangan dan pelanggaran. Bisa jadi sistem baru modus kecurangan pun ikut baru, lebih canggih.
Saran Untuk Pak Menteri
          Menghadapi permasalahan di atas ada beberapa pemikiran, barangkali dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan sebagai solusi. Pertama, penerapan sanksi yang tegas bagi pelaku kecurangan baik dalam penyusunan skripsi, maupun pada opsi lain bila skripsi dihapus. Ini menjadi kelemahan kita, aturan lengkap penegakannya lemah. Misalnya mengenai plagiat skripsi, menurut UU Sisdiknas Pasal 25 ayat 2 bila terbukti maka gelarnya bisa dicabut. Lebih jauh lagi, tidak hanya dicabut gelarnya, lulusan yang terbukti menjiplak karya ilmiah orang lain juga diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200 juta (Pasal 70 UU Sisdiknas).  Mengenai penjiplakan karya ilmiah Menteri Pendidikan lebih terincih telah menerbitkan permendiknas khusus yaitu permendiknas No. 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Dalam permendiknas tersebut dijelaskan pengertian plagiat, tata cara memproses pelaku, sampai penanggulangannya. Ringkasnya, aturan sudah lengkap tinggal penerapan dan ketegasan dalam penegakannya.
            Kedua, untuk menopang penerapan aturan maka sistem pengawasan perguruan tinggi harus diperketat. Kaitan dengan hal ini Prof. Nanat Fatah Nasir, mantan rektor UIN Gunungjati Bandung menyarankan perombakan, dan tata ulang terhadap sistem pembinaan dan pengawasan. Lebih jauh beliau menyarankan mengaktifan kembali kopertis/kopertais untuk tujuan pembinaan dan pengawasan. Kalau tidak kopertis, bisa dibuat lembaga baru agar peran dan fungsinya lebih tajam.
          Ketiga, memperketat pendirian perguruan tinggi swasta. Ini terlihat tidak ada korelasinya, tapi terbukti kampus-kampus baru seringkali mengabaikan kualitas karena berorentasi pada perolehan mahasiswa termasuk soal kelonggaran penerapan aturan terkait penulisan skripsi. Lebih baik kita meningkatkan kualitas dan pelayanan, dibanding mendirikan PTS baru. Atau kita menegrikan PTS yang dianggap sudah layak yang sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 17 Tahun 2014 tentang pendirian perguruan tinggi negeri.
          Dan pada akhirnya kembali ke tangan pak menristek PT, semoga apa yang diputuskan semata-mata untuk perbaikan sistem pendidikan tinggi kita. Amin.



MASIH ADA KASTA DI SEKOLAH KITA




          Minggu-minggu ini para orang tua sudah mulai sibuk mencari, memilih dan menyiapkan segala persyaratan untuk memasukan anak-anak mereka ke sekolah baru. Yang anak-anak masuk ke TK, yang lulus TK ke SD, dari SD ke SLTP. Begitu seterusnya. Untuk keperluan ini tidak sedikit uang yang harus disiapkan. Bagi yang berduit mungkin tidak terlalu masalah tapi bagi yang berkantong cekak alias pas-pasan, nah terasanya di kepala. Pusing tujuh keliling. Memasukan anak sekolah sekarang menjadi problema tersendiri. Pertama, banyaknya informasi yang mengampiri kita. Semua menawarkan lembaga (baca:sekolah) masing-masing. Dan semuanya mengklain yang terbaik. Tidak ada kecap nomor dua, istilahnya. Ini bisa membingungkan sekaligus juga menjebak. Tidak sedikit dari orang tua yang menyesal setelah memasukan anaknya di sebuah sekolah. Kadang sekolah tak cocok bagi anaknya. Ini masalah serius bagi anak-anak kita. Tidak bisa dibayangkan anak sekolah tidak nyaman, tidak happy, tidak betah di sekolah? Bagaimana nanti belajarnya? Menurut Muhamad Alwi (2014) dalam bukunya Anak cerdas Bahagia dengan Pendidikan positif, belajar itu harus dilalui dengan bahagia dan berakhir dengan kebahagian hidup saat dewasa meninggalkan bangku sekolah. Banyak kasus orang sukses tapi tak bahagia. Bisa jadi karena sejak di sekolah mereka tak bahagia dalam belajarnya. Kedua, hampir semua informasi yang diterima baik lewat brosur, pamlet, atau di media online tak tertinggal mencantumkan baged masing-masing. Entah uang pakalnya, uang pakaian, uang buku, atau bantuan pendidikan (bulananya). Orang tua harus teliti menghitung, mengukur kemampuan. Sebab  seringkali antara keiinginan (baik anak maupun orang tua) dan kemampuan tak singkron. Ini masalah juga.
          Perbedaan masing-masing latar belakang lembaga sekolah menciptakan kasta bagi sekolah. Lahirlah sebutan sekolah elit, sekolah mahal, sekolah internasional, sekolah menengah, sampai sekolah kelas bawah atau sekolahnya  kaum pinggiran. Masuk tidaknya calon peserta didik di satu sekolah ditentukan oleh keadaan ekonomi orang tua mereka. Ada juga yang mengacuh hasil tes. Bagi yang bodoh jangan mimpi masuk ke sekolah elit. Demikian juga berlaku bagi yang tak berduit. Ini salah satu kastanisasi dalam dunia pendidikan kita.  Sebelum lebih jauh mari kita pahami bersama apa kasta itu? Istilah kasta saya analogikan pada istilah yang digunakan saudara-saudara kita yang beragama Hindu. Yaitu Sistem kasta telah menentukan bahawa masyarakat beragama Hindu boleh dibahagikan kepada beberapa kumpulan dan peringkat. Pada umumnya, kelas tertinggi ialah para Brahmin atau Brahmana, manakala kelas terendah ialah kaum pariah atau dikenali sebagai "mereka yang tidak boleh disentuh" atau dalam bahasa Inggeris "untouchables". (http://ms.wikipedia.org/wiki/Sistem_kasta) Secara sederhana kastanisasi dalam pendidikan adalah pengelompokan, pembagian peserta didik dalam tingkatan-tingkatan dalam kegiatan belajar mengajar. Satu kelompok berbedah dan dibedakan, berpisah dengan yang lainnya.
Kastanisasi Yang lain
          Kastanisasi dalam dunia pendidikan  kita tidak terbatas pada persoalan status sekolah, elit, menengah, pinggiran. Masih ada pengelompokan-pengelompokan lain yang mirip dengan kasta (baca:Kastanisasi) Berikut diantaranya:
1.Kastanisasi rombongan belajar. Begitu masuk, peserta didik dikelompokan ke dalam rombongan belajar atau kelas. Biasanya kelas ditentukan berdasarkan tes masuk. Yang nilainya tinggi dikumpulkan dalam satu kelas. Disebutnya kelas A, kelas B untuk yang nilainya dibawahnya, begitu seterusnya C, D. Peserta didik diklasifikasikan berdasarkan hasil nilai tes masuk. Malang bagi mereka yang nilainya rendah. Mereka disebut sebagai kelas bawah, kelasnya anak-anak nakal dan bodoh. Mereka seringkali tersiasiakan oleh sistem di sekolah. Guru pun kerapkali memilih tidak masuk di kelas mereka.  Pembagian kelas ke A, B, C dan seterusnya melahirkan kasta sosial bagi peserta didik. Ini tentu tidak sehat bagi lingkungan sosial di sekolah. Kedepan ada baiknya  kita tak membaginya lagi seperti itu. Adalah Munib Chatib dan Irma Nurul Fatimah (2014) dalam bukunya, Kelasnya manuisia menyarankan agar memberi nama kelas berdasarkan beberapa hal.Pertama, menyesuaikan jenjang pendidikan seperti untuk TK diusahakan menggunakan nama-nama yang sangat mudah diketahui dan disebut semisal seperti nama hewan pemeliharaan di rumah sebut saja kelas kucing, kelas kupu-kupu dan sebagainya. Kedua, nama kelas bisa menyesuaikan visi misi sekolah. Contoh visi sekolah adalah ramah lingkungan bisa saja menamai kelas dengan kelas gunung, kelas merapi, kelas sungai, hutan dan lainnya. Ketiga nama kelas juga bisa mengambil nama tokoh seperti kelas 7 Habibi, kelas 7 Sukarno. Juga lainnya. Keempat, nama kota atau tempat tertentu bagus juga untuk nama kelas. Contoh kelas Madinah, kelas Cairoh. Nah, dengan demikian tidak ada lagi kasta sosial antara kelas di sekolah. Semua peserta didiik dipandang sama. Pengelompokan bisa berdasrkan abjad nama mereka, atau berdasarkan urutan mendaftar.
2.kastanisasi mata pelajaran. Awalnya ilmu terdikotomi menjadi ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu umum mendapat tempat lebih tinggi, lebih bergengsi daripada ilmu agama. Dikotomi ilmu umum dan agama merupakan warisan penjajah Belanda yang masih mengkristal dalam kehidupan masyarakat kita. Terbukti sampai hari ini pegelolaan pendidikan  ditangani oleh dua departemen. Kementerian pendidikan menyelenggarakan pendidikan umum (TK-SD-SLTP-SLTA-PT). Sementara kementerian agama menyelenggarakan RA, MI, MTs, MA, dan PTAIS (Perguruan Tinggi agama Islam seperti UIN atu dulu IAIN). Berikutnya kastanisasi lebih detail lagi yaitu  dalam bidang studi. Kastanisasi dalam bidang studi meliputi:
Kelas 1 yaitu bidang studi Matematika dan ilmu pengetahuan alam (IPA)
Kelas 2 yaitu ilmu  pengetahuan sosial (IPS)
Kelas 3 yaitu (kelas bawah) meliputi ilmu agama, budi pekerti, kesenian, ketrampilan
Sampai hari ini di kampus-kampus  fakultas atau jurusan yang mencerminkan bidang studi kelas 1 sangat disegani, bergengsi, serta eletis misalnya fakultas kedokteran, fakultas teknik. Sementara fakultas keagamaan, fakultas sastra hanya menjadi fakultas buangan yang menampung calon mahasiswa yang tak lulus di fakultas favorit. Hal seperti ini juga terjadi dalam penjurusan tingkat SLTA. Ke depan harusnya kastanisasi seperti ini ditiadakan dan jangan dipegangi lagi. Bukankah ilmu itu bebas nilai? Bukankah semua ilmu itu sama?
3.Kastanisasi dalam ranking. Dulu dalam rapot tertulis ranking masing-masing peserta didik. Saat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) diberlakukan ranking itu ditiadakan. Tapi orang tua (baca:wali siswa) tetap  menuntut ke guru untuk meranking anak-anak mereka. Upaya menghilangkan ranking yang dilakukan oleh pemerintah belum sepenuhnya berhasil karena telah mengakarnya sistem ranking pada masyarakat. Ranking yang awalnya bertujuan untuk memetakan kemampuan siswa berdampak pada pengelompokan-pengelompokan lain. Peserta didik terbagi tiga lapisan. Pertama, siswa-siswi pandai yang berada di sepuluh besar. Kedua, siswa menengah (baca:kategori sedang) berada di kisaran ranking  belasan. Ketiga , siswa bodoh, ranking mereka berada di urutan 10 dari bawah. Ranking telah menciptakan kasta dalam kelas. Nampak terlihat dampak negatif dari kastanisasi ini saat mereka belajar bersama, berdiskusi, membentuk kerja kelompok dan lainnya. Lapisan ketiga (kelompok anak-anak yang dianggap tidak pandai) kerapkali tersia-siakan oleh kelompok lain. Padahal menurut teori multiple intelgences yang dikembangkan oleh Howard Gardner menegaskan bahwa manusia itu memeiliki kecerdasan majemuk. Sehingga tidak ada anak bodoh. Semua anak pandai dan cerdas di bidangnya masing-masing. Jalaluddin Rahmat dalam pengantar buku, Buku Kerja Multiple intelgences karya Thomas R Hoer menyindir, “anak-anak yang kita anggap istimewa  adalah anak-anak dengan kecerdasan yang tidak diapresiasi budaya kita. Rasyid dan Dani punya kecerdasan visual yang menakjubkan, tetapi sekolah-sekolah kita mengabaikannya”. Alhasil ranking tidak bisa dijadikan acuan pemetaan peserta didik lagi. Karena ranking hanya mengukur kecerdasan knowledg sedang kecerdasan manusia sangat majemuk.
          Orang tua yang bijak tentu tak  akan memasukan anak-anaknya ke sekolah yang masih memberlakukan sistem kasta. Karena kastanisasi dalam pendidikan sangat berpengaruh negatif dalam proses belajar mengajar anak. Wa Allahu Alam
         

JANGAN PILIH SEKOLAHNYA ROBOT



         
Menentukan dan memilih sekolah buat anak bukan hal mudah di tengah arus informasi yang beragam dan serba cepat. Hai ini yang sedang dirasakan para orang tua hari-hari ini (setelah UN untuk semua tingkatan telah dilaksanakan) untuk memenuhi kewajiban memasukan anak-anak mereka ke sekolah. Pasalnya hampir semua sekolah atau lembaga mengklaim dirinya sebagai sekolah terbaik. Mereka menawarkan berbagai fasilitas, program unggulan, guru profesional, lokasi strategis mudah terjangkau, lingkungan kondusif cocok sebagai tempat belajar,  serta pendekatan pembelajaran yang akan digunakan. Ditambah lagi tidak sedikit lembaga sekolah yang dikelola dengan orientasi bisnis yang mengedepankan keuntungan layaknya sebuah perusahaan. Persainagan di antara lembaga sekolah menjadi hal yang tak dapat terhindarkan. Orang tua dituntut jeli dan teliti dalam menerima setiap informasi yang berkaitan dengan penerimaan siswa baru (PSB). Bila tidak hati-hati bisa jadi orang tua akan salah pilih sekolah. Dan ini akan berpengaruh pada perkembangan belajar anak.
          Menurut hasil penelitian Munif Chatib (2009), banyak sekolah dinegeri ini yang jauh dari ideal. Beliau menyebutnya dengan istilah sekolahnya robot.  Yaitu sekolah yang tidak memperlakukan peserta didiknya selayaknya manusia baik dalam proses belajar mengajar, target keberhasilan sekolah, sampai pada sistem penilaiannya. Sekolah semacam itu akan membuat peserta didik tertekan saat belajar. Di sekolah merasa di penjara. Kelas ibarat sel tahanan yang mengekang. Gurunya dikenal keras, galak, killer sebutan lainnya. Sekolah model ini jelas tidak representatif untuk belajar anak-anak kita.
Sekolahnya manusia
          Berlawanan dengan sekolahnya robot, Munif Chatib menyebutnya sebagai sekolahnya manusia. Yaitu sebuah istilah untuk sekolah-sekolah yang secara sungguh-sungguh menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran anak secara manusiawi atau tegasnya sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusian universal. Sekolah yang menawarkan kebahgian peserta didik dalam kelas karena guru dan metode yang digunakan sangat menyenangkan, tidak menjenuhkan apalagi menyulitkan. Sekolah yang menghargai semua bakat yang dimiliki peserta. Sekolah yang memperlakukan peserta didik secara sama., tidak membedakan satu dengan yang lain. Tidak membedakan antara yang bodoh dan yang pandai karena sekolahnya manusia beranggapan bahwa semua anak pandai dan cerdas sesuai bakatnya masing-masing. Sekolah yang semua elemen di dalamnya membawa pesan dan spirit yang merangsang semangat belajar peserta didik.Lantas bagaimana kriteria atau ciri sekolahnya manusia itu? Berikut beberapa hal yang membedakan sekolahnya manusia dari sekolahnya robot.
          Pertama, Sekolahnya manusia meyakini bahwa setiap peserta didik memiliki kecerdasan majemuk mengikuti teori multiple intergeces. Sebuah teori yang terakhir di kembangkan oleh Dr Howard Gardner (1983), pemimpin Project Zero Harvard University yang telah mengubah makna kecerdasan dari pemahaman sebelumnya. Perubahan itu terlihat jelas pada tiga paradigma mendasar yaitu : 1)Kecerdasan tidak dibatasi oleh tes formal. Sebab setelah diteliti ternyata kecerdasan itu selalu berkembang dinamis, tidak statis.Tes yang dilaksanakan saat ini pasti tidak mencerminkan kecerdasaanya sebulan, setahun mendatang dan seterusnya. 2)Kecerdasan itu multidemensi dan selalu berkembang. Sampai saat ini Dr Howard Gardner telah menemukan 9 ranah kecerdasan. Berikut diantaranya kecerdasan Linguistik, kecerdasan logis matematis, kecerdasan spasial visual, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, Kecerdasan kinestetis, kecerdasan naturalis. 3)Kecerdasan itu sebuah proses discovering ability. Kecerdasan lebih dititikberatkan pada proses untuk mencapai kondisi akhir terbaik. Kadang seoarang menemukan kondisi akhir terbaiknya di saat usia sudah tidak mudah lagi. Penulis novel terbaik dunia, J.K Rowling menemukan kondisi terbaiknya sebagai penulis pada usia 43 tahun. Sementara Sayyid Muhamad Husein Thabathaba’i dari Iran menemukan kondisi terbaiknya dalam menghafal dan memahami makna Al quran pada usia 5 tahun. Ia memperoleh gelar dokter kehormatan Al Quran dari salah satu universitas Inggris di usia muda, 7 tahun.
          Nah, dengan demikian sekolahnya manusia memeperlakukan semua anak didiknya sebagai sang juara di bidang dan sesuai bakatnya masing-masing. Tugas guru dan sekolah untuk menggali, menemukan,  serta mengembangkan bakat (baca:kecerdasan yang dimiliki) setiap anak. Kemudian mengantarkannya pada kondisi terbaiknya. Bagi sekolahnya manusia tidak ada siswa bodoh.
          Kedua, di sekolahnya manusia gurunya merupakan the best teacher. Yaitu para pendidik dan pembimbing yang berperan sebagai fasilitator dan katalisator, memperlakukan peserta didik sebagai subyek bukan obyek serta melaksanakan proses belajar mengajar dengan the best proccess. Yakni proses belajar mengajar  yang berkualitas dan menyenangkan untuk semua kondisi dengan multi strategi. The best teacher adalah guru-guru yang terbebas dari virus 3 T yaitu  1)Talking time, guru yang menggunakan metode ceramah sepanjang masa, tidak  pernah menggunakan metode lain. Guru yang menyelenggarakan pembelajaran searah dari guru ke murid. Guru yang menghabiskan 80%  jam pelajaran, sedang sisanya diberikan ke peserta didik untuk mengerjakan latihan, menulis PR. Peserta didik tidak diberi keluasaan untuk berbicara, beraktivitas. 2) Task analysis, guru yang mengajar langsung ke materi, tidak  terbiasa menjelaskan kegunanaan, penerapan, atau urgensi materi yang akan diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, semua dari kita mungkin bisa mengerjakan soal tentang pohon faktor, tapi bila kita semua ditanya untuk apa pohon faktor itu? Kita tak bisa menjawab. Kerena guru kita dulu tidak menjelaskannya. 3) Traking, yaitu mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuan kognitifnya. Contoh, kelas terbagi ke A, B, C. Kelas buat mereka yang pandai, kelas B yang sedang, kelas C yang bodoh. Contoh lain adalah kelas akselerasi yaitu kelas khusu yang diperlakukan berbeda dengan kelas lainnya.
          Ketiga, sekolahnya manusia memperlakukan peserta didik secara sama. Tidak dibedakan antara yang kaya dan yang miskin, antara yang pandai dan yang bodoh. Di sekolahnya manusia tidak mengenal ranking bagi peserta karena ranking menciptakan kasta dalam pergaulan sosial di sekolah dan melahirkan sikap membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Di sekolahnya manusia semua mata pelajaran dipandang sama. Tidak mengenal mata pelajaran berkelas elit yang didewakan seperti anggapan orang banyak terhadap pelajaran matematika dan IPA. Sebaliknya pelajaran yang selama ini dianggap ecek-ecek seperti kesenian diperlakukan secara proposional.
          Keempat, sekolahnya manusia mendefinisikan prestasi sebagai tindakan meraih, menyelesaikan, menacapai dangan usaha dan kinerja yang sukses. Prestasi bukan dilihat dari hasil akhir tapi lebih sebagai sebuah proses yang berkualitas. Sekolahnya manusia menjadikan peserta didik bintang, juara, berprestasi pada bakat dan kemampuan mereka masing-masing.
          Dan akhirnya semuanya  kembali ke tangan orang tua. Mampukah mereka menentukan pilihan terbaik buat pendidikan anak-anak? Orang tua sebagai guru terbaik tentu tidak akan memilih asal sekolah, Munif Chatib menyebut sekolahnya robot untuk anak mereka. Karena salah memilih sekolah akan berpengaruh negatif pada perkembangan dan kemajuan pendidikan anak.
Wa Allahu Alam
         

PEMALSUAN IJAZAH, POTRET PENDIDIKAN KITA



         
Wajah para pendidik dan dunia pendidikan hari-hari ini kembali tercoreng dengan munculnya dugaan kasus pemalsuan ijazah di beberapa perguruan tinggi di tanah air. Terakhir terjadi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Adhi Niaga Bekasi. Laporan dan aduan dari masyarakat yang memaksa Menristek PT, Muhamad Nasir melakukan sidak ke kampus yang dikelola Yayasan Adhi Niaga tersebut. Sekolah Tinggi itu diduga  menerima ribuan  mahasiswa namun sedikit dari para mahasiswa itu yang menjalankan perkuliahan seperti biasa. 
Berdasarkan sidak yang dilakukan, Menristek PT menilai bahwa kampus itu tidak lazim digunakan untuk perkuliahan apalagi sampai mendapatkan ijazah. Dari data yang didapat saat sidak, Adhy Niaga menerima sekitar 800 sampai 1.000 mahasiswa setiap semester. Keseluruhan ada 3.500 mahasiswa, jadi bagaimana mereka bisa ditampung? Tegas sang menteri. Ini sangat memalukan. Kasus ini mengundang keprihatinan banyak pihak termasuk Muhaimin Iskandar, ketua DPP PKB menegaskan, ini menghancurkan moralitas bangsa. Pelaku utama dan semua yang terlibat harus ditindak tegas. Begitu pula dengan pengguna ijazah palsu, harus diproses secara hukum. Sebagai bangsa yang mengedepankan akhlaqul karimah, berbudaya dan menjunjung moralitas, hendaknya kita menghargai hakikat kejujuran dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, apalagi dalam dunia pendidikan.
          Kaitan dengan ijazah palsu memang bukan barang baru. Sudah lama menjadi bahan gunjingan masyarakat luas. Banyak kasus yang sudah diperkarakan hingga ke pengadilan. Berbagai kalangan tersandung kasus ini mulai dari para pejabat, anggota dewan, kepala daerah, sampai praktisi pendidikan sendiri seperti guru atau dosen. Ijazah asli tapi palsu (baca:aspal) sudah menjadi rahasia umum, dan ironinya menjadi lumrah. Orang tanpa kuliah, secara tiba-tiba bertitel S1, S.2, bahkan S.3.
Ada beberapa alasan (baca:motif) orang memalsukan ijazah.Pertama, mengejar gengsi. Orang yang memiliki kedudukan  di pemerintahan, ormas, parpol, atau di tengah masyarakat kadang buta mata untuk menjaga gengsi dan martabatnya rela menggadaikan kejujuran menukarkannya dengan ijazah palsu. Kedua, Mengejar mimpi, menggapai ambisi. Saat menginginkan sesuatu jabatan atau kedudukan yang bersyaratkan pendidikan orang mau mengorbankan idealisme dan moralitas  dengan  membeli ijazah. Ketiga, menjadi rahasia umum ijazah palsu mudah didapatkan asal berkantong tebal, dan siap membeli. Kemudahan itu yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang miskin kejujuran. Bukankah di negeri kita bertaburan penyelenggara pendidikan? Maaf sebagiannya adalah lembaga abal-abal, yang tak jelas perijinanya, kualitasnya, akriditasinya. Karena pemerintah juga terlalu mudah memberikan izin pendirian sebuah lembaga pendidikan baik sekolah maupun kampus.
Pendidikan miskin kejujuran
          Ungkapan di atas tidak berlebihan karena nyata dan kita bisa menyaksikan. Hanya kita tak bisa berbuat banyak sebab ketidakjujuran telah menggurita dan menjadi sistemik. Pemalsuan ijazah hanya bagian kecil dari berbagai kecurangan dalam dunia pendidikan kita, ibarat gunung es yang tak terekspos lebih banyak lagi. Ujian nasional (di semua tingkatan) dari tahun ke tahun menjadi uji nyali mampukah dunia pendidikan berbuat jujur? Dan nyatanya masih belum mampu terbukti hampir setiap tahun pelaksanaan ujian nasional tercoreng dengan kasus kebocoran soal, jual beli kunci jawaban di berbagai daerah. Bahkan terakhir saat UN tidak seperti dulu lagi, saat UN tidak menentukan kelulusan tetap saja ketidakjujuran mewarnai. Coba amati, kebiasaan mencontek peserta didik belum bisa dihilangkan di setiap jenjang pendidikan. Plagiat menjadi rahasia umum dalam penyusunan karya ilmiah seperti skripsi, tesis, bahkan desertasi. Kaitan dengan hal ini menristek PT Muhamad Nasir (2015) bahkan telah mewacanakan penghapusan penulisan skripsi. Karena penulisan skripsi hanya mencetak generasi copy paste. Pro kontra pun sekarang bermunculan. Ini semua menjadi tantangan berat dunia pendidikan di saat Indonesia membutuhkan SDM berkualitas, berkarakter dalam membangun negeri ke depan. Dan tantangan berat ini harus disadari oleh emua elemen bangsa. Semuanya harus bisa berperan melawan ketidakjujuran di dalam dunia pendidikan.
          Tentu kita tidak boleh berpangku tangan melihat keadaan di atas. Kita harus siap mengobarkan semagat revolusi melawan ketidakjujuran. Kenapa revolusi? Karena ungkapan reformasi tak mampu lagi melawan kecurangan dan ketidakjujuran masif dan sistemik seperti sekarang. Revolusi itu dimulai dari diri sendiri, keluarga, lingkungan terdekat, sampai masyarakat luas. Bukankah hal ini yang menjadi inti pesan presiden Jokowi dalam semagat revolusi mentalnya? Pendidikan harus menjadi tanggung jawab bersama. Menteri Anis Baswedan dalam sambutan pada hari pendidikan 2 Mei  beberapa waktu lalu menegaskan, wajah masa depan kita berada di ruang-ruang kelas, memang. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa tanggung jawab membentuk masa depan itu hanya berada di pundak pendidik dan tenaga kependidikan di institusi pendidikan. Secara konstitusional,mendidik adalah tanggung jawab negara. Namun, secara moral, mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Mengembangkan kualitas manusia Indonesia harus dikerjakan sebagai sebuah gerakan bersama. Semua harus ikut peduli, bahu membahu, saling sokong dan topang untuk memajukan kualitas manusia Indonesia lewat pendidikan.
          Gerakan revolusi melawan ketidakjujuran harus dimulai dengan penegakan hukum yang tegas, tak pilih kasih terhadap pihak-pihak yang melakukan kecurangan sekecil apapun dalam dunia pendidikan. Bukankah perangkat hukum kita sudah lengkap? Contoh mengenai pemalsuan ijazah dalam Pasal 69 ayat [1] UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa  setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
          Kemudian gerakan ini harus sistemik, dari atas ke bawah. Selama ini dilemanya adalah saat guru-guru (yang berada di level bawah) siap menegakan kejujuran dalam UN misalnya dengan tidak memberi bantuan ke siswa dengan merubah hasil kerja mereka berhadapan dengan kebijakan kepala sekolah yang berlawanan. Dan saya yakin kepala sekolah pun merasakan hal yang sama, mereka diminta oleh atasanya untuk menyikapi hasil kerja peserta didik. Menyikapi diterjemakan berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama. Anda pasti memahami maknanya.
          Dan terakhir gerakan bersama juga membutuhkan keteladanan dari para pemimpin. Karena keteladan memiliki energi kuat dalam mendorong proses perubahan. Kita dalam segala mengalami krisis keteladanan. Sebagai dorongan moril untuk mengingatkan kita semua, Rasulullah SAW menegaskan kejujuran itu membawa kepada kebaikan. Kebaikan membawa  ke surga. Dan dusta menjerumuskan ke malapetaka (baca:dosa). Dosa menggiringi pelakunya ke neraka. Wa Allahu ‘Alam
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Radar, Senin, 25 Mei 2015