Senin, 31 Agustus 2015

Saling Menyalahkan, Apa Budaya Kita?


          Banyak yang  menyebut, saat ini Indonesia di ambang krisis. Itu ditandai dengan makin melemahnya nilai tukar rupiah, meroketnya harga berbagai bahan kebutuhan, lesunya perekonomian nasional dan lainnya. Tidak sedikit yang mengkhawatirkan krisis 1998 bakal berulang kembali. Di tengah kekhawatiran berbagai pihak, kita menyaksikan pro kontra dalam masyarakat. Pro kontra terkait penyebab keadaan dan apa solusinya ke depan. Dan yang menyedihkan hal itu mendorong kita semua saling menyalahkan satu sama yang lain. Saling menyalahkan sudah sampai pada akar rumput. Media sosila semisal FB menjadi tempat pelampiasan untuk itu. Coba ikuti pemberitaan akhir-akhir ini, akan terlihat jelas. Orang awam pun dapat memahaminya.
          Kita awali dari DPR. Anggota dewan (sebagian besar) terutama mereka yang dari KMP menyalahkan pemerintah. Mereka beranggapan pemerintah yang dikomandani Jokowi tidak tanggap, tak terampil menghadapi berbagai masalah. Kabinet kerja Jokowii – JK tak kompak, malah cederung bergerak sendiri-sendiri. Adalah Misbakhun, anggota fraksi partai Golkar yang menyesalkan pemerintah yang kerap kali berpolemik satu sama lain di depan publik.  Hal ini diamini oleh Akbar Faisal dari Hanura. Ia  meminta kepada pemerintah agar satu suara mengatasi kemelut ekonomi. Minimal, kata dia, setelah mengakui krisis ekonomi, pemerintah lantas mengukuhkan konsolidasi tiap kementerian. Hanya saja, publik kembali disuguhkan sikap saling menyalahkan antar kementerian, keluhnya. (http://www.republika.co.id/)
          Lebih keras lagi disuarakan oleh Fadli Zon. Dalam twitrer-nya @fadlizon pada Minggu (28/6/2015). Menurutnya, kondisi perekonomian Indonesia sudah dalam kondisi gawat. Ekonomi Indonesia dalam bahaya. Gejala dan tanda krisis begitu nyata. Rupiah terus melemah. Pemerintah tak punya strategi alias planga-plongo menghadapinya. Politikus asal Gerindra ini memang dikenal kritis terhadap setiap kebijakan pemerintah.
          Menyalahkan yang lain bukan hanya dilakukan oleh yang berada di luar pemerintahan,  tetapi bagian kabinet kerja juga melakukan hal yang sama. Sebut saja, Menteri Sofyam Djalil saat masih menjabat menko ekuin beranggapan bahwa melemahnya nilai tukar rupiah karena kesalahan kebijakan pemerintah sebelumnya yakni SBY-Boediono. Pernyataan ini pun memancing emosi partai Demokrat.
          Dan terakhir, giliran Pak SBY menyalahkan pemerintah Jokowi-JK yang dianggap lamban mengatasi masalah serta lebih sering beretorika di depan rakyat. Pak SBY menegaskan, tolong berhenti beretorika, retorika ideologis. Rakyat tidak membutuhkannya, mereka ingin barangnya ada, untuk membeli terjangkau. Harga tengah bergejolak, tapi dengan retorika enggak akan selesai masalah. Menurutnya, saat ini ekonomi Indonesi sudah lampu kuning. Sebaiknya berhati-hati, jangan sampai menjadi merah. Menanggapi hal tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kondisi lemahnya ekonomi saat ini terjadi karena faktor dunia.
Kita paham benar Pak SBY, kita tak underestimate (pelemahan Rupiah), tapi langkah-langkah ini langkah sedunia. Jadi memang kita melemah ke dolar AS, tapi tidak ke mata uang yang lain," jelas JK, di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (25/8/2015). Lebih jauh, JK mengatakan daya beli Indonesia sama dengan China. Bila dibandingkan dengan negara tetangga, daya beli dalam negeri lebih kuat dibandingkan Malaysia. Memang kita lemah kepada dolar AS, karena dolar kuat tapi yang lainnya tidak. Dolar AS bukan satu-satunya pegangan dan ukuran. Yen juga ukuran. Yen dengan kita tak berubah tetap 1 yen masih Rp 120. Menurut JK,
situasi sekarang jauh dari krisis yang terjadi pada 1998‎ lalu. Salah satu pembeda adalah daya beli masyarakat. JK mencontohkan bila 10 tahun lalu 1 dolar AS, dengan kurs sekitar Rp 9.000, cukup untuk makan di restoran Padang. Tapi diukur nominal tahunannya jangan samakan rupiah 10 tahun lalu dengan sekarang. Kalau dulu 15 tahun lalu Rp 16 ribu, sekarang Rp 14 ribu mendekati, ya memang, tapi itu 15 tahun lalu beda nilainya, tegas JK
. (http://bisnis.liputan6.com/)
            Mengamati pro-kontra, saling menyalahkan  terkait kondisi ekonomi nasional saat ini saya ingin beranalogi. Kalau seandainya di sekitar kita ada kebakaran, kira-kira apa yang akan dilakukan orang? Mencari penyebab kebakaran? Menyalahkan orang yang menyalahkan rokok? Menyalahkan orang yang bawah korek api? Menyalahkan ibu-ibu yang sedang memasak? Kemudian dengan serta merta kita mencaci-maki mereka sebagai sumber kebakaran. Saya yakin tidak seperti itu budaya bangsa kita. Tidak seperti itu karakter Indonesia. Karakter dan budaya kita adalah gotong royong, saling membantu, bahu-membahu dalam setiap permasalahan apalagi saat darurat atau krisis. Demikian juga menghadapi kesulitan ekonomi nasional seperti sekarang ini. Harusnya kita tak mengahabiskan banyak waktu dan energi hanya untuk berpolemik, saling menyalahkan. Harusnya kita saling bahu-membahu menghadapinya. Semua potensi bangsa (siapa pun kita, pemerintah, politisi, pakar ekonomi, pelaku pasar dll) harus bekerja sama, kompak. Bersatu menyelamatkan perekonomian nasional dari ancaman krisis berkepanjangan. Dan itu budaya kita.
Catatan  untuk semua
          Sebagai bagian dari bangsa ini, saya ingin memberikan  catatan terkait permasalahan di atas. Catatan ini anggap saja sebuah renungan untuk kita semua dengan berharap dapat mengambil hikmah atau pelajaran. Pertama, mendahulukan kepentingan bangsa di atas segala kepentingan. Menurut hemat saya, sikap saling menyalahkan terkait kondisi ekonomi sekarang itu karena kita lebih mendahulukan kepentingan politik, kepentingan kelompok, juga kepentingan pribadi. Kepentingan bangsa yang lebih besar telah diabaikan. Inilah problema generasi kita. Kita lebih berpikir pendek dan pragmatis. Tidak berpikir jauh ke depan. Mengeruk keuntungan sesaat, mengabaikan kemudharatan jangka panjang. Cara pandang seperti ini harus diubah. Ini bagian penting dari revolusi mental yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia.
          Kedua, kritik itu harus dibarengi dengan semangat memberi solusi bukan mencari kambing hitam. Memberi kritik dan saran tidak harus memaksa. Kebiasaan tak terpuji yang sering dilakukan, mengkritik sekadar mengkritik dengan menyalahkan serta tak memberi solusi. Kritik semacam ini harus dihindari.
          Ketiga, menegedepankan semangat kebersamaan untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Kebersamaan dan persatuan mutak dibutuhkan dalam membangun mewujudkan cita-cita bersama. Kesadaran hal itu harus selalu tertanam dalam setiap langkah, termasuk saat mengoreksi keadaan kita sendiri.
          Walhasil, saling menyalahkan tidak akan memberi jalan keluar. Bisa jadi memperkeruh dan mempersulit. Karenanya harus ditinggalkan.  Saling menyalahkan bukan budayah, bukan karakter bangsa kita. Tidak ada pilihan bagi kita kecuali menghadapi kesulitan ini secara bersama-sama, bersatu paduh, saling menopang dan mendukung. Dan insya Allah, badai pasti akan berlalu. Kesulitan berganti kemudahan. Amin.Wa Allahu Alam

         


       

Sabtu, 22 Agustus 2015

Tentang Mega Proyek DPR


          Di tengah kemerian HUT RI ke 70 beberapa waktu lalu, hubungan Pemerintah-DPR kembali terusik. Pasalnya, Presiden Jokowi batal menandatangani prasasti Penataan Kompleks Parlemen yang diminta DPR usai pemyampaian pidato kenegaraan tentang nota keuangan RAPBN 2016 pada 14 Agustus 2015. Sebelumnya, Ketua DPR Setya Novanto dalam sambutannya meminta Presiden meneken prasasti. Tapi, ketika mengunjungi museum, Jokowi tak membubuhkan tanda tangan. Ia hanya melihat-lihat proyek tersebut bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla dan pimpinan DPR selama sekitar 15 menit.
          Penolakan Jokowi menandatangani prasasti tentu beralasan, karena mega proyek tersebut baru sebatas wacana, belum menjadi bagian RAPBN sekalipun. Penolakan tersebut mendapat sambutan dan dukungan khalayak ramai. Paling tidak untuk dua alasan. Pertama, kondisi ekonomi Indonesia dan dunia tidak memungkinkan bangsa ini memenuhi keinginan berlebihan sekaligus mewah para (baca:sebagian) anggota  dewan. Karena konsentrasi anggaran negara bukan untuk kemewahan elite. Tetapi bagaimana ekonomi bangsa dapat selamat dan rakyat diselamatkan. Kedua, mega proyek DPR dipandang bukan sebagai kebutuhan tapi lebih tepat sebagai ambisi. Dan sejauh ini belum ada kajian yang dapat menjadi dasar rasional dari proyek ini.
          Sikap Jokowi menolak penandatanganan ditanggapi oleh anggota dewan beragam. Ada yang kecewa dengan penolakan tersebut. Mereka menunjukkan kekecewaannya sambil memaparkan argumentasi di balik mega  proyek itu ke publik melalui media baik cetak atau elektronik. Sebut saja Fahri Hamzah, poltisi kontroversial asal PKS ini dengan lantang menantang LSM yang menolak mega proyek. Fahri Hamzah meminta semua Lembaga Swadaya Masyarakat berhitung dengan benar. Dia berharap, LSM tak hanya menyebut angka, tapi juga membeberkan variabel dalam sebuah jumlah yang dihitung. Tapi ada juga yang menyadari sikap presiden. Merekalah yang dari awal tak menyetujui megaproyek yang digagas teman sejawat mereka, sesama anggota dewan.
         
Bagi saya, orang awam, mega proyek DPR mencerminkan dan menjelaskan beberapa hal, pertama, strategi bergaya premanisme yang dipilih anggota dewan yang terhormat dalam memuluskan keinginan dan ambisi. Terlihat, saat menjebak presiden untuk menandatangani prasasti, proyek besar yang baru sebatas wacana sebagian anggota. Padahal, dalam tata kelola negara hal yang tidak lazim dan tidak mungkin menandatangani proyek yang tidak ada dalam RAPBN. Mereka menghembuskan isu bahwa pemerintah sudah setuju dengan anggaran yang diajukan DPR, padahal sama sekali belum.  Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjelaskan bahwa pemerintah baru akan mengkaji 7 mega proyek tersebut.
          Kedua, arogansi anggota (tentu tidak semua )DPR. Sudah jelas, DPR  bukan lembaga eksekutif, kenapa mereka mengambil peran pemerintah? Mereka seakan menjelma menjadi kontraktor proyek kemudiam  menggiring (baca:menjebak) dengan  aroma memaksa pada eksekutif untuk menyetujui. DPR harusnya mengusulkan ke pemerintah dalam RAPBN kemudian membahasnya bersama pemerintah. Bila disetujui, baru dilaksanakan oleh pemerintah.
          Ketiga, ketergesa-gesaan DPR. Mega proyek belum menjadi kesepakatan atau keputusan bulat. Anggota dewan belum satu suara. Partai semisal Nasdem, Demokrat, PDIP mengaku, tak pernah ada pembahasan resmi dalam rapat-rapat DPR. Bahkan mereka merasa tak pernah dilibatkan, tidak diajak membicarakannya. Karenanya, Ruhut Sitompul menyebutnya sebagai jebakan Batman yang telah disirancang segelintir anggota dewan. Dan Jokowi selamat dari jebakan itu. (http://smeaker.com/)
Lebih gegabah lagi,  DPR telah menyelenggarakan sayembara desain gedung parlemen modern tersebut dengan total hadiah Rp 500 juta, padahal belum ada kejelasan apakah mega proyek tersebut akan dibangun atau tidak. Mereka berpikir pokoknya ada desain dulu. Ini aneh sekaligus mengherankan. Untuk apa itu? Dan menjadi pertanyaan publik, dana siapa yang dipakai untuk hadiah sayembara tersebut? Ini ironi.
Saran untuk Anggota Dewan Terhormat
          Melihat dan menyaksikan kejangggalan-kejanggalan cara berpikir dan cara kerja anggota dewan, sebagai rakyat biasa saya menyarankan kepada mereka yang terhormat, pertama, sudahlah, fokus bekerja. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Jangan menghayal terlalu jauh dengan membayangkan segala fasilitas serba megah dan mewah. Coba  berpikir seperti para pendahulu, apa yang dapat kita berikan kepada bangsa dan negara? Jangan dibalik, apa yang dapat negara dan bangsa berikan kepada kita?
          Kedua, intropeksi diri. Kejadian ini selayakanya dijadikan momentum untuk intropeksi diri anggota dewan. Coba mengevaluasi diri. Lihat program legislasi nasional (prolegnas). Masih banyak RUU yang mengantri, membutuhkan kerja nyata mereka. Kinerja DPR selama 10 bulan terakhir, baru menghasilkan  dua UU yang mereka bahas bersama pemerintah, itu pun tak sepenuhnya UU, karena salah satunya cuma mengundang-undangkan Perppu. Mari berkaca dengan Parlemen Korea Selatan misalnya. Dalam kurun waktu 4 tahun, mereka bisa menghasilkan lebih dari 1.000 UU. Bila dibuat rata-rata  berarti 250 UU per tahun atau 20 lebih UU perbulan. Itu baru luar biasa. Itu baru bekerja.
          Ketiga, mari kita jungjung tinggi moralitas dan etika dan aturan dalam setiap langkah. Berpolitik, memang sah dan dilindungi oleh konstitusi. Tapi alangka lebih elok bila kita melakukannya dengan tidak menghalalkan segala cara.
          Akhir kata, penolakan penandatangan prasasti oleh Presiden harusnya menjadi pembelajaran bagi para anggota dewan, juga kita semua. Bahwa segala sesuatu itu harus kita lakukan dengan taat aturan dan hukum. Lebih bijak bila dibarengi dengan menjungjung tinggi etika dan moralitas dalam pelaksanaannya. Apalagi bagi anggota DPR, harus bisa menjadi panutan bagi rakyat banyak. Bukankah mereka wakil-wakil rakyat? Bukankah mereka rakyat pilihan? Wa Allau Alam 
(Telah dimuat di harian Umum Radar, Senin 24 Agustus 2015)






           


Rabu, 19 Agustus 2015

MENGENAL KECERDASAN MAJEMUK

          Dalam kelas masih ada guru yang beranggapan, memperlakukan peserta didiknya sebagai anak bodoh karena nilai-nilai latihannya jeblok, sering tidak mengerjakan PR, atau karena tak bisa menyelesaikan tugas. Guru rupanya masih beranggapan bahwa kecerdasan itu bergantung pada angka-angka hasil test yang mengacuh pada kemampuan pengetahuan peserta didik. Bila mengikuti perkembangan teori-teori kecerdasan, jelas cara pandang guru seperti itu salah. Karena kecerdasan tidak bisa dilihat dari hanya satu aspek, aspek pengetahuan misalnya dan nilai berbentuk angka juga tidak bisa menggambarkan seutuhnya kecerdasan seseorang. Sekarang telah dikenal apa yang disesbut Multiple Intelgences  dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kecerdasan majemuk, digagas oleh Dr Howard Gardner (1983). Howard Gardner adalah tokoh pendidikan dan psikologi terkenal, berkebangsaan Amerika yang lahir dengan nama lengkap Howard Earl Gardner pada tanggal 11 Juli 1943 di Scranton, Pennsilvania. Ia adalah co-director pada project Zero, sebuah kelompok penelitian (riset) di Havard School Graduate School of Education. Howard Gardner dalam bukunya yang berjudul Frames of Mind: Teori Multiple Intelegences tahun 1983 mendefinisikan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan suatu masalah, menciptakan suatu (produk) yang bernilai dalam suatu budaya. ( http://id.wikipedia.org/wiki/Howard_Gardner)
Kecerdasan majemuk dapat didefinisikan sebagai pendekatan perkembangan dalam belajar yang ditandai anak tumbuh dan berkembang sebagai suatu keseluruhan, tidak hanya satu dimensi saja yang berkembang dalam suatu waktu tertentu atau sebaliknya tidak semua dimensi memiliki kecepatan perkembangan yang sama.
Adalah Munif Chatib, pakar pendidikan Indonesia telah mengemas kecerdasan majemuk lebih menarik lagi. Menurutnya, yang membedakan teori Howard Gardner tentang kecerdasan di banding teori lainnya adalah pertama kecerdasan tidak dibatasi oleh test formal. Kenapa? Karena kecerdasan seseorang itu dinamis, selalu berkembang, tidak statis. Test yang dilakukan hanya dapat menggambarkan kecerdasaan seseorang saat itu, tidak untuk satu bulan, satu tahun apalagi untuk selamanya.Sumber kecerdasan seseorang adalah kebiasaannya untuk membuat hal-hal baru (baca:kreatifitas) dan kebiasaannya dalam menyelesaikan masalah (problem solving). Menurut Valentine Dmitriev, P.hD dalam bukunya Smart Baby, Clever Child menyebutkan ada dua faktor yang sangat dominan mempengaruhi perkembangan kecerdasan yaitu faktor gen (keturunan) dan faktor lingkungan. Untuk gen kita tak bisa banyak berbuat tapi untuk faktor lingkungan kita bisa melakukan banyak untuk meningkatkan potensi kecerdasan anak.
Kedua, kecerdasan itu multidimensi. Kecerdasan seorang anak dapat dilihat dari berbagai dimensi atau bisa juga disebut ranah. Gardner sendiri awalnya menemukan 6 dimensi atau ranah kemudian menjadi sembilan. Dan seiring berputarnya waktu saya yakin masih berkembang dan bisa jadi bertambah semakin banyak.
Ketiga, kecerdasan merupakan proses discovering ability. Yakni bahwa kecerdasan itu lebih menitikberatkan pada proses untuk mencapai kondisi akhir terbaiknya. Adakalanya seseorang menemukan kondisis terbaik (baca:kecerdasannya) pada saat usia sudah tak mudah lagi. Misalnya J.K Rowling adalah seorang penulis terkenal dan terkemuka yang sangat sukses tentu cerdas. Ia menemukan kecerdasanya dalam menulis saat berusia 43 saat menulis novel untuk pertama kalinya yang ia beri judul Harry Potter. Berbeda dengan Imam Syafii (salah satu imam madzhab fiqhi dalam Islam) dapat menghafal Al Quran dalam usia 7 tahun. Beliau menemukan kecerdasan yang ada pada dirinya dalam usia yang relatif sangat mudah.
Dimensi kecerdasan
          Dr Howard Gardner (1993) menyebutkan dimensi kecerdasan majemuk sebagai berikut, pertama, kecerdasan linguistik. kecerdasan linguistik atau kecerdasan berbahasa adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan pendapat atau pikirannya melalui bahasa verbal maupun non verbal. Adalah Agatha Christie seorang penulis novel misteri dari Inggris, walaupun ia didiagnosa mengalami learning diisablity, sangat lambat menerima pelajaran tetapi yang sangat cerdas di dimensi ini. Siswa yang memiliki kecerdasan ini biasanya pandai mengarang, menulis puisi, berpidato.
Kedua, kecerdasan logis matematis. Yaitu kecerdasan yang melibatkan keterampilan mengolah angka dengan baik dan atau kemahiran menggunakan penalaran atau logika dengan benar. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada hubungan logis, hubungan sebab akibat, dan logika-logika lainnya. Proses yang digunakan dalam kecerdasan matematis-logis ini antara lain klasifikasi (penggolongan/pengelompokan), pengambilan kesimpulan dan perhitungan. Bill Gates, pendiri Microsoft merupakan tokoh dunia yang memiliki kecedasan luar biasa di dimensi ini.  Kecerdasan ini  dimiliki oleh peserta didik yang pandai ilmu berhitung seperti Matematika, IPA.
Ketiga, spasial visual. Yaitu kecerdasan yang  menunjukkan kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih mendalam hubungan antara objek dan ruang. Peserta didik ini memiliki kemampuan, misalnya, untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi seperti dijumpai pada orang dewasa yang menjadi pemahat patung atau arsitek suatu bangunan.
Keempat, kecerdasan musikal. Menurut Howard Gardner, kecerdasan bermusik mencakup kepekaan dan penguasaan terhadap nada, irama, pola-pola ritme, tempo, instrument, dan ekspresi musik, hingga seseorang dapat bermain musik dan menikmati musik. Stevie Wonder misalnya, walau buta sejak lahir ia masuk dapur rekaman sejak usia 10 tahun. Kelemahannya (baca:buta) tak menghalanginya menemukan kecerdasan yang terpendam pada dirinya. Dalam belajar kecerdasan ini kita jumpai pada mereka yang gemar bernyanyi, menghafal lagu.
Kelima, kecerdasan interpersonal sering disebut sebagai kecerdasan sosial. Adalah kemampuan untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi dan perasaan orang lain. Peka pada ekpresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi. Kecerdasan ini juga mampu untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia orang lain, mengerti pandangan, sikap orang lain dan umumnya dapat memimpin kelompok. Di kelas, peserta didik seperti ini biasanya selalu menjadi pemimpin bagi teman-temanya baik saat belajar kelompok atau lainnya.
          Keenam, kecerdasan intrapersonal, yakni kepekaan seseorang terhadap perasaan dirinya sendiri  sehingga mampu mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri. Peserta didik semacam ini senang melakukan instropeksi diri, mengoreksi kekurangan maupun kelemahannya, kemudian mencoba untuk memperbaiki diri. Beberapa diantaranya cenderung menyukai kesunyian dan kesendirian, merenung, dan berdialog dengan dirinya sendiri.
          Ketujuh, Kecerdasan kinesteti atau kecerdasan anggota tubuh. Yaitu kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah.Hal ini dapat dijumpai pada peserta didik yang unggul pada salah satu cabang olahraga, seperti bulu tangkis, sepakbola, tenis, renang, dan sebagainya, atau bisa pula dijumpai pada peserta didik yang pandai menari, terampil bermain akrobat, atau unggul dalam bermain sulap..
            Kedelapan, kecerdasan naturalis. Yakni kecerdasan yang menunjukkan kepekaan seseorang terhadap lingkungan alam, misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, atau hutan. Peserta didik dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan alam seperti aneka macam bebatuan, jenis-jenis lapisan tanah, aneka macam flora dan fauna, benda-benda angkasa, dan sebagainya.
          Bila melihat kemajemukan kecerdasan di atas, maka dapat disimpulkan sebenarnya  tidak ada peserta didik yang bodoh. Mereka semua dibekali Tuhan dengan kecerdasan yang berbeda satu sama lain. Kecerdasan-kecerdasan itu yang harus digali dan dikembangkan oleh para pendidik. Bila pendidik berhasil menggalinya,  berarti  telah berhasil proses belajar mengajar atau pendidikan. Bukankah tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia? Yaitu mengantarkan manusia menemukan potensi terpendamnya. Wa Allahu Alam. (Telah dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, Selasa 25 Agustus 2015)





 

Senin, 17 Agustus 2015

Setelah Kocok Ulang Kabinet


          Beberapa waktu lalu, presiden Jokowi merushuffle, merombak kabinet. Media (cetak, elektronik) menyebutnya sebagai kocok ulang kabinet. Menarik, sebutan itu. Kocok ulang itu terkesan dilakukan tanpa pemikiran pajang, tanpa rencana, bahkan asal-asalan. Entah, apa sebabnya istilah itu dipilih. Bisa jadi, itu merupakan bentuk ketidak percayaan publk menanggapi reshuffle kabinet yang dilakukan pak Jokowi. Walau seperti diketahui bersama, publiklah yang telah mendorong  hal itu (baca:reshuffle). Atau bisa juga karena tidak terlalu berharap banyak dari reshuffle yang telah dilakukan.
          Pada Rabu 12 Agustus 2015 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo secara resmi melakukan resuffle kabinet kerja.  Presiden Joko Widodo telah mengganti enam menteri. Keenam menteri yang dicopot yaitu Tedjo Edhy digantikan oleh Luhut Binsar Pandjaitan di posisi Menko Polhukam, Sofyan Djalil digantikan Darmin Nasution di posisi Menko Perekonomian, Andrinof Chaniago digantikan Sofyan Djalil sebagai Kepala Bappenas yang sebelumnya di posisi Menko Perekonomian, Rachmat Gobel digantikan Thomas Lembong di posisi Menteri Perdagangan, Indroyono Soesilo digantikan Rizal Ramli di posisi Menko Maritim. Kemudian diumumkan pemberhentian Andi Widjajanto dari posisi Sekretaris Kabinet dan digantikan posisinya oleh Pramono Anung.
          Sekarang rakyat menanti kerja dan aksi cepat mereka. Gebrakan, terobosan yang berpengaruh langsung terutama bidang ekonomi akan ditunggu. Kerja cerdas mereka dinanti. Kekompakan anggota kabinet setelah kocok ulang (baca:masuknya enam menteri baru) diharapkan dapat mendorong keadaan perekonomian negara yang sedang suran ke arah yang lebih baik lagi. Karena dorongan rushuffle sejatinya untuk tujuan itu. Masuknya tokoh-tokoh berpengalaman seperti Rizal Ramli sebagai Menko Maritim, Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian diharapkan mampu menghadapi krisis ekonomi yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Kordinasi, kordinasi dan kordinasi
          Melihat rushuffle kemaren, saya menangkap betapa penting serta dibutuhkannya kordinasi yang baik dan kuat dalam kabinet kerja. Itu bisa ditandakan dengan dirushefflunya semua Menko (kecuali Mbak Puan Maharani). Jokowi menyadari kordinasi dalam kabinet kerja yang dibentuknya sangat lemah bahkan bisa disebut kedodoran. Hal ini juga ditegaskan Rizal Ramli, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Darmin Nasution saat ditanya oleh para wartawan, apa tugas pertama yang disampaikan Presiden? Mereka bertiga di tempat terpisah menjawab dengan jawaban yang sama. Presiden meminta meningkatkan kordinasi para menteri dalam bekerja, menyelesaikan permasalahan yang ada. Pengalaman (baca:kordinasi) sebelumnya yang dianggap tidak baik dianggap sebagai salah satu sebab menonjol lambanya kinerja kabinet.
          Namun demikian rakyat menyaksikan sebaliknya. Pesan semangat kordinasi yang disampaikan Presiden justru berbalik di lapangan. Adalah Rizal Ramli meminta agar Garuda membatalkan rencana pembelian Airbus A350. Menurutnya, daripada membeli pesawat A350 lebih baik membeli A320 untuk penerbangan domestik dan regional, Garuda lebih baik fokus ke pasar domestik dan regional. Terang saja, hal ini membuat berang Menteri BUMN Rini Soemarno. Pak Rizal dituduh banyak pihak salah kaprah karena mengusik pekerjaan kementerian lain yang tidak dibawah kordinasinya. Bahkan menurut Hendi Setiawan  (2015) Pak Rizal Ramli telah melakukan off-side. Disebut off-side karena sangat jelas perusahaan penerbangan Garuda tidak termasuk bidang yang menjadi wilayah kerja Menko Kemaritiman. (Kompasiana.com) Rizal Ramli nampaknya lupa bahwa dia tidak lagi sebagai seorang pengamat yang kritis, tapi salah satu anggota kabinet. Beliau lupa, apa yang diminta oleh presiden yakni meningkatkan kordinasi sebagai tugas pertama dan utama untuknya juga yang lain setelah dilantik menjadi menteri.
          Hal di atas seharusnya tidak terjadi bila para menteri kompak, mendahulukan dialog internal dibanding mengeluarkan statemen ke publik. Kaitan dengan statemen Rizal Ramli, menurut Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Suharso Monoarfa, Presiden Jokowi sudah menegurnya. (http://nasional.kompas.com/). Teguran itu mustinya dapat menjadi pelajaran bagi semua.
Harapan, menanti terobosan
          Terlepas pro-kontra seputar siapa yang diganti dan yang menggantikan, reshuffle memberikan harapan baru bagi rakyat. Mereka menanti kerja nyata kabinet kerja Jokowi yang telah direvisi, diperbaiki berdampak langsung bagi peningkatan kesejahteraan. Mereka berharap kondisi ekonomi lebih baik, bangkit dari keterpurukan. Lebih khusus rupiah segera menguat. Harga kebutuhan pokok terjangkau termasuk daging sapi. Untuk itu menurut hemat saya, ke depan para pembantu presiden harus, pertama, lebih fokus pada tanggung jawab yang telah diberikan. Tidak perlu tengak-tengok urusan lain. Konsentrasi di kementerian masing-masing. Bekerjalah dengan semangat mengabdi pada rakyat. Tidak perlu sensasi, apalagi untuk pencitraan. Pahami dan laksanakan perintah dan arahan presiden. Jangan jalan sendiri, ikuti visi misi Jokowi dengan Nawa Cita yang telah digagasnya.
          Kedua, carilah terobosan-terobosan cerdas dalam setiap penyelesaian masalah. Walau terobosan semacam itu terkadang seperti pil pahit yang akan ditolak oleh setiap orang. Karenannya memerlukan keberanian. Dan bagi sang menteri terkait harus siap segala, termasuk siap menerima hujatan. Saya mengapresiasi keteguhan Menpora Imam Nahrawi dalam perbaikan persepakbolaan nasional. Walau dikecam, tetap jalan dengan keyakinan dan tanggung jawab. Demikian, menteri Susi Pujiastuti dalam penenggelaman kapal pencuri ikan, juga menteri Anis Baswedan dalam mereduksi fungsi UN dan pemberhentian pemberlakuan Kurikulum 2013. Terobosan-terobosan cerdas, bertanggung jawab seperti itu yang cepat atau lambat akan dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
          Ketiga, seperti yang ditekankan oleh presiden saat rushaffle, kordinasi antara kementerian di bawah menko masing-masing harus ditingkatkan. Karenanya para menteri harus kompak, bersama dalam setiap gerak dan langka. Kerja kabinet adalah kerja team. Satu dengan yang lain harus saling mendukung dan menopang.
          Akhir kata, reshuffle kabinet tidak akan bermakna apa-apa bila ha-hal di atas diabaikan oleh para menteri. Untuk itu kocok ulang kabinet harus dijadikan  momentum evaluasi diri setiap menteri. Sehingga setelah kocok ulang kabinet ini kinerja pemerintah Jokowi-JK dapat dirasakan lebih cepat, lebih baik, lebih membawa kesejahteraan bagi rakyat. Wa Allahu Alam




Sabtu, 15 Agustus 2015

Torehkan Sejarah, Jokowi Berlebaran di Aceh


          Kalau sebelumnya saat hari raya atau lebaran Idul Fitri, istana kepriesidenan selalu menyelenggarakan open house maka untuk tahun ini dipastikan tidak ada. Sebab, Presiden Jokowi lebih memilih merayakan lebaran di propinsi Aceh. Ini membedakannya dengan presiden-presiden sebelumnya. Sepengetahuan saya dari Presiden Soekarno sampai Presiden SBY mereka selalu memilih berlebaran di Jakarta menggelar open house di istana negara. Jokowi telah menorehkan sejarah baru. Jokowi tampil berbeda. Tentu membangun tradisi baru bagi seorang Presiden RI.
           Seperti disampaikan oleh Tim Komunikasi Presiden, Teten Masduki, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/7/2015), Jokowi akan bertolak ke Aceh pada Rabu malam didampingi keluarga, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursidan Baldan. Presiden akan beraktivitas di dua kota, yakni Meulaboh dan Banda Aceh. Teten Masduki juga memastikan tak ada open house di sana, presiden yang akan bersilaturrahmi ke warga. Menurut rencana, Presiden akan merayakan malam takbiran di Masjid Baitur Rahman, Banda Aceh. Di masjid itu pula, Jokowi akan melangsungkan shalat Idul Fitri bersama keluarganya. Kemudian beliau juga berencana akan membagikan 2000 paket sembako untuk warga miskin. (www.kompas.com)
          Bagi Presiden Jokowi hal-hal seperti di atas bukan sesuatu yang baru. Sebelumnya, Jokowi memilih tradisi yang berbeda dalam perayaan hari raya keagamaan. Pada perayaan Natal 2014, Jokowi memilih merayakan Natal bersama warga di Papua. Dalam pandangan Nurul Ibad MS (2015)  dalam bukunya Jokowi dalam cermin dunia, hal demikian disebut sebagai politik memanusiakan masnusia. Yaitu sebuah pendekatan politik yang menyentuh hati, perasaan paling dalam manusia. Gaya komunikasi dan politk Jokowi  memang sangat berbeda dengan gaya komonikasi dan politik pemimpin-pemimpin lainnya di negeri ini.
Menorehkan sejarah, apa untuk pencitraan?
Keputusan Presiden memilih Aceh sebagai tempat berlebaran pertamanya (baca: setelah  menjabat presiden)  sekilas merupakan  sesuatu  yang biasa saja. Tapi bila kita meneliti dan melihatnya lebih dalam, itu bukan sesuatu yang biasa. Seperti disinggung sebelumnya bahwa ini sebuah terobosan yang belum pernah dilakukan oleh seorang Presiden Indonesia sebelumnya . Saya tertarik dengan logika yang dibangun oleh Abang Goentanyo dalam tulisannya , Apa Makna Jokowi Lebaran di Aceh? Beliau menegaskan, jika mengacu pada jumlah Provinsi yakni 34 Propinsi, Jokowi akan memerlukan waktu 34 tahun  untuk  berlebaran di seluruh Propinsi. Karenanya, ia harus menjabat presiden seperti rekor Soekarno atau Soeharto. Tapi hal itu tentu tidak mungkin terjadi lagi. Sebab, berdasarkan peraturan dan undang-undang yang berlaku sekarang jabatan presiden dibatasi hanya 2 priode berarti cuma 10 tahun. Lebih-lebih bila mengacu pada usia, Jokowi saat ini berusia 53 tahun, maka ia baru selesai melakukan safari lebaran pada semua  propinsi saat usia 87 tahun. Secara psikis dan psikologis hal itu menjadi sesuatu yang sulit terwujud. Nah, dengan demikian dapat disimpulkan, lebaran bersama di Aceh ini bukanlah  sesuatu yang biasa-biasa saja kalau tidak mau menyebutkannya sebagai hal yang luar biasa. (http://www.kompasiana.com)
Seperti biasa, sebagian orang menuduhnya sebagai upaya pencitraan Jokowi di tengah krisis kepercayaan rakyat karena dinilai gagal dalam membenahi ekonomi bangsa selama ini. Tuduhan seperti ini memang selalu diterima oleh Jokowi dalam setiap langkahnya. Dan Jokowi memahaminya sebagai kritik membangun bagi dirinya sehingga ia tak merasa perlu membalas atau menjawab tuduhan-tuduhan tersebut. Dan saya di sini bukan kapasitasnya untuk menjawab tuduhan-tuduhan itu. Hanya sebagai rakyat biasa saya berpikir, pertama, bukan  hal yang sederhana bagi kita meninggalkan kediaman atau kampung halaman untuk sekadar belebaran dengan yang lain. Itu sebuah pengorbanan besar seperti besarnya pengorbanan orang mudik ke kampung halaman. Untuk mudik, orang harus mengorbankan banyak hal termasuk resiko nyawa di jalan raya. Pak Jokowi melakukan sebaliknya, untuk menemui rakyat yang dipimpinnya.
Kedua, taruhlah itu pencitraan, bagi saya selagi untuk kepentingan rakyat, mendatangkan kebaikan buat mereka maka hal itu tidak menjadi  masalah. Bukankah bagi presiden  rakyat seharusnya ditempatkan di atas segala? Pencitraan atau tidak itu urusan politik. Tidak ada urusan bagi rakyat. Rakyat hanya butuh perhatian dari pemimpinnya. Mereka berharap banyak dari pemimpinnya. Mereka akan merasakan setiap sentuhan kebijakan sang presiden. Kemudian hal itu akan diingatnya lima tahun mendatang saat berada di TPS untuk memilih atau tidak memilih seorang calon presiden.
Ketiga, berbaik sangka lebih baik. Dalam segala hal  sebaiknya jangan cepat menuduh,  beburuk sangka. Berilah kesempatan orang berbuat sesuatu. Pelajari terlebih dahulu sebelum memberi penilaian agar penilaian kita tak salah. Pandanglah sesuatu dari berbagai sudut yang benat, jangan melihatnya dari sudut kita semata.
Pelajaran buat semua
          Sebagai orang bijak sebaiknya kita mengambil pelajaran dari setiap peristiwa  dan kejadian. Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pelajaran, pertama, bagi rakyat perhatian pemimpin itu sesuatu yang istimewa, yang menjadi harapan. Apa yang dilakukan oleh Presiden Jokowi seharusnya dapat dicontoh oleh pemimpin-pemimpin di daerah. Kepala-kepala daerah baik Bupati/Walikota atau Gubernur harus lebih serius lagi dalam mengayomi dan memgurus rakyatnya. Agar energi positif kepemimpinan ini mengalir dari atas ke bawah dengan baik, dan berdampak positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
          Kedua, besar kecilnya pengaruh dari apa yang diperbuat akan terlihat setelah berlalunya sang waktu. Sering dijumpai saat ini biasa-biasa saja, tapi di kemudian hari menjadi sesuatu yang luar biasa. Maka berilah penilaian di saat yang tepat dengan cara pandang yang tepat pula.
          Ketiga, kepentingan politik kerap kali masuk ke berbagai lini dalam kehidupan berbangsa kita. Politik seringkali mengaburkan makna. Dalam hal ini, rakyat seyogyanya belajar memahami. Rakyat kecil seperti saya, diharapkan  tidak cepat terpengaruh oleh arus informasi yang bermuatan politk tertentu. Sebaliknya, setiap informasi harus diteliti, dipelajari agar kita tidak selalu tertipu.
          Akhir kata, semoga terobosan yang dilakukan Jokowi berlebaran di daerah seperti Aceh ini tidak menjadi yang pertama dan yang terakhir. Masih banyak daerah yang layak diperhatikan secara khusus oleh Presiden. Dan yang paling penting semoga hal ini mendatangkan manfaat dan kebaikan buat rakyat. Amin







Terobosan Di Awal Tahun Pelajaran


          Di awal tahun pelajaran 2015-2016, Mendikbud membuat terobosan yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan bagi para guru atau dunia pendidikan pada umumnya. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut seperti penegasan kembali pentingnya penanaman nilai-nilai luhur, budi pekerti, karakter. Sebab apa yang yang ditegaskan dalam permendikbud sebenarnya telah dilakukan oleh guru dan sekolah, tentu tidak semua. Artinya ada juga yang belum dilaksanakan.
          Namun demikian, upaya Kemendikbud dalam penumbuhan budi pekerti pada siswa harus diapresiasi oleh semua pihak terkait. Kalangan pendidik harus lebih serius memperhatikan, menyikapi  hal-hal yang ditekankan, ditegaskan dalam permendikbud tersebut. Ini dapat dijadikan evaluasi bersama bahwa apa yang telah dilakukan selama ini seperti upacara bendera, berdoa sebelum belajar, bersalaman saat masuk dan keluar kelas, dan lainnya belum terlihat hasilnya secara maksimal. Alasan ini yang barangkali melatar belakangi lahirnya Permendikbud Nomor 21 tahun 2015 itu.
          Kemudian Permendikbud juga harus dimaknai sebagai peringatan untuk semua, terutama  pendidik dan orang tua bahwa penanaman nilai-nilai, karakter, budi pekerti membutuhkan waktu panjang. Yakni sebuah proses yang terus menerus dilakukan, berupa pembiasaan yang diharapkan menjadi  karakter peserta didik. Pembiasaan memerlukan lingkungan. Nah, menjadi tanggung jawab semua (di sekolah, di rumah, di masyarakat) untuk menciptakan lingkungan yang baik serta kondusif bagi berkembangnya pembiasaan-pembiasaan nilai-nilai positif. Lingkungan yang mendukung akan mempercepat pembiasaan nilai, budi pekerti menjadi karakter.
Terobosan, Permasalahan dan solusi
          Di samping sesuatu  yang biasa dilakukan seperti upacara bendera, berdoa sebelum dan sesudah belajar, bersalaman saat masuk dan pulang sekolah, dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti,  ada juga hal-hal baru yang dapat dikategorikan sebagai sebauh terobosan di dunia pendidikan kita saat ini. Terobosan ini menjadi istimewa karena diberlakukan di awal tahun pelajaran 2015-2016 ini. Berikut terobosan-terobosan itu. Pertama, keharusan orang tua mengantar anaknya di awal masuk sekolah. Ini berlaku buat semua peserta didik, tidak hanya siswa baru. Kalau bagi peserta didik baru kita sudah sering melihatnya, terutama di sekolah dasar atau sebagaian siswa baru pada tingkat menengah pertama. Untuk SLTA, kita jarang menemukannnya. Dalam peraturan Menteri tersebut semua peserta didik (baru atau lama) di semua tingkatan (SD, SLTP, SLTA) saat hari pertama sekolah harus diantar oleh orang tua mereka. Tidak cukup hanya itu. Mereka (orang tua) juga diminta menitipkan anak-anaknya pada guru di sekolah. Seperti serah terima tanggung jawab, masing-masing dari mereka (orang tua-guru) harus memahami kewajiban dan hak masing-masing baik saat anak-anak di sekolah atau di rumah. Kedua belah pihak diharapkan dapat bekerja sama dalam membimbing, mengajar, dan mendidik mereka.
          Kaitan dengan hal di atas, Menteri Anis Baswedan pernah  menegaskan bahwa  wajah masa depan kita memang  berada di ruang-ruang kelas. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa tanggung jawab membentuk masa depan itu hanya berada dipundak pendidik dan tenaga kependidikan di institusi pendidikan. Secara konstitusional,mendidik adalah tanggung jawab negara. Namun, secara moral, mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Mengembangkan kualitas manusia Indonesia harus dikerjakan sebagai sebuah gerakan bersama. Semua harus ikut peduli, bahu membahu, saling sokong dan topang untuk memajukan kualitas manusia Indonesia lewat pendidikan. (Sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, di hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2015)
          Hanya menjadi pertanyaan kita semua, bisakah hal ini dilakukan oleh wali siswa? Di tengah kesibukan, apa mereka mau melakukannya? Sebab selama ini partisipasi langsung mereka sangat minim kalau tidak mau menyebutnya tidak ada. Mereka mempercayakan begitu saja pada pihak sekolah. Mereka seakan  tidak mau pusing. Apalagi bila anak mereka beranjak dewasa (SLTP-SLTA), orang tua dengan tanpa ragu berlepas diri. Mereka mempercayakan pada anak-anak mengurus urusan sekolah mereka sendiri
          Menyikapi hal di atas, pemerintah hendaknya segera melakukan sosialisasi yang cukup. Sosialisasi dapat di lakukan melalui televis, radio, media cetak.  Sosialisasi diharpakan bisa menumbuhkan kesadaran akan perlunya kebersamaan (baca:gerakan bersama) dalam mendidik anak. Orang tua selayaknya menyadari bahwa perkembangan pendidikan anak mereka tidak boleh diserahkan begitu saja pada guru di sekolah.
          Kedua, menyanyikan lagu nasional di awal pelajaran dan lagu daerah di akhir pelajaran setiap hari. Lagu nasional meliputi lagu wajib seperti Indonesia Raya atau lagu perjuangan, juga lagu kebangsaan. Untuk lagu daerah tentu masing-masing daerah berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk menamkan kecintaan pada tanah air, membangkitkan semangat kebangsaan, menumbuhkan rasa nasionalisme dan memperkenalkan keragaman daerah. Dari nyanyian tersebut peserta didik ditanamkan kesadaran diri sebagai warga negara yang harus mampu mengisi kemerdekaan dengan membangun bermodalkan keragaman potensi daerah. Ini makna bineka tunggal ika yang diupayakan tertanam dan tumbuh berkembang sejak dini.
          Dan menjadi tantangan bagi setiap guru untuk dapat melantunkan lagu-lagu tersebut dengan baik. Guru harus hapal lagu-lagu baik lagu nasional maupun lagu daerah. Selama ini masih ada (bahkan mungkin banyak)  guru yang belum hapal lagu-lagu dimaksud. Paling guru kesenian yang biasa banyak menguasai lagu-lagu itu. Guru mestinya menguasai sepenuhnya lagu-lagu itu sebagai contoh dan teladan buat anak didik mereka. Nah, untuk tujuan ini guru tak perlu merasa malu mempeelajari kembali lagu-lagu, bila perlu pemerintah memfasilitasi melalui diklat misalnya. Ini penting, agar tujuan permendikbud tersebut tercapai.
          Ketiga, menggunakan waktu 15 menit sebelum pembelajaran berakhir dengan membaca buku bebas, bukan pelajaran. Ini upaya menanamkan kecintaan pada buku dan membaca. Karenanya, di setiap kelas harus disediakan buku-buku bacaan. Bisa juga kliping dari surat kabar, majalah, atau lainnya. Bagi sekolah yang tidak banyak memiliki buku bacaan atau tidak mempunyai perpustakaan, guru dituntut lebih kreatif lagi  menghadirkan bacaan bagi anak. Misalnya, dengan gerakan sedekah buku, infaq bacaan. Usaha seperti ini dapat melibatkan wali siswa, intasnsi terkait, atau masyarakat luas.
          Akhirnya, kita semua harus memaknai penanaman budi pekerti sebagai serangkaian kegiatan non kuirkuler di sekolah yang bertujuan untuk menciptakan iklim sekolah yang menyenangkan bagi seluruh warga sekolah  dan menumbuhkan budi pekerti anak bangsa. Dan semoga langkah ini menjadi sebuah terobosan yang memajukan pendidikan di Indonesia. Amin.SELAMAT MEMASUKI TAHUN PELAJARAN 2015-2016 (Dimuat di Harian Radar, Senin 27 Juli 2015)




Mengatasi Calon Tunggal Dalam Pilkada


          Dari tujuh daerah yang awalnya memiliki calon tunggal kepala daerah  dalam pilkada 2015 yaitu Surabaya, Pacitan, Blitar, Tasikmalaya, Samarinda, Timor Tengah Utara, Mataram,   kini setelah perpanjangan waktu pendaftaran berakhir kemaren, 11 Agustus 2015 tersisah empat daerah. Keempat daerah yang dinyatakan diundur pelaksanaan pilkadanya pada tahun 2017 karena hanya ada calon tunggal itu adalah Timor Tengah Utara, Mataram, Blitar, dan Tasikmalaya.
          Munculnya calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah  merupakan fenomena baru. Dan menariknya, muncul pada saat pilkada akan dilaksanakan secara serentak. Keadaan ini membuat gelisah berbagai pihak termasuk pemerintah pusat, dalam hal ini KPU. Pasalnya, karena hal itu penyelenggaraan pilkada serentak kembali dipertanyakan kesiapannya oleh beberapa pihak. Wacana pengeluaran Perpu sempat bergulir. Sampai akhirnya, memutuskan memperpanjang waktu pendaftaran.
          Fenomena bakal calon tunggal di beberapa daerah saat ini, menurut  Ardi Winangun (2015) dilatar belakangi oleh empat hal, pertama, karena faktor trauma. Seperti kita ketahui bersama sebelumnya, pemilukada selalu meninggalkan masalah bagi yang kalah juga yang menang. Biaya besar yang dihabiskan untuk modal pemilukada adalah masalah utamanya. Baik yang menang apalagi yang kalah sama-sama dililit hutang akibat pencalonan. Bedanya, yang menang bisa sedikir lega, dengan memutar otak bagaiman caranya modal bisa kembali. Berbeda dengan yang kalah, mereka harus gigit jari kehilangan harta dalam jumlah yang cukup banyak. Karena itu, tak sedikit dari mereka yang stres bahkan gila. Biaya besar dihabiskan untuk logistik kampanye, sosialisasi, menggerakan massa, sampai money politik atau membeli suara. Menegok hal itu, banyak bakal calon yang berpikir ulang. Mereka merasa takut. Ketakutan itu tak hanya dirasakan oleh bakal calon dari jalur independen, tokoh-tokoh partai pun merasakan hal serupa.
          Kedua, karena susahnya mencari kata sepakat antara gabungan partai politik yang akan mengusung. Kata sepakat akan sulit dicapai saat menentukan siapa kepala daerah dan siapa yang menjadi wakilnya. Tidak ditemukannya kata sepakat sampai detik akhir pendaftaran menyebabkan gagalnya pencalonan.
          Ketiga, faktor incumbent yang berprestasi yang mencalonkan kembali. Pencalonan mereka yang telah nyata-nyata dicintai rakyat karena prestasi dan keberhasilannya dalam memimpin dan mensejahterahkan mereka membuat calon lain berpikir ulang untuk berhadapan melawannya. Dalam hal ini, Walikota Surabaya, Tri Rismaharini contohnya.
Keempat, calon tunggal, bisa juga dikarenakan adanya kepala daerah yang dominan dan kuat. Partai politik dan DPR sepertinya tak berdaya atau ewuh pakewuh menghadapai kepala daerah semisal itu, yang hendak maju kembali dalam Pemilukada. Tokoh sentral nan kuat di sebuah daerah membuat tokoh-tokoh lain mati kutu, tak bisa berbuat banyak, termasuk mencalonkan diri.
Kelima, saya menambahkan, fenomena calon tunggal juga disebabkan lambatnya regenerasi kepemimpinan di partai politik. Itu terjadi tidak hanya di daerah bahkan di pusat. Keterlambatan itu karena keengganan kader senior untuk memberi kesempatan lebih luas pada generasi muda. Mereka kekeh mempertahankan diri di posisinya, termasuk dalam kaitan perebutan bakal calon kepala daerah. Dan saat mereka tumbang di awal laga saat pendaftaran, junior mereka belum atau tidak siap mengantisipasinya.
Bagaimana ke depan?
          Mengatasi permasalahan di atas, menurut hemat saya ada beberapa hal yang bisa diupayakan agar fenomena calon tunggal tak terjadi lagi di waktu yang akan datang pertama, regenerasi kepemimpinan yang baik dan cepat. Regenerasi adalah sesuatu yang mutlak dibutuhkan untuk menghindari terputusnnya kepemimpinan. Regenerasi biasanya dihambat oleh keengganan senior memberi kesempatan yang lebih longgar pada junior. Mustinya, senior bersikap bijak, tahu diri, jangan memaksa kehendak. Faktor lain yang menghambat regenerasi menurut  Asrinaldi A (2015)  adalah pertimbangan pragmatis justru menjadi dominan dalam menentukan pemimpin di partai politik. Karena itu, mendudukan kembali figur partai dalam kepengurusan menjadi pilihan mudah. Bahkan, tidak jarang kelompok yang mendukung status qua di kepengurusan tetap ingin memperjuangkan ketua lama kerena pertimbangan keuntungan yang mereka dapatkan (print Kompas.com, 11, April 2015) Hal demikian tidak hanya terkait pada persoalan kepemimpinan di internal parta, juga saat menyiapkan pemilukada. Di sisi lain, pragmatisme seperti itu menunjukkan keengganan generasi muda (baca:junior) mengambil alih kepemimpinan. Mereka lebih memilih berada pada zona nyaman dalam ketiak seniornya. Ke depan, kedua belah pihak (senior-junior) harus siap bekerja sama. Senior siap dan legowo untuk lengser. Junior siap mengambil alih kepemimpinan.
          Kedua, meminimalisir biaya. Dalam pimilukada, menjadi rahasia umum, anggaran terbesar yang harus siap digelontorkan oleh calon kepala daerah adalah memenuhi kebutuhan money politic, atau bagi-bagi uang pada pemilih. Bagi-bagi uang menjadi kebiasaan buruk para calon kepala daerah untuk meraih simpati dan suara. Money politk sebenarnya dilarang, dapat dijerat oleh hukum. Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999  menyebutkan, barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.  Namun demikian, pembuktiaannya sangat sulit. Karena kedua bela pihak (pemberi-penerima) sama-sama saling membutuhkan. Para pemilih memilih cara pragmatis karena menurut mereka memilih dalam setiap pemilihan baik kepala daerah maupun calon legeslatif tidak berpengaruh apa pun bagi kehidupan mereka. Ke depan, penegakan hukum dalam pencegahan dan penindakan money politik harus lebiih tegas. Ketegasan akan menghadirkan efek jerah sehingga diharapkan dapat meminimalisir praktek money politic.
          Walhasil, regenerasi yang baik dan pelaksanaan pemilukada yang efesien, efektif sangat berpengaruh dalam menghadirkan calon-calon pemimpin daerah yang siap tarung, berkompetisi dengan sehat. Sehingga, insya Allah, kita tidak akan terjebak lagi pada persoalan calon tungggal dalam setiap pemilukada di masa yang akan datang. Amin.