Selasa, 27 September 2016

Apa Penting Justice Collaborator?


Senin (26/9) yang lalu majelis hakim Pengadilan Tipikor memvonis terdakwa suap proyek pelebaran jalan di Maluku Damayanti Wisnu Putranti dengan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara. Selain itu, majelis hakim memutuskan memberi hukuman denda Rp 500 juta dengan subsider 3 bulan kurungan. Meski telah diputuskan, pihak Damayanti tidak langsung menerima putusan itu. Wirawan, kuasa hukum tampak berdiskusi dengan Damayanti setelah putusan hukuman penjara dibacakan. Mereka akhirnya menyepakati akan mempertimbangkan putusan itu.
 Vonis terhadap Damayanti sebenarnya lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum. Sebab, jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan hukuman penjara selama 6 tahun dengan denda Rp 500 juta dan subsider 6 bulan kurungan. Hal itu disebabkan Damayanti dianggap bisa bekerja sama dengan para penegak hukum dalam mengungkap kasus lebih jauh. Seperti diketahui yang bersangkutan telah mengajukan  permohonan guna menjadi justice collaborator . Permohonan itu pun dikabulkan oleh pengadilan.
Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya apa justice collaborator itu? Apa pentingnya bagi pemberantasan korupsi misalnya sehingga bisa meringankan hukuman bagi sang terdakwa?  Menurut Surat Edaran MA (SEMA) No 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Whistleblower dan Justice Collaborator,  Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang pelaku tindak pidana tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan.
Dalam Surat Keputusan Bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK dan Mahkamah Agung, Justice Collaborator dimaknai sebagai seorang saksi, yang juga merupakan pelaku, namun mau bekerjasama dengan penegak hukum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi apabila aset itu ada pada dirinya.
Apa bedanya dengan wisthleblower ? Justice collaborator memiliki perbedaan yang signifikan dengan wisthle blower. Jika wisthle blower orang yang memberikan informasi tidak terlibat dalam perkara yang dilaporkannya. Sedangkan, Justice Collaborator sebaliknya.
Justice Collaborator  merupakan salah satu produk hukum hasil ratifikasi dari konvensi tentang korupsi. Adapun konvensi tentang korupsi tersebut adalah United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 yang kemudian di ratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk Undang-undang No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Antikorupsi).
Namun, tidak semua pelaku kejahatan bisa menjadi Justice Collaborator. Ada syarat yang kudu dimilki oleh seorang Justice Colllaborator. Masih menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.14 Tahun 2011, syarat tersebut adalah pertama bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta bersedia memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Keterangan tersebut diakui manfaatnya oleh Jaksa Penuntut Umum dalam membongkar kasus lebih jauh atau dalam menjerat aktor yang lebih besar.
Kedua, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan/atau mengembalikan asset-aset/hasil suatu tindak pidana. Ini dapat diartikan bahwa di atas yang bersangkutan ada aktor lain yang lebih besar peranya dalam melakukan kejahatan yang dituduhkan. Aktor yang lebih tinggi keudukan, kewenangan dan kekuasaanya tersebut yang bakal diungkap oleh Justice Collaborator. Kemudian yang bersangkutan juga dengan suka rela bersedia mengembalikan hasil kejahatannya pada negara.
Kehadiran seorang Justice Colllaborator pada kasus korupsi di tanah air masih dalam perdebatan. Pasalnya, ada dugaan dari berbagai pihak bahwa usulan menjadi Justice Collaborator hanya sekadar upaya para koruptor menghindar dari hukuman yang semestinya. Karena itu, Justice Collaborator layak ditolak.
Apa penting Justice Collaborator?
          Pertanyaan ini menarik dipelajari. Sebab seperti diketahui korupsi menjadi musuh bersama kita semua. Korupsi menjadi kejahatan yang paling berbahaya karena berdampak pada eksistensi sebuah bangsa dan negara. Para koruptor dapat membangkrutkan negara jika tak diperangi. Nah, sekarang apa penting keberadaan Justice Collaborator dalam memerangi korupsi?
          Menurut hemat saya, Justice Collaborator sangat penting dalam memerangi korupsi. Pertama, karena seorang justice collaborator seperti Damayanti  sejatinya memiliki peranan  sangat dominan dan strategis dalam membantu aparat penegak hukum. Yang bersangkutan  bisa membongkar dan mengungkap tindak pidana korupsi lebih jauh. Hal itu dikarenakan,  Justice Collaborator ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana terorganisir dan dilakukan secara berjamaah seperti tindak pidana korupsi.
Walaupun posisi seorang Justice Collaborator bukan merupakan pelaku utama dari terjadinya suatu tindak pidana korupsi,  seorang Justice Collaborator dapat dijadikan sumber informasi dalam  mengungkap tersangka atau alat bukti lain dalam tindak pidana korupsi yang belum ditemukan oleh penegak hukum. Contoh nyata terkait hal ini adalah nyanyian Muhammad Nazaruddin yang mengungkap keterlibatan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, juga Andi Malarangeng  dalam kasus mega proyek Hambalang.
          Kedua, Justice collaborator sering digunakan untuk mengungkap ketidakjujuran dan penyimpangan yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan rekan-rekannya dalam suatu tindak pidana. Upaya ini tentu bukan pekerjaan yang mudah karena ia harus mengungkapkan dengan jujur apa yang telah ia lakukan dengan rekan-rekannya dalam suatu tindak pidana terorganisir yang dalam hal ini ia juga akan mendapatkan beban atas yang diungkapnya dalam kesaksian tersebut.
          Ketiga, dalam memberantas korupsi mengikuti istilah Pak Jokowi dibutuhkan tindakan gila. Tindakan gila dimaknai sebagai tindakan yang tidak biasa. Saya melihat Justice Collaboratif termasuk alternatif yang “gila” dalam upaya pemberantasan korupsi. Sebab itu, tak salah bila penegak hukum seperti KPK menempuh cara itu.
          Akhir kata, korupsi adalah musuh bersama bangsa Indonesia. Memeranginya harus total, tidak setengah hati. Cara apapun, walau tak lazim jika terbukti ampuh mengurangi korupsi bisa dipilih. Justic Collaborator atau wisthle blower tak masalah. Selagi bisa memberantas korupsi,  kenapa tidak? Wa Allahu Alam


Menanamkan Kecintaan Pada Al Quran


          Kemaren (21/9), saya mendamping anak didik dalam acara Penulisan Al Quran Sehari. Acara yang diselenggarakan oleh Dinas Pedidikan Kabupaten Indramayu tersebut bertempat di masjid Agung. Kegiatan yang bekerjasama dengan Majlis Ulama Indonesia (MUI), Badan Amil Zakat (BAZ),  DKM Masjid Agung serta Musium Rekor Indonesia (MURI) itu dibuka oleh Wakil Bupati Indramayu Drs. H Supendi, M.Si.
          Penulisan Mushaf Al Quran Sehari merupakan salah  kegiatan dalam rangka menyambut dan memperingati hari jadi Indramayu yang ke 489, sekaligus bagian dari Festival Cimanuk tahun 2016. Kegiatan itu diiukuti oleh 489 siswa Sekolah Dasar. Jumlah peserta diambil dari jumlah halaman Al Quran. Setiap siswa menulis satu halaman.
          Peserta diambil dari 33 kecamatan yang ada di kabupaten Indramayu. Mereka sebelumnya telah diseleksi di tingkat Kecamatan. Seleksi dilaksanakan oleh Kelompok Kerja Guru (KKG) mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Tulisan mereka nantinya akan dijadikan mushaf setelah dilakukan pentashihan oleh pihak yang berkompeten.
          Dalam sambutannya, Wakil Bupati Indramayu menegaskan pemerintah berharap kegiatan ini bisa meningkatkan kecintaan peserta didik atau anak-anak kita pada Al Quran,  mendorong guru lebih maksimal lagi dalam mengajarkan Al Quran. Sehingga ke depan, generasi muda kita menjadi generasi Qurani. Yakni generasi yang hidup berpedoman pada kitab sucii.
          Ini sebenarnya bukan gebrakan pertama bagi pemerintah kabupaten Indramayu. Sebelumnya, sudah diupayakan pemahaman terhadap arti Al Quran. Metode Tamyiz yang digagas oleh putra daerah telah dijadikan kurikulum pelajaran muatan lokal di semua tingkat sekolah dari SD sampai SLTA.  Tamyiz adalah metode praktis mengartikan Al Quran yang ditemukan oleh Ustadz Zaun Fathin atau yang dikenal Abaza.
          Sebelumnya (sejak15 tahun lalu), kegiatan membaca Al Quran diwajibkan di sekolah sebelum pembelajaran dimulai. Hal yang sama dilakukan di setiap perkantoran pemerintahan atau swasta di Indramayu sebelum bekerja, pagi hari. Ini semua berawal dari kesadaran pentingnya Al Quran dalam kehidupan manusia.
          Di tengah krisis mental dan moral bangsa ini rasaya tepat jika kita mengevaluasi sejauhmana pemahaman dan pengamalan Al Quran dalam kehidupan sehari-hari. Kaitan dengan ini,  sangat memperhatinkan bila memahami fakta yang ada di tengah masyarakat. Fakta itu diantaranya menyebutkan tidak sedikt umat Islam yang tak dapat membaca Al Quran. Bagaimana mereka memahami jika membaca Al Quran saja tak mampu.
Menurut pengajar sekaligus penemu metode belajar bahasa Arab Mustaqilli, Agus Shohib Khoiron,   meski merupakan negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, namun hanya sekitar sekitar 0,5 persen umat Islam di Indonesia yang mampu membaca Alquran dengan baik. Padahal menurutnya, jika setiap orang mampu membaca dan memahami Alquran secaran baik, maka dapat meningkatkan ketakwaan, serta mampu mengajarkan kepada banyak orang. Dengan begitu, akan lahir generasi penerus bangsa yang berilmu, berahlak, dan beretika. (http://nasional.republika.co.id/)
          Apa yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Indramayu layak mendapat apresiasi. Program semacam itu wajib didukung oleh masyarakat. Dan diharapkan progam semacam itu menular ke daerah lain. Setiap daerah dituntut lebih memperhatikan pentingnya penguasaan Al Quran.  Al Quran sebagai kitab suci, prdoman hidup mayoritas bangsa ini (baca:muslim) kudu dipahami, diamalkan. Al Quran merupakan pusaka yang ditinggalkan nabi Muhamad SAW untuk umatnya. Dalam sebuah hadits dikatakan, Aku tinggalkan kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, kalian tak akan sesat untuk selamanya. Yakni kita Allah (Al Quran) dan Sunnahnya.
Mencintai Quran
          Memahami hadist di atas, kecintaan pada Al Quran menjadi satu tuntutan atau keharusan. Karena cinta merupakan ikatan seseorang terhadap sesuatu. Sebagai pedoman hidup Al Quran senantiasa kudu bersama kita. Kita tak bleh menjauh darinya.  Apalagi Al Quran merupakan pusaka (baca:peninggalan) Rasulullah SAW seperti wasiat beliau dalam hadist tersebut. Menurut Wikipedia, ciinta adalah suatu perasaan yang positif dan diberikan pada manusia atau benda lainnya.
          Kemudian bagaimana cara mencintai itu? Berikut beberapa cara mencintai Al Quran. Pertama, tak kenal maka tak sayang. Pepatah yang populer di tengah kita ini bisa digunakan pada Al Quran. Artinya, jika ingin mencintai Al Quran maka kenalilah terlebih dahulu. Mengenal Al Quran diawali dengan mempelajari cara membacanya. Setiap muslim sepantasnya mampu membaca Al Quran. Sekarang sudah dikembangkan cara mudah membaca Al Quran. Berbagai metode telah hadir ditengah kita. Sebut saja metode Iqro’, Qiroati atau lainnya.
          Selanjutnya memahami maknanya. Memahami makna merupakan upaya menggali kandungan Al Quran. Dengan demikian, kita dapat menangkap pesan yang disampaikan Al Quran. Pesan-pesan tersebut yang wajib dijadikan pedoman dalam kehidupan. Pada posisi ini bisa dimengerti betapa pentingnya memahami arti Al Quran.
          Kedua, dalam pepatah Arab dikatakan man ahabba syaian kasuro dzikruhu. Barang siapa mencintai sesuatu ia mengingatnya selalu.  Al Quran wajib diingat selalu. Dalam segala hal,  hadapkan wajah pada Al Quran. Al Quran akan memberi solusi setiap urusan yang kita hadapi. Hanya kita sering menjauh dan melupakannya.  Kita lebih sering berpaling dari petunjuk Al Quran.
          Ketiga, mengamalkan kandungannya. Ini klimaks dari cinta pada Al Quran. Cinta itu tak cukup dengan kata-kata. Cinta butuh bukti. Dan mengamalkan Al Quran adalah bukti nyata mencintainya. Sejauhmana kita mengamalkan isi Alquran sejauh itu pula cinta padanya. Bohong besar jika seorang mengaku cinta tapi perbuatannya melawan Al Quran. Maka diantara cara mencintai Al Quran itu  adalah belajar dan berusaha  mengamalkan ajaranya.
          Akhir kata, setiap dari kita pasti mengaku mencintai Al Quran. Cinta itu butuh proses. Cinta setiap orang memilki kadar berbeda-beda. Untuk mencintai Al Quran, kenalilah terlebih dahulu, ingatlah selalu dengan menghadapkan wajah padanya, serta mengamalkan kandugannya.
          Anak harus kita dekatkan pada Al Quran. Itu titik awal mengenalkan pada anak cucu tentang pedoman hidup yang harus dipegang teguh. Al Quran harus familier dengan mata, telinga dan hati mereka sejak dini mungkin. Menulis Al Quran terlihat sepele. Tapi senyatanya sangat bermakna.  Kegiatan semacam itu akan tertanam kuat dalam jiwa anak-anak. Sepantasnya, kita semua mengupayakan mengapresiasi kegiatan-kegiatan seperti itu di rumah, lingkungan, dan daerah kita. Harapan mewujudkan generasi Qurani akan menjadi nyata. Amin. Wa Allahu Alam
Penulis adalah Guru Pendidikan Agama Islam, tinggal di Indramayu


Ingin Sukses, Tak Harus Sekolah


Seorang peserta didik saat ditanya kenapa tidak berangkat, ia menjawab untuk apa sekolah? Awalnya, memang dia sering tidak masuk sekolah. Saya jawab, sekolah itu untuk belajar dan menuntut ilmu guna mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Sang siswa hanya tersenyum mendegar jawaban saya. Senyumnya menimbulkan tanya dalam hati. Apa dia paham yang saya sampaikan? Atau dia sedang meledek saya dengan senyumnya yang nyinyir itu?
Pertanyaan siswa di atas sebenarnya dapat dimaklumi. Kenapa? Dalam kehidupan nyata tidak sedikit orang sukses walau tidak berbekal pendidikan yang tinggi. Belakangan kita menyaksikan kesuksesan ibu Susi Pudjiastuti. Menteri Kelautan dan Perikanan itu sebelumnya diragukan kemampuannya oleh banyak kalangan. Alasan yang digunakan mereka adalah karena sang menteri nyentrik itu hanya lulusan SMP. Susi dianggap tak layak jadi menteri. Nyatanya, rakyat Indonesia menyaksikan kehebatan beliau. Susi Pudjiastuti menjadi pembantu Presiden yang berkinerja sangat baik juga memuaskan. Susi Pudjiatuti tak hanya sukses menjadi menteri. Dia juga sukses sebagai pengusaha, kaya raya.
Orang sukses seperti itu tak hanya Susi Pudjiastut. Masih banyak yang lain. Sebut saja Presiden Seoharto. Berbekal  pendidikan setingkat SD, ditambah sejumlah pendidikan militer sukses menjadi penguasa orde baru selama 32 tahun. Demikian juga Presiden Megawati. Megawati bukan seorang sarjana. Pendidikan formalnya dihitung hanya setingkat SMA. Presiden Abdurrahma Wahid atau Gus Dur pun  tak menamatkan kuiiahnya. Jadi,  apa penting sekolah itu? Memahami fakta kesuksesan Pudjiastuti, Soeharto, Megawati dan Gusdur, apa masih perlu sekolah guna raih sukses?
Menjawab pertanyaan di atas, perlu saya tegaskan bahwa sukses itu perlu ilmu. Hanya orang yang berilmu yang akan sukses. Sukses bukan kebetulan. Sukses itu butuh perjuangan dan kerja keras. Habibie sukses membuat pesawat terbang karena dia menguasai ilmu rancang bangun pesawat. Habibie adalah doktor ingineering pesawat.
Demikian kesuksesan Susi Pudjiastuti, Soeharto, Megawati, juga Gusdur. Mereka menjadi sukses karena ilmu yang dimilikinya. Susi Pudjiastuti sukses sebagai menteri Kelautan dan Perikanan karena ilmu yang dimilikinya terkait soal kelautan dan perikanan. Walau ilmu tersebut tak diperolehnya melalui sekolah. Hal yang sama apa yang terjadi pada diri Soeharto, Megawati atau Gusdur.
Kemudian bagaimana mendapatkan ilmu? Menuntut ilmu itu ada dua jalur. Pertama, jalur lewat pendidikan formal di sekolah. Kedua, memperoleh ilmu di luar sekolah melalui pengalaman atau belajar secara otodidak. Kedua cara ini sah saja dipilih untuk meraih, merencanakan masa depan yang gemilang.
Baik belajar di sekolah maupun belajar otodidak sukses dan gagal mungkin saja terjadi. Artinya, tidak semua yang belajar di sekolah atau belajar secara otodidak akan berhasil. Begitu sebaliknya. Sukses dan gagal dalam menggali imu pengetahuan sebagai bekal hidup  bergantung pada usaha seseorang. Kedua jalur atau cara belajar tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan.
Ilmu  yang diperoleh dari sekolah adalah serangkaian  pengetahuan yang didapat  oleh ratusan bahkan ribuan orang selama berabad-abad, yang dirangkum secara terstruktur, kemudian diajarkan. Pengetahuan yang diajarkan di sekolah sifatnya dasar dan umum. Ada juga sekolah kejuruan yang mengajarkan pengetahuan bersifat  lebih khusus.
Kemudian di jenjang universitas, mahasiswa bisa belajar  tentang hal-hal yang lebih khusus. Untuk tujuan itu universitas dibagi menjadi fakultas dan jurusan. Pada tingkat yang lebih tinggi lagi, orang akan belajar tentang suatu bidang yang sempit tapi mendalam. Ringkasnya,  belajar melalui pendidikan formal terlihat lebih terstruktur, sistematis, berjenjang serta mengikat.
Bagaimana dengan belajar otodidak? Otodidak merupakan proses belajar secara mandiri, dengan mencoba-coba, mengutak-atik apa yang dipelajari itu. Otodidak dibantu dengan adanya keterangan-keterangan dari sumber-sumber. Belajar otodidak bersandar pada pengalaman nyata dalam kehidupan.
Belajar dengan cara otodidak lebih bebas. Orang dapat menentukan sendiri apa yang dipelajari. Bagaimana cara memahaminya. Belajar dengan cara ini tak terikat dengan sistem. Tidak bergantung ke orang lain pada guru misalnya. Dengan belajar otodidak seorang bebas menentukan apa saja yang akan dipelajari. Metode apa yang digunakan. Dimana akan mempelajari. Juga lainnya. Walhasil, otodidak lebih bebas.
Hanya belajar otodidak itu membutuhkan waktu lebih lama dalam mempelajari sesuatu di banding orang yang belajar secara formal atau dengan sosok pembimbing. Belajar otodidak juga cenderung melakukan kesalahan dan kegagalan hasil karya saat sedang bereksperimen dan melakukan praktek atau uji coba. Kegagalan dalam uji coba tersebut yang terkadang membuat stres, putus asa.
Kembali ke permasalahan, menjaawab pertanyaan siswa saya apa masih perlu sekolah? Yang pasti diperlukan dalam meraih sukses adalah ilmu pengetahuan. Soal ilmu bisa diperoleh dari mana saja. Dari sekolah atau belajar dari pengalaman secara otodidak.
Namun, menurut hemat saya bagi anak-anak belajar di sekolah merupakan pilihan tepat.  Kenapa? Karena anak masih bergantung pada bimbingan orang lain yang lebih dewasa. Anak yang belum dewasa tak mungkin dilepas belajar secara otodidak. Paling tidak ada beberapa ilmu dasar yang kudu dikuasai oleh anak-anak kita sebelum belajar tentang banyak hal secara mandiri dan otodidak. Dan sekolah adalah tempat yang tepat memperolehnya.
Kemudian kapan mereka diperbolehkan memilih jalur otodidak? Paling tidak sampai Sekolah Tingkat Atas (SLTA). Soal mau kuliah atau tidak itu terserah. Tapi ingat, belajar itu tak boleh berhenti. Belajar itu tak ada batas waktu. Belajar itu harus seumur hidup. Maka belajarlah terus walau tak bersekolah lagi atau tak masuk bangku kuliah. Sebab seperti yang ditegaskan bahwa ilmu adalah syarat utama raih sukses.
Walhasil, Soeharto, Megawati, Gusdur, Susi Pudjiastuti, Habibie juga yang lain tak mungkin sukses bila tak berilmu. Ilmu adalah kunci sukses.  Dengan ilmu di tangan kita bisa meraih sukses dalam hidup. Soal ilmu itu diperoleh dari sekolah atau secara otodidak itu bergantung pada kita.
Soeharto, Megawati, Gusdur dan  Susi Pudjiastuti adalah contoh orang sukses dengan ilmu yang banyak diperoleh secara otodidak.  Sedangkan Habibie sukses membuat pesawat dan menjadi presiden RI karena ilmu yang diperolehnya lewat pendidikan formal, bersekolah. Sekarang mau sukses seperti siapa? Hanya anda yang akan menjawabnya. Yang jelas jika ingin sukses tak harus sekolah, tapi wajib berilmu. Wa Allahu Alam



Jumat, 16 September 2016

Hukuman Sebagai Alat Pendidikan


Setiap Senin pagi ada saja (bahkan banyak) anak yang berbaris di barisan depan terpisah dengan barisan peserta upaca bendera lainnya. Barisan ini khusus bagi anak-anak yang melanggar aturan pakaian dan atrirbut sekolah seperti tidak mengenakan topi, dasi atau lainnya. Diharapkan setelah mereka dipisah dari teman sekelasnya, berbaris di depan mengelompok seperti petugas upacara timbul rasa malu, takut sehingga tidak melanggar lagi di minggu berikutnya. Nyatanya mereka yang berdiri di depan menghadap siswa-siswi lainya itu justru tidak tampak rasa malu apalagi takut. Yang ada mereka menikmatinya seperti siswa lain. Artinya walau mereka berdiri berbeda tetap tidak membebani mereka. Rupanya berbaris di depan bukan lagi dipandang sebagai hukuman, tapi disikapi seperti  hal biasa.
Dalam paradigma pendidikan tempo dulu, hukuman  merupakan salah satu alat pendidikan seperti penghargaan, pujian, pemberian hadiah atau lainnya. Saya masih ingat,  dulu saat saya belajar di bangku sekolah dasar atau saat mengaji di mushallah, guru atau ustadz selalu membawa kayu panjang. Kayu itu digunakan disamping untuk menunjuk siswa, tulisan saat membaca juga digunakan untuk memukul bagi mereka yang keluar dari koridor (melanggar) proses belajar mengajar. Guru tidak segan memukul  siswa saat yang bersangkutan salah dalam membaca atau salah mengerjakan perintah. Kemudian siswa pun tidak melawan, menyadari bahwa itu bagian dari  proses pembelajaran dan pendidikan.
Berbeda dengan  keadaan sekarang, hukuman menjadi sulit digunakan sebagai media atau alat pembelajaran dan pendidikan. Kenapa? Pertama, penghormatan siswa kepada guru sudah berubah. Dulu guru itu ibarat satu-satunya sumber belajar sehingga posisi mereka sangat terhormat, juga dibutuhkan.  Sedangkan sekarang siswa beranggapan tidak hanya guru yang bisa mengajari mereka. Televisi, koran, majalah, media elektronik lainnya pun bisa. Akhirnya posisi guru sejajar dengan media  seperti TV. Anggapan seperti ini membuat penghormatan kepada guru berkurang. Tidak sedikit murid yang berani melawan gurunya. Bahkan dalam sejumlah kasus mereka berkelahi dengan guru.
Kedua, memahami Hak Asasi Manusia (HAM) secara berlebihan. Setelah HAM mewarnai dan memasuki hampir semuam gerak dan ruang kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan, hukuman tidak lagi bisa diterapkan sebagai media pembelajaran. Tidak jarang guru diperkarakan oleh murid karena kekerasan yang dari sisi guru itu dianggap sebagi hukuman yang mendidik. Tak sedikit kasus pula yang berujung ke kepolisian. Dan sedihnya, wali siswa lebih  berpihak kepada  anak mereka daripada ke guru. Lain dengan zaman saya belajar. Ketika saya dipukul oleh guru misalnya, orang tua justru mendukung guru. Mereka berkeyakinan tak mungkin guru memukul jika anaknya tak bersalah. Mereka juga memaklumi bahwa hukuman itu bagian dari pendidikan.
          Ketiga, salah memahami kesetaraan. Seiring dengan majunya teori pendidikan, guru dan peserta didik dianggap setara. Pembelajaran di kelas sudah tak searah lagi, dari guru ke peserta didik. Pembelajaran dilakukan menjadi dua arah, guru ke siswa dan sebaliknya. Peran guru tak sedominan dulu. Guru berperan hanya sebagai fasilitator dan pembimbing. Sumber belajar juga tidak hanya guru seperti disinggug sebelumnya. Akibatnya guru dipandang tak sepenting seperti dulu. Sehingga hukuman sebagai media yang diuganakan guru sebagai alat pembelajaran ditolak oleh peserta didik karena dinilai sudah tak zamannya lagi.
          Belakangan menarik apa yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Mantan Rektor Muhammadiyah Malang tersebut mengatakan, bahwa sanksi fisik yang diberikan seorang guru terhadap murid merupakan sesuatu yang bisa ditoleransi. Menurutnya, sekarang itu banyak orang salah paham dalam memahami HAM. Jadi tentang HAM melarang tindakan kekerasan itu setuju tapi dalam batas tertentu sanksi fisik pun bisa ditoleransi dalam pendidikan. Keras dalam bentuk pengajaran dapat mendidik seorang anak. Menurutnya, hal itu bisa membentuk karakter dan pribadi siswa yang tangguh.  Sebab, pendidikan bukan hanya memberikan curahan kasih sayang saja.  Pendidikan  juga membentuk pribadi anak yang kuat, tangguh dan tahan banting. Dan itu semua tiidak bisa diwujudkan tanpa pendidikan keras. Harus bisa dibedakan antara kekerasan pendidikan dan pendidikan dalam kekerasan.(cnnindonesia.com)
          Bagaimana menterjemahkan dan mengimplementasikan pendapat sang Menteri di lapangan? Menurut hemat saya, Pertama, memberi batasan yang jelas penerpan HAM dalam pendidikan. Dalam memberi batasan tersebut sepantasnya dilibatkan aktivis, tokoh HAM dan tokoh pendidikan. Mereka mesti duduk bersama, Mereka wajib mencari kesepakatan-kesepakatan terkait HAM di sekolah. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) dapat mengambil inisiatif untuk upaya tujuan tersebut.
          Kedua, menggagas UU HAM dalam pendidikan. Kesepakatan-kesepekatan yang dihasilkan  tentang HAM di sekolah diwujudkan dalam aturan perundang-undangan,  diajukan ke DPR dan Pemerintah.  Kemudian Pemerintah dan DPR dapat mengusulkan, membahas, dan mengesahkannya sebagai undang-undang. UU tentang HAM di sekolah tersebut nantinya akan dijadikan sebagai acuan guru dalam mendidik terutama yang terkait dengan sanksi atau hukuman sebagai alat pendidikan.
          Ketiga, sosialisasi. UU tentang HAM di sekolah selanjutnya kudu disosialisasikan ke masyarakat luas. Sosialisasi bertujuan memberi pemahaman bersama tentang perlunya sikap keras dalam mendidik. Sehingga masyarakat meyakini kembali bahwa mendidik itu dalam batas tertentu dibutuhkan sikap keras dari guru sebagai pendidik. Pemahaman seperti itu diharapkan menghilangkan kesalapahaman dari wali siswa ketika guru menggunakan hukuman sebagai media pembelajaran dan pendidikan pada anak-anak mereka.
          Walhasil, kesalapahaman guru dan wali siswa yang berujung ke proses hukum karena perbedaan persepsi tentang kekerasan dalam pendidikan harus dihentikan. Konflik guru dan peserta didik/wali siswa hanya meretakan hubungan peserta didik dengan guru. Padahal dalam proses pembelajaran hubungan kedua bela pihak wajib dibangun secara harmonis.
          Maka, saatnya kita semua (dunia pendidikan, pemerintah dan aktivis HAM) berbuat sesuatu untuk menghentikan kesalapahan terkait sikap keras dalam mendidik. Kita mesti duduk bersama untuk menggagas, merumuskan aturan tentang HAM dalam pendidikan.  Sehingga para pendidik bisa lebih fokus lagi menjalan tugas mendidik generasi bangsa, tak lagi direcoki oleh siapa pun menggunakan isu kekerasan dalam pendidikan. Wa Allahu Alam

Memaknai Hari Olahraga Nasional


          Mungkin tak banyak orang yang mengetahui kapan Hari Olahraga Nasional diperingati.  Hari Olahraga Nasional (Haornas) diperingati setiap tanggal 9 September. Tahun ini merupakan peringatan yang ke 33. Peringatan Haornas pertama kali diselenggarakan pada 9 September 1983. Tanggal tersebut sengaja dipilih untuk mengenang sejarah diselenggarakannya Pekan Olahraga Nasional (PON) yang pertama kalinya.
          Bermula dari ditolaknya para atlet Indonesia saat akan ikut serta Olimpiade Musim Panas XIV di London (1948). Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) sebagai lembaga olahraga resmi di Indonesia pada saat itu belum diakui menjadi anggota International Olympic Committe (IOC). Penolakan itu juga dikarenakan kemerdekaan Indonesia belum bisa diakui oleh dunia.
PORI memutuskan untuk menggelar PON untuk menandakan jika Indonesia mampu melaksanakan acara olahraga dengan skala nasional. PON pertama digelar di Solo, Jawa Tengah, karena memiliki fasilitas olahraga paling memadai kala itu. Pembukaan PON pertama diresmikan oleh Presiden Pertama RI, Soekarno. Sedangkan acara penutupnya dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
Puncak Haornas tahun ini diperingati di Stadion Gelora Delta   Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat malam (9/9).  Kegiatan  dibuka oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla. Dalam sambutannya, Wapres mengajak masyarakat  bersyukur dan merenung atas apa yang telah dicapai dan apa yang belum dalam bidang olahraga. Secara khusus Jusuf Kalla  menyebut prestasi  atlet-atlet Indonesia yang berhasil menyumbang medali emas dan perak dari ajang Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro, Brazil.
Sebagai bangsa besar, Wapres juga yakin bahwa pada masa mendatang Indonesia akan meraih medali emas sebanyak mungkin asalkan disertai dengan usaha keras. Sebab itu, Haornas tahun ini kudu dijadikan pijakan evaluasi diri guna meraih prestasi lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Memaknainya
          Hari Olahraga Nasional sejatinya kudu dipahami oleh kita semua.  Sebab, bagaimanapun Haornas merupakan hari penting bagi kita, bangsa Indonesia. Pertanyaan, bagaimana memahaminya? Menurut hemat saya, memahami Haornas dapat dijabarkan dalam hal-hal berikut: pertama, Haornas dipahami sebagai pengingat pentingnnya kegiatan olahraga. Olahraga untuk sebagian orang dianggap hal sepele, tak penting. Olahraga  hanya dipahami  sebagai permainan dan hiburan belaka. Karena alasan kesibukan dan lainnya olahraga sering diabaikan masyarakat kita.
Sungguh, olahraga itu penting dan sangat berguna bagi kesehatan dan hidup kita. Olahraga bermanfaat guna meningkatkan stamina, mengatur dan menjaga berat badan ideal, menghindari stres, memompa jantung lebih baik, melawan berbagai penyakit dan lain-lain. Sayangnya, masyarakat baru menyadari pentingya olahraga setelah menderita penyakit.
Kedua, mengevaluasi olahraga nasional. Seperti hal lain, olahraga nasional mengahadapi banyak persoalan. Persoalan-persoalan tersebut yang menghambat prestasi olahraga nasional di event ragional maupun internasional. Di era reformasi kita justru miskin prestasi. Pengamat olahraga Budiarto Shambazy menilai Indonesia mengalami kemunduran dalam prestasi olahraga. Menurutnya prestasi Indonesia lebih baik pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Olahraga dilihat sebagai prestasi, zaman orde baru  prestasi atlet kita lebih bagus.
Budiarto mencontohkan menurunnya prestasi Indonesia pada ajang Sea Games. Di ajang olahraga terakbar se-Asia Tenggara ini biasanya Indonesia menjadi juara umum, namun kini hanya menjadi kontestan. Terakhir Indonesia juara Sea Games pada 2011, itu pun saat Indonesia menjadi tuan rumah. Padahal pada masa Orde Baru, Indonesia mampu meraih sembilan kali juara. (www.tribunnews.com/)
Di antara persoalan yang mendapat sorotan tajam dari publik adalah sepak bola nasional. Konflik Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) dengan pemerintah yang mengakbiatkan pembekuan beberapa waktu lalu menjadi puncak amburadulnya pengelolaan sepak bola di tanah air. Konflik internal maupun eksternal seperti ini juga dialami oleh oraganisasi olahraga nasional lainnya. Sehingga prestasi menjadi jauh dari harapan.
Belakangan, bangsa Indonesia terobati dengan kemenangan tim bulu tangkis ganda campuran Tontowi-Liliyana Nasir pada Olimpiade di Rio, Brazil. Kemenangan mereka sedikit mengobati kerinduan masyarakat pada prestasi olahraga nasional.  Kemenangan Tontowi/Liliyana meraih emas pertama Indonesia di Olimpiade tersebut telah melengkapi perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-71 sekaligus menjadi kado indah  Haornas tahun 2016 ini.
Kedepan, Indonesia mesti berbena diri. Organisasi-organisasi olahraga wajib mengevaluasi diri. Wadah resmi para atlet itu harus bekerja keras dalam mengantarkan  Indonesia menang di event-event internasional. Pemerintah juga dituntut memberikan perhatian lebih. Pemerintah mesti mengapresiasi atlet yang berprestasi. Apresiasi dari pemerintah tersebut diharapkan bisa memotivasi atlet lain mengukir prestasi. Tak sekadar melakukan pembinaan, untuk kepentingan yang lebih besar pemerintah sepatutnya mengalokasikan anggaran lebih besar untuk olahraga nasional. Sangat miris mendengarnya saat Rio Hariyanto diberhentikan sebagai pembalap utama tim Manor Racing karena faktor pendanaan. Rio diputus karena  tidak mampu memenuhi kewajiban sebagaimana yang ada di dalam kontrak. Kasus seperti Rio Hariyanto di waktu yang akan datang mestinya tak boleh terjadi lagi.
Ketiga, menggali potensi besar. Haornas mengingatkan bahwa kita memiliki potensi yang sangat besar. Jumlah penduduk berkisar 250 juta adalah potensi yang mungkin tak dimilkii bangsa lain. Dari 250 juta anak bangsa tersebut pasti banyak yang berpotensi di bidang olahraga. Persoalanya, hanya bagaimana kemampuan kita semua menggali potensi tersebut. Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia layak bersaing dengan bangsa lain dalam merebut prestasi olahraga.
Akhir kata, Hari Olahraga Nasional diperingati setiap tahun. Peringatan tak boleh sebatas serimonial belaka. Peringatan harus dimaknai lebih jauh lagi. Peringatan harus diikuti kerja nyata kita semua. Saatnya, kita membenahi olahraga nasional lebih baik, lebih serius. Indonesia kaya potensi. Dan kita semua memikul tanggungjawab yang sama menggali potensi-potensi itu sehingga bisa mempersembahkan prestasi untuk bumi pertiwi. Wa Allahu Alam






Pesan Moral Wukuf di Arafah


          Dalam hadist masyhur, nabi Muhammad SAW bersabda haji adalah wukuf di Arafah. Hadist yang diriwayatkan oleh At- Tirmizi, al-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad tersebut menegaskan akan pentingnya wukuf. Terkait itu, ulama Fiqhi mengkategorikan wukuf sebagai rukun haji yang utama. Batal haji seseorang jika meninggalkan, tidak melakukannya.
Wukuf secara bahasa diartikan sebagai berdiam diri atau berhenti sejenak. Wukuf adalah ritual haji yang dilakukan dengan cara berdiam diri di padang Arafah mulai tergelincirnya matahari tanggal 9 Dulhijjah sampai terbenamnya matahari pada tanggal 10 Dulhijjah. Tempat wukuf tepatnya di atas bukit yang bernama Jabal Rahmah. Jabal itu berartikan gunung sedangkan rahmah bermakna kasih sayang. Jabal Rahmah merupakan saksi bisu pertemuan nabi Allah Adam as dan istrinya Hawa setelah mereka berpisah sesaat turun dari surga.
Sebelum wukuf, jamaah haji disunahkan mandi terlebih dahulu. Ini simbol bahwa dalam setiap kegitan ibadah, mendekatkan diri pada Allah,  seorang diminta dalam keadaan bersih, suci. Ibadah sejatinya  disamping untuk mendekatkan diri pada pencipta juga guna membersihkan diri dari segala noda dan dosa.
Untuk tahun ini, pelaksanaan wukuf akan jatuh pada hari minggu 11 September 2016 mendatang. Jelang wukuf, Pemerintah diwakili Kementerian Agama RI meminta jamaah haji  untuk hemat energi dan tidak banyak melakukan kegiatan yang menguras tenaga. Tujuannya agar saat wukuf tiba, jamaah fit menjalani rukun haji tersebut.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, menegaskan persiapan untuk pelaksanaan puncak haji di Arafah, Muzdalifah dan Mina (Armina) terus dilakukan. Persiapan itu termasuk rapat koordinasi dengan Muassasah (pihak swasta yang ditunjuk pemerintah Arab Saudi untuk mengurusi haji) dan maktab (penanggung jawab pemondokan).  Menag berharap, Cuaca bersahabat dan seluruh jemaah haji kita bisa menjalani ibadah wukuf di Arafah dengan baik. Mudah-mudahan tidak ada angin kencang seperti tahun lalu yang menyebabkan beberapa tenda  jamaah roboh. (merdeka.com)

Pesan Moral
          Sebagai puncak ibadah haji, wukuf kaya makna dan hikmah. Dalam ibadah wukuf terkandung pesan moral yang luhur. Berikut, yang dapat dipelajari dan dipahami. Pertama, wukuf menggambarkan miniatur mahsyar. Wukuf di padang Arafah menggambarkan keadaan mahsyar. Mahsyar adalah satu tempat dikumpulkannya seluruh umat manusia setelah di bangkitkan dari kubur.  Mahsyar merupakan awal prosesi panjang manusia menuju kehidupan akherat. Mahsyar menjadi tempat tunggu manusia di depan hisab (perhitungan) amal mereka. Di Mahsyar, manusia merasa takut, panik menanti keputusan Allah terhadap hitungan amal mereka. Karena kepanikan maha dahsyat, mereka mencari sosok yang dapat membantu, menyelamatkan. Di tengah panas terik matahari yang menyengat, manusia mendatangi nabi Adam as. Sayang, Adam as tak menyanggupi. Mereka mendatangi Ibrahim, Musa, sampai Isa alaihimusalam. Tak satupun dari mereka yang dapat membantu. Sampai akhirnya, nabi Muhamad SAW menjadi satu-satunya orang yang dapat memberikan pertolongan, dalam bahasa agama disebut syafaat.
          Wukuf di Arafah kudu mengingatkan betapa sulitnya kehidupan akherat tanpa iman dan amal saleh. Wukuf selayaknya menyadarkan bahwa hidup di dunia adalah sementara. Perjalan panjang hidup manusia berakhir di surga atau neraka. Kedua tempat tersebut menjadi hunian terakhir di alam akherat. Karenanya, kehidupan akherat harus dipersiapkan.
          Kedua, media refleksi kolektif.  Wukuf yang berartikan berhenti sejenak tak lain adalah perintah untuk merenung tentang apa yang telah dilakukan. Saatnya, mengevaluasi diri, sejauhmana kehidupan kita menyimpang dari tuntunan ilahi.  Wukuf adalah pengakuan atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Bukan saja kesalahan individual, juga kesalahan manusia secara kolektif. Di Arafah, umat Islam sedunia harus mencari solusi bersama untuk memperbaiki hidup mereka. Di Arafah, umat Islam idealnya membuat  komitmen bersama guna menciptakan kesejahteraan, kedamaian dan kejayaan Islam di waktu mendatang.
Menurut Ibnu Abbas ra dinamakan dengan Arafah karena di tempat itulah manusia mengakui dosa dan kesalahan-kesalahannya, lalu mereka bertobat. “Arafa bi dzanbihi wa arafa kaifa yatub” (mengetahui  dosa-dosanya, dan mengetahui bagaimana cara bertobat). Karena, Adam dan Hawa setelah keduanya dikeluarkan dari surga ke bumi, di Arafah-lah keduanya insyaf menyadari kesalahan dan dosanya kepada Allah, lalu memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya. Keduanya berkata: 'Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi'." (Qs. Al-A'raf [7]: 23)
          Ketiga, nilai kesetaraan. Di Arafah tak mengenal status sosial. Semua sama di hadapan Allah. Mereka berpakaian sama, tak dikenali siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Pejabat dan rakyat jelata duduk sama-sama rendah. Arafah mengingatkan, manusia dilahirkan dalam keadaan yang sama. Perbedaan- perbedaan hakekatnya mereka sendiri yang menciptakan.
          Wukuf di Arafah mengajarkan nilai kesetaraan. Karenanya, umat Islam yang melakukukan wukuf harus bertekad dan berjanji untuk menghapus segala diskriminasi dalam kehidupan nyata. Diskriminasi berdalih apapun wajib dilawan. Setiap dari kita mengemban kewajiban yang sama menegakkan keadilan di muka bumi.
          Keempat, kutbah Arafah dimaknai sebagai konfrensi internasional. Ibadah haji sejatinya adalah pertemuan tahunan umat Islam. Pertemuan tahunan itu sepantasnya dimanfaatkan dengan baik. Isu-isu kekinian seperti terorisme, globalisasi, tekhnologi saatnya didiskusikan, dibicarakan bersama. Sehingga dalam kutbah Arafah umat Islam dapat menyampaikan pesan  ke publik, dunia Islam khususnya. Kutbah Arafah tidak sekadar kegiatan ritual. Kutbah Arafah mesti bermuatan lebih,  tidak hanya wasiat keagamaan.
          Kutbah Arafah sejatnya menncerminkan sikap umat Islam. Kutbah Arafah semestinya disampaikan oleh pemimpin umat Islam. Tapi sekali lagi sayang, umat Islam tak memilki kepemimpinan yang mendunia. Andai kita memilki pemimpin seperti Rasulullah SAW, saya yakin kutbah Arafah akan dirasakan manfaatnya bagi kehidupan umat Islam.
          Singkat kata, Arafah adalah pengakuan atas kesalahan masa lalu. Arafah adalah momentum guna membangkitkan kesadaran guna memperbaiki kehidupan diri dan umat pada waktu yang akan datang.  Wa Allahu Alam.

           




Kamis, 08 September 2016

Antara Bakat dan Minat Menulis


          Bakat dan minat dua hal berbeda. Keduanya kadang menyatu pada seseorang. Ada juga yang tak bertemu. Ada orang berbakat juga berminat. Ada yang berbakat tapi tak berminat. Sebaliknya, ada yang berminat tapi tak berbakat. Bakat dan minat dibutuhkan untuk mengantar kesuksesan seorang.
          Menurut Wijaya (1988), bakat adalah suatu kondisi pada seseorang yang memungkinkannya dengan suatu latihan khusus mencapai suatu kecakapan, pengetahuan, dan keterampilan khusus, misalnya berupa kemampuan berbahasa, kemampuan bermain musik, dan lain sebagainya. Dalam hal ini seseorang yang berbakat musik, misalnya, dengan latihan yang sama dengan orang lain yang tidak berbakat musik, akan lebih cepat menguasai keterampilan musik tersebut.
          Menurut Sumadi Suryabrata (1988), minat adalah kecenderungan dalam diri individu untuk tertatik pada sesuatu objek atau menyenangi sesuatu objek     . Johny Killis (1988), mendefinisikan minat sebagai pendorong yang menyebabkan seseorang memberi perhatian terhadap orang, sesuatu, aktivitas-aktivitas tertentu.  
Seperti dengan yang lain, menulis membutuhkan bakat juga minat. Seorang yang berbakat menulis tapi tak berminat tentu sulit mewujudkan tulisan bagus. Sebaliknya, seorang berminat kuat untuk menulis tapi tak berbakat. Sekarang bagaiamana menghadirkan keduanya pada diri kita.
Ada anggapan bahwa bakat adalah bawaan dari lahir. Tak bisa dicari. Bakat tak diperoleh dengan usaha, kerja keras, berlatih, atau belajar. Apa benar anggapan seperti itu? Apa benar orang yang tak berbakat menulis misalnya tak akan bisa menulis walau dengan belajar, berlatih?
Menjawab pertanyaan ini sangat penting. Sebab, banyak orang tak mau berusaha karena menganggap dirinya tak berbakat. Tak sedikit orang yang tak mau menulis karena beranggapan dirinya tak mempunyai bakat. Tidak ada keturunan penulis. Ini sebenarnya salah kaprah. Salah dalam memahami makna bakat.
Sesungguhnya manusia itu memilki potensi yang sangat majemuk. Dalam bahasa Munif Chatib (2012), dalam diri manusia terdapat harta karun yang melimpah. Harta karun dimaksud adalah potensi terpendam yang ada pada seseorang. Gardner (1983) menyebut potensi majemuk tersebut sebagai kecerdasan.  Potensi-potensi itu mesti digali terus. Potensi yang sudah tergali disebut sebagai bakat. Dengan demikian, setiap dari kita memiliki potensi bakat dalam banyak hal.
Setiap orang sejatinya berpotensi menjadi penulis. Menulis itu sekadar mengubah ide yang ada dalam pikiran dalam bentuk tulisan. Apa yang terlintas dalam pikiran dan hati digoreskan di atas kertas, itulah menulis. Setiap saat akal dan hati  berpikir. Berpikir tentang keinginan, harapan, mencari jawaban atau solusi hidup dan lainnya.
Hanya permasalahannya, banyak orang tak biasa menuliskan apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan. Sehingga potensi terpendam itu tak tergali. Untuk itu, bagi yang ingin menemukan bakat menulis maka tak ada cara lain kecuali memulai membiasakan menulis setiap hal. Menulis apa yang dirasakan, dilihat, dan dipikirkan.
Tapi tak semua orang berminat untuk menulis. Sebab, mereka belum merasakan manfaat menulis. Minat mengalami pasang surut termasuk dalam hal menulis. Saya sendiri tak jarang merasakan kejenuhan. Malas menulis. Selera menulis tiba-tiba menghilang.  Saat minat menulis menurun tentu akan sulit melahirkan tulisan berkualitas, enak dibaca oleh siapa pun.
Sekarang apa minat menulis itu bisa diupayakan? Jelas bisa. LN Sumaranje (2014) menyebut tujuh hal yang wajib dipahami dalam menjaga motivasi dan minat dalam menulis. Pertama, niatkan menulis untuk ibadah. Ibadah itu tak melulu bersifat ritual. Mendatangkan manfaat bagi orang banyak juga termasuk ibadah. Ibadah sosial namanya. Dan tulisan akan sangat bermanfaat bagi orang yang membutuhkan. Tulisan kita akan memberi sumbangsi terhadap peradaban manusia di waktu mendatang.
Kedua, melihat penulis yang perjuangannya lebih sulit. Sudah menjadi rumus kehidupan, jika kita melihat yang berada di bawah kita, maka akan tumbuh kesadaran bahwa kita masih beruntung. Berkacalah pada penulis-penulis besar tempo dulu. Di tengah keterbatasan dalam segala hal seperti tekhnologi saat itu mereka mampu melahirkan puluhan bahkan ratusan buku berkualitas yang masih dibaca sampai hari ini. Kalau mereka saja bisa, kenapa kita tidak bisa? Bukankah zaman kita lebih mudah? Berbagai fasilitas mengiringi kita dalam menulis.
Ketiga, menulis dengan atau tanpa mood. Menulis terbaik adalah saat hati lagi mood lagi enak. Tapi usahakanlah menulis dalam setiap keadaan baik lagi bahagia, sedih, bahkan marah. Menulislah saat lapang, sempit. Saat banyak uang atau “saku rata”. Menulis adalah keniscyaan. Dengan demikian kebiasan menulis akan terbangun.
Keempat, bergabung dengan komunitas penulis maka semangat menulis akan selalu terjaga. Bergabunglah dengan komunitas menulis  seperti “Kelas menulis”, ‘Sekolah Menulis” atau lainnya. Di sana kita membiaskan menulis, membaca tulisan sesama penulis. Juga, terpenting bisa menjaga minat dan motivasi dalam menulis.
Kelima, terbuka pada perkembangan terbaru. Kecepatan informasi makin tak terbendung. Segala metode, kiat, cara atau how to di semua bidang sedemikian cepat. Perkembangan itu kudu diikuti. Carilah hal-hal terbaru. Hal terbaru akan menjadi inspirasi atau ide menulis. Silakan beradu cepat menulis tentang hal-hal yang baru denga sesama penulis lainnya. Untuk itu, perbanyaklah membaca, lakukan terus goegliing di dunia maya.
Keenam, yakinlah kualitas dan kuantitas tulisan akan berkembang. Karya lebih banyak, tulisan lebih bagus. Tak mungkin tak ada perubahan jika kita memaksimalkan ikhtiar dan doa. Tidak mungkin kita berjalan di tempat, apalagi mundur ke belakang. Jika kita mampu memompa motivasi menulis secara terus menerus, Allah pasti memberikan jalan, menganugrahkan perubahan ke arah yang lebih baik dalam hal menulis.
Ketujuh, jadikan menulis seperti bernapas. Saat menjadikan menulis sebagai aktivitas rutin maka menulis akan menjadi napas hidup kita. Anggapan seperti ini tak berlebihan. Bagi seorang berjiwa penulis hidup tak lepas dari tulisan. Menulis akan menyatu. Maka mewujudkan menulis seperti napas tak lain cara hanya dengan menulis, menulis dan menulis. Menulislah setiap waktu kosong anda.
Akhir kata, baik bakat maupun minat menulis, keduanya bisa diupayakan. Bakat menulis bisa digali oleh setiap orang. Minat menulis juga dapat dijaga. Sekarang bagaimana dengan kita? Apa kita siap menggali kemampuan atau potensi menulis yang ada pada diri kita? Saya dan anda wajib menjawabnya. Jawaban saya dan anda akan berpengaruh pada budaya literasi bangsa kita yang masih tertinggal jauh dengan bangsa lain lain. Wa Allahu Alam