Kamis, 30 April 2015

HARI BURUH DAN GURU



          Hari ini 1 Mei diperingati sebagai hari buruh dunia, sebutan lainya May Day. Yaitu sebuah hari libur di beberapa negara, termasuk Indonesia biasa diperingati oleh para buruh untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka kepada pemerintah dan pengusaha. Untuk di Indonesia beberapa persoalan yang sering dijadikan isu aksi seperti kenaikan UMR (upah minimum regional), penghapusan sitem kerja kontrak (outsourching)., pesangon dan persoalan lainnya. Untuk tahun ini nampaknya asksi buruh juga masih berkisar pada isu-isu tersebut. Yaitu tuntutan akan berfokus pada upah layak nasional, pemberantasan korupsi yang dinilai masih sangat lamban dan revisi Peraturan Kementerian nomor 19/2013 tentang outsourching. (http://kabar24.bisnis.com/read/20150427/15/427105/may-day-2015-ini-tuntutan-buruh-tahun-ini)
          Pemerintah sendiri mengapresiasi hari buruh dari tahun ke tahun dengan baik. Kritik, saran, serta masukan para buruh menjadi acuhan pengambilan kebijakan pemerintah berkaitan permasalahan buruh. Untuk tahun ini, presiden Jokowi menganggap hari buruh sebagai perayaan kaum buruh yang tak perlu menjadi momok apalagi ditakuti oleh pemerintah baik di pusat maupun di daerah.
          Yang menggelitik di pikiran saya tentang hari buruh besok, siapa sebenarnya buruh itu? Buruh, pekerja, worker, laborer, tenaga kerja atau karyawan pada dasarnya adalah manusia yang menggunakan tenaga dan kemampuannya untuk mendapatkan balasan berupa pendapatan baik berupa uang maupun bentuk lainya kepada Pemberi Kerja atau pengusaha atau majikan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Buruh) Dari pengertian di atas paling tidak dapat ditarik beberapa garis besar pertama, orang yang dipekerjakan. Kedua, yang mempekerjakan seperti para pengusaha atau selainya. Ketiga, upah atau balasan dari pemberi  pekerjaan atas kerjaan yang dikerjakan para pekerja. Hanya saja buruh ini lebih berkonotasi pada karyawan atau para pekerja rendahan yang hanya mengandalkan tenaga dan otot dalam bekerja atau yang sering disebut buruh kasar. Sedang kaum profesional kerap kali keluar dari lingkaran buruh. Kaum profesional adalah para pekerja yang menggunakan tenaga otak dalam bekerja.
Buruh dan Guru
          Di antara kaum prosfesional  adalah guru. Pertanyaanya apakah guru bagian dari buruh? Tanpa maksud merendahkan dan mereduksi kedudukan guru bila ditarik pada ketiga kesimpulan di atas mengenai buruh maka menurut hemat saya guru juga termasuk buruh. Sayangnya dalam setiap hari buruh mereka tidak melibatkan diri atau memang tidak dilibatkan sehingga persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para guru tidak tersentuh dalam aksi hari buruh. Entah, apa mungkin karena mereka memiliki moment tersendiiri yaitu hari guru setiap tanggal 25 September.
Berbicara kehidupan guru tidak sedikit yang kondisi dan keadaanya hampir sama dengan para buruh bahkan mungkin lebih memprihatinkan terutama mereka yang masih honor. Untuk guru yang berstatus PNS tentu berbeda. Mereka sudah hidup berkecukupan apalagi yang sudah bersertifikasi. Mereka bisa dibilang sudah mapan. Tapi bagi honorer? Bisa dibayangkan honor mereka jauh dari UMR daerah manapun. Masih banyak dari mereka yang honornya di bawah lima ratus ribu. Uang segitu tentu jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di daerah manapun. Honor lima ratus ribu bila dihitung berapa perharinya? Tidak lebih dari dua puluh ribu rupiah. Sungguh jauh dari kata cukup. Sungguh memprihatinkan, dan tak manusiawi. Padahal bila dilihat dari peran dan fungsi mereka dalam pembangunan bangsa terutama dalam menyiapkan generasi muda sangat luar biasa. Nampaknya cerita dalam lagu Umar Bakri masih sangat relevan sekali. Para guru honorer harus cukup puas dengan gelar pahlawan tanpa tanda jasa.  
Setiap momentum hari buruh, yang senantiasa dituntut adalah kenaikan UMR. Mereka kerapkali mengancam mogok kerja. Bagi pengusaha dan pemerintah sering kali tak punya pilihan, disamping karena tuntutan mereka juga logis. Kebutuhan hidup meningkat seiring dengan kenaikan harga segala kebutuhan. Bukankah hal itu  harus diimbangi dengan peningkatan pendapatan?
Bagi buruh diberlakukan UMR bagaimana dengan guru? Guru (baca non PNS) tidak menggunakan dan tidak mengacuh pada UMR. Mereka dibayar sesuai dengan kemampuan sekolah. Satu sekolah berbedah dengan sekolah yang lain. Dan satu lagi yang membedakan mereka dengan buruh, guru tak pernah mengancam mogok kerja. Padahal kalau mereka mogok kerja sekolah-sekolah bisa lumpuh. Dan tentu siswa atau anak didik yang menjadi korban. Alasan itu yang menahan para guru untuk  tidak melakukannya.
Yang juga berbedah, guru kerapkali diimingi-imingi bisa diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Ini secercah harapan yang barang kali tak dimiliki oleh kaum buruh. Tapi janji-janji pemerintah tentang hal itu pada pelaksanaanya meminta kesabaran lebih. Tidak semudah yang dibayangkan perubahan status ke PNS itu. Jalan panjang serta berliku harus sabar mereka lalui. Bila tidak, kesempatan akan berlalu. Belum lagi adanya praktek-praktek kotor dan permaianan curang sepanjang proses perubahan nasib itu. Kesusksesan (menjadi PNS) bergantung pada ketebalan uang yang bersangkutan. Wah,,,lebih ngerih lagi. Juga prihatin. Mimpi semakin jauh dari kenyataan bagi mereka yang bermodal pas-pasan.  Ditambah lagi persaingan sangat ketat  sesama mereka. Semakin banyak orang tak sabar, untuk tak frustasi.
Mencernah poin-poin pemikiran di atas, selayaknya para buruh selalu bersyukur atas apa yang mereka terima. Tentu hal ini tidak berarti mereka pasrah nerimo saja. Sekali lagi tidak. Berjuang harus, dan terus untuk perubahan yang lebih baik lagi.  Paling tidak keadaan mereka lebih baik bila dibandingkan dengan komponen anak bangsa lainnya semisal guru honorer, atau tenaga honorer lainnya.
Besok, 2 Mei adalah hari pendidikan nasional. Pemerintah semestinya harus lebih konsen dan serius berpihak kepada guru. Bukankah guru adalah pilar utama dan pertama dalam pendidikan? Bukankah di tangan mereka SDM Indonesia ditentukan? Dalam sambutan tertulis (saya download dari goegle) menteri pendidikan dan kebudayaan mengingatkan, mari kita jawab, tahukah kita berapa jumlah sekolah, jumlah guru, jumlah siswa,jumlah perguruan tinggi di daerah kita? Tahukah kita berapa banyak anak-anak di wilayah kita yang terpaksa putus sekolah? Tahukah kita tentang kondisi guru-guru di sekolah yang mengajar anak-anak kita? Tahukah kita tentang tantangan yang dihadapi oleh kepala sekolah dan guru untuk memajukan sekolahnya? Walaupun sang menteri tak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut (bisa jadi karena keterbatasan ruang dan waktu) paling tidak pemerintah masih ingat akan nasib dan keadaan para guru. Dan kita tunggu kerja, kerja, dan kerja  (bukankah nama kabinetnya, kabinet kerja) dari pemerintah agar perubahan nasib para guru dan pendidikan secara umum cepat dirasakan oleh rakyat.  Dan akhirnya saya ucapkan SELAMAT HARI BURU DAN HARI PENDIDIKAN NASIONAL.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian RADAR Cirebon, Sabtu 2 Mei 2015/13 Rajab 1436 H)

Senin, 20 April 2015

UN, UJI NYALI



Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, UN sekarang tidak lagi menjadi penentu satu-satunya kelulusan siswa. UN hanya menjadi bagian penting kelulusan bersama faktor lainnya. Kelulusan akan ditentukan oleh sekolah masing-masing. Tapi kenapa masih ada juga kebocoran soal? Diberitakan ada kebocoran soal saat pelaksanaan UN tingkat SLTA-MA. Kebocoran soal di duga terjadi di dua propinsi Aceh dan Yogyakarta. Ada sekitar 30 paket soal yang terbocorkan kunci jawabanya. Diduga pihak percetakan yang membocorkanya. Kasus ini pun sudah di tangan kepolisian.( http://news.okezone.com/read/2015/04/17/65/1135727/ujian-nasional-di-aceh-yogyakarta-berpotensi-diulang )
Orang itu akan melanggar hukum, etika, adat istiadat, bahkan agama biasanya saat terdesak atau saat ada kepentingan yang berkaitan dengan dirinya. Kalau dulu ada banyak kecurangan yang dilakukan siswa, pihak sekolah, sampai pemda agak lumrah (walau tetap salah) karena bisa jadi karena terdesak takut tidak lulus, takut nama baik sekolahnya tercoreng, gengsi bila daerahnya angka kelulusanya rendah. Nah, kalau sekarang dorongan itu sudah tidak. Lantas apa motifnya?
Untuk menemukan motif dibalik kebocoran soal, mari kita mengkaji motivasi siswa-siswa kita dalam belajar. Motivasi menurut Mc. Donald, yang dikutip Oemar Hamalik (2003:158) adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Sedang motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar siswa (dengan menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu) yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. (http://belajarpsikologi.com/pengertian-motivasi-belajar/) Nah, sekarang bagaimana dengan motivasi belajar siswa-siswa kita? Secara umum motivasi siswa-siswi kita berorentasi pada nilai (value oriented). Nilia  menjadi target bahkan tujuan dalam belajar. Motivasi itu menguat dalam diri siswa karena dorongan lingkungan mereka mulai lembaga sekolah sampai keluarga. Kenapa? Karena ternyata guru-guru atau sekolah-sekolah kita juga dalam menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran berotrientasi pada nilai juga. Demikian pula orang tua kita, hal pertama yang ditanyakan pada anak-anaknya adalah nilai. Nilai menjadi target mereka yang terpenting. Ranking menjadi hal yang sangat ditunggu saat melihat rapot anaknya. Saat dalam buku rapot tidak tersedia kolom ranking, mereka memaksa guru untuk membuat ranking. Untuk tujuan itu orang tua siap mengeluarkan uang untuk biaya les atau paket-paket kursus anaknya. Walhasil nilai menjadi tujuan belajar anak-anak kita sekarang. Motivasi dan tujuan belajar seperti diatas hanya menghasilkan siswa yang materealis yang megukur segala dengan angka, menciptakan  generasi yang hanya pandai tapi tak bisa berbuat apa-apa, genius tapi tak mampu menyelesaikan masalah.
Menurut Munif Chatib, penulis buku sekolahnya manusia  siswa itu dalam belajar, sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan, orang tua dalam membekali pendidikan anak-anaknya seharusnya berorientasi pada:1.Untuk tahu cara memenuhi kebutuhan hidup mereka, 2. Untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah yang akan dihadapi 3. Mengarah kepada tujuan profesi sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.  Saya menambahkan satu lagi bahwa pembelajaran harus bercorak penanaman karakter atau akhlak mulia dalam bahasa agama. Ini penting, agar siswa tidak hanya dibekali ilmu (knowledg) dan skil atau ketrampilan. Tapi ditanamkan juga karakter yang kuat.
Kementerian Pendidikan Nasional (2011) menyebutkan 18 karakter dalam pendidikan karakter. Salah satu karakter itu adalah kejujuran. Menanamkan kejujuran memang lumayan sulit. Pengalaman saya menjadi guru, susah sekali anak-anak untuk jujur terutama saat mereka mengerjakan soal atau tugas dalam KBM. Mereka terbiasa melihat buku, mencontoh pekerjaan teman. Saya seringkali memberikan motivasi untuk tujuan itu. Saya sering mengatakan bahwa percuma nilai tinggi bila diperoleh dengan mencontek. Lebih baik nilai jeblok asal jujur, mengerjakan sendiri. Kesulitan penaman kejujuran tersebut menurut pengamatan saya  karena value oriented  (orientasi hanya ke nilai semata) sudah tertanam kuat pada diri anak. Sehingga anak mengejar nilai dengan cara apapun termasuk dengan menipu diri sendiri, mengabaikan kejujuran.
 Untuk itu, kedepan tidak ada cara lain dalam menanamkan karakter  anak kita selain terlebih dulu mencabut paradigma yang sudah mengakar itu. Oreintasi kepada nilai harus dihilangkan dari dunuia pendidikan kita. Bila perlu penilaian dengan angka normatif ditiadakan. Ke depan kita barangkali hanya cukup memberi nilai dengan kualitas seperti Baik, Sedang, Kurang tanpa menyebut berapa kuantitatifnya.
UN, Uji Nyali
          Tanggal 4-6 Mei mendatang giliran SMP-MTs yang akan di-UN-kan. Ini tantangan buat kita semua baik lembaga sekolah, orang tua, pemerintah terutama siswa. Ini mirip seperti uji nyali. Mampukah kita jujur? Toh, seperti disebutkan sebelumnya UN tidak berpengaruh besar seperti sebelumnya. UN hanya untuk 1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan  2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan 3)pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tidak lebih dari itu. Tidak seram lagi seperti dulu. Dan saya yakin tidak menghantui anak-anak kita lagi. Bagaimana sanggup menerima tanntangan ini?
          Semestinya kita semua sanggup dan saya yakin bisa. Apalagi  sebagai bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang memiliki karakter tinggi dan kuat. Itu sudah ditampilkan oleh pendahulu kita ke pentas dunia. Kita harus belajar dari bung Karno, bung Hatta dan masih banyak tokoh besar yang kita miliki. Mereka memiliki karakter kuat sehingga mampu berperan membawa nama baik bangsa di kanca internasional.
          Melakukan perubahan memang tidak mudah, membutuhkan usaha keras dan kerja nyata serta komitmen tinggi. Revolusi mental yang digagas pak Jokowi (2014) mungkin harus dimulai dari sini, dari kejujuran pelaksanaan UN, atau lebih luas dari dunia pendidikan kita. Dalam tulisan yang monumental, dimuat di Kompas 10 Mei 2014, Jokowi prihatin dengan kondisi bangsa kita pasca reformasi yang belum mampu mereformasi mentalitas dan karakter kita semua. Mental dan karakter bangsa kita tidak membaik bahkan cenderung memburuk. Jokowi menyebut 8 hal, dimana mentalitas bangsa kita merosot. Apa saja? Jokowi menyebut korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat rakus, ingin menang sendiri, ingin kaya secara instan, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Delapan tersebut menurut pengamatan saya bersumber pada rendahnya karakter bangsa kita. Rendahnya karakter bisa diperbaiki melalui pendididikan. Disini relevansinya. Nah, bagaimana? Siapkah nyali kita diuji di ujian nasional nanti?





                                               

Sabtu, 18 April 2015

Diksi Terpopuler “Petugas Partai”



Dalam kamus bahasa Indonesia, diksi diartikan pilihan kata yang tepat sesuai dengan struktur kalimat. Diksi merupakan istilah yang digunakan oleh seseorang baik dalam bahasa tulisan maupun bahasa lisan.  Akhir-akhir ini diksi yang sangat populer bagi kita semua adalah “Petugas Partai”. Sebuah ungkapan kata yang menjadi perbincangan nasional, yang telah mendapat perhatian dari berbagai kalangan.  Dari petinggi negeri, politisi, akdemisi, sampai rakyat biasa di sudut-sudut kehidupan, mereka sedang disibukan mengotak-atik, berdiskusi bahkan berdebat seputar “petugas partai”. Mereka mencari makna, sampai filosofi diksi itu.
          Kenapa “Petugas Partai” cepat populer? Paling tidak berikut beberapa alasan yang bisa saya sebutkan. Pertama, karena kalimat itu disampaikan orang tersohor di negara ini. Siapa lagi kalau bukan Megawati Sukarno Putri. Mantan presiden yang satu ini dikenal pendiam, berbeda dengan politisi lainnya yang gemar mengumbar statemen di media baik cetak maupun elektronik. Seorang yang pendiam pembicaraanya lebih disimak dan didengar. Terlebih Megawati adalah ketua umum PDI-P yang sangat disegani oleh keluarga besar PDI-P bukan sekedar karena kepimimpinanya di partai tetapi lebih dari itu karena kedudukannya sebagai putri Bung Karno. Dan ini yang sering ditonjolkan oleh oleh PDI-P. Ketokohan Bung Karno menjadi icon dan simbol partai. Dan pada akhirnya ketokohan Megawati pun sangat dominan mewarnai setiap garis kebijakan partai. PDI-P sama dengan Megawati. Megawati sama dengan Bung Karno. Demikian kesimpulan cepatnya. Walaupun kesimpulan seperti itu tidak sepenuhnya benar.
          “Petugas Partai” menjadi sangat populer sejak istilah itu berulang-ulang disebut oleh Megawati dalam pidato penutupan kongres PDI-P di Bali beberapa waktu lalu walau sebelumnya sudah sering diungkapkan oleh Puan Maharani saat menyebut posisi Pak Jokowi. Sontak masyarakat luas merespon ungkapan Bu Mega itu secara beragam. Pro kontra mewarnai perdebatan publik. Ungkapan “Petugas Partai” yang menurut sekjen PDI-P Hasto Kristianto sebagai diksi yang dipilih Bu Mega untuk internal partai itu menjadi konsumsi khalayak. Maklum, karena pidato itu disiarkan secara langsung oleh beberapa TV nasional.
Kedua, karena seperti dipahami oleh khalayak bahwa “Petugas Partai” yang dimaksud adalah presiden Jokowi. Dan saat “petugas partai” diulang-ulang oleh   Bu Mega, Pak Jokowi duduk di barisan depan berhadapan langsung. Ini peristiwa yang tidak biasa. Seorang presiden yang notabenya kepala negara dan kepala pemerintah disebut sebagai petugas partai secara langsung oleh seorang warga negara biasa. Tentu ini menyulut kemarahan sebagian rakyat. Tak pantas seorang warga negara (siapapun dia) berucap seperti itu di hadapan orang nomor satu di negeri ini. Karena “petugas partai” saat disandangkan kepada Jokowi itu sama saja telah mereduksi kewenangan, tugas, kedudukan, bahkan kehormatan  seorang presiden.
          Ketiga, “petugas partai” cepat populer tak lepas dari hiruk pikuk pilpres lalu. Presiden Jokowi dituduh oleh lawan-lawanya sebagai “capres boneka”. Waktu itu PDI-P dan partai pengusung lainnya serta relawan setengah mati menolak dan membuktikan ke pemilih bahwa Jokowi bukan bonekanya Megawati. Tapi aneh, sekarang justru bu Mega sendiri yang meresmikan “presiden boneka” seperti yang dituduhkan lawan-lawan politiknya. Bukankah “Petugas Partai” itu berarti presiden seperti boneka?
“Petugas Partai” atau ”Presiden Boneka”
         Baik “Petugas Partai” maupun “Presiden Boneka” sebenarnya sama-sama berkonotasi negatif. Petugas itu berarti orang suruhan yang ditugasi melakukan suatu pekerjaan. Petugas pasti memiliki atasan atau BOS. Atasan atau bos memiliki kedudukan yang lebih dari orang yang ditugasi (petugas). Petugas partai berarti orang yang diberi tugas tertentu oleh partai. Dalam partai, kewenangan tertinggi berada di tangan ketua umum. Petugas partai bisa diartikan negatif sebagai jongosnya ketua partai. Waduh,,ini lebih ngerih mendengarnya. Apa pengertian seperti ini yang dimaksud oleh Bu Mega dan PDI-P? Semoga tidak.
          Sama halnya dengan “Presiden Boneka”, boneka itu adalah mainan anak-anak, yang jelas tidak bisa apa-apa. Boneka ibarat robot yang dikendalikan oleh operatornya. Boneka hanya bisa menghibur pemiliknya dan menemaninya tidur. Bagimana kalau boneka itu adalah seorang presiden? Tentu kacau balau negara. Bagaiman tidak? Presidenya tidak bisa apa-apa, hanya menjalankan intruksi atau menunggu perintah dari seseorang. Tentu PDI-P dan Bu Mega juga tidak setuju bila Jokowi disebut “Presiden Boneka”. Tapi kenapa mereka mau menjadikannya sebatas petugas partai yang harus taat terhadap semua intruksi partai? Tak boleh membantah. Bila berani membantah keluar dari partai, demikian tegas Megawati. Dalam konteks ini Megawati terlihat sangat arogan pada Jokowi seakan dialah yang menjadikan Jokowi sebagai presiden. Bu Mega lupa bahwa presiden itu dipilih langsung oleh rakyat. Kalau rakyat menghendaki bisa saja Jokowi menjadi presiden tanpa dukungan PDI-P pun, toh saat itu sudah banyak partai yang menggadang-gadangnya sebagai capres.
          Kaitan dengan “Petugas Partai” pak Jokowi sendiri tidak mau ambil pusing. Beliau tidak pernah menanggapinya secara khusus mengenai hal itu. Jokowi tetap berjalan sesuai keyakinan dan pendiriannya. Sebenarnya sebagai seorang presiden bisa saja beliau melawan, atau sekedar klarifikasi terhadap isu petugas partai itu. Namun nampaknya beliau lebih memilih menjawab dengan fakta misalnya dengan melantik Badrudin Haiti sebagai kapolri mengesampingkan Budi Gunawan usulan PDI-P. Tapi itu tidak cukup pak presiden. Karena masih banyak hal yang memerlukan ketegasan dari bapak sebagai presiden yang independen dan mandiri bukan boneka siapapun. Bukan begitu pak presiden?
         

Sabtu, 04 April 2015

RADIKALISME, ANCAMAN BARU



Kalau dulu yang ditakuti oleh banyak negara dan bangsa adalah komunis, sekarang tidak lagi. Komunis seperti macan kertas, karena sudah tak laku lagi. Sekarang yang menjadi ancaman baru bagi stabilitas di setiap negara adalah radikalisme. Radikal dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, amat jauh dalam berpikir dan bertindak. Radikalisme adalah pemahaman yang ektrim (baca:keras dan dangkal) terhadap sesuatu yang dibarengi dengan tindak kekerasan secara membabibuta dalam mewujudkan dan memperjuangkan apa yang dipahami dan diyakini. Radikalisme ada di ranah politik, agama, idielogi juga lainnya. Radikalisme dalam politik di sebuah negara dulu disebut ektrimis (bisa ekstrim kiri kalau dari kalangan nasionalis atau ektrim kanan dari kalangan agama) termasuk Komunis (baca:PKI untuk di Indonesia). Sekarang radkalisme telah diidentikan dengan Islam. Maka munculah istilah Islam radikal atau radikalisme dalam Islam
Sekilas sejarah radikalisme dalam Islam
          Melihat dari sisi istilah secara ilmiah radikalisme awalnya tidak berkonotasi negatif. Radikalisme itu pemahaman dan upaya yang mendalam dan menyeluruh untuk memahami dan memperoleh secara total (all out). Kata lain upaya yang total dan mendalam dalam melakukan sebuah perubahan. Radikalisme dalam Islam berubah arti dan berkonotasi negatif sejak peristiwa serangan 11 September 2001. Sejak saat itu istilah redakalisme, fundamentalisme, dan terorisme maknanya menjadi bercampur aduk, dan diartikan sebagai upaya umat Islam melakukan perubahan secara kasar dan arogan dengan tindakan-tindakan brutal. Pemaknaan semacam ini dikuatkan dengan prilaku sebagian kaum muslimin termasuk di Indonesia yang berbuat anarkis atas nama agama dalam hal ini Islam. Misalnya saat ingin membrantas kemaksiatan semisal perjudian, pelacuran atau lainnya beberapa ormas Islam melakukannya dengan penuh anarki tanpa mengedepankan dialog, atau teguran halus dan mengabaikan proses hukum. Tak ayal banyak tempat-tempat maksiat bahkan kantor dan instansi pemerintah yang menjadi sasaran pengrusakan karena dianggap melindungi kemaksiatan. Sampai pengrusakan masjid tak terelakan karena perbedaan pemahaman antara golongan sesama Islam. Masih teringat jelas di benak kita beberapa masjid ahmadiyah di berbagai kota dihajar habis massa yang notaben sesama Islam. Jadilah radikalisme berarti negatif, galak, sangar, kejam,  menakutkan setiap orang yang mendengarnya.
          Gerakan radikal seperti di atas sebenarnya bukan hal baru dalam Islam. Coba tarik ingatan kita ke sejarah permulaan Islam. Sejak awal gerakan semacam itu sudah ada. Bukankah sejarah menjelaskan kepada kita seluruh khalifah Rasyidin (keecuali Abu Bakar) meninggal terbunuh. Dan pembunuhan pada mereka dilakukan oleh kelompok radikal dalam tubuh Islam sendiri.
          Khalifah Umar Ibnu Khattab dibunuh oleh seorang bernama Abu Lu’ lu’ah, seorang hamba sahaya asal Persia. Sejarah menyebutkan bahwa pembunuhan itu berlatar belakang dendam yang bersangkutan terhadap sang khalifah.
            Sedang khalifah Ustman Ibnu Affan meninggal akibat terbunuh dari kelompok pemberontak yang mengepung rumahnya selama 40 hari. Hal ini disebabkan oleh adanya kebencian dari kelompok pemeberontak terhadap sahabat Utsman Ibnu Affan yang mengganti beberapa pejabat (gubernurt/bupati) yang dianggap kurang cakap, kurang adil dan kurang jujur yang berasal dari keluarga dekat . Orang orang yang diganti oleh sahabat Utsman ibnu affan tersebut menganggap pengangkatan teresebut beraroma KKN. Mereka tidak legowo menghadapi pergantian tersebut, akhirnya bersengkongkol untuk merobohkan  kekuasaan Utsman ibnu Affan dengan cara membunuh.  Ustman bin affan terbunuh di dalam rumuanya sendiri.
            Dan Ali Bin Abi Thalib ra adalah sahabat sekaligus menantu kesayangan Rasulullah SAW. Kedudukannya sangat dekat dengan beliau, nabi pernah memberi perumpamaan seperti kedekatan Harun dengan Musa alaihimasalam. Dalam satu riwayat hadist nabi SAW menyebutnya sebagai pintu ilmunya karena keluasan dan penguasaannya pada Islam. Meskipun demikian, sahabat Ali Bin Abu Thalib ra wafat terbunuh ditangan seorang ulama besar bernama Abdurrahman ibnu mulzam. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa Abdurrahaman Ibnu Mulzam adalah seorang ulama yang rajin sholat tahajut (sholat malam), selalu puasa sunah senin-kamis, bahkan seorang hafal alqur’an (hafidz). Abdurrahaman ibnu mulzam berhasil membunuh Ali Ibnu Abu Tholib ra pada tanggal 17 ramadhan pada saat menunaikan sholat subuh, Abdurrahman Ibnu Mulzam berhasil menebas pedang ke dahi Ali Ibnu Abnu Tholib ra. Pembunuhan itu terjadi, karena Ali Ibnu Abu Tholib ra tidak melaksanakan kaidah Laa hukmu illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah/al-qur’an) Ali Ibnu Abu Tholib dianggap telah melaksanakan hukum selain al-qur’an karena melakukan musyawarah dengan kelompok lain (baca:Muawiya cs) dalam pemerintahannya, oleh sebab itu  dianggap kafir oleh Abdurrahman Ibnu Mulzam.
          Abdurahman Ibnu Mulzam adalah salah satu tokoh sentral kaum  khawarij yang keluar dari barisan Ali Bin Abi Thalib pada peristiwa tahkim dengan Muawiyah yang mereka anggap sebagai kesalahan besar yang mengeluarkan Ali Bin Abi Thalib dan pengikutnya dari Islam. Lebih ektrim khawarij pun menghalalkan darah orang-orang yang tak sependapat dengan mereka. Pembunuhan dan tindak anarkisme mereka mencoreng wajah Islam pada masa permulaan.
ISIS, neo Khawarij
          Saat ini radikalisme yang paling mengerihkan sedang dipraktekan oleh ISIS. ISIS kepanjangan dari Islamic staate of Iraq and Syiriah pimpinan Abu Bakar Albaghdadi yang secara sepihak mengumumkan kekhalifaan Islam Juni 2014 di Bagdad Iraq. Dalam Ensklopedia Bebas, disebutkan kelompok ini dalam bentuk aslinya terdiri dan didukung oleh berbagai kelompok pemberontak Sunni, termasuk organisasi-organisasi pendahulunya seperti Dewan Syuro Mujahidin dan Al Qaeda di Iraq (AQI), termasuk pembrontak Jaysh al Fateen, Jund al Sahaba, Katibiyan Ansar al Tawhid wal Sunnah dan Jeish al Taifa am Mansuroh dan sejumlah suku Irak yang mengaku Sunni. (http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Irak_dan_Syam) 
          Sejak itu sebagian wilayah Iraq dan Syiriah dikuasai dan direbut oleh mereka dengan mengobarkan perang dengan siapapun yang menghalangi. Perang saudara pun tak terelakan. Sesama muslim saling membunuh. PBB melansir tak kurang 2.400 warga muslim Iraq dan Syiriah tewas, 30.000 warga sipil harus mengungsi akibat pertempuran ini. Mereka telah menghalalkan segala cara dalam meraih tujuannya seperti merampok di pusat-pusat perbelanjaan sampai aset-aset pemerintah.
          Praktek radikalisme ISIS banyak memiliki kesamaan dengan Khawarij. Karenanya sebagian ahli menyebut  ISIS sebagai neo Khawarij. Mereka sama-sama mengedepankan kekerasan, mengesampingkan dialog, meninggalkan tasamuh (saling menghargai dan menghormati pendapat orang lain). Kekerasan mereka di luar batas kemanusiaan seperti menyiksa tahanan kaum wanita dan anak-anak secara kejam. Kekejaman dan kebengisan mereka sungguh melampaui akal sehat seperti pemenggalan kepala. Mereka melakukannya tanpa ragu apalagi menyesal. Mereka sangat yakin dengan kebenaran yang dilakukan.
          Baik ISIS maupun Khawarij gemar mengkafirkan yang lain yang tak sepaham dengan mereka. Takfir yang mereka lakukan bersandar pada pemahaman agama yang sangat sempit dan dangkal. Mereka memahami Alquran hanya sebatas teksnya saja, tidak melihat lainnya. Misalnya dalam memahami ayat man lam yahkum bima anzalallah faulaika humul kafirun ditegaskan semua yang tidak menggunakan hukum Allah maka mereka KAFIR. Dengan pemahaman ayat seperti ini Ali Bin Abi Thalib ra dianggap kafir oleh Khawarij.
          Lebih jauh mereka telah salah kaprah memahami konsep jihad. Ayat-ayat jihad seringkali ditafsirkan secara dangkal. Ayat-ayat yang seharusnya diterapkan kepada kaum kafir justru diterapkan kepada saudara mereka sesama Islam. Tentu setelah mereka mengkafirkan terlebih dahulu saudara-saudaranya tersebut. Karena kafir maka darahnya menjadi halal, boleh dibunuh. Pemahaman yang salah ini tak terlepas dari kedangkalan pemaham mereka terhadap ajaran Islam. Namun demikian mereka beranggapan dan meyakini merekalah yang paling benar serta paling Islam kemudian  menganggap selainya salah dan sesat.
          Pemahaman ala ISIS telah menyebar ke polosok dunia sekaligus menjadi ancaman di berbagai negara termasuk di Indonesia. Perkembangan radikalisme ala ISIS di tanah air bisa dilihat dengan semakin diminatinya kegiatan takfir (mengkafirkan yang lain) antara sesama. Coba anda amati, di berbagai daerah pemasangan spanduk propokatif, ajakan menyesatkan kelompok lain dipasang di tempat-tempat strategis. Dan anehnya, pemerintah membiarkan begitu saja. Entah kenapa? Padahal spanduk-spanduk itu bisa memicuh konflik horisontal. Contoh nyatanya adalah insiden pada masjid Adzikroh Bogor beberapa waktu lalu. Padahal hampir di setiap polsek, kepolisian telah memasang spanduk kewaspadaan dan penolakan terhadap semua gerakan ISIS.  Tapi kenapa spanduk yang berlawanan dibiarkan terpasang?
Termasuk acara-acara yang dikemas ilmiah seperti diskusi, seminar yang diselenggarakan kelompok takfiri, ternyata hanya berupa pelaknatan, penyesatan, pengkafiran terhadap kelompok Islam yang dianggap tidak sepaham. Kegiatan dan gerakan semacam ini yang seringkali mengundang konflik. Konflik horisontal itu sebenarnya telah terjadi secara massif walau masih di media sosial seperti facebook. Sesama Islam, anak bangsa saling mencaci, menghina, menyesatkan, mengkafirkan, bahkan ancaman pembunuhan. Belum lagi dengan hadirnya situs-situs online yang beraroma ISIS baik yang terang-terangan maupun yang sedikit malu-malu sangat berpengaruh besar menggiring kita semua menjadi radikal.
          Dan nampaknya situs-situs itu telah berhasil mencuci otak saudara-saudara kita, terbukti saat 22 situs radikal telah diblokir oleh pemerintah tidak sedikit diantara kita yang menolak dan memprotes sikap tegas pemerintah itu. Dan ngga nyangka diantara mereka adalah tokoh-tokoh nasional seperti ustadz Arifin Ilham, AA Gim, dan masih banyak lagi. Saatnya kita semua berpikir jernih dan menyadari bahaya dan ancaman radikalisme agar negeri kita tercinta tetap damai, sejahtera. SEMOGA. Wa Allahu A’lam.