Sabtu, 28 November 2015

Pesan Untuk Para Pendidik


Hiruk pikuk Hari Guru Nasional (HGN) telah dilewati bersama harapan dan problematika pendidikan. Harapan menghadirkan masa depan generasi Indonesia mendatang yang cerah, lebih baik. Kemudian, problematika pendidikan yang senantiasa menghadang menjadi tantangan bagi para pendidik atau guru di tanah air dalam proses mencetak generasi bangsa tersebut. Dalam konteks ini, baik bagi para pendidik menyimak pesan yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan dalam pidato sambutan beliau pada HGN beberapa waktu  yang lalu.
Ada beberapa point penting, pesan yang harus dipahami oleh para pendidik atau guru. Pesan itu harus menjadi pengingat, pegangan, acuan mereka dalam menjalankan tugas mulia mengajar dan mendidik. Berikut diantaranya, pertama, menjadikan orang tua siswa sebagai mitra kerja. Guru harus menjalin komunikasi yang baik dengan mereka. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama. Sedangkan guru merupakan pendidik  yang dibutuhkan setiap anak pada tahap berikutnya. Karena itu, guru dan orang tua harus bisa bekerja sama dalam mencetak wajah masa depan Indonesia, yakni generasi setelah mereka.
Kedua, guru harus memandang dan menganggap tanggung jawab mendidik anak bangsa sebagai tugas mulia dan terhormat bukan beban. Sebuah kehormatan besar, karena mengajar dan mendidik merupakan amanat proklamasi kemerdekaan yakni mencerdaskan anak bangsa. Guru harus suka rela, ikhlas dalam menjalankan tugasnya. Mereka harus sadar bahwa di pundak mereka bergantung generasi Indonesia yang akan datang. Guru adalah agen perubahan (agent of change). Menurut Anis Baswedan,  setiap langkah, tutur kata, dan karya guru adalah ikhtiar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Guru harus benar-benar menghayati dan mencintai pekerjaannya. Guru harus mengajar dan mendidik setiap siswanya dilandasi oleh panggilan hati nurani.
Ketiga, menjadikan sekolah sebagai taman belajar bagi siswa seperti harapan  Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara. Bagi beliau, belajar itu harus senang dan menyenangkan. Karenanya menjadi tantangan buat para guru untuk bisa menjadi guru yang dicintai bukan guru yang ditakuti. Maka para guru harus mampu menciptakan sekolah yang menyenangkan. Yaitu sekolah yang bersih, asri (green school), sehat, ramah lingkungan, berfasilitas lengkap. Ciptakan lingkungan pergaulan sekolah yang menyenangkan pula. Kembangkan suasana kekeluargaan antara sesama warga sekolah dengan  5S (senyum, salam, sapa, sopan, dan santun). Sekolah menyenangkan akan membuat peserta didik betah, tak mau pulang, segera ingin masuk kelas saat bel masuk terdengar. Mereka setiap saat merindukan gurunya. Menteri  Anis Baswedan menegaskan bahwa kegiatan belajar yang menyenangkan bukannya kegiatan belajar yang tanpa tantangan, tetapi kegiatan belajar yang memberikan beragam pilihan dan tingkatan tantangan kepada guru dan siswa yang juga beragam. Untuk mewujudkan kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, tentunya dibutuhkan guru yang kreatif dan inovatif, menerapkan berbagai pendekatan, model, strategi, metode, dan teknik yang disesuaikan dengan karakter materi dan kebutuhan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran.
Keempat,  sesuai tema HGN tahun ini, Guru Mulia Karena Karya, guru dituntut selalu berkarya. Karena karya, guru akan dikenang sepanjang masa. Karya tersebut bisa terkait dengan tugasnya sebagai pendidik seperti inovasi pembelajaran, menciptakan metode mengajar, menemukan media pembelajaran yang dibutuhkan sesuai perkembangan jaman, menulis karya ilmiah baik buku atau artikel lepas di media. Menurut Amirullah Sarbini (2015), guru yang hebat adalah guru yang bisa menulis, menuangkan gagasan, berbagi penemuan. Dan tentu maha karya seorang guru adalah mencetakan anak didik yang beriman, bertakwa, memiliki budi luhur, cerdas, berpikir kritis, juga terampil. Menyaksikan peserta didik yang sukses menjadi kebahagian dan kebanggaan besar bagi guru. Untuk itu semua, guru harus selalu aktif, kreatif, inovatif dalam menghadirkan karya-karyanya.  Dan bagi pemerintah, Mendikbud berjanji akan selalu memberikan penghargaan bagi mereka. Karenanya, Mendikbud mengajak para guru untuk terus berkarya dan menjadi guru pembaharu karena sosok-sosok guru seperti itu sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Kelima, guru harus jadi pembelajar abadi. Guru tidak boleh berhenti belajar lantaran karena sudah menjadi guru yang mengajar. Ini pemikiran yang salah. Justru pengajar yang baik adalah pengajar yang selalu belajar. Menurut Idris Apandi (2015), guru jangan sampai kalah cepat oleh murid-muridnya. Guru harus selangkah atau bahkan beberapa langkah lebih maju dari murid-muridnya. Guru harus menyampaikan ilmu dan informasi yang paling mutakhir (update)  dan segar (fresh) kepada murid-muridnya supaya mereka pun tidak ketinggalan informasi. Guru harus banyak membaca berbagai referensi baik dari buku, surat kabar, majalah, jurnal, internet sebagai bekal untuk mengajar anak-anak didiknya. Guru harus selalu meng-update (memperbaharui) dan meng-upgrade (meningkatkan) kemampuannya sebagai bagian dari pengembangan profesinya baik dilakukan secara mandiri maupun melalui kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi maupun pemerintah. Pengembangan profesi secara mandiri misalnya dengan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mengikuti seminar, workshop, membaca berbagai sumber belajar, dan sebagainya. Pengembangan profesi yang dilakukan oleh organisasi biasanya melalui Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK). Sedangkan pengembangan profesi yang dilakukan oleh pemerintah biasanya adalah berupa kesempatan beasiswa, magang, diklat, workshop, atau lomba inovasi guru dalam pembelajaran, blockgrant pengembangan profesi guru, dan sebagainya. (http://www.kompasiana.com/)
Keenam, guru tidak hanya mengajar, mendidik tapi juga memimpin. Mengajar adalah mentransfer ilmu pengetahuan, ketrampilan (transfer of knowledge), pada peserta didik.  Sedangkan mendidik adalah menanamkan nilai-nilai luhur, akhlak mulia, karakter pada siswa. Kemudian memimpin adalah mengarahkan, membina, membimbing mereka dengan senantiasa memberi contoh dan teladan. Mengajar, medindidik dan memimpin harus dilakukan oleh guru secara seimbang dan beriringan. Kebanyakan dari kita, para guru hanya mengajar belum mendidik apalagi memimpin. Ini menjadi PR dan tantangan sekaligus tuntutan moral bagi semua guru Indonesia.
Akhir kata, pesan-pesan di atas harus selalu diingat, diupayakan, dilakukan oleh guru Indonesia. Hal itu, semata-mata untuk perbaikan dan peningkatan kualitas pedidikan nasional di masa yang akan datang. Guru Indonesia yang hebat adalah mereka yang selalu belajar, berkarya, menjalankan tugas dengan ikhlas, tidak sekadar mengajar tapi mendidik dan memimpin, serta mampu menciptakan sekolah yang menyenangkan. Dari tangan mereka akan lahir generasi bangsa yang lebih baik. Wa Allahu Alam



















Jokowi, Kenapa Beli Helikopter Italia?


          Pemerintah, dalam hal ini TNI Angkatan Udara berencana membeli helikopter Agusta Westland AW101 Merlin buatan Italia sebagai helikopter kepresidenan RI.  Dengan helikopter itu diharapkan dapat membantu aktivitas Presiden yang dikenal gemar blusukan ke berbagai daerah, menemui rakyat, melihat dan menyelesaikan permasalahan dari dekat. Helikopter seharga 55 juta US Dolar itu diharapkan dapat mengcover mobilitas Presiden yang cukup tinggi. Sebelumnya helikopter Super Puma yang mengantar perjalanan dinas Presiden RI selama kurang lebih 13 tahunan.
          Rencana di atas menuai pro kontra di tengah masyarakat. Bagi yang pro, mereka menganggap sebagai sesuatu yang wajar menimbang tingginya mobilitas kegiatan Presiden bila Pemerintah membeli helikopter baru, yang lebih canggih tentunya. Hanya permasalahanya, kenapa membeli dari luar? Kenapa tidak menggunakan produk dalam negeri? Bukankah kita memiliki PT Dirgantara Indonesia?
          Rencana pembelian helikopter tersebut disayangkan oleh politisi Partai PDI Perjuangan Tubagus Hasanuddin. Hasanuddin berdalih bahwa PT Dirgantara Indonesia mampu membuat helikopter yang memiliki spesifikasi tak kalah hebatnya dari helikopter yang akan dibeli pemerintah, Agusta Westland AW101 buatan Italia. Anggota Komisi I DPR RI itu mengungkapkan, helikopter jenis Super Puma yang digunakan oleh presiden selama ini dibuat tahun 2000 dan dipaikai sejak tahun 2002. Dengan demikian, sudah dipakai selama 13 tahun. Terbukti tidak pernah ada masalah, dapat melayani kebutuhan perjalanan dinas presiden. Selain itu produk dalam negeri lebih murah. Super Puma buatan PT Dirgantara Indonesia hanya dihargai 35 Juta US Dolar.  Masih menurut Tubagus Hasanuddin, PT Dirgantara Indonesia pun bisa melengkapi Super Puma seperti Agusta Westland AW101, tinggal menambah saja komponen  foward looking infra red (FLIR) dan chaff anf flare, yaitu alat proteksi/anti peluru. Kemudian ditambah infared jammer dan laser warning. Semua alat itu diperkirakan memakan biaya 5 juta dollar AS. Dengan demikian hanya 40 juta dollar AS, PT Dirgantara Indonesia bisa menghemat anggaran negara sebesar 15 juta dollar AS.
          Sementara itu, Kepala Staf Angkatan Udara  Marsekal TNI Agus Supriatna menjelaskan alasan pihaknya membeli helikopter AgustaWestland AW101 Merlin buatan Italia sebagai helikopter kepresidenan RI. Menurutnya, pembelian helikopter VIP untuk kepresidenan itu satu paket dengan pengadaan atau pembelian helikopter angkut berat baru TNI AU yang berkapasitas minimal empat ton. Rencananya, TNI AU akan membeli enam helikopter angkut berat dan tiga helikopter VIP. TNI memerlukan helikopter AW101 dengan alasan menyamakan perawatan dan pemeliharaan dengan skuadron helikopter yang lain, yang sebanyak enam unit itu. Demikian ditegaskan Marsekal TNI Agus Supriatna  di Landasan Udara Halim Perdanakusuma, Kamis (26/11). Namun, Agus tidak menjelaskan alasan TNI AU lebih memilih AW101 dibandingkan helikopter lainnya. Dia hanya menjelaskan, awalnya TNI AU hanya mendapat izin membeli dua helikopter VIP sesuai pagu anggaran.  Namun, pihak Mabes TNI akhirnya memberikan izin untuk membeli satu helikopter VIP lagi dengan sumber dana dari pinjaman luar negeri.  (http://nasional.kompas.com/)
Sebaiknya dipertimbangkan
          Pembelian helikopter  Agusta Westland AW101 Merlin buatan Italia itu, menurut hemat saya, sebaiknya dipertimbangkan kembali oleh Jokowi. Presiden Jokowi bisa menolak usulan Angkatan Udara terkait pemberlian helikopter tersebut. Kenapa? Ada beberapa alasan, sebenarnya apa yang direncanakan tersebut tidak sesuai, bertentangan dengan cita-cita Jokowi sendiri. Bahkan lebih jauh, bertentangan dengan ucapan, janji kampanye, dan program  pemerintah. Berikut beberapa alasanya, pertama, bertentangan dengan Nawacita dan Trisaktinya Bung Karno. Dalam setiap kesempatan, saat Pilpres lalu, Jokowi menjanjikan mewujudkan  kemandirian ekonomi bangsa. Jokowi sangat mengagumi konsep Trisakti Bung Karno yaitu berdaulat secara politik, mandiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam dalam kebudayaan.  Sekarang Jokowi melalui KSAU-nya lebih memilih helikopter asing,  buatan Itali, dibandingkan produk PT Dirgantara Indonesia yang merupakan karya anak-anak terbaik Indonesia. Pembelian  helikopter Agusta Westland (AW-101) menjadi bukti  bahwa Jokowi dan jajaran pemerintahannya lebih menyukai produk asing, dibandingkan produk dalam negeri, karya bangsa sendiri. Ini sesuatu yang sangat disayangkan bila benar terjadi.
          Kedua, rencana pembelian helikopter Italia bertentangan dengan program pemerintahan Jokowi-JK sendiri.  Kementerian  Men-PAN RB telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 541 Tahun 2015 tentang Penggunaan Produk-produk Dalam Negeri. Surat Edaran Kementerian Aparatur Negara itu  menjadi acuan dan landasan daerah untuk menghidupkan dan mengembangkan ekonomi daerah berbasis produk dalam negeri. Kemudian menjadi aneh bila pemerrintah pusat tak mampu memberi contoh dalam hal ini. Sungguh tidak bisa dipahami  bila Jokowi bersikukuh  membeli produk asing berbarengan dengan ajakan cinta produk dalam negeri. Masih segar dalam ingatan, saat rupiah melemah atas dollar beberapa waktu lalu, Jokowi memerintahkan, mengajak seluruh rakyat untuk membeli, mencintai produk dalam negeri. Pertanyaanya, apa Jokowi sudah lupa?
          Ketiga, menjadi aneh saat orang lain menggunakan jasa PT Dirgantara Indonesia dengan membeli produknya sementara kita membeli produk asing. Tercatat ada 32 kepala negara seperti Presiden Singapura, Presiden Prancis, Presiden Brazil, Raja Spanyol, Kaisar Jepang, dan Presiden Korea Selatan yang telah menggunakan karya anak bangsa kita. Pertanyaanya, apa tidak aneh bila presiden  justru menggunakan produk asing? Andai saja Jokowi mau memilih helikopter karya bangsa sendiri tentu dampaknya sangat luar biasa bagi bisnis PT Dirgantara Indonesia juga kemandirian bangsa. Jokowi bisa membusungkan dada dengan penuh bangga saat mendarat dengan helikopter produk PT Dirgantara Indonesia. Negara lain akan melihat betapa hebat dan mandirinya bangsa kita.
          Keempat, sungguh disayangkan,  saat PT Dirgantara Indonesia dengan semangat di dada anak negeri, sedang susah payah memasarkan produk-produknya seperti helikopter EC225, NAS332C1, dan EC725 Cougar, Presiden Jokowi melalui KSAU-nya lebih memilih membeli helikopter Agusta Westland AW-101 milik Itali. Padahal helikopter EC225, NAS332C1dan EC725 Cougar produk dalam negeri tak kalah canggih dibanding AW-101 milik Itali.
          Kelima, bertentangan dengan ajakan hidup sederhana dan efesiensi dalam segala hal. Kalau menggunakan helikopter dalam negeri bisa menghemat 15 juta dollar AS seperti dijelaskan sebelumya kenapa  Jokowi lebih memilih helikopter buatan asing yang lebih mahal? Bukankah selama ini beliau disimbolkan sebagai pemimpin yang sederhana?
          Walhasil, hal-hal di atas layak dipertimbangkan oleh Presiden Jokowi bila beliau masih ingin menggapai cita-citanya mewujudkan kemandirian ekonomi bangsa seperti yang dijelaskan dalam Nawacitanya. Meluruskan ucapan dengan tindakan dan perbuatan satu-satunya cara bagi Jokowi agar kepercayaan masyarakat tak hilang. Akhirnya, keputusan ada di tangan Jokowi, rakyat kecil seperti saya hanya bisa menunggu pemimpin yang dicintainya memberi teladan.
Wa Allahu Alam



           


Selasa, 24 November 2015

Republik Garong Indonesia


Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Syafii Maarif mengaku geram dengan berbagai kasus yang menimpa negeri ini. Dalam wawancara di salah satu TV swasta Selasa malam (24/11), tokoh nasional itu sampai menjuluki negeri ini sebagai Republik Garong.  Kasus terakhir yang jadi sorotan pria yang akrab disapa Buya ini adalah kasus pencatutan nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla terkait kontrak karya Freeport yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto.  Dia mengaku sempat bertukar pikiran dengan Wapres Jusuf Kalla, juga dengan Menteri ESDM Sudirman Said. Selain soal Freeport, beberapa hal lainnya juga dibahas. Membahas negara, tentang bangsa yang lesu,  segala macam. Bahkan saya dengar mulai Januari gaji pegawai mulai meningkat. Sementara kelakuan sebagian politisi ini tidak pernah berubah, jelas Buya. Saking kesalnya melihat kondisi itu, Buya sampai mengusulkan pergantian nama menjadi Republik Garong Indonesia. Apa kita ganti saja nama Republik Indonesia menjadi Republik Garong Indonesia, tegasnya.  Buya Syafii pun mengomentari desakan mundur terhadap Novanto. Dia menyebut, Jokowi dan Jusuf Kalla sudah marah sekali. Sebab itu, lebih baik yang bersangkutan mundur saja.
Apa yang disampaikan Buya Syafii Maarif  merupakan ungkapan kemarahan dan keputusasaan melihat kondisi negara saat ini. Dan kemarahan seperti itu wajar terjadi. Soalnya, bukan saja karena banyaknya kasus yang menerpa. Tetapi, tidak ada upaya menyelesaikan kasus-kasus itu. Sebagai contoh kasus pencatutan nama presiden dan wapres dari hari ke hari terlihat semakin kabur, melebar tak jelas. Tidak terlihat upaya penyelesaiannya. Terlihat, orang malah ramai-ramai membelokkan ini kepada Sudirman Said, sang pelapor. Padahal, masalah sangat terang benderang pencatutan nama itu dilakukan.
Korupsi menggurita
          Ungkapan Buya Syafii adalah puncak kekesalan, kekecewaan, kemarahan kita semua bangsa Indonesia. Saya yakin apa yang dirasakan oleh Buya, kita merasakannya. Kekecewaan pada kondisi bangsa dan negara. Kekecewaan pada prilaku penyelenggara negara, para pemimpin bangsa yang tidak berubah, membaik bahkan lebih gila lagi. Mereka lebih serakah, rakus, menghalalkan segala cara. Etika dan karakter mereka berada pada titik nadzir. Reformasi yang digulirkan tujuh belas tahun silam tak dapat merubah mental para petinggi negeri. Korupsi merajalela, dan telah menggurita.
          Menurut data yang ada, dari 175 negara di dunia pada 2014 oleh transparency.org. Indonesia menduduki peringkat 12 terkorup se-Asia dan peringkat 107 Negara bebas korupsi (dari 175 negara). Sangat disayangkan, dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia (peringkat 50 dunia negara bebas korupsi) atau Singapura (peringkat 7 dunia negara bebas korupsi), korupsi di Indonesia sangat memprihatinkan. Peringkat Indonesia sebagai negara terkorup sendiri bisa dilihat dari presepsi masyarakat Internasional dan Nasional. Dalam sepuluh tahun terakhir, Transperancy Internasional (TI) menempatkan Indonesia dalam kelompok negara terkorup di dunia. (http://www.Republika.com)    
          Mengguritanya korupsi di Indonesia dapat terbaca dengan kasat mata dari hal-hal berikut, pertama, korupsi wakil rakyat.  DPR menjadi sarang korupsi. Terakhir, DPR diketahui sebagai tempatnya para makelar proyek-proyek negara. Berdasarkan survei lembaga kajian non profit Populi Center, DPR diyakini oleh rakyat sebagai lembaga negara terkorup (39,7%) disusul Polri (14,2%). Survei yang dilakukan awal tahun ini tersebut menunjukkan rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR, juga partai politik. (http://www.cnnindonesia.com/)
          Kedua, desentralisasi korupsi ke daerah. Otonomi daerah yang memiliki dasar hukum UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah,  diperbaharui melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Namun otonomi daerah telah membuka peluang yang sangat lebar terjadinya desentralisasi korupsi. Prof. Wihana Kirana Jaya, Msoc.Sc., Ph.D. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi di UGM (2010) mengatakan bahwa sejumlah studi yang dilakukan terhadap negara maju dan berkembang menunjukkan bahwa penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di satu sisi telah mendorong terciptanya akuntabilitas anggaran, namun di sisi lain juga membuka peluang yang sangat besar bagi terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dan  ini sudah nyata, terbukti di Indonesia. Banyak kepala daerah menjadi pesakitan KPK lantaran korupsi.
          Ketiga, upaya pelemahan dan pembubabaran KPK. Terakhir Rancangan UU revisi KPK  disebut-sebut oleh berbagai kalangan sebagai pelemahan, pengerdilan kewenangan KPK. Bahkan khalayak ramai menyebutnya sebagai pencabutan nyawa KPK. RUU revisi KPK ibarat pisau yang memutus urat nadi KPK. Itu terlihat dari pencabutan hak penyadapan, penyelidik dan penyedik harus dari kepolisian atau kejaksaan, diberikanya kewewnangan SP3, usia KPK dibataasi 12 tahun dan lainnya. Untungnya, revisi ini ditunda. Tapi upaya-upaya ke arah itu masih terasa seperti mengulur-ulurnya test uji kelayakan pimpinan KPK oleh DPR hingga sekarang. Padahal Presiden sudah mengajukannya beberapa bulan yang lalu.
Revolusi sebagai solusi
          Menurut hemat saya, sulusinya tiada lain kecuali revolusi. Reformasi yang digagas dan disepakati oleh rakyat Indonesia tahun 1998 terbukti tak mampu memberangus dan memberantas korupsi. Kita perlu revolusi di berbagai bidang untuk memusnakan korupsi dari bumi pertiwi. Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan  yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. (https://id.wikipedia.org)
          Kalau Jokowi telah menggagas revolusi mental, sampai sekarang gagasan itu berjalan di tempat karena tidak ada kesadaran serta kemauan dari  kita semua. Kita sulit diajak berubah. Revolusi mental tak cukup. Banyak hal yang harus direvolusi. Diantaranya, Pertama, revolusi birokrasi. Kaitan dengan ini, Fathir Sidiq (2013) berokrasi memerlukan revolusi mind set dan revolusi culture. Revolusi mind set mengubah paradigma kerja birokrasi dari apa yang disebut ABS (Asal Bapak Senang) menjadi pelayanan prima yang menomersatukan publik. Revolusi culture terkait dengan disiplin dan etos kerja, disiplin waktu, serta profesionalitas. Di samping itu, kiranya perlu membongkar semua peraturan tata kerja organisasi dalam birokrasi yang berpotensi tindak korupsi.
          Kedua, revolusi sistem politik dan demokrasi. Pemikiran membubarkan partai politik dalam demokrasi Indonesia nampaknya bukan menjadi gagasan aneh lagi. Pasalnya, partai politik selama ini tak mampu mencetak politisi bersih berkarakter. Kita harus memformat ulang sistem demokrasi, tanpa partai politik. Ke depan bisa saja anggota dewan dipilih langsung perorangan, atau melalui test layaknya perekrutan PNS.
Ketiga, revolusi hukum. Kaitan dengan hukum, yang paling urgent adalah memberatkan hukuman. Bagi korupsi, hukuman mati layak diberlakukan. Selama ini hukuman terhadap koruptor sangat ringan. Selain itu, pengurangan masa tahanan atau yang semisalnya harus dihapus.
Walhasil, revolusi birokrasi, revolusi sistem politik dan revolusi hukum menjadi pilihan yang harus diambil dalam memberantas korupsi. Korupsi yang telah menggurita seperti sekarang tidak akan berkurang dengan reformasi. Hanya revolusi solusinya. Bila pilhan itu tidak diambil,  ke depan Indonesia akan betul-betul  menjadi Republik Garong. Semoga tidak. Wa Allahu Alam

         

                                     

Guru Mulia Karena Karya


Bagi guru, besok 25 Nopember adalah hari sangat istimewa. Istimewa karena diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN) sekaligus ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke 70. HGN merupakan penghargaan Pemerintah dan  negara terhadap eksitensi guru pada pembangunan nasional, mengisi kemerdekaan. Acara puncak  HGN tahun ini akan diperingati pada hari Selasa 24 Nopember 2015 bertempat di Istora Senayan Jakarta.  Menurut rencana, acara tersebut akan dihadiri oleh 10.926 guru dari Jabodetabek. Masing-masing 1.000 peserta dari Disdik DKI Jakarta, Depok, dan Bogor, 500 peserta dari Disdik Tangerang dan Tangsel, 2.891 peserta simposium, tiga ribu peserta dari asosiasi profesi, serta 1.035 peserta dari mendaftar online. Kaitan dengan ini,  Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Sumarna Surapranata mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dipastikan hadir pada Acara Puncak HGN tersebut. (http://news.okezone.com/)
Tahun ini, peringatan HGN mengusung tema "Guru Mulia Karena Karya". Sehari sebelum perayaan puncak Hari Guru Nasional, panitia akan menghelat simposium yang akan dihadiri 4.391 peserta. Terdapat 250 karya guru, seperti metode pembelajaran, alat peraga pendidikan, inovasi pembelajaran, yang akan disajikan dan dipamerkan. Pendaftaran simposium dilakukan secara online. Ada 3.366 pelamar, tetapi diseleksi  menjadi 250 karya yang dipamerkan. Sedangkan yang lainnya akan dipublikasikan melalui website.
Tema HGN, “Guru Mulia Karena Karya” sangat menarik untuk kita pelajari lebih jauh. Tema ini memberi status mulia pada guru. Kemulian guru bukan karena harta yang dimiliki, jabatan yang diduduki atau darah biru (keturunan). Tapi kemulian guru karena karya nyata yang telah dihadirkan di tengah masyarakat. Namun persoalannya, apa benar guru telah dimuliahkan? Jujur menjawab pertanyaan itu cukup sulit. Kenapa sulit? Karena guru dimuliakan itu ibarat api jauh dari panggang. Banyak permasalahan yang tidak mencerminkan hal itu. Berikut di antaranya, pertama, banyak guru yang jauh dari sejahtera. Banyak guru yang gaji mereka jauh di bawah UMR. Mereka disebut guru honorer. Yakni guru yang tidak berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Guru honorer jumlahnya sangat besar. Berdasarkan data Kemendikbud, honorer K2 saja mencapai 440 ribu, belum honorer lainnya. Mereka dibutuhkan tapi tidak diperhatikan. Mereka berjasa tapi tak dihargai. Padahal kehadiran mereka sangat dirasakan, termasuk oleh teman sejawat mereka, guru berstatus PNS. Mereka sering menjadi korban ingkar janji para pengambil kebijakan di negeri ini. Masih segar di ingatan, beberapa waktu lalu,  honorer K2 dibatalkan diangkat menjadi CPNS seperti yang dijanjikan sebelumnya dengan alasan tidak ada anggaran.
Kedua, tunjangan sertifikasi bagi guru honorer hanya menghadirkan kesejahteraan semu. Peraturan Pemerrintah Nomor  41 Tahun 2009 Tunjangan Profesi Guru dan Dosen memberikan secerca harapan bagi kesejahteraan guru honorer. Namun kenyataanya ada beberapa problematika yang justru berlawanan dengan semangat dan ruh PP No. 41 Tahun 2009. Problematika tersebut antara lain adalah  bahwa sebagian besar sekolah (baik yang dikelolah pemerintah maupun yayasan atau swasta) tidak lagi memberikan honor setelah mereka mendapat tunjangan profesi  atau sertifikasi. Tunjangan dari pemerintah yang tujuannya menambah penghasilan  dijadikan pengganti honor yang sebelumnya mereka terima dari sekolah, berbeda dengan guru berstatus PNS. Ditambah lagi pembayaran dilakukan tiga bulan sekali (triwulan). Tiga bulan bukan waktu yang pendek bila dihadapkan dengan kebutuhan hidup yang selalu merangkak naik.Tidak cukup sampai di situ, pembayaran yang dijadwalkan tiga bulan sekali kerapkali terlambat, bisa menjadi empat, lima sampai enam bulan.Tentu sangat memprihatinkan.
Ketiga, guru terkoreksi negatif. Sejak Tunjangan Profesi Guru (TPG) diberlakukan guru dikoreksi secara negatif dan tajam. Pemerintah, juga masyarakat luas seakan setengah hati memberi kesejahteraan lebih pada guru. Selebihnya guru disorot tajam. Mereka selalu disalahkan. Harapan, dan perubahan besar pendidikan nasional dipikulkan pada guru seorang diri. Padahal, dalam pendidikan bukan hanya guru, ada kurikulum,  sarana, lingkungan, fasilitas dan lainnya. Guru dianggap tak berubah setelah pelaksanaan TPG. Berbagai pihak seakan tak rela melihat perubahan kehidupan guru yang lebih sejahtera. Mereka lebih nyaman menyaksikan sosok guru “Umar Bakri” yang serba kurang. Biarlah guru hanya menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal guru profesional harusnya layak sejahtera seperti profesi lainnya. Setiap saat guru dihantuhi isu pencabutan TPG. Terakhir, Uji Kompetensi Guru (UKG) yang dilaksanakan dari 9 sampai 27 Nopember secara nasional tak terhindar dari isu yang sama. Menarik sertifikasi bagi guru bernilai rendah.
Tetap Berkarya
          Terlepas hal-hal di atas, guru harus tetap berkarya. Karya guru, menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, diwujudkan dengan apa yang disebut kompetensi guru. Dalam Pasal 10 UU No. 14 2005, Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.  Keempat kompetensi itu harus selalu dijaga, ditingkatkan oleh guru dengan seiringnya waktu.
          Guru harus memiliki keempat kompetensi di atas dengan sempurna. Keempat kompetensi di atas ibarat jati diri guru Indonesia dalam mengemban amanat, berkarya untuk negeri. Yakni mendidik, membimbing, melatih peserta didik, mengantarkan mereka ke tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3)
          Keempat kompetensi di atas sebagai syarat utama yang harus dimiliki oleh guru dalam melaksanakan tugas utamanya. Penguasaan mereka pada keempat kompetensi tersebut akan menjelaskan pada khalayak ramai tentang kualitas kekaryaan mereka sebagai guru. Karenanya, penguasaan pada keempat kompetensi itu selayaknya selalu ditingkatkan oleh guru.
          Mengakhiri tulisan, saya ingin bercerita. Konon, dalam dunia kungfu atau persilatan, seorang master kungfu dalam mengajarkan jurus-jurus kepada murid-muridnya ia selalu menyimpan satu jurus andalan. Jurus itu tak akan diberikan kepada mereka dengan satu alasan yaitu kekhawatiran sang master kungfu dapat dikalahkan oleh muridnya kelak. Ia akan memberikan jurus pamungkas itu saat-saat akhir hidupnya, tentu pada murid yang dianggapnya paling setia.
          Master kungfu berbeda dengan guru. Dalam mengajar, guru tak pernah menyimpan satu ilmu pun bagi peserta didiknya. Guru dengan ikhlas, rela menyampaikan seluruh ilmu yang ia miliki. Guru akan bangga dan bahagia bila kelak murid-muridnya lebih pandai, lebih berhasil, mengalahkan dirinya. Karena itu maha karya baginya, mencetak generasi yang lebih baik dari generasinya. Ini kemulian guru yang tak terbandingi oleh siapa pun. Akhir kata, guru adalah profesi mulia. Guru layak dimuliahkan oleh kita semua karena karyanya menghadirkan generasi terbaik. Selamat Hari Guru Nasional. Selamat Ultah ke 70 untuk PGRI. Wa Allahu Alam
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Umum Fajar Cirebon, Jumat 27 Nopember 2015)




Rabu, 18 November 2015

Politisi, Makelar dan Nasib Bangsa


          Politisi adalah sebutan untuk aktor atau pelaku politik. Politikus atau politisi  adalah seseorang yang terlibat dalam politik, dan kadang juga termasuk para ahli politik. Politikus juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan. Dalam demokrasi Barat, istilah ini biasa terbatas kepada mereka yang menjabat atau sedang mencoba mendapatkannya daripada digunakan untuk merujuk kepada para ahli yang dipekerjakan oleh orang-orang yang tersebut di atas. Perbedaan seperti ini tidak begitu jelas jika berpedoman pada pemerintahan yang non-demokratis. Dalam sebuah negara, para politikus membentuk bagian eksekutif dari sebuah pemerintah dan kantor sang pemimpin negara serta bagian legislatif, dan pemerintah di tingkat regional dan lokal. (https://id.wikipedia.org/wiki/Politikus)
          Makelar dalam bahasa lain calo, biasa dipahami sebagai perantara yang memfasilitasi kebutuhan kita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, makelar diartikan sebagai pedagang perantara yang menghubungkan pedagang satu dengan yang lain dalam hal jual beli atau antara penjual dan pembeli (saham dan sebagainya); cengkau; makelar; pialang. Istilah makelar lazim digunakan dalam dunia dagang atau bisnis, tetapi tak menutup kemungkinan istilah itu digunakan pada hal-hal lain seperti politik.
          Dua kata di atas sekarang menjadi pembicaraan ramai rakyat Indonesia. Pasalnya ada dugaan kuat seorang politisi berpengaruh telah melakukan tindakan makelar dalam upaya proses perpanjangan kontrak PT Preport. Adalah  Menteri ESDM, Sudirman Said orang yang melempar isu panas tersebut. Sudirman menyebutkan,  ada upaya tindakan makelar dari seorang politisi kuat  Indonesia dalam usaha perpanjangan kontrak PT Preport. Tidak cukup hanya itu, yang bersangkutan pun mencatut nama presiden dan wakil presiden. Dengan menjanjikan akan menjamin perpanjangan kontrak, sang politisi meminta jatah sebagai fee atas jasanya. Angka yang dipatok sangat fantastis yakni 20 persen, dikatakannya 11 persen untuk presiden dan 9 persen untuk wakil presiden. Bila diperkirakan (pada tahun 2014) nilai total saham PT Preport sebesar Rp. 500 Trilyun, maka nilai 20% yang diminta itu senilai Rp.100 Trilyun. Luar biasa, sebuah percaloan maha dahsyat.
          Kemaren Senin 16 Nopember 2015,  Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan politisi DPR yang disebutnya mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada PT Freeport Indonesia. Laporan itu disampaikan Sudirman kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (DPR). Menurut Sudirman, berdasarkan informasi yang diterimanya, politisi itu telah beberapa kali menemui pihak Freeport dengan sejumlah pengusaha lain untuk membicarakan mengenai persoalan perpanjangan kontrak.
Pertemuan dilakukan sebanyak tiga kali. Politisi itu meminta saham 20 persen dengan menjanjikan proses renegosiasi kontrak Freeport berjalan mulus. Menurut Sudirman, janji itu disampaikan politisi tersebut pada pertemuan ketiga yang digelar di salah satu hotel di kawasan Pacific Place SCBD, Jakarta, pada 8 Juni 2015 antara pukul 14.00 WIB hingga 16.00 WIB. Tak hanya itu, menurut Sudirman, politisi itu juga meminta agar diberi saham suatu proyek listrik yang akan dibangun di Timika dan meminta PT Freeport menjadi investor sekaligus pembeli tenaga listrik yang dihasilkan dari proyek tersebut.
Di depan wartawan, usai melapor ke MKD DPR RI,  Sudirman enggan menjawab, menyebut siapa pelaku pencatut nama presiden sekaligus makelar perpanjangan kontrak preport itu. Sudirman beralasan untuk asas yang baik, nama itu sudah dilaporkannya ke MKD. Namun di tempat terpisah, dalam sebuah acara televisi, Sudirman tak membantah ketika dikonfirmasi bahwa pelakunya adala Setya Novanto  Ketua DPR RI.
Setya Novanto sendiri dalam berbagai kesempatan, jauh sebelum Sudirman Said melapor ke MKD, telah menolak dugaan adanya anggota DPR yang mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden dalam upaya perpanjangan kontrak PT Preport. Seakan ia sudah mengetahui bahwa dirinya yang akan menjadi tertuduh. Pembelaan secara dini seperti ini yang dipertanyakan oleh publik, ada apa sebenarnya dengan Ketua DPR?
Nasib  dan martabat bangsa
          Berita di atas tentu sangat mengejutkan. Selama ini sebagian politisi memang kerap mempermainkan segala untuk mengejar kepentingan, termasuk nasib bangsa yang menjadi taruhan. Tapi kali ini berbeda, permainan mereka disertai mencatut nama Presiden dan wakil presiden. Menjadi rahasia umum, banyak politisi menjadi makelar. Tapi tidak lazim, bila sekelas Ketua DPR yang melakukannya,  secara langsung lagi. Kalau  berita di atas sebuah kebenaran (baca:fakta) tentu  menyedihkan, mengecewakan  semua rakyat yang diwakilinya, terutama saudara-saudara kita di Papua.
          Tidak sekadar mempermainkan nasib bangsa, lebih jauh,  menurut hemat saya, Ketua DPR Setya Novanto  juga telah merendahkan martabat Presiden Republik Indonesia. Padahal Presiden adalah simbol negara dan bangsa. Jokowi menjadi Presiden setelah menerima mandat dari rakyat. Oleh karena itu  pencatutan nama Presiden merupakan pelecehan kepada bangsa dan negara. Artinya bila  Setya Novanto, sang Ketua DPR yang terhormat itu terbukti melakukan pencatutan nama terhadap Presiden berarti ia telah  melecehkan martabat bangsa, menjual negaranya. Setya Novanto berpesta-pora di atas kemelaratan dan kemiskinan rakyatnya. Sungguh perbuatan yang sangat tidak terpuji, sangat menyakitkan hati. Tak pantas dilakukan oleh orang terhormat sekelas Ketua DPR.
          Sekarang bola panas  berada di tangan MKD DPR. Mampukah MKD bertindak tegas? Mampukah MKD berbuat adil? Melihat pengalaman sebelumnya, nampaknya kita harus siap kembali dikecewakan. MKD DPR tak akan bisa berbuat banyak. Mereka kerap kali tak berani menjatuhkan sanksi yang memadai, sesuai persoalan yang diadukan kepada teman sejawat sesama anggota dewan. Terlebih lagi terkait dengan sepak terjang pimpinan DPR RI. Terbukti persoalan dugaan pelecehan martabat bangsa dan negara terkait kehadiran Ketua DPR bersama rombongan  dalam sebuah acara kampanye bakal calon Presiden Amerika Donal Trumph beberapa waktu lalu hanya dijatuhi hukuman ringan. Padahal panggilan MKD DPR tak pernah dihadiri, tak pernah digubris oleh yang bersangkutan.        
          Jika MKD tak bisa diandalkan, maka salayaknya Presiden dan Wakil Presiden membawanya ke jalur hukum. Sepantasnya mereka berdua melaporkannya ke kepolisian. Polri pasti siap memproses. Ini pembelajaran buat semua, bahwa hukum harus ditegakan. Hukum harus adil, tidak tebang pilih. Semua orang sama di mata hukum. Presiden harus memberi contoh bahwa penyelesaian terbaik adalah di depan hukum.
          Akhir kata, politisi idealnya bukan makelar. Kalaupun harus menjadi makelar, maka jadilah makelar rakyat. Yakni makelar yang menghubungkan rakyat dengan kesejahteraannya. Bukan makelar yang justru mempermainkan, memjual nasib rakyat pada pihak asing untuk meraih kepentingan pribadi. Wa Allahu Alam
(Tulisan ini dimuat di Harian Umum Radar Cirebon Rabu 18 Nopember 2015)


Menarik, Usulan Penjara Buaya


Akhir-akhir ini, publik dikejutkan dengan wacana penjara buaya bagi terpidana narkoba. Adalah Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso mengusulkan pembuatan penjara di pulau terpencil yang akan dijaga buaya untuk para terpidana mati narkoba. Dia mengatakan buaya bisa menjadi pengawal yang lebih baik dibandingkan manusia karena mereka tidak bisa disuap. Budi Waseso mengatakan akan mengunjungi sejumlah wilayah di kepulauan Indonesia untuk menemukan jenis reptil terganas. Indonesia memiliki beberapa hukuman keras terkait penyalahgunaan narkoba dan telah mengakhiri moratorium eksekusi hukuman mati pada 2013. Eksekusi hukuman mati yang dilakukan pada April 2015 lalu telah menuai protes keras dari berbagai pihak termasuk para aktivis HAM dan pemerintah Australia dan Brasil. Rencana ini masih dalam tahap awal, masih dalam kajian dan belum ada pengumuman terkait lokasi penjara dan kapan penjara tersebut akan dibuka. (http://www.bbc.com/indonesia)
Usulan yang tidak lazim, berbeda dari pemahaman orang banyak itu dilatarbelakangi kondisi lembaga pemasyarakat yang ada sekarang. Sistem penjara di Indonesia dikenal sangat korup. Menjadi rahasia umum, para sipir di Lembaga Pemasyarakatan kerap kali mempermainkan  kewenangannya, dengan memberikan fasilitas (baca:kemudahan) bagi para napi binaan. Bahkan, khusus kasus narkoba, para bandar masih bisa mengendalikan, menjalankan jaringan bisnisnya dari dalam penjara. Ini sesuatu yang sangat ironis.
Konon, usulan Kepala BNN Budi Waseso itu terinspirasi oleh film James Bond yang diperankan Roger Moore berjudul Live and Let Die. Dalam film itu terdapat pulau yang penuh reptil. Saat ini Indonesia memang sedang berusaha keras melawan peredaran narkoba. Indonesia telah mengeksekusi mati sejumlah terpidana narkotik. Toh, peredaran narkoba di Indonesia masih tinggi. Karenanya, Budi Waseso sebagai Kepala BNN yang baru mencoba membuat terobosan. Menurut rencana, BNN akan memisahkan penanganan para bandar dan pecandu. Pulau terpencil yang disiapkan beserta buaya yang buas itu khusus untuk para bandar terpidana hukuman berat seperti hukuman seumur hidup atau hukuman mati.
Usulan mantan Kabareskrim Polri  itu sangat menarik untuk dikaji, dipahami lebih jauh. Usulan itu menjadi menarik karena beberapa hal, pertama, usulan tersebut sangat unik. Unik karena belum pernah ada usulan yang mirip denganya. Usulan ini lain dari yang lain. Usulan itu telah nyata mengganti peran manusia dengan binatang. Di era modern, biasanya tekhnologi yang menggantikan peran manusia. Lebih menarik usulan itu dilotarkan oleh Budi Waseso, seorang jendral polisi yang sangat kontroversial saat menjabat Kabareskrim beberapa waktu lalu.
Kedua, melibatkan binatang. Melibatkan buaya, binatang reptil yang dikenal sangat buas, dalam melakukan pembinaan terhadap para terpidana hukuman berat kasus narkoba merupakan hal langkah. Sebenarnya melibatkan binatang bagi kepolisian memang bukan sesuatu yang baru. Sebelumnya, anjing dilibatkan  dalam kegiatan melacak jejak. Namun,  buaya menjaga penjara jelas sesuatu yang baru, dan menarik. Terlebih penggunaan binatang reptil ini  beralasan karena manusia dianggap tidak bisa dipercaya lagi. Dalam bahasa Budi Waseso manusia bisa disuap, sedang buaya tidak.
Ketiga, melibatkan buaya tidak akan tersentuh pelanggaran Hak Asasi Manusia. Bila selama ini aktivis HAM sering melakukan protes terhadap hukuman mati dalam kasus narkoba maka dalam hal terpidana yang mati termakan buaya saat berusaha keluar dari penjara, jelas kesalahan ada pada napi. Buaya tak bisa dituntut melanggar HAM. Bukankah HAM hanya untuk manusia?
Wacana menjaga penjara dengan buaya ganas ini tidak sekadar menarik tetapi mendapat respon dari dunia internasional. Indonesia yang sebelumnya dinilai tegas menghukum terpidana mati, kini membuat gebrakan baru, berencana akan memenjarahkan para bandar narkoba di kepulauan terpencil yang dipenuhi buaya. Kalau usulan ini diterima, Indonesia menjadi negara pertama yang melakukanya. Hebat bukan?
Wacana ini juga mendapat respon posiitif dari Menteri Hukum dan HAM, Yasnona Laoly. Menkum-HAM mengaku bakal mengkaji masukan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso tersebut.  Menurutnya, ide itu bakal dikaji. Dan tak menutup kemungkinan usulan itu untuk diterapkan di masa yang  akan datang.
Terlepas keunikan gagasan di atas, menurut hemat saya, wacana membuat penjara dikelilingi buaya itu harus dilihat sebagai upaya serius BNN dalam memerangi narkoba. Indonesia sekarang sudah darurat narkoba. Bagaimana tidak? Terkait transaksi narkoba misalnya, Indonesia  menjadi pasar yang sangat menjanjikan dan menggiurkan bagi para bandar kelas dunia. Menurut Kabag Humas BNN Sumirat Dwiyanto pada 19 Januari 2015 dalam acara Primetime Talk di  salah satu  TV swasta, serbuan mafia narkoba ke wilayah Indonesia mencatat transaksi barang haram itu sekitar total 48 triliun. Transaksi yang fantastis. Bandingkan dengan keseluruhan transaksi yang terjadi di ASEAN yang sejumlah 160 triliun. Para mafia narkoba  berasal dari Indonesia sendiri, juga Malaysia, Australia, Iran, Perancis, Taiwan, Nigeria dan lain-lain. Para mafia tentu berpesta pora dengan total peredaran sebesar 30% ada hanya di Indonesia. (http://www.kompasiana.com/)
Kemudian wacana itu harus dilihat sebagai upaya menghadirkan efek jerah bagi si terpidana juga yang lain. Ketegasan Pemerintah Indonesia dalam mengeksekusi terpidana mati narkoba pada bulan April yang lalu telah menebar rasa takut bagi para mafia, bandar narkoba untuk masuk ke Indonesia. Dan sekarang, buaya ganas siap menghadang, jika mereka masih nekad membawa barang haram tersebut ke Indonesia. Sebelumnya, para mafia berpikir bahwa hukum di Indonesia itu  ringan dan dapat dibeli dengan uang. Kalaupun di Indonesia ada hukuman  seumur hidup, hukuman mati  itu hanya di atas kertas. Hukuman mati hanya berlaku untuk kejahatan teroris dan pembunuhan berencana. Bahkan di dalam penjara pun para mafia yang tertangkap dan diputus hukuman mati  masih bisa mengendalikan dan menjalankan bisnis narkoba. Tak ada eksekusi mati di Indonesia. Anggapan dan asumsi seperti itu sekarang akan sirna seiring dengan berjalannya waktu.
Akhir kata usulan kepala BNN Budi Waseso ini disamping menarik, juga layak mendapat respon positif dari semua pihak. Usulan yang membuat heboh dunia internasional itu diharapkan mampu mendatangkan efek jerah bagi para mafia, bandar narkoba dunia. Mereka harus berpikir ribuan kali untuk masuk ke Indonesia memasarkan narkoba yang telah membunuh ribuan anak bangsa tersebut. Tentu hal itu akan terwujud bila  Pemerintah, penegak hukum khususnya bersikap tegas, tidak mengenal kompromi dalam memerangi narkoba. Ketegasan itu yang akan membuat mereka takut. Wa Allahu Alam