Kamis, 28 Juli 2016

Terimakasih Pak Anies


          Terkejut. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan masuk dalam gerbong reshufle yang diumumkan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Mantan Rektor Universitas Paramadina itu digantikan Prof Muhajir Effendy, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang. Banyak pihak mempertanyaan pergantian tersebut. Alasan pergantiannya tak banyak dipahami publik. Selama ini, Anies Baswedan dinilai bekerja dengan baik. Bisa jadi,  itu belum cukup bagi presiden Jokowi. Atau Jokowi punya agenda khusus untuk Pak Aniies.
          Rumor yang berkembang (semoga ini salah), pergantian beliau sekadar untuk memenuhi keterwakilan unsur Muhamadiyah di pemerintahan Jokowi-JK. Sebelumnya tidak satu menteri pun yang merepresentasikan ormas keagamaan terbesar kedua itu. Tentu itu sah saja, asal pergantian dimaksud disertakan pertimbangan profesionalitas. Artinya, ini menjadi tantangan bagi Prof Muhajir Effendy untuk menunjukkan kinerja lebih baik lagi, memajukan pendidikan nasional.
          Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, saya melihat Pak Anies Baswedan sebagai menteri yang memiiki visi jauh ke depan, berintegritas tinggi serta memilki komitmen kuat memajukan pendidikan di Indonesia.  Beliau sangat humanis. Dalam pandanganya, mendidik itu pada hakekatnya memanusiakan manusia. Sebab itu dalam pendidikan tidak boleh ada kekerasan baik fisik maupun psikis. Mendidik itu harus menyenangkan. Dalam istilah Kihajar Dewantara, sekolah itu harus seperti taman, indah dan menyenangkan.
Kaitan dengan memanusiakan manusia, Anies Baswedan  mengajak  para guru dan orang tua agar memperlakukan anak seperti benih, bukan kertas putih. Mengapa harus dianggap benih? Karena dalam benih  belum terlihat mana akar, batang, daun atau rantingnya.  Seperti itulah bakat seorang anak. Maka menjadi tugas orang tua dan guru menggali, mencari dan  menumbuhkan benih itu agar bisa berkembang dengan baik dan sempurna. Anak kerapkali kesulitan untuk melihat apa passion sebenarnya yang ia minati. Dan proses ini memang butuh waktu dan tidak mudah. Menemukan potensi pribadi  tidak bisa dilakukan dengan cepat. Selama ini  orang tua dan guru kurang memahami bagaimana membantu anak menemukan minat dan bakat mereka.
          Selama 20 bulan memimpin dunia Pendidikan di Indonesia, banyak karya besar telah dilahirkan. Pak Anies Baswedan telah membuat sejarah baru dalam merestorasi pendidikan di tanah air. Berikut karya nyata beliau yang tak akan bisa dilupakan  oleh kita semua, civitas pendidikan. Pertama, mengubah paradigma Ujian Nasional (UN). Di tangan beliau, UN tidak lagi menjadi penentu tunggal kelulusan peserta didik. UN, dibuatnya tidak lagi menkutkan seperti sebelumnya. UN menjadi tidak sakral lagi. UN sebatas untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidika,  dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, serta pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tidak lebih dari itu.
          Kedua, gerakan literasi sekolah (GLS). Fakta yang menunjukkan rendahnya minat baca bangsa kita mendorong Kemendikbud menerbitkan Permendikbud No.23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut mengharuskan peserta didik untuk membaca buku non pelajaran selama 15 menit sebelum proses pembelajaran dimulai. Ini merupakan upaya pembiasaan sekaligus mendekatkan anak didik pada buku. Juga menanamkan kecintan mereka pada membaca dan buku. GLS merupakan terobosan yang visioner,  melesat jauh. Bila gerakan ini dijalankan secara baik, saya yakin budaya literasi bangsa kita akan membaik pada masa mendtang.
          Ketiga, gerakan mengantar anak ke sekolah di hari pertama. Gerakan ini baru saja bisa dinikmati oleh para orang tua pada awal tahun pelajaran ini.  Gerakan mengantarkan anak menjadi trending topik pemberitaan di media massa baik eloktronik, cetak juga media sosial. Masyarakat luas nampaknya mulai menyadari pentingnya mengantarkan ke sekolah di awal tahun pelajaran. Mereka juga mulai menyadari manfaatnya. Gerakan yang dimulai setahun lalu tersebut mendapat respon sangat positif dari para orang tua. Mereka bahkan telah menikmati budaya bangsa yang baru digagas sang menteri itu.
Keempat, mengubah sistem orientasi siswa. Kementerian pendidikan dan kebudayaan RI telah mengeluarkan dan memberlakukan Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah. Dengan diterbitkannnya Permendikbud tersebut maka Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru dinyatakan tak berlaku lagi. Sebab itu, mulai tahun pelajaran 2016-2017 ini. MOS tidak boleh diselenggarakan lagi. Sekolah wajib melaksanakan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS).
Pengenalan lingkungan sekolah (PLS) adalah kegiatan pertama masuk sekolah untuk pengenalan program, sarana dan prasarana sekolah, cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri, dan pembinaan awal kultur Sekolah. 
PLS bertujuan untuk a) mengenali potensi diri siswa baru, b) membantu siswa baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya, antara lain terhadap aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah, c) menumbuhkan motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru, mengembangkan interaksi positif antara siswa dan warga sekolah lainnya, e) menumbuhkan perilaku positif antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keanekaragaman dan persatuan, kedisplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong.
Sistem PLS diharapkan mampu menghapus praktek-praktek perpeloncoan yang selama ini sering terjadi. PLS menjadi babak baru peserta didik baru mengenal lingkungan sekolah  dangan senang, bahagia dan tentu aman. Mereka tidak perlu takut lagi. Mereka akan menikmati seluruh rangkaian kegiatan pengenalan lingkungan sekolah. PLS akan menjadi pintu masuk peserta didik dalam proses pembelajaran di sekolah yang menyenangkan.
          Kelima, mengubah PUEYD menjadi PUEBI. Anies mengeluarkan Permendikbud No. 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Permendiknas 46/2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Anies menjadi orang yang mengubah PUEYD menjadi PUEBI setelah digunakan sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto. PUEBI adalah sebuah terobosan pedoman kebahasaan karena lebih lengkap, lebih sederhana, dan lebih mudah digunakan siapa pun.
          Keenam, Indonesia menjadi menjadi Guest of Honour dalam  Frankfurt Book Fair 2015. Pelaksanaan FBF 2015 menjadi momentum istimewa bagi Indonesia karena didaulat sebagai Tamu Kehormatan (Guest Of Honour). Tentu saja menjadi Tamu Kehormatan pada FBF 2015 merupakan sebuah kebanggaan tersendiri mengingat Indonesia hanya memerlukan waktu lima 5 tahun untuk menjadi tamu kehormatan, sementara negara lainnya membutuhkan waktu yang lama. Sebut saja Finlandia yang merupakan negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, harus sabar menanti selama sekitar 26 tahun untuk bisa menjadi Tamu Kehormatan pada FBF. Ini tak terkecuali karena upaya dan dukungan penuh Mendikbud. Anies Baswedan ingin menjadikan Frankfurt Book Fair 2015 sebagai pameran peradaban Indonesia. Dan itu berhasil, sukses.
          Akhir kata, menteri boleh berganti. Tetapi semangat juang Pak Anies harus tetap ada di dunia pendidikan kita. Kita berharap kepada penggantinya, Prof Muhajir Effendy dapat berbuat lebih baik dan lebih banyak lagi. Sehingga cita-cita Pak Anies dan kita semua mewujudkan pendidikan nasional yang maju, berkualitas menjadi kenyataan. Akhirnya, kita hanya mampu mengucapkan terima kasih Pak Anies. Wa Allahu Alam




Mengajar atau Menghajar


          Baru-baru ini kasus kekerasan di sekolah kembali mencuat. Di Sidoarjo, seorang guru bernama Sambudi dilaporkan polisi karena mencubit siswanya, SS. Guru SMP Raden Rahmad Balongbendo itu mencubit karena yang bersangkutan tidak mengkuti kegiatan shalat duha bersama. SS memilih bermain di tepi sungai.
          Tidak terima perlakuan sang guru, orang tua SS Yuni Kurniawan melaporkannya ke Polsek Balongbendo. Yuni Kuriniawan yang merupakan anggota Kodim 0817 Gresik berpangkat Serka dari satuan intel itu menilai tindakan Sambudi sudah keluar dari konteks mendidik. Ini kekerasan.  Keyakinan Yuni Kurniawan diamini Kapolsek Balongbendo, Kompol Sutriswoko. Menurutnya, Sambudi secara nyata melakukan tindakan pencubitan tersebut hingga menyebabkan memar di lengan atas sebelah kanan SS. Itu sudah dibuktikan pula dengan hasil visum.
          Terkait hal ini, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jatim, Ichwan Sumadi, menilainya berbeda. Ia mengatakan penyidangan terhadap Sambudi tersebut berada di luar akal sehat. Katakanlah, seorang guru itu mencubit siswa. Namun, yang dilakukannya itu masih dalam koridor mendidik.  (http://surabaya.tribunnews.com/)
          Mengajar dan menghajar menjadi sangat tipis bedanya. Sebelum lebih jauh mendiskusikannya, saya akan berbagi pengalaman. Saya termasuk orang yang dididik ala tempo dulu yang beranggapan bahwa hukuman adalah media pembelajaran dan pendidikan.  Zaman saya belajar yang namanya dicubit, dilempar penghapus, bahkan dipukul sudah lazim diterapkan di lembaga pendidikan baik formal seperti sekolah atau informal seperti pesantren.
          Tahun 80 an saya pernah nyatri di salah satu pesantren di Jawa Timur. Di lembaga itu hukuman bagi santri yang melanggar peraturan seperti pukulan, cubitan diterapkan. Saya masih ingat saat dicubit karena telat salat berjamaah, tidak bisa menghafal atau lainnya. Rasaanya tidak satu santri pun yang lepas dari hukuman itu. Maklum, namanya juga manusia ada saat khilaf, lupa, atau  lalai.
          Minggu kemaren saya mengantarkan  anak ke pesantren yang sama. Banyak perubahan terjadi. Zaman saya dengan anak saya sangat berbeda. Pesantren  sekarang sangat berhati-hati dalam mendidik anak santrinya, terutama terkait dengan tindak kekerasan dalam mendisiplinkan anak-anak. Sekarang tak ada  cubitan atau lainnya. Yang ada setiap pelanggaran diberi point. Point-point pelanggaran akan diakumolasikan. Pada jumlah tertentu akan diberi surat peringatan (SP). SP  diberikan sebanyak tiga kali. Bagi santri penerima SP 1 tak diijinkan keluar pesantren  saat libur hari Jumat. SP 2 diberi peringatan keras dengan menginformasikan ke orang tua. SP 3 dikeluarkan dari pesantren. Setiap SP, santri menandatangani surat perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan lagi.
          Dalam kunjungan ke pesantren, saya menyempatkan diri berdiskusi sekaligus bernastalgia dengan kepala sekolah anak saya tentang hukuman di Pesantren. Dulu dia kakak kelas saya di pesantren tersebut. Diskusi mengalir. Maklum namanya juga diskusi informal. Dalam obrolan itu terungkap bahwa perkembangan zaman menuntut perubahan. Derasnya arus  informasi, ilmu pengetahuan dan tekhnologi memaksa kita mengubah diri dalam setiap hal termasuk dalam cara mendidik. Kesadaran setiap orang terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) membuat guru atau pendidik tak leluasa menjalankan tugas dan fungsinya. Apalagi fakta membuktikan, tak sedikit guru yang diadukan oleh pihak peserta didik ke rana hukum karena dinilai melanggar HAM. Atau dianggap melakukan tindak kekerasan seperti dalam kasus Pak Sambudi di Sidoarjo.
          Berbeda dengan peserta didik yang dilindungi UU serperti UU perlindungan anak, HAM, guru dalam menjalankan tugasnya (baca:mengajar) belum ada aturan yang melindungi keamanan mereka secara maksimal. Padahal tugas mereka mulia, mencerdaskan anak bangsa. Ini memang ironi. Sehingga para guru kerapkali kalah di depan hukum ketika diadukan oleh peserta didik terkait dugaan kekerasan dalam proses belajar mengajar. Hal ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah di waktu yang akan datang yang wajib diperioritaskan.
Fase Pendidikan
          Kembali ke persoalan menghajar dalam mengajar. Dalam buku Orang Tuanya Manusia, Munif Chatib (2012) mengutif sebuah hadist Rasulullah SAW membagi fase mendidik anak menjadi tiga. Tujuh tahun  pertama (usia 0-7 tahun) jadikanlah anak sebagai raja. Tujuh tahun kedua (usia 8-14 tahun) perlakukan anak sebagai pembantu. Tujuh tahun ketiga (usia 15-21 tahun) jadikan mereka laksana wazir menteri dalam bahasa Sayidina Ali bin Abi Thalib ra sebagai sahabat.
          Fase pertama adalah tanggung jawab orang tua sepenunya dalam keluarga. Dalam fase ini tidak boleh ada kekerasan fisik atau psikis sekecil atau seringan apa pun. Mereka adalah para raja. Orang tua harus melayani kebutuhan mereka dengan penuh kasih sayang. Menyuapi, memandikan, dan seterusnya. Seorang raja tentu tak bisa disuruh-suruh atau diatur..Jangan bentak mereka apalagi memukul. Biarkan mereka bermain. Bagi mereka tidak diperkenankan adanya aturan. Bukankah mereka raja?
          Fase kedua saya mengkategorikan sebagai  pendidikan dasar, SD dan SMP. perlakukan anak sebagai pembantu. Dalam fase ini anak sudah mulai dikenalkan dengan aturan, kewajiban dan haknya sebagai pembantu. Di usia ini, Rasulullah membolehkan orang tua atau guru memukul anak jika tidak shalat atau melanggar hal lain seperti tidak sopan, bergaul dengan lawan jenis. Tindakan fisik seperti itu tentu dalam koridor mendidik. Jangan ada kebencian apalagi dendam. Tindakan fisik juga masih dalam batas kewajaran, tidak berlebihan. Di fase ini, anak membutuhkan bimbingan, arahan, dan peraturan. 
          Fase ketiga, pendidikan tinggi. Dalam fase ini anak atau peserta didik diperlakukan  sebagai sahabat. Di usia ini peserta didik sudah bukan waktunya lagi untuk dimarahi atau dipukul. Mereka sudah bisa berpikir dan harus diajak komunikasi seolah mereka teman sebaya atau sahabat kita. Pendekatan pada mereka dilakukan secara setara. Kita kudu memperbanyak berkomunikasi, berdiskusi, dan bermusyawarah dengan mereka dalam mendidik. Hindari sikap mendikte atau memaksa.
          Fase pendidikan di atas sepantasnya dijadikan acuan untuk kita semua (orang tua dan para pendidik) dalam mendidik. Kedua pihak harus pahan kapan kita diperbolehkan menghajar dalam mengajar. Dan idealnya kedua pihak tersebut harus bersatu, kompak dalam mendidik anak. Tak sepatutnya mereka berseteru di pengadilan.  Ini penting. Ke depan komunikasi keduanya kudu dilakukan lebih baik lagi. Sekolah bisa menfasilitasinya. Orang tua pun harus bisa meluangkan waktu, bekerja sama dengan para guru dalam mendidik anak-anak kita. Sehingga tak ada lagi kasus-kasus seperti Pak Sambudi.
          Akhir kata, mendidik adalah kewajiban kita semua. Baik guru maupun orang tua harus dapat bekerjasama, bahu-membahu, dan kompak. Komunikasi, kerjasama yang baik keduanya diyakini akan mengurangi bahkan meniadakan perseteruan guru-orang tua dalam mendidik di tanah air. Dan pemahaman terhadap fase pendidikan seperti dijelaskan di atas mustinya memudahkan para orang tua dan guru dalam mengantarkan anak ke masa depan mereka yang lebih baik. Semoga.Wa Allahu Alam




Rabu, 20 Juli 2016

Mendobrak Tradisi Urbanisasi


          Malam lebaran lalu saya kedatangan tamu, anak muda yang bekerja di tempat usaha keluarga. Disamping bersilaturahmi dan berlebaran, ia meminta izin berhenti bekerja. Saya menanyakan alasannya. Ia menjawab akan ke Jakarta, bekerja. Ikut saudara berjualan martabak. Ia berkeyakinan bekerja di kota besar semisal Jakarta akan membawa kehidupan lebih baik, lebih sejahtera. Ia mengatakan untuk menambah dan  mencari pengalaman.
            Usai lebaran, sudah menjadi tradisi masyarakat pedesaan berbondong-bondong berangkat  ke perkotaan, mengadu nasib. Mereka datang ke kota dengan tujuan mencari pekerjaan. Sebutanya adalah urbanisasi. WikipidiaIndonesia.org  mendefinisikan urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan.
          Banyak alasan orang beramai-ramai ke kota. Diantaranya menyempitnya lahan pertanian di pedesaan. Sawah sebagai lahan perekonomian utama di  pedesaan tergerus habis oleh pabrik-pabrik yang didirikan di wilayah pedesaan. Di kota sudah tak tertampung. Kota sudah menyempit sehingga wilayahnya melebar ke pedesaan. Ditambah lagi, sebagian masyarakat pedesaan tak tertarik lagi bertani. Pekerjaan sebagai petani dianggap tak bergengsi, tak menghasilkan banyak uang.
          Selain itu, terbatasnya lapangan pekerjaan di desa menjadi sebab lain. Harus diakui ekonomi pedesaan tak sebaik di kota. Seperti diketahui perkembangan dan kemajuan ekonomi Indonesia belum merata. Pembangunan bertumpuk di kota-kota besar terutama Jakarta sebagai ibu kota negara. Gagasan pembangunan Indonsesia sentris dimana pembangunan tak terpusat di Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang sering disampaikan Presiden Jokowi musti didukung oleh semua elemen bangsa. Jokowi meyakinkan, pembangunan kudu dimulai dari desa-desa.
          Kemudian ajakan dari mereka yang sukses. Tak sedikit orang mudik yang sukses di kota. Kesuksesan mereka tentu menjadi daya tarik tersendiri. Terlebih sebagian mereka  aktif mengajak orang lain dengan alasan berbagi kesejahteraan dengan saudara, teman, tetangga juga lainnya.
          Selanjutntnya, soal gaya hidup. Gemerlap gaya hidup masyarakat kota yang disaksikan melalui TV, media sosial dan lainnya telah mempengaruhi masyarakat desa untuk pindah ke kota. Mereka tergiyur oleh gemerlap kehidupan kota. Budaya hedonisme perkotaan dianggap sebagai sebuah kebahagian yang wajib diperjuangkan. Maka pilihannya tak lain kecuali pindah ke kota guna mengejar mimpi tersebut.
          Urbanisasi merupakan persoalan rumit. Satu sisi tak mungkin kita melarang orang pindah ke kota. Itu melanggar Uundang-undang. Dalam UU Dasar 1945 Pasal 28 A ditegaskan setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.  Sisi lain, urbanisasi menjadi persoalan serius bagi tata kelola kota. Sederet dampak negatif menyertai kedatangan para urban. Urbanisasi menjadi beban yang harus dipikul pemerintah kota. Karenanya, tak sedikit pemerintah kota yang mengeluh terkait permasalahan ini.
          Problematika yang muncul akibat urbanisasi antara lain adalah menambahnya jumlah penduduk di perkotaan. Penambahan penduduk yang mencolok menjadi beban berat bagi pemerintah kota. Hal itu sangat dirasakan dalam tata kelola kota terutama yang  terkait dengan keamanan, ketertiban, juga kebersihan.
          Selanjutnya, penganngguran bertambah. Tidak semua urban memperoleh pekerjaan di kota. Peluang kerja di perkotaan juga terbatas. Bagi mereka yang tak memiliki ketrampilan akan sulit dapat bertahan di kota. Maka konsekuensi logisnya angka pengangguran menjadi bertambah. Padahal angka pengangguran sebelumnya sudah cukup tinggi. Contoh di Jakarta, seperti disebutkan oleh sindonews.com, pada tahun 2015 jumlah pengangguran mencapai 7,14 juta orang. Jumlah itu akan bertambah dengan masuknya para urban di Jakarta tahun ini.
          Pada akhirnya, urbanisasi berdampak pada kerawanan sosial. Angka pengangguran yang tak terkendali mendorong tindak kejahatan dan kekerasan meningkat. Kehadiran mereka seperti bom waktu yang siap meledak. Kriminalitas di kota menjadi sesuatu yang menakutkan. Pencurian, perkelahian, tawuran dan kerusuhan mengancam kenyamanan dan keamanan warga kota setiap waktu.
Solusi
          Sebab itu, menurut hemat saya tradisi urbanisasi harus didobrak. Kita kudu bisa menekan angka urbanisasi. Sehingga fenomena urbanisasi tidak lagi menjadi tradisi  setiap pasca lebaran. Para pemudik tidak lagi membawa sanak kerabat ke kota. Dan pada akhirnya, bisa jadi mudik pun tidak lagi menjadi permasalahan tahunan bangsa ini karena turunya angka pemudik disebabkan menurunya jumlah orang bekerja di luar daerahnya.
          Untuk itu, menjadi PR besar bagi pemerintah untuk mewujudkannya. Dan berikut beberapa langkah yang dapat diambil. Pertama, pembangunan Indonesia sentris. Selama ini pembangunan terpusat di pulau Jawa. Di Jawa  sendiri terpusat di Jakarta. Sehingga  ketimpangan antara Jawa dan pulau lainnya sangat mencolok, terlebih bila membandingkannya dengan Jakarta. Contoh  konkrit ketimpangan tersebut adalah soal infrastruktur. Konon perputaran uang 80 persen berada di Jakarta sisanya di daerah lain. Tak heran jika orang berbondong-bondong masuk Jakarta.  Di waktu mendatang pembangunan harus merata ke seluruh wilayah kesatuan Negara Republik Indonesia.
          Kedua, membangun dari desa. Berbeda dengan sebelumnya, pemerintahan Jokowi-JK bertekad membangun Indonesia dari desa-desa. Setiap desa akan diberi dana stimulus berkisar satu milyar. Dana tersebut diharapkan mendorong laju pembangunan dan ekonomi pedesaan. Dana desa digunakan untuk membangun infrastruktur sehingga mendorong perekonomian masyarakat. Terkait dengan dana desa, pemerintah daerah terutama pemerintah desa seyogyanya siap mengelolanya dengan baik. Jangan sampai dana besar itu menjadi ladang korupsi baru. Setiap desa diminta memiliki program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang dalam memanfaatkan dana tersebut.
          Ketiga, mengembangkan kota-kota sentra ekonomi. Sampai saat ini kegiatan ekonomi Indonesia terpusat di Jakarta. Jakarta sebagai ibu kota menjadi pusat pemerintahan negara sekaligus sentra ekonomi. Kedepan, pemerintah wajib memindahkannya ke kota lain sebagai sentra ekonomi nasional. Di setiap pulau besar seperti Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan lainnya dipilih kota yang akan dikembangkan sebagai sentra ekonomi.
          Keempat, memaksimalkan otonomi daerah. Daerah idealnya menjadi ujung tombak pembangunan dan pengembangan ekonomi nasional. Setiap daerah diminta saling bersinergi dan tetap terkordinir oleh pemerintah pusat dalam menjalankan pembangunan dan mengembangkan ekonomi nasional. Otonomi daerah jangan hanya melahirkan raja-raja kecil yang mengabaikan kesejahteraan rakyat. Setiap kepala daerah harus berkomitmen guna membangun daerahnya masing-masing.
          Kelima, melanjutkan program transmigrasi untuk pemerataan penduduk.  Program transmigrasi yang dilaksanakan sejak orde baru masih layak diteruskan. Hal itu bertujuan untuk pemerataan penduduk. Sebab itu, program transmigrasi dikelola lebih baik lagi.
          Akhir kata, pembangunan dan pengembangan ekonomi nasional harus merata. Pemerintah kudu bisa mewujudkannya. Jika mimpi itu terwujud, tradisi urbanisasi dengan sendirinya akan terdobrak, terkikis. Orang kampung tak perlu berhijrah lagi ke kota. Kota besar seperti Jakarta tak akan terkena dampak negtif urbanisasi lagi. Sehingga kesemrautan ibu kota seperti macet, banjir, pengangguran dan problematika sosial lainnya akan mudah teratasi. Semoga. Wa Allahu Alam

Tak Boleh Ada Perpeloncoan Lagi


          Minggu ini adalah hari-hari menggembirakan bagi peserta didik. Mereka masuk sekolah untuk pertama kali setelah libur panjang akhir tahun pelajaran, ramadhan dan lebaran. Lebih lagi bagi mereka yang baru masuk (SD-SLTP-SLTA), menjadi peristiwa yang akan diingat sepanjang hidup. Satu masa yang telah dinanti oleh peserta didik baru sejak beberapa minggu sebelumnya. Kegembiraan bagi peserta didik baru menjadi bertambah saat mengikuti MOPD, kepanjangan Masa Orientasi Peserta Didik Baru, yang dulu kita mengenalnya dengan sebutan Masa Orientasi Siswa (MOS).
          MOS merupakan sebuah kegiatan yang umum dilaksanakan di sekolah guna menyambut kedatangan siswa baru. Masa orientasi lazim dijumpai hampir di tiap sekolah, mulai dari tingkat SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Tak pandang itu sekolah negeri maupun swasta, semua menggunakan cara itu untuk mengenalkan almamater pada siswa barunya. MOS dijadikan sebagai ajang untuk melatih ketahanan mental, disiplin, dan mempererat tali persaudaraan. MOS juga sering dipakai sebagai sarana perkenalan siswa terhadap lingkungan baru di sekolah tersebut. Baik itu perkenalan dengan sesama siswa baru, kakak kelas, guru, hingga karyawan lainnya di sekolah itu. Tak terkecuali pengenalan berbagai macam kegiatan yang ada dan rutin dilaksanakan di lingkungan sekolah. (id.wikipedia.org/wiki)
          Menjadi rahasia umum, MOPD atau MOS sering kali terjebak pada perpeloncoan siswa baru oleh senior mereka. MOS  menjadi ajang adu gengsi antara siswa yang menguras emosi peserta. MOS menjadi ujian terberat bagi peserta didik baru sebelum mereka menikmati semua fasilitas sekolah dengan berbagai program dan model pembelajaran. Praktek perpeloncoan dalam MOS menghadirkan tindak kekerasan.
Menurut Thomas Wibowo, kekerasan itu berbentuk Pertama, kekerasan verbal. Perilaku ini dilakukan melalui penggunaan stereotip-stereotip dan penamaan yang berkonotasi seksis, rasis, kultur, sosio-ekonomi, kelemahan mental, dan homofobik. Misalnya, menyebut siswa si ”kurus” atau si ”gendut”, si ”Batak” atau si ”China”, si ”Hitam”.
Kedua, kekerasan fisik. Perilaku kekerasan ini dilakukan dalam bentuk mendorong, mengguncang, memukul penggaris, mencubit, menarik rambut atau telinga, melempar dengan kapur atau penghapus, menendang, meludah, mencolek bagian tubuh tertentu (perempuan), dan sebagainya.
Ketiga, kekerasan psikologis. Kekerasan ini dilakukan misalnya dalam bentuk teriakan, berbicara secara kasar, menggertak, melempar atau menyobek pekerjaan siswa, mengacam siswa dengan hukuman, vonis nilai ulangan, mengacuhkan, tidak peduli, atau melecehkan pendapat/ pertanyaan siswa. (kompasiana.com)_
Pengenalan Lingkungan Sekolah
Perpeloncoan seperti di atas tidak boleh terjadi lagi terjadi. Pemerintah telah mengubah sistem MOS. Kementerian pendidikan dan kebudayaan RI telah mengeluarkan dan memberlakukan Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah. Dengan diterbitkannnya Permendikbud tersebut maka Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru dinyatakan tak berlaku lagi. Sebab itu, mulai tahun pelajaran 2016-2017 ini MOS tidak boleh diselenggarakan lagi. Sekolah wajib melaksanakan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS).
Pengenalan lingkungan sekolah (PLS) adalah kegiatan pertama masuk sekolah untuk pengenalan program, sarana dan prasarana sekolah, cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri, dan pembinaan awal kultur Sekolah.  
PLS bertujuan untuk a) mengenali potensi diri siswa baru, b) membantu siswa baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya, antara lain terhadap aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah, c) menumbuhkan motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru, mengembangkan interaksi positif antara siswa dan warga sekolah lainnya, e) menumbuhkan perilaku positif antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keanekaragaman dan persatuan, kedisplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong.
PLS dilaksanakan paling lama tiga hari pada minggu pertama awal tahun pelajaran. Kegiatan dilaksanakan hanya pada hari sekolah dan jam pelajaran. Penambahan waktu kegiatan diperbolehkan hanya kepada sekolah berasrama dengan terlebih dahulu melaporkan kepada dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya disertai dengan rincian kegiatannya.
          Sebelum mengikuti kegiatan PLS, peserta didik baru diminta mengisi formulir sebagai data awal bagi panitia untuk mengenal latar belakang peserta. Dalam formulir itu peserta diminta menuliskan mulai dari nama, jenis kelamin,   jumlah saudara,   tempat tanggal lahir,  agama,  alamat rumah,   asal sekolah,   riwayat keesehatan sampai bakat yang dimiliki peserta di bidang seni, olahraga dan sains.
PLS  terdiri dari kegiatan wajib dan kegiatan pilihan. Keduanya harus dilaksanakan sesuai dengan silabus PLS seperti tercantum dalam Lampiran 1 Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016. Sekolah bisa memilih berbagai kegiatan pilihan dan menyesuaikannya dengan kondisi lingkungan sekolah masing-masing.
Kegiatan wajib seperti  mengenalkan visi-misi, program, kegiatan, cara belajar, tata tertib juga berbagai fasilitas sekolah. Dikenalkan pula semua warga sekolah dari kepala sekolah,  guru, staf TU dan lainya.  Kegiatan pilihan misalnya mengenalkan kegiatan ektrakurikuler sekolah, menginformasikan fasilitas umum di sekitar sekolah dan lainnya.
          Perbedaan  PLS dan MOS yang sangat signifikan antara lain adalah dilarang melibatkan siswa senior (kakak kelas) dan/atau alumni sebagai penyelenggara serta tidak diolehkan memberikan tugas kepada siswa baru berupa kegiatan maupun penggunaan atribut yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran siswa. Dua hal ini yang memunculkan perpolocohan di masa MOS lalu sekaligus menjadi sebab atau ajang balas dendam senior ke junior.
          Singkatnya, penerbitan Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan sekolah harusnya menghilangkan praktek kekerasan dalam MOS. Untuk itu, setiap sekolah kudu mempelajari dan menjadikan Permendikbud tersebut sebagai pedoman dalam kegiatan PLS untuk peserta didik baru. Maka di waktu mendatang tak boleh ada perpeloncoan lagi. Wa Allahu Alam

K 13 Diberlakukan Kembali, Siapkah?


          Kurikulum 2013 (K13) akan diberlakukan kembali setelah sebelumnya sempat dihentikan sementara oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  (Kemendikbud). Rencananya, K13 akan diberlakukan pada tahun pelajaran 2016-2017 mendatang. Perjalanan K13 memang berbeda dengan kurkulum lain seperti KTSP. Diberlakukan di akhir pemerintahan SBY. Kemudian dibekukan sementara di era awal pemerintahan Jokowi. Waktu itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan beralasan pembekuan sementara itu terkait persiapan yang dianggap belum maksimal seperti masalah distrubusi buku guru dan buku siswa yang telat. Juga ada beberapa hal yang dianggap perlu perbaiakan seperti rumitnya  penilaian yang dikeluhkan banyak guru.
          Pemberlakuan K13 berdasarkan  Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 160 Tahun 2014 tentang Pemberlakukan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum Tahun 2013 pasal 4. Dinyatakan bahwa satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat melaksanakan Kurikulum Tahun 2006 paling lama sampai tahun pelajaran 2019/2020.
          Ketentuan di atas, memberi kesempatan kepada sekolah yang belum siap melaksanakan K13 untuk melaksanakan Kurkulum 2006. Tapi, diminta untuk menyiapkan diri sehingga selambat-lambatnya pada tahun 2019/2020 semua sekolah dituntut dapat melaksanakannya. Dalam hitungan Kemendikbud, tahun pelajaran mendatang (2016-2017) 25% dari jumlah sekolah akan memberlakukan K13. Contoh di Jawa Barat , untuk jenjang SD K13 akan diberlakukan di 5001 (25%) dari populasi SD. Yakni 510 adalah SD sasaran implementasi K13 tahun 2015 dan sebanyak 4491 SD sasaran tahun 2016. Begitu tiga tahun pelajaran berikutnya 2017-2018, 2018-2019, dan 2019-2020 sasaran pemberlakuan akan diperluas masing-masing 25%. Sehingga diyakini pada tahun pelajaran 2019-2020 seluruh sekolah secara nasional telah melaksanakan K13.
          Sejak tanggal 22 Juni 2016 kemaren, saya mengikuti  Pelatihan Guru Sasaran Pelaksana Kurikulum 2013 Jenjang SD di SDN Jatibarang II Kab. Indramayu. Diklat yang dilaksanakan sampai 27 Juni 2016 itu, seperti saya baca dalam panduan,  bertujuan memberi pemahaman kepada guru sasaran berupa konsep dan implementasi Kurikulum 2013. Selama mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Kemendikbud itu saya tidak banyak menemukan perbedaan yang berarti di K13 perubahan tersebut. Rasanya sama saja. Hanya beberapa poin, memang berbeda.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemendikbud Totok Suprayitno, ada lima  poin perbedaaan dalam K13 peubahan. Pertama, adalah meningkatkanya hubungan atau keterkaitan antara kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD).
Kedua, penyederhanaan aspek penilaian siswa oleh guru.  Pada K13 versi lawas, seluruh  guru wajib menilai aspek sosial dan spiritual (keagamaan) siswa. Sistem ini yang lantas dikeluhkan banyak guru. Dalam skema yang baru, penilaian sosial dan keagamaan siswa cukup dilakukan oleh guru PPKn dan guru pendidikan agama-budi pekerti. Sementara guru fisika dan mata pelajaran lainnya hanya menilai aspek akademik sesuai bidang yang diajarkan saja. Guru mata pelajaran lain boleh menilai aspek sosial sewajarnya. Seperti terkait kenakalan atau misalnya saat siswa ketahuan mencontek.
Ketiga, proses berpikir siswa tidak dibatasi. Pada kurikulum yang lama, berlaku sistem pembatasan. Yaitu, anak SD sampai memahami, SMP menganalisis, dan SMA mencipta. Pada kurikulum hasil revisi ini, anak SD boleh berpikir sampai tahap penciptaan. Tentunya dengan kadar penciptaan yang sesuai dengan usia.
Keempat, teori 5M (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mencipta) tidak sebatas menjadi teori saja. Tetapi, guru dituntut untuk benar-benar menerapkan dalam pembelajaran. 
Kelima, struktur mata pelajaran dan lama belajar di sekolah tidak diubah. Meski tidak banyak perubahan, Kemndikbud berharap K13 versi baru ini bisa mengahadirkan proses belajar di kelas yang menyenangkan. Sedangkan untuk nama tidak mengalami perubahan, tetap kurikulum 2013.  (http://www.jpnn.com/)
Catatan
          Terkait dengan rencana pemberlakuan K13 pada tahun pelajaran 2016-2017 mendatang, saya ingin sedikit memberi catatan. Catatan ini anggap saja sebagai saran, koreksi untuk kita semua terutama pengambil kebijakan bidang pendidikan di negeri ini. Juga,  untuk para guru seperti saya. Pertama, distribusi buku guru dan buku siswa tidak terlambat lagi. Ini penting. Hal ini juga yang sebelumnya dijadikan alasan penundaan pelaksanaan K13 pada tahun  pelajaran sebelumnya. Berdasarkan pengalaman saya mengikuti Diklat Guru Sasaran Pelaksana K13 yang dilaksanakan LPMP Kemendikbud, hal yang sama masih terjadi. Selama pelatihan kita masih kesulitan memperoleh buku siswa dan buku guru hasil revisi. Ini menjadi kesulitan tersendiri bagi kami pseserta diklat juga para intruktur dalam proses pembelajaran selama diklat. Kejadian ini mestinya menjadi pelajaran. Tahun pelajaran yang baru tinggal menghitung hari. Sampai saat ini buku siswa dan buku guru belum sampai di sekolah. Apa kita akan mengulangi kesalahan yang sama? Distribusi buku siswa, buku guru terlambat kembali? Saya masih ingat, ketika K13  diberlakukan pertama kali, buku siswa baru diterima oleh sekolah  pada semester kedua.
          Kedua, perangkat administrasi pendidikan seperti raport, buku penilaian dan lainnya seharusnya disiapkan lebih dini. Jangan kembali terlambat. Hal tersebut akan mempersulit guru di lapangan. Bisa saja guru melakukan kreatifitas, membuat sendiri. Tapi tentu lebih baik jika dipersiapkan sehingga tidak akan ditemukan perbedaan nantinya.
          Ketiga, guru seperti saya harus siap mengikuti setiap regulasi pemerintah. Termasuk terkait dengan rencana K13, guru diminta menyiapkan diri. Diklat Guru Sasaran Pelaksana K13 seperti yang saya ikuti  merupakan kepedulian dan bagian tanggung jawab pemerintah dalam membantu kesiapan guru menghadapi pelaksanaan K13. Niat baik pemerintah tersebut kudu direspon secara positif oleh guru. Guru wajib memaksimalkan  manfaat dari kegiatan itu. Lebih jauh, guru bisa mengembangkannya sendiri. Sehingga mereka betul-betul siap, melaksanakan K13.
          Walhasil, K13 segera diberlakukan. Semua elemen yang terkait harus siap. Penundaan sebelumnya akibat ketidaksiapan yang maksimal tidak boleh terulang lagi. Apa kita mesti jatuh pada kesalahan yang sama? Tentu tidak.
          Mengutip UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Butir 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia dan ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Gambaran pendidikan di atas diharapkan bisa terwujud dalam pelaksanaan dan pemberlakuan  K13 mendatang. Semoga. Wa Allahu Alam
Dimuaat di Harian Radar Cirebon, Jumat 27  Juni 2016