Sabtu, 23 April 2016

PNS Misterius, Siapa Bertanggungjawab?


          Mengejutkan, apa yang menjadi temuan Badan Kepegawaian Nasional (BKN). BKN merilis ada 57 ribu PNS yang keberadaannya tidak diketahui secara jelas. Mereka seperti siluman. Mereka itu PNS misterius.  Lebih jauh,  mereka selama ini digaji oleh negara. Ini aneh. Kenapa bisa?  Angka 57 ribu bukanlah jumlah sedikit. Akibat PNS fiktif itu negara dirugikan triliyunan rupiah. Kalau setiap pegawai dipukul rata 2 juta saja maka jumlah gaji yang harus dibayar negara mencapai 1.2 triliyun. Itu satu bulan. Berapa kalau satu tahun? Berapa kalau puluhan tahun? Karena berdasrkan pengakuan Kepala BKN, Bima Haria Wibisana di salah satu TV swasta,  diantara mereka ada yang sudah tercatat 30 tahun yang lalu. Semula ditemukan sekitar 93 ribu PNS yang diragukan keberadaanya. Setelah dilakukan penelitian lebih jauh, ditemukan 35 ribuan PNS  ternyata karena sakit, pensiun tapi tak dilaporkan, juga alasan lain.
          BKN langsung turun tangan menyelisik apakah PNS yang terdata dalam database terdahulu itu benar-benar bekerja atau tidak hingga kini.  Investigasi dilakukan BKN guna memastikan keberadaan 57 ribu PNS tersebut. BKN akan mendata secara valid perihal status PNS yang belum ditemukan itu. Mereka itu nyata ada atau tidak? Apakah mereka itu sudah pensiun? Sakit lama tidak masuk kantor? Apa mereka sudah mati? Atau mungkin tidak ada orangnya?
Kepala BKN, Bima Haria Wibisana menegaskan terungkapnya data 57 ribu PNS misterius di seluruh Indonesia ini bermula saat pihaknya melakukan Pendataan Ulang PNS (PUPNS) yang berlangsung sejak setahun terakhir. Para PNS wajib mendaftar atau registrasi secara individu via aplikasi e-PUPNS. Mereka (57 ribu PNS) itu  tidak mendaftar ulang, tapi tercatat di BKN. (https://news.detik.com)
Sekarang BKN telah menonaktifkan data 57 ribu PNS misterius itu. Tetapi BKN belum menghilangkan atau menghapusnya sama sekali dari database. BKN memandang, dalam hal ini diperlukan kehati-hatian. Dan sementara gaji mereka pun tidak akan dibayarkan sampai ada kepastian keberadaan dan status mereka.
          Pendataan Ulang PNS (PUPNS) sendiri  merupakan amanah UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN (Aparatur Sipil Negara) dan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 19 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil Secara Elektronik Tahun 2015. Tujuan utama PUPNS adalah untuk memperoleh data PNS secara akurat, terpercaya dan terintegrasi sebagai dasar kebutuhan dalam mengembangkan sistem informasi kepegawaian ASN yang mendukung pengelolaan manajemen ASN yang rasional sebagai sumber daya aparatur negara. Dan membangun kepedulian dan kepemilikan PNS terhadap data kepegawaiannya sendiri.
Karenanya, PNS dituntut untuk mememiliki kepedulian terhadap data masing- masing. Pengisian data dilakukan secara online pada situs web e-PUPNS  dengan domain https://epupns.bkn.go.id. Cakupan data tersebut antara lain data pokok pegawai (core data), data riwayat (kepangkatan, pendidikan, jabatan, keluarga), data sosial ekonomi/ kesejahteraan PNS (pendidikan anak, perumahan), self assessment (company and potency individual), dan lain-lain (stakeholder PNS).
Kegiatan pemutakhiran pendataan PNS secara online  dilaksanakan sejak bulan Juli dan berakhir pada Desember 2015. Namun karena berbagai alasan, pemutalhiran data tersebut diperpanjang hingga akhir April 2016. Sehingga, menurut BKN, tak ada alasan bagi PNS untuk tidak mendaftar.
          Menuruut Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto, permasalahan gaji PNS misterius harus ditelusuri lebih lanjut. Tidak hanya sebatas menghentikan gajinya, tetapi ditelusuri hingga instansi terkait. Dalam analisa Yenny, sistem kepegawaian selama ini memang masih banyak masalah. Sebagai contoh transparansi sistem perekrutan PNS, sampai saat ini masih rendah. Bahkan, sistem itu tak pernah berjalan.
Tanggungjawab Siapa?
          PNS misterius harus diselesaikan untuk memberi kepastian dan kejelasan kepada masyarakat luas. Sebab itu, menurut hemat saya, semua pihak diminta berperan aktif dalam penyelesaian masalah. Ini sebagai bentuk tanggungjawab terhadap persoalan yang telah terjadi. Pertama, Kementerian Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) seyogyanya mengambil peran secara aktif dalam menyelesaikan maslah ini. Sebagai lembaga yang menaungi 4,5 juta PNS di tanah air,  KemenPAN-RB   menjadi pihak yang paling bertanggungjawab secara moral. Men-PAN-RB wajib mendorong jajarannya menyelesaikan PNS misterius ini dengan cepat.
          Kedua, BKN merupakan  Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang manajemen kepegawaian negara. Lembaga yang memilki peran dan tugas strategis terkait aparatur negara itu menjadi pihak paling bertanggung jawab terhadap masalah PNS fiktif ini. Selain sebagai pihak yang menemukan persoalan, BKN juga memiliki peran dan fungsi penting terkait PNS. Diantaranya adalah merencanakan pembinaan kepegawaian sesuai dengan kebijaksanaan Presiden,  meerencanakan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, menyelenggarakan tata usaha kepegawaian dan tata usaha pensiun, dan menyelenggarakan pengawasan, koordinasi dan bimbingan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian dan pensiun pada departemen-departemen dan lembaga-lembaga negara/Lembaga-lembaga Pemerintah Non departemen. Sebab itu, BKN dituntut serius dalam persoalan ini. BKN tidak boleh hanya mencari sensasi. BKN harus bertanggungjawa atas isu dan persoalan yang disampaikan ke publik.
Ketiga, kementerian dan pemerintah daerah (Pemda) sebagai pihak yang menerbitkan SK pegawai diharapkan berperan aktif bersama BKN. Kementerian dan Pemda kudu siap bekerja sama dalam membantu BKN menyelesaikan masalah. Kementerian dan Pemda seyogyanya terbuka, jangan ada yang ditutup-tutupi. Karena, bisa jadi persoalan berawal dari Kementerian dan Pemda saat proses rekuitmen pegawai.  
          Keempat, PNS itu sendiri. Bagi PNS yang belum melakukan pendaftaran ulang sebagai pegawai negeri, segeralah mendaftar. Ini akan membantu anda sendiri, juga BKN dalam menyelesaikan kasus PNS misterius ini. Jika anda tidak melakukan, BKN akan menghapus anda untuk selamanya dari database PNS.
          Singkat kata, berita tentang PNS misterius sangat mengejutkan khalayak. Ini menjadi pukulan serius bagi Pemerintah. Ini sebuah kecerobohan. Pemerintah dianggap kecolongan dalam kurun waktu sangat lama. Siapa otak dibalik kasus ini? Pemerintah dari Kemen-PAN-RB, BKN, Kementerian sampai Pemda harus menemukan. Kalau memang ada pelanggaran hukum, sepantasnya hukum ditegakan. Semua pihak terkait diminta bertanggungjawab menyelesaikan masalah ini. Keberadaan 57 ribu PNS siluman itu harus diteliti, diselidiki siapa sebenarnya mereka? Sehingga ada kejelasan bagi publik. Wa Allahu Alam 
Tulisan ini dimuat di harian umum Radar Cirebon, Selasa 26 April 2016

Presiden Sekelas Walikota dan Cagub Sekelas Presiden




            Judul tulisan ini mungkin sedikit janggal. Apa ada Presiden sekelas Walkota? Demikian, apa ada orang sekelas presideng menjadi calon gubernur (Cagub)? Ya, namanya juga politik. Segala hal dapat terjadi. Membaca judul di atas, saya yakin anda mengetahu siapa yang dimaksud. Tanpa berlama-lama, saya menyebut Presiden Jokowi dan bakal c.alon gubernur DKI Jakarta, Prof Yusril Ihza Mahendra.
          Anda pasti ingat, saat Pilpres tahun 2014 yang lalu, Prof. Yusril menyebut (tepatnya mengejek) Jokowi sebagai calon Presiden sekelas Walikota. Sebenarnya sebutan itu sudah dilontarkan sang Profesor ahli hukum itu ketika Jokowi mencalonkan diri menjadi calon gubernur DKI. Bahkan sampai saat ini, ejekan sang Profesor itu masih berlaku, kerap kali digunakan.
          Belum lama, ketika menjadi khatib Jumat di Masjid Nurul Iman, Blok M Square,  Jakarta Selatan, Jumat (25/3/2016), Yusril yang pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Menteri Hukum dan Perundang-undangan, serta Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada kabinet pemerintahan yang lalu itu kembali melontarkan statemen benada ejekan tersebut. 
          Yusril mengatakan, orang yang memiliki pengalaman menangani masalah nasional, pasti mampu menangani permasalahan daerah. Sebaliknya, kapabilitas seseorang akan diragukan jika menangani permasalahan nasional hanya dengan pengalaman mengelola daerah. Jadi, kalau ada tokoh yang mampu memecahkan persoalan nasional dan dia mau turun memecahkan persoalan daerah itu baik. Yang tidak baik itu, kapasitas wali kota tetapi jadi presiden, misalnya. Itu sudah kacau jadinya. (http://megapolitan.kompas.com/)
Mulutmu Harimaumu
          Mengamati tutur kata Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) di atas, saya teringat pepatah mulutmu adalah harimaumu. Bahwa tidak sedikit orang dibunuh (karir, kedudukan, kehormatan dll) oleh mulutnya sendiri. Paling mutakhir adalah apa yang menimpa mantan Wakil Ketua Fahri Hamzah. Gaya komunikasi politik yang arogan, ugal-ugalan, kasar menyebabkan partainya sendiri melengserkan.
          Sekarang bagaimana dengan Pak Yusril? Saya melihat beliau sedang mempertaruhkan martabat dan kehormatannya. Saya menilainya sebagai sebuah keberanian, yang menurut analisa politik saya, sangat kebablasan. Atau dalam bahasa lain terlalu berani. Bagi saya orang awam, bodoh politik, terlalu mahal kalau jabatan semisal kursi gubenur harus dibayar dengan harga diri dan kehormatan.
          Berikut penjelasan lebih jauh. Di antara calon gubernur DKI Jakarta yang namanya beredar, saya melihat Yusril yang paling berambisi, menggebu-gebu. Tapi sayang, ambisi dan semangat politik beliau tak dibarengi dengan kekuatan politik riil yang menggembirakan. Yusril adalah ketua umum PBB. PBB tak memiliki kursi satu pun di DPRD DKI Jajarta. Dengan demikian, otomatis tak dapat diandalkan. PBB tidak mungkin bisa mendaftarkan sang Ketua Umum. Ini kenyataan yang mestinya dipahami oleh Yusril. Namun, nampaknya beliau tidak memahami hal itu. Atau pura-pura tak paham sehingga menganggap realita politik tersebut tidak ada.
          Yusril nampaknya buta mata, buta pikir. Pengacara hebat yang pernah jadi Calon Presden di awal reformasi  itu memperlakukan dirinya layaknya pemimpin partai pemenang pemilu. Berkoar-koar ke sana kemari, seakan dirinya paling hebat. Walau kenyataan politik justru sebaliknya. Ia ibarat orang yang menjerit-jerit  di pinggir jalan mencari tumpangan di tengah hiruk pikuk lalu lalang kendaraan. Pertanyaan, apa ada kendaraan yang mau berhenti? Kemudian mengantarkannya ke KPUD Jakarta, mendaftarkanya  sebagai calon gubernur?
          Untuk hal di atas,  saya angkat topi, salut. Beliau tak kenal malu, apalagi gengsi. Sebagai seorang ketua umum partai, Yusril telah mendaftakan diri sebagai bakal calon di hampir semua partai. Daftar ke PDI-P, Gerindra, PKB, juga lainnya saat penjaringan cagub. Pak Yusril seperti orang yang meminta belas kasihan, dalam bahasa pengamat politik mengemis ke semua partai. Dan itu dilakukan dengan tetap semangat, percaya diri, bahkan (maaf-maaf) degan tetap sombong. Memang terdengar aneh, meminta kok dengan membusungkan dada. Tapi itu yang membedakan Pak Yusril dari politis tanah air lainnya.
          Kembali ke persoalan, kenapa saya menyebut Yusril Ihza Mahendra menjual kehormatan dan martabat? Analisanya sebagai berikut. Pertama, penumpang di partai lain, tak mungkin diposisikan sebagai calon gubernur. Paling hanya dicalonkan menjadi wakil gubernur, itu pun kalau partai-partai tersebut merelakan menutup potensi kadernya untuk memimpin DKI. Ini memang kecil kemungkinannya. Tapi tak apalah, namanya juga politik tak ada sesuatu yang tak mungkin. Hanya yang menjadi persoalan, apa Yusril mau menjadi orang nomor dua? Jelas tidak. Dalam berbagai kesempatan ia hanya bersedia dicalonkan menjadi cagub. Kecuali bila yang bersangkutan menelan ludahnya sendiri.
          Kedua, sulit mempersatukan seluruh partai. Kenapa? Karena setiap partai memiliki kepentingan, agenda politik yang berbeda. Sementara Yusril bersedia dicalonkan bila hanya ada dua pasangan calon. Yusril berambisi melawan dan mengalahkan teman sekampungnya Ahok, head to head.  Sementara Ahok sendiri sudah bulat mencalonkan diri lewat jalur independen.
          Dua hal di atas, menurut hemat saya, menjadi kendala nyata bagi Yusril Ihza Mahendara. Jadi walau beliau sudah all out, menjual harga diri dan kehormatan, nasibnya menjadi calon  gubernur akan sangat sulit. Saya tak mengatakan mustahil, karena dalam poliitik tak ada yang tidak mungkin.
          Jadi bagaimana nasib calon Gubernur sekelas Presiden sepert Yusril Ihza Mahendra? Apa harus gigit jari? Warga DKI Jakarta akan menentukannya pada Pilkada 2017 mendatang. Bisa saja Yusril mengalahkan Ahok, asal beliau memilki program kerja yang menjanjikan,  mengalahkan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Ahok sebagai gubernur DKI. Sayangnya selama ini, Prof Yusril tak pernah memaparkan visi misinya memperbaiki Jakarta. Yusril hanya bisa mencari kesalahan Ahok , sang petahana. Lebih miris lagi, untuk hal itu Yusril melakukannya dengan menghalalkan segala cara.  Yusril tak sungkan menyerang Ahok berkait etnis, bahkan agama. Isu SARA digunakan sebagai senjata menyerang lawan, menyebar kebencian. Ini menjadi sisi kelemahan lain dari Yusril. Bagi pemilih cerdas tentu cara-cara yang ditempuh Yusril seperti itu tak menarik.

          Akhirnya, mulutmu harimaumu akan menggulung cita-cita Yusril jika yang bersangkutan tak merubah strateginya dalam meraih simpati masyarakat Jakarta. Selama ini Yusril sering melontarkan statemen yang blunder.  Omong besar nan kosong yang kerap disampaikan Yusril akan membuat masyarakat muak. Saatnya, Pak Yusril berubah bila ingin sukses raih DKI 1.Wa Allahu Alam

Melindungi Petugas Pajak


          Di tengah isu skandal Panama Papers yang mengebohkan, kita dikejutkan dengan berita terbunuhnya dua petugas pajak di Nias Sumatera Utara. Juru sita pajak negara bernama Parada Toga Fransriano S dan anggota satuan pengamanan, Soza Nolo Lase, tewas setelah ditikam wajib pajak bernama Agusman Lase. Agusman Lase diketahui telah mengemplang pajak sebesar 14 milyar selama 2,5 tahun.  Nilai itu tentu terhitung besar untuk ukuran wilayah pajak seperti Nias.
          Peristiwa pembunuhan tersebut terjadi di Jalan Yos Sudarso, Desa Hilihao kilometer 5, Kota Gunungsitoli sekitar pukul 11.30 WIB Selasa 14 April lalu. Usai membunuh dua petugas pajak, Agusman Lase kemudian menyerahkan diri ke Polres Nias dan mengakui perbuatannya. Polres Nias pun langsung memproses yang bersangkutan.
          Dugaan publik, tidak sedikit wajib pajak seperti Agusman Lase yang selama ini mengemplang uang pajak. Bayangkan, tagihan pajak terhadap seorang pedagang karet kelas menengah seperti Agusman saja bisa mencapai Rp 14 miliar. Padahal, di daratan Sumatera, ada ratusan bahkan mungkin ribuan pedagang sekelas Agusman. Penasihat Gabungan Perusahaan Karet Indonesia, Daud Husni Bastari, menyebut banyak perusahaan perdagangan karet dengan status badan usaha yang tidak jelas. Para pengepul itu tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). 
          Belum  lagi secara nasional, potensi pendapatan dari pajak tentu sangat besar. Untuk itu, tak berlebihan bila Pemerintah menargetkan penerimaan pajak pada tahun ini sebesar Rp 1.822,6 triliun. Ini adalah target yang tidak mudah diraih. Pada triwulan pertama, misalnya, duit yang terkumpul baru Rp 247,6 triliun alias 13,6 persen dari target, turun dibanding perolehan pada periode yang sama tahun lalu.  Tapi bukan berarti target itu tak rasional bila melihat potensi yang ada. Pada posisi ini, petugas pajak ditantang bekerja lebih keras lagi. Apalagi pengalaman sebelumnya, perolehan pajak secara nasional belum bisa capai target.
          Seperti diketahui, alasan di atas menyebabkan Dirjen Pajak mengundurkan diri akhir tahun lalu. Sigit Priadi Pramudito mengundurkan diri, meletakan jabatan karena merasa tidak mampu memenuhi target penerimaan pajak tahun 2015. Saat itu, penerimaan pajak memang masih mengkhawatirkan. Seperti diungkapkan Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro,  realisasi penerimaan pajak hingga akhir November 2015 baru mencapai 65 persen dari target APBNP 2015 Rp 1.294,2 triliun.
            Terkait tragedi memilukan tersebut, Dirjen Pajak Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi meminta Kepala Polri Jenderal Pol Badrodin Haiti mengerahkan bawahannya untuk mengawal kegiatan pegawai pajak, khususnya saat menagih pajak ke wajib pajak. Pasalnya, tugas menagih pajak ke wajib pajak berisiko terhadap keselamatan petugas pajak. Sebelumnya,  kerja sama soal itu sebenarnya telah dijalin antara Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, dan Kepolisian RI. Sayang, pemanfaatannya tidak maksimal.
          Insiden pertama kali bagi petugas pajak ini disesalkan banyak pihak. Dirjen Pajak, Ken Dwijugiasteadi, menilai ada unsur kelalaian yang menyebabkan tewasnya dua petugas pajak, Parada Toga Fransriano Siahaan dan Sozanolo Lase.  Ken Dwijugiasteadi merasa kecolongan. Harusnya penagihan itu dikawal kepolisian. Itu merupakan bagian  standard operating procedure (SOP) dalam semua aktivitas petugas pajak di lapangan seperti penagihan atau lainnya. Namun, yang bersangkutan (petugas pajak) merasa aman-aman saja. Mereka berdua  menganggap daerah tersebut adalah daerahnya sendiri.  Karena salah satu dari mereka (Sozanolo) adalah orang Nias asli. Sozanolo merupakan pegawai di kantor pelayanan penyuluhan dan konsultasi perpajakan (KP2KP) Gunungsitoli.
          Terkait inseden ini, center for Indoneisa Taxation Analysis (CITA) mendesak pemerintah segera mengeluarkan intruski Presiden tentang perlindungan Hukum bagi Fiskus. Direktur Ekskutif CITA, Yustinus Prastowo menuturkan pembunuhan kedua petugas apajak itu merupakan bagian dari serangkaian intimidasi yang sudah lama terdengar mengiringi tugas petugas pajak. Karenanya ia  mengingatkan pemerintah bahwa perlindungan bagi para abdi negara yang menunaikan tugas mutlak diperlukan  (http://www.cnnindonesia.com/)
          Sebenarnya pemerintah telah menuntaskan rancangan intruksi Presiden tentang perlindungan Hukum bagi Pegawai Pajak dalam menghimpun Penerimaan Negara sejak tahun 2015 lalu. Namun, hingga kini, intruksi tersebut belum juga diterbitkan. Tewasnya dua petuga pajak di Nias diharapkan menjadi perhatian sekaligus peringatan semua pihak terkait penerbitan Inpres tersebut. Tak ada alasan untuk menunda. Ini penting, menjadi darurat.
Perlindungan
Untuk memberikan perlindungan pada petugas pajak,  kita harus memberikan pendampingan keamanan dari aparat negara baik kepolisian atau TNI.  Seperti disinggung sebelumnya, kerja sama antara Dirjen pajak, Polri serta TNI mesti dioptimalkan. Petugas pajak wajib meminta pendampingan sebelum bertugas dalam penagihan misalnya. Prosedur itu kudu ditempuh, tak boleh diabaikan. Sehingga hal yang tak diinginkan saat bertugas bisa dihindari. Jajaran Kepolisian dari Polda, Polres sampai Polsek harus siaga, siap bila diminta pendampingan tersebut. Kerja sama yang baik antara petugas pajak dan aparat secara tidak langsung akan membantu pemasukan pajak negara.
Kemudian, memberikan asuransi. Petugas pajak terutama bagi mereka yang bertugas dalam tugas berisiko tinggi seperti  penagihan terhadap wajib pajak sepantasnya diasuransikan. Asuransi sebagai jaminan atas apa yang akan menimpa sang petugas. Bila ada hal  tak diinginkan, yang bersangkutan atau keluarganya dapat mengajukan klaim terhadap apa yang menjadi haknya. Asuransi merupakan salah satu bentuk pengendalian risiko yang dilakukan dengan cara mengalihkan/transfer risiko dari satu pihak ke pihak lain dalam hal ini adalah perusahaan asuransi. Ini dilakukan semata-mata untuk memberikan perlindungan bagi petugas pajak.
Selain itu, memberikan izin penggunaan senjata tajam. Dalam kondisi tertentu petugas pajak diperkenankan menggunakan senjata tajam. Maka, mereka pun kudu dibekali ketrampilan menggunakan senjata dengan benar.  Sehingga izin penggunaan senjata bagi petugas pajak tak akan menjadi masalah baru akibat kesalahan petugas yang bersangkutan dalam menggunakan senjata tajam.
Akhir kata, membayar pajak adalah kewajiban setiap warga negara. Pajak harus masuk ke khas negara semaksimal mungkin. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab Dirjen Pajak, secara khusus petugas pajak. Di lapangan, petugas pajak menjadi ujung tombak penarikan pajak ke negara.
Di tengah masyarakat, masih banyak wajib pajak yang tak menyadari pentingnya membayar pajak. Mereka menghindari pajak seperti  diduga pada mereka yang namanya tercantum di Panama Papers. Tak sedikit juga yang mengemplang, tak membayar. Padahal pajak menjadi pemasukan khas negara yang signifikan. Uang pajak diperuntukkan untuk melaksanakan pembangunan di segala sektor.
          Bagi pengemplang pajak, petugas pajak dianggap musuh. Ini menjadi resiko berat bagi petugas pajak dalam menjalankan tugas negara. Para abdi negara itu dihadapkan pada resiko keamanan. Sebab itu mereka berhak mendapat perlindungan. Perlindungan berupa pendampingan keamanan oleh aparat keamanan (Polri-TNI), asuransi jiwa, serta izin kepemilikan senjata tajam. Wa Allahu Alam

Densus 88 Antiteror, Apa Masih Perlu?


          Sudah lama Densus 88  Antiteror mendapat sorotan  tajam dari publik. Terlebih, dari aktivis  Hak Asasi Manusia (HAM). Mereka mempertanyakan cara yang digunakan Densus 88  Antiteror dalam menangkap, menangani pelaku teror. Mereka tak jarang menilai penangkapan sebagai pelanggaran HAM. Penilaian mereka terfokus pada persoalan terabaikannya proses atau prosedur yang ada oleh Densus 88  Antiteror. Sehingga penangkapan yang  dilakukan dinilai  melanggar HAM.
          Paling mutakhir Densus 88 antiteror terpojokkan dengan kasus penangkapan seorang terduga pelaku teror, Siyono. Pria asal  Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah itu meninggal dunia di tangan Densus 88 Antiteror setelah dilakukan penangkapan 8 Maret lalu. Siyono diduga merupakan anggota organisasi terlarang Jamaah Islamiyah yang bercita-cita mendirikan negara Islam Indonesia (NII).
          Kematian Siyono dianggap menyimpan banyak  kejanggalan. Menurut keterangan pihak kepolisian, kematian Siyono disebabkan perkelahian di dalam mobil dengan aparat. Siyono disebutkan, melawan saat digiring ke mobil. Sebelumnya, ia meminta pada polisi untuk melepas borgol.
Kejanggalan tersebut mendorong Muhammadiyah dan Komnas HAM  melakukan investigasi kasus tersebut. Termasuk melakukan otopsi terhadap jenazah terduga teroris asal Klaten, Jawa Tengah itu. Hasil autopsi tim forensik  yang dipimpin oleh dr. Gatot Suharto menjelaskan bahwa Siyono mengalami patah di lima iga bagian kiri, patah satu iga bagian kanan, dan tulang dada yang patah akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung. Juga ditemukan luka ketokan di kepala, tapi hal itu tidak menyebabkan perdarahan atau kematian. Dari temuan tersebut tim  forensik menegaskan  tak ada tanda-tanda yang menunjukkan perlawanan atau tangkisan dari yang bersangkutan.
          Mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi menyatakan bahwa pihaknya sudah pernah mengingatkan kepada aparat keamanan untuk tidak bertindak terlalu berlebihan dalam menangani kasus terorisme. Tindakan aparat yang berlebihan kepada mereka akan menambah militan mereka dalam aksi kekerasan. Untuk menangani soal terorisme dilakukan sesuai dengan situasi di Indonesia atau untuk kepentingan negara dan bangsa. Ketika aparat melakukan penindakan, harus disertai data yang lengkap. Karena itu  densus 88 diminta tidak memperlakukan seseorang yang masih terduga teroris sebagai teroris. (http://www.republika.co.id/)
          Menanggapi berbagai tudingan miring, Kapolri Jendara Badordin Haiti, kemaren (13/4) di Jakarta angkat bicara. Orang nomor satu di Korps Bhayangakara itu tak sepakat jika satuan berlambang burung gagak itu disebut merampas  dan melanggar HAM. Ditegaskannya, selama ini kepolisian sudah menempatkan Hak Asasi Manusia. Kalaupun terjadi kekerasan hal itu bukan berarti melanggar HAM. Bisa saja, kekerasan itu dilakukan untuk melindungi diri dari upaya perlawanan maupun penyerangan yang dilakukan tawanan.
          Di tempat terpisah, dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI kemaren (13/4), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Tito Karnavian mengaskan bahwa hasil otopsi tidak dapat menjelaskan kronologis. Otopsi hanya menggambarkan luka dan bentuk kekerasan yang dialami. Untuk mengetahui lebih jauh sebab luka atau bentuk kekerasan dibutuhkan kesaksian saksi. Untuk kebutuhan tersebut, internal Polri sedang melakukan investigasi. (Radar Cirebon 14/4)
Catatan
          Terkait permasalahan di atas, menurut hemat saya ada beberapa catatan yang mesti dipahami bersama. Catatan berikut diharapkan dapat membantu dalam mendudukan permasalahan secara proporsional, juga dalam mengambil sikap. Catatan ini akan menjawab apa Densus 88 masih diperlukan?  Sebab itu,   semua pihak baik aparat, aktivis HAM dan masyarakat luas kudu memahami. Pertama, bahaya terorisme. Saya beranggapan, semua dari kita sepakat atas itu. Bahaya terorisme telah mengancam kedamaian masyarakat global. Secara kemanusian, tindakan terorisme tak segan merenggut banyak jiwa. Terorisme menyebar rasa takut. Dari sisi ekonomi, aksi teror mempersempit bahkan menutup masuknya investasi. Secara politik, terorisme mengoyak stabilitas nasional.
          Sebab itu, terorisme menjadi musuh nyata bersama msayarakat dunia, termasuk Indonesia. Teororisme harus dilawan. Setiap dari kita memiliki tanggungjawab dalam memerangi terorisme sesuai fungsi dan peran masing-masing. Melawan dan memerangi terorisme membutuhkan kesatuan dan kekompakan tekad, gerak serta langkah. Satu sama lain saling menopang dan mendukung. Tidak boleh, berceraiberai apalagi saling menyalahkan.
          Khusus untuk terorisme, Kepolisian RI telah membentuk Detasemen khusus yang disebut Densus 88 Antiteror. Pasukan khusus ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana. Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiterorisme yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan.
          Kedua, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sesuatu yang wajib dijunjung tinggi oleh semua warga negara. HAM telah diatur dalam UUD 1945. Dalam Pasal 28 A, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal ini sangat tegas, bahwa menghilangkan nyawa tanpa alasan hukum yang ada merupakan pelanggaran HAM.
          Ketiga, prosedur merupakan sesuatu yang harus ditempuh dan dilalui. Prosedur tak boleh dilewatkan. Setiap hal ada prosedurnya. Dalam hal penangkapan misalnya, aparat kepolisian memilki prosedur baku. Prosedur ini menjadi acuan apa seorang polisi menjalankan tugas sesuai aturan atau tidak. Karenanya, dalam melaksanakan tugas seperti penangkapan, polisi tidak boleh melalaikan semua prosedur yang ada. Kaitan dengan ini, mengabaikan prosedur  menyebabkan pelanggaran HAM.
Keempat, penegakan hukum. Penegakan hukum akan menghadirkan keadilan. Hukum akan menjelaskan siapa yang salah dan yang tidak. Setiap persoalan seyogyanya diputus melalui jalur hukum. Proses hukum wajib didahulukan. Dan keputusan hukum harus dihormati, diterima semua pihak yang bersengketa.
Dari catatan di atas, kita memahami, bisa bersikap terkait persoalan penangkapan Siyono. Kepolisian sepatutnya segera mengusut, menginvestigasi anggotanya yang diduga meyalahi prosedur terkait penangkapan tersebut. Polri tak boleh melindungi anggotanya. Polri sebagai elemen penegak hukum sepantasnya mampu memberi contoh dalam penegakan hukum. Ini akan menjadi pembelajaran bagi yang lain. Sehingga di waktu yang akan datang tak ada aparat yang mengabaikan, melalaikan prosedur dalam setiap tindakan yang diambil. Apa pun keputusannya, semua pihak harus menerima.
Kemudian kesalahan individu atau oknum tidak boleh digeneralkan pada institusi. Karenanya, dalam masalah ini tidak dapat dikatakan Densus 88 melanggar HAM, harus dibubarkan. Densus 88 tetap dibutuhkan. Membubarkan Densus 88 akan menjadi angin segar bagi pelaku teror.  Sebab itu, Densus 88 harus meningkatkan kinerja dalam menangani terorisme. Dalam menjalankan fungsi dan peran, Densus 88 dintuntut memperhatikan dan menjungjung tinggi HAM.
Walhasil, Densus 88 Antiteror masih dibutuhkan. Mereka unjung tombak dalam menghadapi ancaman bahaya terorisme di tanah air.Terorisme yang menjadi musuh penduduk dunia itu harus dilawan secara bersama. Setiap dari kita harus mengambil peran sesuai fungsnya. Ini juga seyogyanya dijadikan momentum   bagi Densus 88 dan BNPT untuk mengevaluasi diri, agar kedepan lebih baik lagi menjalankan peran dan fungsinya. 
Dimuat di Harian RADAR CIREBON, Rabu, 20 April 2016


Setahun Di Kompasiana



          Tanggal 16 April besok  adalah satu tahun saya bergabung dengan Kompasiana. Sampai saat ini saya tercatat telah  menulis 162 artikel. Dihargai oleh Admin dengan 15 HL, 86 Pilihan. Di banding teman yang lain, saya mungkin belum terketegorikan sebagai kompasianer aktif. Saya baru bisa menulis tiga sampai empat artikel dalam satu minggu. Ya, lumayan di tengah kesibukan mengajar juga berbagi waktu untuk keluarga.
          Kompasiana menjadi tempat belajar. Saya memperoleh banyak dan berbagai disiplin  ilmu. Ada politik, pendidikan, agama, budaya juga sastra. Walhasil lengkap. Kompasiana merupakan tempat diskusi menarik. Walau untuk yang ini, saya sering melewatkannya. Faktor kesibukan, jaringan internet yang terkadang lelet, membuat saya tak dapat nongkrong lebih lama depan komputer untuk berdiskusi. Setelah menulis, saya memilih melepas tulisan. Kadang baru hari berikutnya saya melihatnya, membalas komentar atau sekadar mengucap salam kenal dengan yang lain.
          Setelah di Kompasiana, saya biasa mengirim tulisan ke beberapa harian umum daerah. Kadang dimuat, tak jarang juga dilepas begitu saja oleh redaktur. Bisa jadi tema tidak sesuai kebutuhan atau tulisan tak layak terbit. Dari 162 artikel di Kompasiana 60 buah di muat di dua harian yang berbeda. Lumayan ada honornya,  dapat dbelikan pulsa, buku bacaan juga kebutuhan lain.
          Pengalaman satu tahun terakhir menulis ada beberapa catatan kecil yang saya ingat, rasakan. Catatan ini anggap saja sebagai pengalaman berharga buat saya juga teman kompasianer lain. Saya merasakan bahwa tulisan atau karya ilmiah lainnya tak mendapat penghargaan  seperti harusnya. Masyarakat belum bisa menghargai karya tulis. Padahal menulis bukan hal mudah. Tidak semua orang bisa. Tak sedikit orang pandai yang tidak mampu menulis. Menulis merupakan sebuah ketrampilan yang tidak semua orang menguasainya.
Dalam bahasa Imam Ghazali menulis merupakan salah satu ketegori orang berilmu. Lebih lengkap Ghazali menyebutkan, Alim (orang berilmu) itu ada tiga macam. Yaitu alim bil qhalbi, alim bil lisan, alim bil qolam.
Alim bil qhalbi adalah mereka yang memiliki ilmu luas. Tapi ilmunya hanya di dalam hati dan otaknya. Ia tak mampu mengaktualisasikannya kepada orang lain. Ilmunya tak dikomunikasikan baik dengan bahasa lisan maupun tulisan.
Alim bil lisan  adalah para orator. Memilki ilmu, mampu menyampaikan ilmunya dengan ceramah (lisan). Ia sangat mahir mengkomunikasikan ilmu pada orang lain. Sehingga ilmu yang dimiliki bisa dipahami dan bermanfaat untuk orang banyak. Ia tidak memendam, tapi menyebarkan ilmunya.
Alim bil qolam adalah para penulis. Penulis adalah mereka yang memilki wawasan luas (berilmu) dan mengkomunikasikan ilmunya dengan tulisan baik lewat buku atau lainnya.  Penulis punya kelebihan yang tak dimiliki oleh yang lain yakni ilmu yang disampaikan (karyanya) bertahan dalam waktu yang cukup lama. Contoh, kita dapat memperoleh pancaran ilmu Imam Ghazali, walau beliau tidak sejaman dengan kita.
Terkait dengan rendahnya penghargaan pada karya tulis, saya ada sedikit pengalaman. Saya  mengirim tulisan , Perpustakaan DPR dan Budaya Literasi, ke salah satu harian umum daerah, alhamdulillah dimuat. Tapi mengejutkan,  tulisan yang sebelumnya dapat dibaca di Kompasiana itu diatasnamakan orang lain. Aneh, memang. Padahal saya mengirim lewat email secara lengkap, tak ada yang lewat, termasuk nama saya sebagai penulis. Saya mengirim surat keberatan, meminta redaksi meralat. Sedihnya, keberatan saya tak digubris. Sampai hari ini, tak ada ralat terkait kesalan fatal tersebut. Ini satu contoh betapa masyarakat kita tak menghargai karya orang lain. Padahal dewan redaksi itu tentu bukan orang awam. Mereka juga para penulis senior. Nyatanya, mereka belum bisa menghargai sebuah karya tulis orang lain. Bagaimana dengan orang awam?
Pernah juga saya membaca tulisan  di salah satu harian umum. Tulisan itu persis seperti yang saya baca di Kompasiana sebelumnya. Saya konfirmasi ke pemilik tulisan di Kompasiana, dia menegaskan bahwa tulisannya dicopas 100 %. Saya sedih. Ternyata, penulis yang saya kagumi karena tulisannya sering dimuat adalah seorang copy paste, plagiator. Bisa jadi tulisan saya terkalahkan  oleh para plagiat sepert itu di meja redaksi.
Selain itu, jadi penulis kudu siap miskin. Ungkapan itu saya dengar sudah lama. Ungkapan tersebut ada benarnya bila diterjemahkan pada kecilnya honorium tulisan. Saya merasakannya sekarang. Sebab itu, kenapa banyak orang pandai yang malas menulis. Bisa jadi itu bukan karena soal kemampuan tapi soal rendahnya penghargaan.
Namun demikian, kehadiiran Kompasiana memberi semangat lebih. Idealisme banyak kompasianer yang berbagi informasi, ilmu, pengalaman di media ini membakar jiwa idealisme. Maka menulis menjadi kebutuhan dan tuntutan. Menulis dimaknnai sebagai ibadah, berbagi dengan sesama. Menulis diartikan sebagai sedekah. Dan menulis menjadi media mengamalkan ilmu.
Akhirnya, Kompasiana hadir dalam kehidupan saya dengan membawa obor semangat berkarya. Menulis menjadi pilihan hidup. Menulislah, terus menulis. Terimakasih buat Komapasian. Terimakasih buat semua.




Senin, 11 April 2016

Intoleransi, Kenapa Dibiarkan?


          Belakangan kehidupan berbangsa dan bermasyarakat kita terusik dengan insiden dan tindakan intoleransi yang dilakukan oleh sebagian elemen masyarakat. Mereka melakukan tindakan yang mengabaikan hak-hak warga negara lain. Atas nama mayoritas, mereka menekan kaum minoritas yang dianggap berbeda. Mereka merampas kemerdekaan berpendapat, berkumpul dan mengamalkan apa yang diyakini. Untuk tujuan itu, tindakan kekerasan dijadikan pilihan penyelesain masalah. Mereka memaksakan kehendak, membubarkan kegiatan. Kaum minoritas pun tak punya pilihan selian mengalah walau mereka mengantongi surat izin dari kepolisian. Dan sedihnya, tindakan intoleransi itu dilakukan oleh ormas keagamaan.
          Awal bulan ini, secara beruntun tindakan intoleransi mencoreng kedamain warga. Diawali dengan pembubaran peringatan kelahiran putri Rasulullah SAW, Fatimah Az-Zahra oleh komunitas yang menamakan diri Aswaja di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur. Kegiatan diperingati  komunitas pencinta Ahlul Bait Nabi, atau yang dikenal dengan Syiah itu semula akan di digelar di Gedung Diponegero, Bangil, Jumat (1/4/2016). Karena alasan keamanan, berdasarkan hasil pertemuan antara panitia dan  pemerintah setempat acara dipindahkan  di salah satu rumah warga. Walau dengan jaminan keamanan dari aparat kepolisian, acara tersebut tetap dipaksa bubar oleh masa Aswaja.
          Di hari yang sama (1/4), Organisasi Front Pembela Islam (FPI) membubarkan secara paksa forum diskusi yang digelar kelompok diskusi Batas Arus Pekanbaru, Jaringan Filsafat Islam (Jakfi) Pekanbaru, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), di Pusat Kegiatan HMI di Jalan Melayu, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru. Pembubaran dilakukan dengan cara menjemput paksa pembicara asal Yogyakarta, AM Safwan saat tiba di Pekanbaru. Tindakan FPI dilakukan karena mereka mengira diskusi itu akan membahas soal aliran Syiah.
          Berikutnya (2/4), aparat kepolisian bersama sejumlah organisasi massa yang mengatasnamakan Islam membubarkan acara Lady Fast 2016 di ruang komunitas seni Survive Garage, Bugisan, Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.  Pembubaran dilakukan oleh Forum Umat Islam (FUI) dan Fron Jihad Islam (FJI).
          Tindakan intoleransi di atas ironis terjadi. Kenapa? Karena sebelumnya Presiden Jokowi sudah memerintah Kepolisian untuk bertindak tegas pada kelompok intoleransi yang melarang aktivitas kelompok lain. Siapa pun yang melakukan tindakan intoleransi dalam konteks kenegaraan harus ditindak.
          Perintah tegas Presiden nampaknya tak dipahami jajaran kepolisian. Terbukti, mereka tak mampu menjalankan perintah tersebut. Aparat kepolisian lebih cenderung mengalah, mengikuti tuntutan kelompok intoleransi. Padahal pihak yang dibubarkan telah mengantongi izin dari mereka. Bukankah ini aneh? Memberi izin, tapi tak mampu mengamankan kegiatan.
Menurut Zuhairi Misrawi, intlektual muda NU,  masalah terbesar intoleransi adalah pembiaran negara terhadap pelaku intoleransi. Bahkan, cilakanya dalam beberapa kasus, pemerintah dan aparat keamanan justru terlibat dalam aksi intoleransi bersama-sama dengan kelompok intoleran.
Di samping itu, ormas keagamaan dan Majelis Ulama Indonesia dianggap menjadi pemicu intoleransi dengan fatwa-fatwanya yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Adapun kelompok yang paling banyak menjadi korban, yaitu Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen.
Yang mutakhir, rencana Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan panduan fatwa sesat terhadap Syiah makin menciptakan kecemasan di antara warga penganut Syiah di negeri ini. Jika ini tidak diantisipasi dengan baik, maka konflik Sunni-Syiah yang mencabik-cabik Timur-Tengah akan merembes serius ke negeri ini.
Selain itu, belakangan muncul trend baru, yaitu kelompok yang diduga sebagai manifestasi komunisme menjadi sasaran pelaku intoleransi. Pembubaran festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki, pembatalan pemutaran film Pulau Buru di Goethe Institute, dan pembubaran pentas monolog Tan Malaka di Bandung. Padahal untuk yang terakhir bisa digelar karena adanya jaminan keamanan dari Walikota Bandung, Ridwan Kamil. Tapi, tetap saja dibubarkan.(http://nasional.kompas.com/)
Menurut hemat saya, intoleransi akan lenyap dari bumi pertiwi jika setiap dari kita  mengakui perbedaan. Perbedaan adalah keniscayaan. Apalagi, bagi kita bangsa Indonesia. Bangsa ini memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika. Semboyan dari leluhur itu menjelaskan, manusia  pasti berbeda-beda. Tapi perbedaan tak boleh memecah belah bangsa. Walau berbeda, kita tetap satu.
Bhineka Tunggal Ika telah menyatukan bangsa dan negara. Apa mungkin sebagian dari kita akan meruntuhkan dan merobohkannya? Sikap intoleransi akan mengoyak persatuan bangsa. Intoleransi bisa dimanfatkan oleh pihak asing  untuk mengadu domba antara anak bangsa. Terbukti, di Timur Tengah intoleransi menjadi pemicuh utama perang saudara berkepanjangan  sesama negara muslim.
Kemudian, saling menghormati dan menghargai. Bukankah itu ajaran setiap agama?  Tidak ada satu agama pun yang membolehkan saling menyerang, mencaci, menghina orang lain. Tidak aga agama memperbolehkan tindak kekerasan. Lebih-lebih Islam, manusia diumpamakan seperti bangunan yang saling menguatkan, membutuhkan.
Selanjutnya, mengedepankan dialog mencegah tindak kekerasan. Dialog diartikan sebagai adu argumentasi secara sehat dan rasional.  Masing-masing pihak yang berbeda dapat menguji  argumentasi masing-masing. Dialog tersebut dilakukan dengan senantiasa menjujung tinggi kesantunan. Sehingga dialaog dimaksud tidak berakhir pada tindak kekerasan. Dialog berakhir dengan saling mengormati, menghargai satu sama lain. Dialog berakhir dengan pengakuan atas perbedaan itu sendiri.
Seseorang menutup dialog dikarenakan sempit pandang dan dangkalnya ilmu. Kemudian muncul sikap berlebihan (baca:fanatik) terhadap yang dipahami dan diyakini. Fanatisme seperti itu menghadirkan peerasaan paling benar. Merasa paling benar melahirkan anggapan semua yang berbeda menjadi salah. Maka layak  disesatkan, dikafirkan, dilawan, dan dibubarkan. Berakhirlah pada pilhan tindak kekerasan.
Selain itu, menyadari pentingnya persatuan bangsa. Bangsa ini berdiri karena jasa para pendahulu. Mereka bersatu mengusir penjajah, mendirikan dan membangun negara. Walaupun suku, agama, bahasa, budaya serta lainnya berbeda, mereka tetap bersatu. Tak melihat perbedaan sebagai penghalang. Perbedaan dipahami sebagai kekayaan, potensi bangsa. Ini barangkali arti perbedaan sebagai rahmat yang diajarkan Islam. Bukankah Nabi Muhamad SAW pernah menyatakan bahwa perbedaan adalah rahmat?
Akhir kata, mengutif Prof. M.Quraish Shihab (2014), perbedaan adalah keniscayaan, sedangkan persatuan adalah keharusan yang harus diwujudkan. Keragaman dan perbedaan tidak dapat dihindari walau dalam saat yang sama, manusia dituntut oleh kedudukannya sebagai makhluk sosial untuk menyatu dalam bentuk bantu membantu dan topang menopang.
Maka tak ada pilihan lain selain mengembangkan sikap toleransi dan membuang intoleransi.  Sebab itu, setiap dari kita harus mengakui perbedaan-perbedaan yang ada, saling menghormati dan menghargai, mengedepankan dialog menghindari kekerasan, mengulurkan tangan dengan yang berbeda sembari mengedepankan persatuan di atas segala.
Kemudian Pemerintah terutama aparat kepolisian diminta lebih tegas lagi terhadap setiap tindakan, gerakan kelompok intoleran. Deretan insiden di awal bulan ini harus menjadi pelajaran penting bagi kepolisian RI. Polri harus patuh pada perintah Presiden. Mereka wajib menjalankan setiap perintah. Kelalaian dan pembiaran aparat keamanan dalam menindak setiap tindak intoleransi bisa menjadi preseden terburuk keamanan negeri ini.Wa Allahu Alam


          

Mobil Fortuner Untuk Pejabat, Apa Tidak Berlebihan?


          Masyarakat Jawa Barat belakangan meributkan keinginan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pasalnya, anggota legislatif daerah itu mengusulkan pergantian mobil dinas. Mereka telah mengusulkan anggara ke pemerintah propinsi, untuk 50 mobil. Anggaran dipatok berkisar 50 milyar rupiah. Sebuah angka yang tidak sedikit. Mereka beralasan, pergantian mobil dinas itu bertujuan untuk membantu kinerja,  terutama saat turun ke daerah guna menemui rakyat. Mereka menilai mobil yang ada tidak cukup. Tidak membantu memaksimalkan kerja anggota dewan. Mobil yang berusia enam tahunan itu layak diganti.
          Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Sekretariat Daerah Jawa Barat, Deny Juanda Puradimaja membenarkan, saat dirinya menjabat kepala Bappeda ikut membahas bersama Badan Anggaran DPRD Jawa Barat membahas perubahan spesifikasi mobil pinjam pakai Dewan. Ada aturan yang mencantumkan fasilitas DPRD itu setingkat Eselon II, itu se-Indonesia. Deny mengatakan, kala itu pembahasan antara tim anggaran pemerintah provinsi dan Badan Anggaran DPRD menyepakati mobil pinjam pakai anggota Dewan setara kendaraan dinas Eselon II. Di antaranya spesifikasi mobilnya 2.000 cc. Dalam aturan dimaksud tidak menyebutkan merek. Dan saat ini kendaraan dinas bagi pejabat Eselon II Jawa Barat sekelas Fortuner. Sementara kendaraan pinjam pakai anggota Dewan sekelas mobil ekonomis Toyota Rush yang dibeli tahun 2010. (https://m.tempo.co)
Pemeritah Propinsi Jawa Barat nampaknya bakal menyetujui  rencana tersebut. Gubernur Jawa Barat,  Ahmad Heryawan telah memberi sinyal akan merealisasikan keinginan anggota dewan mengganti mobil dinas dari Toyota Rush dan Innova menjadi Toyota Fortuner. Namun demikian pengadaan mobil baru itu tergantung dari DPRD Jawa Barat. Pemprov Jawa Barat dalam posisi menerima pengajuan dan merealisasikannya jika memang mobil baru dibutuhkan.
Pro kontra bermunculan di khalayak. Banyak kalangan mempertanyakan dan menolak. Menurut pengamat politik dan pemerintahan dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan, pengadaan mobil mewah itu tak elok. Sebaiknya anggota dewan tak bersikukuh meminta. Sebab, kondisi ekonomi masyarakat Jabar tak menentu. Harga Fortuner cukup mahal. Pengadaan mobil mewah itu dapat memperlebar jarak antara anggota dewan dengan masyarakat. Anggota dewan, seharusnya memikirkan perasaan masyarakat. Masih banyak orang yang tidak bisa ke rumah sakit karena tak ada kendaraan. Tiba-tiba, mereka (anggota dewan) datang ke daerah dengan Fortuner. Secara psikologis ini menyakitka rakyat. (http://jabar.metrotvnews.com/)
Mengambil pelajaran
Legislator pada periode ini mendapat sorotan sangat tajam. Pasalnya,  mereka (baik yang di pusat atau daerah) dipandang tak lagi sejalan dengan rakyatnya. Mereka mengingkari, mengkhianati konstuenya. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok dari kemaslahatan rakyat. Mereka tak sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka bergelimang dengan harta. Harta benda dan urusan duniawi yang diperoleh dari jabatan yang ada membuat mereka lalai.
Masih segar dalam ingatan, kegaduhan di senayan. Dari sejak dilantik mereka hanya gaduh. Tercatat, mereka hanya mampu mengesahkan tak lebih dari tiga undang-undang selama dua tahun berjalan masa periode. Mereka sibuk menuntut, tak pernah memberi solusi bermanfaat bagi kepentingan orang banyak, rakyat yang diwakili.
Belum lagi yang terjerat kasus korupsi. Berdasarkan data dari KPK, ada kurang lebih 3600 anggota dewan (DPRD/DPR RI) yang terkena kasus korupsi.  Paling mutakhir, apa yang menimpa DPRD DKI Jakarta. Salah satu anggotanya, Muhamad Sanusi tertangkap tangan KPK saat transaksi suap dengan pengusaha mewakili pihak swasta. Ketua komisi D itu diduga menerima suap terkait pembahasan rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Jakarta. Diduga kuat, M Sanusi tidak sendirian. Ini korupsi berjamaah anggota DPRD.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif menyebutnya sebagai grand corruption. Laode merasa prihatin terhadap kasus suap yang menjerat Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, M Sanusi. Kasus yang menjerat politikus Partai Gerindra ini dinilai luar biasa karena melibatkan perusahaan swasta besar. Kasus ini menjadi bukti nyata bahwa sebuah korporasi bisa mengintervensi proses pembuatan kebijakan pemerintah.  Bisa dibayangkan bagaimana kalau semua kebijakan publik dibikin bukan berdasarkan kepentingan rakyat, tapi hanya untuk mengakomodasi kepentingan orang tertentu atau korporasi tertentu.
Fakta politik di atas, mestinya menjadi pelajaran bagi anggota DPRD Jawa Barat. Mereka tidak boleh menutup mata. Sebaliknya, mereka harus waspada. Lebih hati-hati dalam mengambil langka dan  keputusan. Ingat rakyat menanti kinerja maksimal dari anda, anggota dewan terhormat.
Oleh karena itu, menurut hemat saya, usulan penggantian mobil menjadi Fortuna atau yang sekelas wajib dikaji ulang. Beberapa point berikut dapat dipertimbangkan. Pertama, menjaga perasaan rakyat. Kita tahu, ekonomi rakyat belum cukup baik bila tidak menyebutnya sedang susah. Anggota DPRD sebagai kepanjangan tangan rakyat di pemerintahan seyogyanya memperjuangkan lebih gigih lagi dalam menghadirkan kesejahteraan rakyat. Tidak elok rasanya, bila mereka mengedepankan kepentingan pribadi ketika rakyat menjerit karena himpitan ekonomi.
Kedua, mobil dinas masih layak pakai. Mobil  yang dibeli tahun 2010 itu dalam kondisi cukup baik.  Anggota dewan dapat memaksimalkan fungsi mobil dinas tersebut dalam membantu operasional kinerja mereka. Selama ini, tidak ada masalah berarti dengan mobil-mobil itu. Kecuali bila anggota dewan mengutamakan gengsi daripada tujuan utama diberikannya mobil dinas sebagai alat trasnportasi.
Ketiga, uang 50 milyar itu tidak sedikit. Dana itu bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih bermanfaat dan dirasakan langsung oleh rakyat. Dana sebersar itu dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur di Jawa Barat. Misalnya,  digunakan  guna memperbaiki ruas jalan yang rusak, membangun  atau rehab ruang kelas untuk menunjang proses belajar mengajar, atau lainnya.
Keempat, rawan penyelewengan. Berdasarkan pengalaman di berbagai daerah, usulan program atau raperda seperti itu kerap kali menjerumuskan anggota dewan ke perbuatan korupsi. Apalagi terkait dana yang tak sedikit, 50 milyar. Penyelewengan terjadi saat kebijakan itu ditenderkan.
Kelima, mementingkan kemaslahatan orang banyak (rakyat) daripada kepentingan diri. Sebagai wakil rakyat ungkapan itu harusnya tertanam kuat dalam diri setiap anggota dewan. Mereka telah berjanji saat kampanye. Ungkapan seperti disakralkan dalam sumpah janji jabatan saat pelantikan. Ingat janji adalah hutang. Hutang wajib dibayar. Rakyat menagih. Mereka akan menghukum anggota dewan yang tak menunaikan. Hukuman dijelmakan di TPS pada pemilu mendatang.
Akhir kata, Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu (8/4) mengumpulkan para kepala daerah, terutama yang baru terpilih dalam pilkada serentak 2015 lalu, di Istana Negara. Jokowi meminta para kepala daerah melakukan penghematan anggaran. Mereka diminta memberi contoh hidup hemat dan sederhana. Pesan Presiden tersebut seharusnya dipahami juga oleh anggota DPRD Jawa Barat sebagai mitra kerja ekskutif di pemerintahan. Mengganti mobil dinas yang ada dengan yang lebih berkelas jelas mencerminkan hidup mewah dan glamor. Mobil Fortuner sebagai mobil dinas baru, apa tak berlebihan? Sebagai pejabat  hal seperti itu harus dihindari. Bukankah mereka panutan bagi rakyanya?Wa Allahu Alam