Kamis, 31 Maret 2016

UN, Antara Prestasi Dan Integritas


          Besok Senin (4/4), peserta didik tingkat SLTA (SMU/SMK/MA) akan melaksanakan Ujian akhir Nasional (UN). Sedangkan SLTP (SMP/MTs) akan diselenggarakan pada tanggal 9 sampai 12 Mei 2016. Tahun ini merupakan tahun kedua UN dengan paradigma dan tujuan baru. UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan satu-satunya. UN menjadi tak seram dan menakutkan lagi. UN sebatas untuk 1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan  2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan 3)pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tidak lebih dari itu.
          Namun demikian, UN bukan berarti tidak penting. UN tetap wajib disiapkan oleh semua pihak.  Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, sekolah, guru, dan peserta didik harus mempersiapkan diri secara maksimal sesuai peran dan fungsinya masing-masing. UN tahun ini diharapkan berjalan dengan baik dan berkualitas.   Permasalahan yang kerap menjadi kendala setiap tahun diantaranya adalah soal pendisribusian logistik, kebocoran soal, dan absennya peserta didik. Untuk tahun ini, sebagian sekolah akan melaksanaan UN dengan berbasis komputer.  Maka penguasan IT menjadi persoalan baru baik bagi sekolah (baca:tenaga kependidikan) maupun peserta didik. Di berbagai tempat telah dilaksnakan uji coba. Uji coba lebih bertujuan untuk mematangkan kesiapan peserta ujian menggunakan IT atau komputer.
Terkait dengan pendistribusian,  Mendikbud mengatakan, distribusi naskah untuk UN Berbasis Pensil dan Kertas (UNPK) sudah berjalan dengan baik. Untuk sekolah-sekolah yang berada di daerah pelosok, distribusi naskah telah dilakukan lebih dahulu untuk mengantisipasi keterlambatan datangnya naskah. Sedangkan untuk sekolah-sekolah yang tidak sulit dicapai, dijadwalkan naskah akan tiba pada 2 April 2016.  Dalam pendistribusian,  Kemendikbud telah melibatkan kepolisan untuk keperluan keamanan. (http://m.solopos.com/)
          Mengenai kebocoran soal berdasarkan pengalaman, menurut Pengamat Pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Nuryati Djihadah (2015), kebocoran soal berkaitan erat dengan kepentingan politik oleh beberapa oknum yang menagani dunia pendidikan. Kebocoran soal UN terjadi karena ada tekanan dari para pemimpin di wilayah tertentu. Misal, katanya, Kepala Sekolah ditekan oleh Kanwil Dinas Pendidikan untuk bisa memberikan hasil UN yang baik. Dalam hal ini, katanya, para siswa diharapkan bisa mendapatkan nilai yang baik dan lulus 100 persen. (http://www.republika.co.id/)
          Tentang absennya sejumlah peserta didik biasanya karena faktor kesehatan. Untuk itu, peserta didik diminta menjaga kesehatan menjelang dan selama pelaksanaan UN. Memang ada jadwal susulan bagi mereka yang tak dapat hadir karena alasan semisal sakit. Tapi, melaksanakan di jadwal utama tentu lebih baik, lebih mudah. Tak repot.
Prestasi Penting, Jujur Utama
Motto UN yang diprogramkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun ini adalah prestasi penting, jujur yang utama. Motto tersebut menyampaikan pesan bahwa peserta UN kudu meraih prestasi. Tapi dalam menggapai prestasi tak perlu mengorbankan  kejujuran. Kejujuran lebih utama dari segala.
Kemendikbud disamping berharap prestasi peserta didik mendapat nilai tinggi, juga menuntut integritas sekolah tinggi dalam menyelenggaraan UN. Pemerintah disamping memberikan penilaian hasil ujian peserta didik juga akan mengeluarkan indeks integritas  setiap daerah dan sekolah.  Indek integritas ialah indeks yang menunjukkan kejujuran peserta didik, sekolah juga daerah dalam melaksanakan UN. Indeks integritas  daerah atau sekolah terdiri (1) Indeks Tinggi, Nilai UN juga tinggi, (2) Indeks Tinggi Nilai UN rendah, (3) Indeks Rendah Nilai UN tinggi, atau (4) Indeks rendah, nilai UN juga rendah.
Indeks tinggi atau rendah tersebut diukur dari sejauh mana kecurangan terjadi di suatu sekolah, secara sederhana, kalau 80 persen dari peserta ujian di sekolah itu jawaban salahnya di soal yang sama, maka indeksnya menjadi 20. Tapi kalau hanya 10 persen, dari jumlah peserta ujian punya kesalahan di soal yang sama, maka nilai indeksnya 90. Setelah itu baru dicek kebenaran jawabannya.
Ada sekolah yang indeksnya rendah, nilai rata rata UN-nya juga rendah. Ini artinya, kunci jawaban yang beredar disekolah tersebut adalah kunci yang salah. Tapi ada sekolah yang indeksnya tinggi, tapi nilai UN-nya rendah; ini artinya mereka rata-rata jujur. Tidak ada kunci jawaban yang beredar, tidak ada kerjasama antar siswa yang dibiarkan. Mungkin karena soalnya yang memang tidak bisa mereka selesaikan dengan benar.
Indeks integritas rencananya akan diumumkan oleh pemerintah. Pada tahun 2015, pemerintah telah menetapkan 503 sekolah sebagai sekolah ber- indeks integritas  tertinggi. Sedangkan  tahun ini, seperti ditegaskan oleh Kepala Pusat Pendidikan Kemendikbud, Nizam, pemerintah berencana akan mengumumkan juga sekolah ber-indeks integritas rendah. Ini yang tidak dilakukan pada tahun sebelumnya. (http://www.infoptk.net/)
Mengahadipinya
Menghadapi UN tidak harus berlebihan. Pahamilah UN sebagai bagian aktivitas rutin kependidikan  di sekolah yang harus disiapkan oleh semua yang terlibat secara baik. Bagi peserta didik, tak perlu lagi takut. Guru seyogyanya menyiapkan semaksimal mungkin. Kemudian Sekolah  memberikan fasilitas yang dibutuhkan oleh guru dan peserta didik dalam mempersiapkan diri menghadapi UN.
Dalam sebuah kesempatan, Menteri Mendikbud Anies Baswedan berpesan kepada peserta didik agar selalu belajar. Ikuti program sekolah dalam menyiapkan diri menghadapi UN. Istirahat yang cukup, jaga kesehatan. Dan yang paling penting, ujian harus dijalani dengan kejujuran.  Ujian dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana pencapaian yang didapat. Itulah salah satu tujuan UN. Yakni berkaca di mana letak kekurangan dan kelebihan kita, baik peserta didik, guru, juga sekolah.
Orang tua juga tak perlu panik. Dampingi anak-anak dengan keikhlasan dan kasih sayang. Ciptakan kondisi yang menyenangkan bagi anak. Berikan mereka motivasi dan semangat. Dan iringi perjuangan mereka dengan doa agar kesuksesan menyertai mereka dalam menghadapi UN tersebut.
Akhir kata, mengutip ungkapan Mendikbud Anies Baswedan, UN bukan untuk lulus 100 persen, tetapi lakukanlah dengan jujur 100 persen, karena UN tidak lagi menjadi syarat  tunggal kelulusan. Tujuan UN adalah untuk mengetahui capaian belajar seorang siswa. Ini merupakan hak seorang siswa untuk mengetahui capaian belajarnya. Sebab itu, sekolah juga tak perlu berbuat curang. Kejujuran dan integritas lebih penting daripada prestasi semu yang dicapai dengan kecurangan. Usaha maksimal sekolah akan mengantarkan  pada perolehan indeks integritas tinggi, nilai UN tinggi. SEMOGA.Wa Allahu Alam


Politik Nazar Atau Nazar Politik


          Diikutip dari wikipedia.org, politik ialah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
          Untuk meraih tujuan, dalam politik, semua hal dapat dilakukan. Berbagai strategi digunakan. Bermacam-macam cara dilakukan. Siapa saja bisa dimanfaatkan. Apa saja ditempuh. Politik hanya melihat target atau tujuan. Yang tak lain adalah kekuasaan. Maka, tak jarang politik menghalalkan segala cara, strategi atau apa pun namanya. Politik memang buta segala.
          Salah satu yang kerapkali digunakan dalam politik adalah dogma agama. Agama dijadikan tunggangan. Ayat-ayat Allah SWT dijual murah untuk tujuan politik. Mengatasnamakan agama politik memperalat penganutnya. Agama yang suci nan  sakral itu tereduksi nilainya karena bercampur dengan kepentingan duniawi yang hina. Karena kerakusan manusia, politik tidak mampu mendatangkan kemaslahatan dan kebaikan bagi masyarakat luas.
          Masih segar dalam ingatan, hirup pikuk Pilpres 2014 yang lalu. Persaingan kedua kubu pasangan Calon Presiden (Capres) sangat keras. Konfrontasi kedua belah pihak sangat dirasakan sampai pada level masyarakat paling bawah. Masing-masing menggunakan berbagai cara, strategi. Tak bisa dihindari fitnah bermunculan. Kebohongan dilakukan di setiap moment dan tempat. Semua  itu dilakukan untuk mencapai tujuan politik yang ingin dicapai.
          Salah satu yang ramai  dibicarakan publik saat itu diantaranya adalah nazar seorang Amin Rais, petinggi Parta Amanat Nasional (PAN). Karena keyakinannya terhadap Capres yang diusung, mantan Ketua MPR RI itu bernazar untuk berjalan dari Yogyakarta ke Jakarta bila pasangan Jokowi-JK menang. Tokoh Koalisi Merah Putih (KMP) yang gaya bicaranya lugas itu sangat yakin Prabowo-Hata yang didukungnya pasti akan menang. Bagaimana saat Jokowi-JK menang, menjadi Presiden? Apa Nazar itu dilakukan? Anda pasti mengetahui jawabanya.
          Tak hanya Amin Rais yang telah menggunakan nazar sebagai alat politik. Ahmad Dhani, musisi ternama tanah air juga melalukan hal sama. Diiringi dengan kebencian yang memuncak, ia bernazar akan memotong kemaluannya sendiri jika Jokowi-JK menang. Kesombongan tingkat tinggi membuat Ahmad Dhani tak mampu berpikir rasional. Apa nazar itu dilaksanakan setelah kemenangan diraih Jokowi-JK? Pastinya anda dan saya tidak mungkin mengetahuinya. Hanya Mulan Jamela, istri Dhani, yang mengetahuinya. Masih banyak para politisi tanah air yang menggunakan nazar untuk tujuan atau kepentingan politik yang diperjuangkan. Sebut saja Anas Urabaningrum, Dorce Gamalama, Debby Roma Irama dan lainnya.
          Paling Mutakhir, adalah nazar Habiburrokhman di panggung politik DKI Jakarta menjelang Pilkada serentak 2017. Kepala Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra  itu berjanji akan terjun dari Monumen Nasional (Monas) jika "Teman Ahok" berhasil mengumpulkan data satu juta formulir KTP. Melalui akun Twitter-nya, @habiburokhman, mengatakan, “Saya berani terjun bebas dari Puncak Monas kalau KTP dukung Ahok beneran cukup untuk nyalon. #KTPdukungAhokcumaomdo???"  Ketika dikonfirmasi awak media,  Habiburrokhman menegaskan bahwa jumlah formulir KTP yang diumumkan merupakan kebohongan. Sebab, dia melihat booth (stand) Teman Ahok di mal selalu sepi. Itu hanya omong kosong. (megapolitan.kompas.com)
          Fakta-fakta politik di atas, saya menyebutnya sebagai politik nazar atau nazar politik. Yakni politik yang menggunakan nazar dalam merebut atau meraih kekuasaan. Nazar sendiri merupakan ajaran Islam. Nazar tak lain adalah sumpah dengan mengatasnamakan nama Allah SWT atau Rasulullah SAW.
Apa Nazar itu?
Nazar atau sumpah dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai: 1. Pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Allah SWT untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan. 2. Pernyataan yang disertai tekad melakukan sesuatu menguatkan kebenarannya atau berani menerima sesuatu bila yang dinyatakan tidak benar.3.Janji atau ikrar yang teguh (akan menunaikan sesuatu).
Dalam Islam,  Nazar itu bertujuan untuk menguatkan sesuatu dengan menyebut nama Allah SWT, seperti; walLahi, bilLahi, talLahi. Imam Hambali berpendapat bahwa hukum bersumpah itu tergantung kepada keadaannya. Bisa wajib, haram, makruh, sunnah ataupun mubah. Jika yang disumpahkan itu menyangkut masalah yang wajib dilakukan, maka hukum bersumpahnya adalah wajib. Sebaliknya jika bersumpah untuk hal-hal yang diharamkan, maka hukum bersumpahnya juga sunnah dan seterusnya.
Namun melaksanakan atau menunaikan sumpah merupakan sebuah kewajiban. Seperti halnya janji, sumpah itu hutang yang kudu ditunaikan. Nazar juga dapat ditagih sama halnya dengan hutang.  Dalam Al Quran ditegaskan, kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka. (QS. Al Hajj: 29)
Nazar menurut para ulama ada dua macam, Pertama, nazar mu’allaq. Yakni nazar disssertai dengan syarat (nazar bersyarat). Nazar Amin Rais, juga politisi lain termasuk kategori ini. Kedua, nazar muthlaq, artinya nazar yang tidak menyebutkan syarat apapun seperti nazar seorang pencuri yang mengatakan, demi Allah saya bukan maling.
Menurut hemat saya, sebagai bangsa yang menjungjung tinggi kesucian agama tak sepantasnya nazar digunakan sebagai alat meraih tujuan politik. Paling tidak alasan berikut bisa dijadikan argurmentasi untuk itu. Pertama, nazar merupakan bagian dari ajaran agama dalam hal ini Islam. Mempermainkan nazar sama saja dengan mempermainkan Islam. Menggunakan nilai-nilai agama yang sakral untuk kepentingan duniawi yang kotor berarti mereduksi kesuciannya.
Agama seyogyanya dijadikan standar nilai dalam politik. Cara berpolitik seperti itu akan mewujudkan politik bermartabat, politik mulia. Politik yang tidak menghalalkan segala cara. Politik yang menjadikan kekuasaan untuk menghadirkan kemaslahatan bagi orang banyak.
Kedua, politik menghalalkan cara merupakan perbuatan keji dan tercela. Semustinya politik dibangun atas dasar  sportifitas dan keadilan. Politik tidak boleh bertentangan dengan hukum baik hukum positif maupun  agama. Walau harus diakui politik inkonstitusional telah menjadi fakta  yang terkadang tak terelakan seperti kudeta atau lainnya.
Ketiga, politik digunakan sebagai alat memperjuangkan keadilan, menghadirkan kekuasaan yang mensejahterahkan. Motivasi dan tujuan mulia tersebut akan mengendalikan cara dan strategi yang akan dipilih. Karena itu, berpolitik idealnya disertai dengan niat dan motivasi yang baik. Politik tidak dipakai sebagai media untuk memuaskan ambisi, meraih kekuasaan semata.
          Singkat kata, fenomena politik nazar atau nazar politik  setiap pesta demokrasi seperti Pilkada menjadi bukti bahwa tidak semua politisi itu bersih. Rakyat wajib mengetahui dan memahaminya. Sehingga bisa memilih dan memilah. Siapa yang terbaik, layak bagi rakyat mempercayakan amanat padanya. Sebaliknya. Jangan percayakan amanat pada orang yang lidahnya berbisa, tak dapat dipercaya, apalagi terbiasa mempermainkan nilai dan norma agama. Wa Allahu Alam





Menyikapi Polarisasi Jokowi-SBY





          Judul dan tulisan ini tidak bermaksud menjadikan kedua tokoh itu berhadapan, berkonfrontasi. Untuk itu, mengawali tulisan, sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa polarisasi itu. Polarisasi, menurut kbbi.web.id  ialah pembagian atas dua bagian (kelompok orang yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Saya melihat pemberitaan baik di media cetak maupun elektronik juga media sosial, masyarakat terbelah mengikuti perkembangan poltik terkait Jokowi-SBY.  Kalau saat Pilpres bisa dimaklumi.  Mereka terbelah karena calon presiden hanya dua.  Tapi kalau sekarang, nampaknya ada yang salah. Ada yang harus dikoreksi bersama.
          Sejak  Presiden Joko Widodo dilantik dan memimpin pemerintahan, mantan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) senantiasa mengikutinya. SBY kerap mengkritisi kebijakan yang diambil Jokowi. Beliau membandingkannya dengan masa saat memimpin negeri ini. SBY juga menampik berbagai hal yang dianggap publik sebagai warisan yang membebani pemerintahan baru. Kritik, sarannya disampaikan SBY di media sosial seperti twiter. Publik dengan mudah mengaksesnya. Cuitan SBY kadang ditanggapi pula oleh Jokowi. Jadilah isu politik. Masyarakat yang mengikuti menjadi terbelah. Mereka saling adu argumen menguatkan tokoh yang dipilihnya. Ironisnya, tidak sedikit yang telah keluar dari koridor diskusi. Mereka saling mengejek, menyudutkan, juga mengecam.
          Paling mutakhir tentang  Tour De Java yang dilakoni SBY. Tour De Java dimulai sejak 8 Maret dari Bekasi, Jawa Barat. Perjalanan SBY dan rombongan  melintas sejumlah daerah dari Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur, serta ditutup dengan rapat konsolidasi dengan ketua DPD, pengurus DPP, dan puluhan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR RI di  Surabaya.
          Dalam Tour De Java, SBY kembali melancarkan  kritik terkait berbagai hal. SBY mengkritik soal pemborosan uang negara dalam pembangun infrastruktur ala Jokowi. Juga soal kebijakannya saat memerintah yang dihapus. SBY sempat menegaskan kalau program yang dulu saya canangkan dilanjutkan walau berganti nama itu dimaklumi. Tapi kalau ada program yang baik untuk rakyat ditiadakan itu sangat disayangkan.
SBY dan partai Demokrat dibaca oleh publik sedang menjajagi suara rakyat. Partai yang di ujung pemerintahan SBY menghadapi berbagai masalah itu ingin memantau secara langsung aspirasi masyarakat. Aspirasi yang diterima di lapangan akan dikaji lebih jauh. Dan tentu segera mengambil langkah politik strategis.  Dalam Tour De Java tersebut, Isu pencalonan kembali, atau pencalonan Ani Yudhoyono di Pilpres 2019 pun mencuat.  Bahkan di media sosial, Ani Yudhoyono disiapkan sebagai capres Demokrat mendatang pernah menjadi trend topic. Sebagian elit partai berlambang mercy  itu pun mengamini.
Secara kebutulan, Presiden Jokowi melakukan blusukan ke Hambalang. Jokowi melihat langsung mega proyek yang terhenti karena banyak kasus korupsi.  Jokowi menegaskan akan memerintahkan jajaranya dalam pemerintahan untuk mengkaji ulang apakah bisa dilanjutkan atau tidak? Karena ini terkait uang negara yang tidak sedikit.
Blusukan ala Jokowi ini terjemahkan oleh para pengamat sebagai serangan balik Jokowi pada SBY. Pengamat politik dari Indobarometer, M Qodari, menilai, blusukan  Presiden Joko Widodo ke area pembangunan pusat olahraga Hambalang yang mangkrak merupakan sindiran keras terhadap SBY. Blusukan itu bukan sekadar bicara warisan Pak SBY, melainkan juga pembangunannya yang dihentikan karena banyak kasus korupsi dari sana yang melibatkan tokoh-tokoh Partai Demokrat. (http://nasional.kompas.com/)
Koreksi bersama
          Melihat polarisasi di atas, rasanya perlu pemahaman bersama pada hal-hal berikut. Anggap saja ini sebagai koreksi bersama kita semua. Pertama, masyarakat diminta tidak belebihan dalam mencinta dan membenci tokoh. Polarisasi masyarakat sebenarnya terjadi karena mereka berlebihan dalam mencintai atau membenci. Dalam media sosial, mencintaii berlebihan disebut lovver. Sebaliliknya, haters bagi yang membenci.  Sikap lovver dan haters terhadap tokoh  semisal Jokowi- SBY yang membuat masyarakat kita terbelah. Sebab itu, ke depan kita semua dituntut untuk bersikap proporsional dalam menilai, mengaggumi seorang tokoh.
Kedua, kritik itu idealnya menyertakan solusi. Terkait dengan ini ada cerita menarik. Ada seorang pelukis pemula ingin  menguji lukisannya. Ia meletakan  salah satu lukisannya di pinggir jalan.  Kemudian ia menuliskan pesan, saya adalah pelukis baru. Mungkin ada beberapa kesalahan pada lukisan saya. Silakan beri tanda silang di tempat saya membuat kesalahan.  Sore harinya, saat ia kembali ke jalan itu, dia mendapati lukisannya sudah dipenuhi tanda silang.
Lain waktu, sang pelukis melakukan hal yang sama kembali memajang tulisan  jalan yang ramai. Kali ini dengan pesan berbeda. Ia menulis,  saya adalah pelukis baru. Mungkin ada beberapa kesalahan pada lukisan saya. Saya menyediakan kuas dan cat warna. Kalau Anda menemukan sesuatu yang kurang sempurna, silakan perbaiki agar menjadi lebih baik. Sorenya,  ia  terkejut karena melihat lukisannya tidak berubah. Tidak ada seorangpun yang menyentuhnya. Tidak satupun yang melakukan perbaikan pada lukisannya.
Apa arti di balik kisah di atas? Memberi kritik itu mudah. Ini terlihat pada kasus pertama. Semua orang bisa melakukan. Gampang, Cuma mencari kesalahan. Saat pelukis meletakan lukisannya yang pertama, semua orang memberi tanda silang. Sebagian memberi komentar, bahkan ada yang mengejeknya. Sebaliknya, memberi solusi itu tidak mudah. Tidak semua orang bisa. Ketika pelukis meminta orang memperbaiki lukisannya. Tak satu pun yang melakukannya. Nah, di negeri ini semua warga negara (termasuk Pak SBY) dapat mengkritisi pemerintah. Namun alangkah bijak bila melakukanya dengan memberi solusi. Kalau ada yang mengkritisi Jokowi tak menyertai solusi, jangan-jangan itu adalah haters yang gagal move on.
Ketiga,  setiap orang harus siap dikritik. Tidak boleh alergi terhadap kritik. Namun jangan mudah mengikuti kata orang. Karena itu, mencirikan orang tak berpendirian.  Dulu, ada seorang pengembara berkelana dengan anaknya mengendarai keledai. Anaknya duduk di atas keledai, sang orang tua menuntun keledai. Di pinggir jalan, orang membicarakannya. Mereka berpendapat, itu anak tak memiliki sopan santun. Kenapa orang tua yang menuntun di bawah sedang ia duduk manis di atas?
Mendengar gunjingan orang, sang anak meminta turun. Ia memberi kesempatan ayahnya duduk di atas punggung keledai. Perjalanan kembali dilanjutkan. Saat melintasi keramain, mereka berdua kembali dikritisi. Masyarakat sekitar mengomentari kenapa sang ayah tak menyayangi anaknya membiarkan  menuntun keledai di bawah. Sekarang giliran sang ayah yang merasa risih menjadi omongan orang banyak.
Setelah berdiskusi singkat, ayah dan anak  bersepakat untuk tidak menggunakan keledai. Mereka berdua menuntun binatang itu. Punggung keledai dibiarkan, tak berpenumpang. Orang pun kembali menggerutu. Ayah dan anak itu bodoh sekali. Ada keledai kok tidak digunakan sebagai kendaraan. Ternyata tak ada pilihan yang benar. Semua disalahkan orang.
Kisah klasik di atas menjadi pelajaran buat kita. Bahwa tidak ada orang yang dapat memuaskan semua orang. Setiap pendapat, tindakan, atau kebijakan yang diambil pasti menuai pro dan kontra. Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menyambar. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin banyak hujatan, kritik. Sebab itu menjadi orang besar seperti pemimpin kudu siap dihujat, dikritik. Bila tak siap dikritik, jadilah orang biasa. Pasti sepi kritik. Singkatnya, setiap dari kita (termasuk Pak Jokowi) harus siap dikritik.
Walhasil, polarisasi itu tak perlu. Kita, sebagai bangsa besar harus tetap kuat, bersatu. Bangsa besar adalah bangsa yang lihai mencari solusi, kritis terhadap setiap persoalan. Bangsa besar juga bangsa yang demokratis yang siap menerima saran, kritik dari siapa saja. Siapa pun kita (Jokowi, SBY atau rakyat jelata) berhak mengkritisi, siap dikritisi serta gemar mencari solusi. Wa Allahu Alam


Kamis, 24 Maret 2016

Gaduh Pindah Ke DPD


          Di tengah sorotan khalayak terhadap eksistensinya, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) justru mempertontonkan kegaduhan pada rakyat. Rapat paripurna  DPD (17/3) berlangsung ricuh. Kericuan dipicuh oleh penolakan Ketua DPD Irman Gusman dan Wakil Ketua DPD Farouk Muhamad selaku pimpinan rapat untuk menandatangani perubahan tata tertib DPD yang telah disepakati. Pimpinan DPD beralasan, pihaknya menolak menandatangani disebabkan revisi tata tertib hasil rapat paripurna 17 Februari itu bertentangan dengan Undang-undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) Pasal 300.
Dalam tata tertib itu diantaranya memperpendek masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun. Pada rapat paripurna sebelumnya (17/2) telah disepakati perubahan  tata tertib tersebut. Dalam rapat itu mayoritas anggota DPD menyetujui perubahan masa jabatan tersebut. Keputusan diambil melalui cara voting. Dari 63 anggota DPD yang hadir, 44 orang setuju masa jabatan pimpinan DPD dipangkas. Hanya 17 anggota yang mendukung masa kerja pimpinan DPD tetap lima tahun. Sementara dua anggota memilih abstain.
          Usulan mempersingkatan masa jabatan pimpinan DPD terjadi ketika panitia khusus (pansus) tata tertib dibentuk sekitar delapan bulan lalu. Dalam rapat paripurna, DPD menyetujui pembentukan pansus untuk merevisi tata tertib. Adapun wacana perubahan tata tertib disebabkan banyaknya anggapan bahwa kinerja DPD  sangat rendaah.  Selama ini DPD tidak ada output-nya. Pansus pun terus bekerja merumuskan tata tertib baru yang lebih baik. Salah satu yang diatur adalah mempersingkat masa jabatan seluruh alat kelengkapan, termasuk pimpinan DPD, menjadi hanya 2,5 tahun.
          Gaduh di DPR menular, pindah ke DPD, apa yang melatar belakangi? Kegaduhan di DPR disebabkan dominasi kepentingan pribadi dan kelompok mengabaikan kepentingan bangsa dan negara. Bagaimana di DPD? Apa mereka ricuh untuk bangsa dan negara? Melihat apa yang jadi pemicuh jelas bukan untuk kepentingan bangsa dan negara. Perbedaan kepentingan, ambisi kekuasaan individu dan kelompok menjadi sebab nyata.
          Pemicuhnya adalah soal perlu tidaknya pemangkasan masa  jabatan pimpinan. Ini memunculkan tanya,  ada apa dengan jabatan para pemimpin DPD? Apa ada kesenjangan yang mencolok antara pimpinan dan anggota yang melahirkan kecemburuan? Bila disebabkan kecemburuan tentu kita prihatin. Ternyata tidak beda  dengan para politis di lembaga  lain, senator DPD masih berkutat dalam kubangan kepentingan individu. Mereka tidak lagi memperjuangkan aspirasi daerah seperti fungsinya.
          Mereka berebut jabatan, kursi dan materi. Para anggota DPD rupanya tergiur dengan simbol-simbol dan tampilan formal sang Ketua. Di antara mereka ingin  menikmatinya. Mungkin mereka   tak puas dengan fasilitas dari harta rakyat yang besarannya sangat 'wah'. Padahal mereka rata-rata bisa menikmati di atas Rp100 juta rph per-bulan. Barangkali mereka tergiur dengan  pelayanan protokoler,  mobil mewah, rumah dinas, dan sebagainya. Mereka hanya mengejar fasilitas. Mereka tak pernah mengintropeksi diri. Bukankah kinerja DPD sangat rendah, nyaris tak ada yang dibanggakan.
          Kegaduhan ini sangat disayangkan. DPD sejatinya meningkatkan peran dan fungsinya. Berbagai kalangan mempertanyakan keberadaanya. DPD dianggap antara ada dan tiada.  Eksistensi DPD tak dirasakan rakyat. DPD dipandang sekadar aksesoris demokrasi.  Tapi harapan tinggal harapan, DPD justru mengikuti jejak DPR yang gemar gaduh untuk urusan yang tak penting bagi rakyat.
          Mantan Wakil Ketua DPD, Loede Ida menegaskan kericuhan dan kegaduhan ini sangat memalukan dan menyedihkan, tak pantas dilakukan oleh para senator DPD. Pimpinan DPD  dianggap membangkang dengan putusan rapat paripurna. Sehingga merasa perlu memaksanya untuk tanda tangan di depan paripurna. Tapi Irman Gusman dan Faroukh M rupanya tetap tak mau, sehingga langsung mengetuk palu sidang tanda rapur ditutup. (http://news.metrotvnews.com/)
          Lebih Jauh, marwah lembaga wakil daerah itu menjadi hancur akibat ulah figur-figur di dalamnya. Mereka merusak citra lembaga, citra para tokoh daerah, serta marwah bangsa. Pasalnya soal kursi atau jabatan pimpinan. Sebagian besar anggota mungkin tak puas dengan kinerja pimpinan sehingga merasa perlu segera disingkirkan. Itu hanya logika mereka, atau memang benar adanya. Namun kecumburuan anggota terhadap segala fasilitas pimpinan justru terlihat menonjol di permukaan.
DPD, intropeksilah
          DPD sebelumnya sepi. Tidak ada dinamika yang berarti.  Kinerja mereka nyaris tak terdengar. Belum lama Ketua Umum PKB pernah mewacanakan membubakannya. Sebab, DPD dianggap sudah tak layak dipertahankan. DPD hanya memboroskan uang negara, tersedot oleh figur-figur yang hanya bangga dengan jabatan seraya cari ruang perebutan kekuasaan di lembaga negara yang ompong itu.
          Kegaduhan harus segara dihentikan. Apalagi gaduh yang tak produktif, tak menguntungkan apa-apa bagi rakyat. Sebab itu, sorotan publik sejatinya lebih menjadikan mawas diri. Tidak sebaliknya. Saya melihat ada kesalahan langkah, blunder. DPD  harusnya membuat trobosan, gebrakan di tengah sorotan tersebut. Misalnya, mengusulkan dan memperjuangkan amandemen UUD 1945 terkait kewenangannya. Bukankah selama ini kewenangan DPD yang minim dianggap sebagai alasan tak mampunya DPD berperan lebih seperti harapan masyarakat?
          Kemudian bercermin pada DPR yang dinilai mandul, tak banyak melahirkan aturan (legislasi), DPD sebenarnya dapat memberikan secercah harapan  kepada rakyat dengan produktif mengusulkan RUU terkait daerah. Banyak daerah yang menanti peran aktif DPD, dalam wacana pemakaran  misalnya.  Seperti wacana propinsi Cirebon, sampai hari ini tak memperlihatkan perkembangan berarti. Dimana peran DPD?
          Tegasnya, intropeksi diri merupakan pilihan wajib bagi DPD sekarang. Cepat akhiri kegaduhan. Kegaduhan seperti ini hanya menghabiskan energi. Lihatlah jauh ke depan. Banyak problematika bangsa yang butuh penyelesaian. Kegaduhan, perebutan jabatan tak akan menghasilkan apa-apa selain mengoyak persatuan dan kebersamaan.
          Singkat kata, sangat disayangkan gaduh yang tak produktif beralih ke DPD. DPD gaduh bukan pada hal prinsip yang terkait kesejahteraan rakyat. Kegaduhan mereka hanya berebut kepentingan, jabatan.  Terlebih kegaduhan itu di tengah sorotan terkait keberadaanya yang diyakini rakyat tak berarti. Karenanya, tak perlu berlama-lama, anggota DPD cepat intropeksi diri. Bila itu tak dilakukan, dorongan pembubaran akan semakin kuat, menjadi kenyataan. Wa Allahu Alam



         
         
         
         
         

         

         
         


Politisi, Kenapa Harus Takut?


          Politik memang unik. Dalam berpolitik ada tawa, tangis, juga rasa takut. Saat menggapai tujuan dan ambisi, kebahagiaan datang beriringan dengan tawa. Ketika gagal meraih apa yang dicitakan, kesedihan dan tangiisan  tak terhindari. Kemudian  bila ancaman menghadang,  rasa takut membayangi kegagalan. Bagi politisi tawa, tangis dan taku  terekspersikan secara berbeda. Tawa diekspresikan dengan perayaan syukuran atau pesta kemenangan atas kesuksesan yang diraih. Semua orang yang terlibat merasakan. Team sukses, sponsor, juga massa pendukung akan menikmati hasil jerih payah mereka.
Tangisan saat kalah diungkapkan politisi dengan menggugat sang pemenang. Mencari seribu cara mengungkap kecurangan. Menyiapkan puluhan pengacara untuk kembali bertarung di ranah hukum. Berbeda ketika menang,   team sukses, sponsor,  massa pendukung cukup meratapi. Selanjutnya jajaran elit partai dengan para pendekar hukum yang berusaha keras meraih kesuksesan yang hampir hilang. Politisi kerap tak siap kalah. Buktinya sengketa Pilkada serentak beberapa waktu lalu menumpuk di MK. Hampir semua daerah menggugat.
Jika ada ancaman yang menghadang, menghalangi impian politik. Politisi menghadapi dan menyikapinya berbeda lagi. Takut kalah melahirkan kepanikan. Kepanikan kadang menggiring ke pilihan yang tak rasional, yang bertentangan dengan logika masyarakat. Maka dipilihlah strategi sesat menyesatkan. Walau, masih ada politisi yang bersikap realistis. Dengan optimisme, mereka mencari strategi jitu.
Terkait dengan rasa takut politisi, menarik bila mengamati isu politik mutakhir. Poltik nasional mencerminkan ketakutan para politisi. Pertama, soal banyaknya para pejabat (dari kalangan politisi seperti anggota legislatif, kepala daerah) yang tidak melaporkan harta kekayaan. Kedua, rencana revisi Undang-undang Pilkada akibat Ahok efek.
Kekayaan pejabat
          Belum lama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis, banyak pejabat negara yang tidak atau belum mengumpulkan laporan harta kekayaan. KPK menyatakan tingkat kepatuhan pejabat untuk melaporkan harta kekayaan belum terlalu tinggi. Menurut data KPK,  sekitar 30 persen pejabat belum melaporkan kekayaannya. 
Lebih mengejutkan, menurut Koalisi Masyarakat untuk Parlemen Bersih,  ternyata anggota DPR yang paling banyak.  Arief Rachman, kordinator koalisi menyebutkan setidaknya ada 60 persen anggota DPR yang belum melaporkan kekayaannya. Saat ini jumlah anggota DPR mencapai 560 orang. Karenanya pihaknya mendesak KPK membuka daftar nama anggota DPR yang tak melaporkan kekayaan.  (https://nasional.tempo.co)
Melaporkan harta kekayaan bagi para penyelenggara negara merupakan tuntutan Undang-undang. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor  28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Keputusan Komisi Pemberantas Korupsi Nomor: KEP.07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan, dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
Apa yang dilakukan para politisi di senayan menimbulkan tanya,  kenapa mereka tidak melakukan? Ada apa di balik strategi menyembunyikan kekayaan seperti itu? Menurut hemat saya ini bagian dari rasa takut para politisi terhadap ancaman terhadap kekayaan yang mereka timbun. Hal  itu sekaligus menjadi ancaman terhadap eksistensi mereka di pentas politik nasional. Bukankah dari rekening gendut, transaksi yang mencurigakan, atau perkembangan kekayaan yang tak logis bisa menjadi pintu masuk pada jeratan korupsi oleh KPK? Dan  pastinya akan menghancurkan karir dan mimpi politik yang sedang dibangun.
Isu Revisi UU Pilkada 
Paling mutakhir adalah isu revisi UU Pilkada. Kalangan DPR berencana merivisi UU tentang Pilkada. Isu revisi UU Pilkada sarat dengan muatan politik. Diyakini khalayak ada motif pencegalan terhadap calon independen. Sebabnya tak lain karena diantara yang menjadi fokus revisi adalah syarat pencalonan calon independen. Syarat dukungan direncanakan dinaikan menjadi 10%- 15% atau 15%-20% dari jumlah DPT.
Fakta politik di atas, saya melihatnya sebagai Ahok efect. Sebelumnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berencana mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI pada Pilkada serentak 2017 lewat jalur independen. Ahok yang sempat merapat ke PDIP itu akhirnya mengikuti saran Teman Ahok memilih jalur independen. Seperti diketahui, sebagai bakal calon potensial berdasarkan hasil berbagai survei tentu banyak partai politik yang mengincar, ingin mencalonkan termasuk PDIP.
Kekecewaan PDIP ditujukkan elit politik partai banteng mocong itu dengan mendiskriditkan relawan yang tergabung dalam Teman Ahok. Mereka dianggap telah melakukan deparpolisasi. Yakni usaha melemahkan dan menghilangkan pengaruh partai politik. Padahal   Teman Ahok merupakan komunitas anak muda yang peduli dengan daerahnya. Mereka bermimipi memiliki pemimpin yang bebas dari kepentingan parta politik. Pemimpin yang hanya bekerja untuk rakyat. Untuk tujuan itu  mereka mempercayai Ahok.
Ahok effect telah menggebrak parlemen. Para poltisi mulai takut fenomena Ahok diikuti di daerah lain. Menurut Pengamat Politik dari IndoStrategi, Pangi Syarwi Chaniago Ahok efect sesuatu yang tak mustahil.  Bakal banyak calon kepala daerah meninggalkan parpol, tidak mau terikat dan menjadi hamba parpol dengan jalur independen. Revisi UU Pilkada, bertujuan mengantisipasinya. Ini adalah langkah partai agar kembali laris dan laku, serta stategi partai untuk menjegal kemungkinan Ahok Effect. (http://sp.beritasatu.com/)
Hal di atas diakui  oleh Sekretaris Fraksi Hanura di DPR, Dadang Rusdiana. Menurutnya,  wacana memperberat syarat bagi calon independen untuk maju dalam pilkada muncul karena kekhawatiran terhadap sosok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Jika Ahok mampu memenangi Pilkada DKI Jakarta 2017 melalui jalur independen, maka hal tersebut dikhawatirkan akan menjadi inspirasi bagi calon di berbagai daerah untuk maju melalui jalur tersebut. (http://nasional.kompas.com/)
Akhir kata, politisi akan dihantui rasa takut  ketika kepentingan politiknya terancam. Mengekspresikan rasa takut dalam batas wajar dan rasional itu tak masalah. Menjadi problem ketika rasa takut itu disikapi secara  berlebihan bahkan tak masuk akal. Politisi tak harus takut melaporkan kekayaan. Politisi tak perlu panik dengan fenomena Ahok beserta effect-nya. Ketakutan berlebihan pada kedua persoalan itu membuat rakyat tertawa. Rakyat merasa geli melihat pola, tingkah laku para  poltisi. Dalam pikiran mereka, kenapa para politisi harus takut? Wa Allahu Alam
Tulisan Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, Senin 21 Maret 2016

Bupati Pakai Narkoba Dan Bencana Moral


          Masyarakat seketika terkejut. Badan Narkotika Nasional BNN menangkap tangan seorang kepala daerah.  BNN Minggu malam (13/3), menggerebek rumah pribadi Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi di Jalan Musyawarah, Kecamatan Gandus, Kota Palembang. Bupati termuda itu ditangkap karena diduga sedang berpesta narkoba. Petugas BNN sempat dihadang beberapa penjaga rumah saat hendak masuk ke rumah pribadi sang Bupati. Sempat terjadi cekcok dan keributan kecil antara keduanya. Petugas BNN baru bisa memasuki halaman dan rumah Bupati Ogan Ilir sekitar pukul 22.00 malam. Namun, tak ada barang bukti yang bisa ditemukan, baik berupa narkoba maupun alat isap. Kendati demikian, anggota BNN tetap melakukan penggeledahan dan menggelar tes urine di tempat. Bupati sempat melarikan diri ke rumah orang tuanya. Di kediaman orang tuanya akhirnya bupati dapat diamankan.
          Dalam penggerebekan itu, sebanyak 18 orang ditangkap dari kediaman Nofiadi yang terletak dalam satu halaman dengan rumah Mawardi Yahya, mantan Bupati Ogan Ilir, yang juga orang tua Nofiadi. Dalam operasi tersebut, lima orang termasuk Nofiadi, terbukti positif menggunakan obat-obatan terlarang. Mereka  kemudian dikirim ke Jakarta. Adapun 13 orang lain telah dipulangkan karena negatif narkoba.
          Menurut BNN, lebih kurang selama tiga bulan  Bupati Nofiadi menjadi target. Berdasarkan pengintaian BNN, setiap hari  Bupati mengonsumsi narkoba berjenis sabu-sabu. Sabu didapat Nofiadi melalui orang kepercayaannya Murdani yang juga tercatat sebagai tetangganya. Bahkan saat pelantikan beberapa waktu yang lalu, pria yang akrab disapa Nofi itu masih dalam pengaruh narkoba. Sebelumnya, ia diduga kuat mengkonsumsi sabu.
          Insiden penangkapan Bupati Nofiadi menjadi pukulan telak bagi banyak pihak termasuk Partai Golkar yang mengusungnya. Agung Laksono, Wakil Ketua Partai beringan tersebut merasa terkejut. Menurutnya, partai akan segera memberikan sanksi pemecatan jika bupati tersebut memang terbukti menggunakan narkoba. Agung meminta BNN untuk mengusut kasus ini sesuai prosedur, termasuk mencari tahu apakah Nofi hanya sekadar pemakai atau juga ikut menjadi pengedar narkoba.
          Terkait permasalahan di atas, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo merasa kaget. Menurutnya, ini menyedihkan dan mengecewakan. Sebagai kepala daerah harusnya memberi contoh kepada warga yang dipimpinnya, malah menunjukkan perilaku yang tidak benar. Tjahjo mengapresiasi langkah BNN yang pro aktif memberantas penggunaan narkotika hingga tingkat pimpinan daerah. Pihaknya juga  akan mempelajari kemungkinan pemecatan yang bersangkutan.
          Presiden Jokowi telah memerintahkan  Menteri Dalam Negeri untuk menindak tegas Bupati Ogan Ilir. Melalui juru bicara kepresidenan,  Johan Budi, menegaskan sejak awal presiden menyatakan perang terhadap narkoba dan itu sering disampaikan.  Dan bila mengacu kepada Undang-undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, di pasal 78 kepala daerah bisa diberhentikan bila melakukan perbuatan yang tercela. Di Pasal 79 dijelaskan presiden dan menteri bisa memberhentikan kepala daerah.
Bencana Moral
          Kasus Bupati ogan ilir memang di luar batas toleransi yang dapat dimengerti oleh khalayak. Ini sesuatu yang memalukan dan memilukan. Seorang kepala daerah yang harusnya menjadi teladan justru melakukan tindakan tercela. Ini menjadi bencana moral bagi bangsa kita.  Kenapa? Paling tidak beberapa argumentasi berikut bisa menjelaskan lebih jauh. Pertama, keteladanan yang hilang. Sebagai kepala daerah, bupati idealnya seorang teladan. Seseorang terpilih menjadi bupati  tentu melalui seleksi panjang di dalam masyarakat. Harusnya dia yang terbaik, memiliki integritas tinggi, berkarakter serta berakhlak mulia. Saat pemimpin tak mampu menampilkan keteladan bagi rakyatnya tentu sebuah petaka bagi daerah tersebut. Nampaknya ada yang salah dalam seleksi kepemimpinan di daerah.  Ini menjadi bahan koreksi untuk semua elemen bangsa.
          Kedua, gagal mencetak pemimpin berkualitas. Kasus Bupati Ogan Ilir mengingatkan Partai politik sebagai institusi politik yang memiliki kewenagan mengusulkan calon kepala daerah untuk lebih selektif lagi. Tidak asal mencalonkan atau memberi rekomendasi. Mekanisme pencalonan dalam partai politik wajib direkontruksi ulang. Jangan sampai kecolongan, meloloskan seorang yang tak layak dan tak patut menjadi calon kepala daerah. Selama ini publik mencium aroma tak  sehat dalam proses rekomendasi calon. Ada percaloan, juga mahar politik. Hal ini yang menggerus kepercayaan rakyat terhadap partai politik.
          Ketiga, mempertanyakan kode etik dan moralitas kedokteran. Dalam proses pencalonan banyak prosedur yang kudu dilewati. Diantaranya adalah soal kesehatan. Bakal calon kepala daerah disyaratkan dalam kondisi sehat dan bebas narkoba. Hal ini dibuktikan dengan sebuah surat keterangan. Pertanyaanya, bagaimana dengan surat dimaksud terkait Bupati Ogan Ilir? Apa dokter telah melakukan kesalahan? Apa ada pemalsuan? Moralitas para dokter kembali dipertanyakan. Sekarang dunia kedokteran  harus mempertanggungjawabkan.
          Keempat, menyangsikan integritas dan profesionalitas KPU. KPU sebagai penyelenggara Pilkada dituntut bertindak profesional, adil. Kasus terpilihnya pengguna narkoba sebagai kepala daerah menimbulkan tanya. Dimanakah profesonalitas dan integritas KPU?
          Kelima, uang menjadi panglima. Dalam dunia kita sekarang, uang atau harta benda sangat berpengaruh besar. Uang bisa menentukan segala. Segala hal menjadi mudah dengan uang. Gambaran seperti itu menjelaskan kenapa seorang yang secara moral tak layak menjadi pantas menjadi pemimpin. Semua proses dilalui dengan pendekatan matrealistis. Dengan uang, partai politik bisa didikte, dokter disogok, KPU diatur, serta suara rakyat dibeli. Ini persoalan moral yang sangat serius. Pergeseran nilai di tengah masyarakat  sungguh memperhatinkan.
          Akhir kata, kasus Bupati Ogan Ilir menjadi keprihatinan kita semua. Bupati sebagai kepala daerah yang harus menjadi teladan bagi rakyat terjebak pada lingkaran setan narkoba. Kasus ini menampar moralitas kita sebagai bangsa. Ini memilukan dan memalukan. Narkoba telah mengkhawatirkan semua orang. Narkoba  menguasai hampir semua elemen masyarakat. Narkoba telah nyata menjadi musuh yang sangat berbahaya. Kapan dan siapa pun kita bisa saja terjebak. Karenanya semangat perang terhadap narkoba harus ditingkatkan. Seperti ajakan Presiden Jokowi, memerangi narkoba harus lebih gila lagi. Dan ajakan itu diterjemakan dengan sangat baik oleh Ketua BNN dengan memburu siapa pun yang terlibat. Semoga ini menjadi pelajaran buat semua. Amin. Wa Allahu Alam

Tulisan pernah dimuat di harian umum Fajar Cirebon, Senin 21 Maret 2016