Sabtu, 13 Februari 2016

Radikalisme dan Tantangan Pendidikan Kita


          Radikalisme sebenarnya sangat tidak relevan bila dikaitkan dengan agama. Pasalnya tidak ada agama yang mengajarkan cara-cara kekerasan. Kekerasan yang ditampilkan para terorisme berpaham radikalisme itu lebih dimaknai sebagai sebuah pencatutan. Artinya nilai-nilai agama yang suci telah digunakan untuk sebuah kepentingan kelompok tertentu.
          Kenapa memilih agama? Karena agama merupakan bagian  terpenting dalam kehidupan manusia. Sehingga dengan memilihnya sebagai alat, tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud dengan cepat.  Mengatasnamakan agama mempermudah kelompok-kelompok radikal meraih tujuan sejatinya. Jadi bohong besar bila radikalisme dengan segala aksi kekerasannya itu dilakukan untuk tujuan membela, memperjuangkan agama. Agama sekadar dimanfaatkan kekuatan massifnya yang bisa diarahkan sesuai tujuan yang diinginkan.
          Lalu apa motiif para terorisme sebenarnya, yang telah melakukan kekerasan dan menebar rasa takut itu? Saya melihatnya dua hal yang paling menonjol. Pertama, motif politik. Kedua, motif ekonomi. Terkait poliitik misalya, belakangan Hearly Clinton mengakui bahwa Al Qaida diciptakan Amerika untuk mengikis dominasi pengaruh Uni Soviet di Afganistan saat itu.  Bagaimana dengan ISIS? Sama saja. Buktinya gerakan mereka sangat beraroma ambisi kekuasaan. Mereka merebut paksa wilayah negeri berdaulat Irak dan Syiria.
          Politik tentu terkait dengan ekonomi. Hubungan itu tercermin pada kenyataan bahwa kekuasaan akan mendatangkan kemapanan ekonomi atau kesejahteraan. Bahrun Naim, yang diduga sebagai otak pengeboman Sarinah bisa jadi sedang menikmati berbagai kemewaan hidup di Syiria saat anak buahnya harus ikhlas melepas nyawa mereka dengan iming-iming surga. Sembari menikmati roti, mereguk anggur, didampingi para wanita cantik dia  menyaksikan Jakarta panik, polisi dituduh kecolongan, masyarakat luas cemas dan takut.
          Kemudian radikalisme juga akan cepat tumbuh subur saat ketimpangan ekonomi sangat mencolok, korupsi menggurita, hukum tidak berdiri tegak menjungjung keadilan dan pemerintah telah menyimpang dari tujuan bernegara. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, saat mengomentari peristiwa sarinah menegaskan bila negara  dijalankan sesuai tujuan bernegara dan bermasyarakat dan sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa ini, tentu terorisme tak akan muncul. Mereka akan layu sebelum berkembang.(http://www.dpp.pkb.or.id/)
Berpendidikan rendah
          Para elit teroris seperti Bahrun Naim  terlebih tokoh utamanya Abu Bakar Al Bagdadi telah menggapai apa yang dicita-citaakan berupa kekuasaan dan kemapanan ekonomi. Tapi sebaliknya, para pengantin jihad hanya menjadi tumbal. Mereka korban penipuan bertopeng agama. Dijanjikan surga, mereka rela megakhiri hidupnya. Menjadi martir  bom bunuh diri, mereka meyakini seluruh dosanya terhapus. Sambil meneriakan “Allahu Akbar” menebar teror, mereka meyakini mengakhiri hiidup dengan jihad di jalan Allah.
          Dan sedihnya, berdasarkan fakta yang ada mereka yang menjadi tumbal adalah mereka yang berpendidikan rendah, berekomian tak mapan, dan tak bahagia karena berbagai kesulitan hidup. Dalam kasus Sarinah misalnya, mereka rata-rata berpendidkan SLTP, bekerja serabutan. Mereka cerminan masyarakat ekonomi kelas bawah. Keterbatasan pendidikan yang dienyam, membuat mereka miskin nalar. Mereka dengan mudah termakan bujuk rayu, terbius oleh seorang yang dianggap sebagai ustadz yang ahli agama. Selanjutnya proses cuci otak menjadikan tekad mereka meraih surga mengkristal.
Tantangan dunia pendidikan
          Latar belakang di atas, menjadi tantangan serius bagi pemerintah terlebih khusus dunia pendidikan kita. Dunia pendidikan selayaknya menekan angka putus sekolah. Pemerintah harus merencanakan lebih cepat meningkatkan wajib belajar menjadi 12 tahun. Berdasarkan data yang disampaikan oleh  Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas Nina Sardjunani dalam Seminar Daya Tawar Pemuda dalam Dunia Kerja, Rabu lali (20/1), rata-rata tingkat pendidikan penduduk Indonesia masih berada di kisaran yang sangat rendah, yaitu baru tingkat pertama SMP. Ukuran pendidikan pada tingkat populasi dengan ukuran rata-rata lama sekolah usia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,2 tahun. Jadi, artinya penduduk Indonesia baru kelas 1 SMP. Ini yang mustinya segera disikapi oleh dunia pendidikan kita.(http://edukasi.kompas.com/)
Selain itu, dunia pendidikan juga hendaknya mewaspadai masuknya pemahaman radikalisme di sekolah. Kehati-hatian ini tak berlebihan. Sudah terbukti pedidikan kita telah kecolongan. Masih segar dalam ingatan, beberapa waktu lalu Kemendikbud mengaku  kecolongan dengan masuknya materi beraroma radikalisme pada buku pegangan  siswa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam  dan Budi Pekerti SLTA di beberapa daerah Jawa Timur. Buku  untuk SMA/MA/SMK/MAK kelas XI, Kurikulum 2013, Cetakan 2014 dengan kontributor naskah Mustahdi dan Mustakim, penelaah Yusuf A Hasan dan Moh. Saerozi, penerbit Pusat Kurikulum Perbukuan, Balitbang Kemdndikbud  itu akhirnya ditarik  dari peredaran.
Paling mutakhir, Gerakan Pemuda (GP) Ansor menemukan buku-buku untuk Taman Kanak-Kanak (TK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang mengandung kalimat-kalimat berisi bentuk-bentuk terorisme dan radikalisme. Dalam buku berjudul Anak Islam Suka Membaca, ditemukan pemggalan kata dalam kalimat bermuatan ajaran radikalisme. Seperti pada jilid lima, ada kata-kata "sa-hid di me-dan ji-had" serta "se-le-sai ra-ih ban-tai ki-yai". Pada jilid empat, ada kata-kata, "mu-na-fik", "bom", dan "ha-ti ha-ti man-haj ba-til". Pada jilid ketiga ada kalimat "ge-ga-na a-da di-ma-na", "re-la ma-ti de-mi a-ga-ma", "ki-ta se-mu-a be-la a-ga-ma", "ba-zo-ka di-ba-wa la-ri", dan "ha-ti ha-ti zo-na ba-ha-ya".  (http://news.okezone.com/)
Ini harus diwaspadai bersama. Ke depan sekolah harus bisa mengantisipasi masuknya radikalisme lebih dini. Untuk itu menurut hemat saya, sekolah harus lebih selektif menentukan buku bacaan peserta didik, melakukan sosialisasi bahaya radikalisme, memberdayakan masjid atau mushollah sekolah sebagai pusat kegiatan ke-Islaman, memproteksi organisasi kesiswaan seperti OSIS, Rohis (Rohani Islam), mengembangkan toleransi dan menanamkan hidup plural, dan menyelenggarakan kegiatan khusus terkait bahaya paham radikalisme dengan bekerja sama Kepolisian, MUI, dan wali siswa.
          Akhir kata, redikalisme jelas bukan untuk memperjuangkan agama. Radikalisme hanya memperlat agama. Radikaliseme sebatas idiologi kekerasan bertopeng agama. Tidak ada agama yang mengajarkan cara-cara kekerasan seperti diajarkan radikalisme. Dan salah satu sebab tumbuh kembangnya radikalisme adalah rendahnya pendidikan sebagian masyarakat sehingga mereka menjadi miskin nalar. Dan pada akhirnya mudah terpengaruh  terhadap ajakan bergabung pada ajaran radikal. Dan itu semua menjadi tantangan nyata dunia pendidikan kita. Wa Allhu ‘Alam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar