Jumat, 22 Januari 2016

SETNOV Mangkir Lagi, Bagaimana Status Kasusnya?


Setya Novanto kembali mangkir dari panggilan Kejaksaan Agung. Kemaren (20/1), Kejaksaan Agung  menjadwalkan pemeriksaan terhadap Setya Novanto terkait kasus pemufakatan jahat dalam perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia.  Sebelumnya,  saat didesak apakah akan melakukan pemanggilan paksa apabila terus-terusan mangkir,  Jaksa Agung HM Prasetyo tetap meyakini bahwa Politikus  Partai Golkar itu akan datang pada pemanggilan yang kedua itu. Ini penolakan Setya Novanto yang kedua kalinya.  Seperti diketahui, Setya Novanto telah dipanggil untuk pertama kalinya pada Rabu 13 Januari lalu. Namun, dia memilih mangkir untuk dimintai keterangan terkait dengan kasus  tersebut.
Kaitan dengan pemanggilan Kejagung,  kuasa hukum Setya Novanto, Firman Wijaya mengatakan belum dapat memenuhi panggilan Kejagung dengan alasan keamanan. Alasan seperti ini terkesan mengada-ada, dibuat-buat. Menurut Lais Abid, Devisi Investigas ICW, alasan Setya Novanto tidak memenuhi panggilan Kejagung karena alasan keamanan sungguh tidak tepat.
Lais menegaskan, di Kejagung sudah ada prosedur bagaimana memberikan pengamanan kepada siapapun yang dipanggil untuk penyelidikan atau penyidikan.  Sebenarnya setiap penegak hukum memilki kewenangan untuk menghadirkan paksa seorang dalam konteks pemeriksaan. Dalam kasus besar seperti ini, Kejagung harus berani ambil sikap. Ia mencontohkan KPK yang berapa kali menghadirkan paksa para saksi. Saat ini kasus dugaan pemufakatan jahat tersebut masih dalam tahap penyelidikan. Lais meminta Kejagung  tidak perlu menunggu keterangan dari Setya Novanto atau Reza Chalid untuk menaikkan status menjadi penyidikan. (htp://kabar24.bisnis.com)
Dalam pemanggilan pertama, Setya Novanto juga mangkir dengan alasan karena tidak ada izin dari Presiden. Terkait hal tersebut, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan bahwa sesuai dengan Undang-undag MD3 dan Keputusan MK dalam kasus pidana khusus seperti korupsi tidak mensyaratkan dan memerlukan izin dari Presiden.
Kasus Setya Novanto mendapat perhatian yang sangat besar dari publik. Kasus yang awalnya dikenal dengan sebutan papa minta saham itu sempat menggemparkan perpolitikan nasional. Dalam persidangan terbuka MKD DPR yang lalu, rakyat dengan mata telanjang menyaksikan bukti-bukti keterlibatan Setya Novanto seperti rekaman pembicaraan, kesaksian Sudirman Said sebagai pelapor dan Ma’rouf Syamsuddin sebagai saksi. Sekarang publik menunggu proses hukum di Kejagung setelah proses politik selesai dengan mundurnya yang bersangkutan dari jabatan Ketua DPR RI.
Sekarang khalayak ramai menunggu keberanian  dan ketegasan Kejagung. Apakah Kejagugng berani meningkatkan status kasus ini menjadi penyidikan setelah Setya Novanto mangkir dua kali? Atau pemanggilan ini hanya sebatas gertak yang beraroma politik? Bukankah publik selama ini menilai kinerja Jaksa Agung dalam kategori buruk? Sehingga berbagai kalangan menganggap yang bersangkutan layak untuk dirushflle. Kejagung dintuntut segera menjawab keraguan publik tersebut. Rakyat berharap penegakan hukum di tanah air tidak hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Sebaliknya, di mata hukum semua dipandang, diperlakukan secara sama.
          Melihat fakta yang ada, menurut hemat saya tidak ada alasan bagi Kejagung untuk tidak menaikkan status kasus Setya Novanto menjadi penyidikan.  Paling tidak dari keterangan yang pernah disampaikan oleh Jaksa Agung HM Prasetyo, yang dilansir Koran Tempo, Senin, 11/01/2016,  ada beberapa bukti kuat yang telah dikantongi Kejagung.  Pertama, Rekaman suara 8 Juni 2015 di Hotel Ritz-Carlton. Yakni suara pembicaraan antara Setya Novanto, Riza Chalid, dan Maroef Sjamsoeddin. Dalam rekaman yang diputar secara langsung saat persidangan di MKD itu, dapat dipahami dengan mudah bagaimana Setya Novanto meminta saham Freeport. Dalam salah satu ungkapan, Setya Novanto mengatakan , goal-nya ke presiden, (tapi) kuncinya ada di saya.
          Kedua, rekaman kamera CCTV di Hotel Ritz-Carlton, 8 Juni 2015. Kejaksaan Agung sudah mendapatklan salinan rekaman kamera CCTV Ritz-Carlton yang membuktikan pertemuan ketiganya.  Dari rekaman itu, Kejagung telah memastikan adanya pertemuan tersebut.
          Ketiga, kwitansi pembayaran sewa ruang hotel. Dari kwitansi itu diketahui, yang memesan dan membayar dalam pertemuan di Ritz-Carlton itu adalah Reza Chalid. Ini diketahui dari keterangan  sekretaris Rica Chalid.
          Keempat, dari hasil penelitian ahli tekhnologi diketahui bahwa rekaman suara itu asli, tidak ada rekayasa. Sehingga rekaman yang pernah  diputar dalam persidangan MKD  itu bisa dijadikan bukti. Penelitian dan kajian terhadap keaslian rekaman itu dilakukan oleh beberapa Perguruan Tinggi ternama di Bandug atas permintaan Kejagung sendiiri. Dengan demikian bukti yang saat persidangan MKD di permasalahkan itu tak bisa disangkal lagi.
          Kelima, terkait dengan kasus ini, Kejaksaan agung telah meminta keterangan 16 saksi. Diantara yang sudah dimintai keterangan adalah Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin; Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said; Deputi I Bidang Pengendalian Pembangunan Program Prioritas Kantor Staf Presiden, Damawan Prasodjo; Dina, anggota staf Setya Novanto; Komisaris PT Freeport sekaligus mantan Jaksa Agung, Marzuki Darusman; dan Sekretaris Jenderal DPR, Winantuningtyastiti. Keterangan para saksi itu menguatkan bukti adanya permufakatan jahat yang telah dilakukan oleh Setya Novanto-Reza Chalid.
          Keenam, menolak hadir dalam dua kali panggilan mengindikasikan itikad yang tidak baik dari yang bersangkutan. Penolakan itu dapat dikategorikan sebagai upaya menghalang-halangi penyelidikan. Harusnya, kalau Setya Novanto merasa benar, tidak bersalah seperti yang selama ini dikatakannya, atau pengacaranya maka pemanggilan Kejagung dapat dijadikan kesempatan pembelaan dirinya di depan hukum. Hal ini juga sekaligus memberikan keteladan ke rakyat, sebagai warga bahkan pejabat negara yang baik mustinya ia mengikuti peroses hukum tidak sebaliknya, melawan.
          Walhasil, Kejagung tidak perlu ragu apalagi takut. Dukungan rakyat sangat besar dalam penuntasan kasus pemufakatan jahat ini. Kasus ini diyakini dapat membuka kasus-kasus besar berikutnya terkait kejahatan para mafia di negeri ini. Karenanya, meningkatkan status menjadi penyidikan merupakan pilihan dan sikap tepat bagi Kejagung. Bukankah bukti sudah ada di tangan? Bukankah dengan status penyidikan, para penyidik dapat melakukan upaya pemanggilan paksa?Wa Allahu Alam




Mengantisipasi Radikalisme di Sekolah


          Dua minggu pertama tahun ini, kita dikejutkan dengan dua pemberitaan yang mendapat perhatian sangat besar dari publik. Pertama, terkait aliran atau organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Kedua, pengeboman kawasan Sarinah Jakarta yang diduga dilakukan oleh para teroris yang berafiliasi dengan ISIS. Kedua peristiwa yang muncul berurutan tersebut seakan memberi pesan kepada kita tentang hukum sebab akibat. Bahwa paham radikalisme yang diyakini oleh sebagian masyarakat seperti mereka yang bergabung dengan Gafatar akan melahirkan tindakan teror yang tak manusiawi seperti pengeboman di Sarinah.
          Ya, terorisme memang produk dari paham radikalisme. Rasikalisme  adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham / aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa. (https://id.wikipedia.org)
          Paham radikalisme menjadi ancaman bagi generasi muda. Pasalnya gerakan radikalisme seperti Gafatar atau lainnya biasa mengincar kalangan muda, berpendidikan yang pengetahuan dan pemahaman agamanya minim. Mereka sangat mudah untuk dipengaruhi. Mereka dijadikan teroris dengan alasan berjihad di jalan Allah. Mereka diajak menegakan syariat  dan mendirikan negara Islam.  Mereka telah salah kaprah dalam memahami ajaran agama. Mereka tertipu, bersedia menjadi “pengantin jihad” dalam aksi bom bunuh diri.
          Dalam tulisan, Gafatar dan Problem Keberagamaan Kita,  yang di muat di sebuah harian umum (15/1), saya mensinyalir bahwa paham radikalisme kerapkali muncul di ruang kosong. Ruang kosong dimaksud adalah komunitas yang memiliki semangat tinggi tetapi minim juru agama yang mempuni di dalamnya.  Saya mencontohkan dunia kampus. Mahasiswa PT umum yang bermodalkan semangat tinggi namun minim pemahaman agama  dengan mudah menerima ajaran radikalisme apa pun bentuknya. Mereka meyakini pemahaman mereka yang paling benar, paling Islam. Selain mereka dianggap salah, kafir yang harus diperangi.
Perkembangan berikutnya paham radikalisme tak hanya masuk kampus tapi lebih jauh telah menyentuh sekolah. Masih segar dalam ingatan, beberapa waktu lalu Kemendikbud merasa kecolongan dengan masuknya materi beraroma radikalisme pada buku pegangan  siswa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam  dan Budi Pekerti SLTA di beberapa daerah Jawa Timur. Buku  untuk SMA/MA/SMK/MAK kelas XI, Kurikulum 2013, Cetakan 2014 dengan kontributor naskah Mustahdi dan Mustakim, penelaah Yusuf A Hasan dan Moh. Saerozi, penerbit Pusat Kurikulum Perbukuan, Balitbang Kemdndikbud  itu akhirnya ditarik  dari peredaran.
Karenanya menjadi tugas, kewajiban para pendidik di sekolah untuk membentengi peserta didik mereka dari bahaya radikalisme. Untuk mengantisipasi hal tersebut, menurut hemat saya ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, pertama, sosialisasi sejak dini. Sosialisasi dilakukan secara kolektif. Artinya,  sosialisasi menjadi tanggung jawab dan kewajiban bersama bukan hanya guru PKN atau Agama misalnya. Semua guru diminta menyampaikan bahaya terorisme dan radikalisme. Tentu tidak harus memasukan materi secara khusus. Sosialisasi dapat disampaikan pada saat materi ajar yang dapat dikaitkan seperti tentang dasar negara, semboyan negara Bhineka Tunggal Ika, toleransi, pluralisme atau lainnya. Sosialisasi dapat dilakukan saat upacara bendera setiap Senin pagi. Bisa juga dengan pemasangan sepanduk, pamlet, dan poster. Kegiatan-kegiatan ekstrakuler seperti pramuka, paskibra juga dapat dijadikan media sosialisasi.
Kedua, memberdayakan masjid atau mushollah sekolah sebagai pusat kegiatan ke-Islaman. Bagi sekolah yang memiliki masjid atau mushollah ini menjadi  keuntungan tersendiri. Guru PAI bisa memaksimalkan fungsinya sebagai juru agama di sekolah. Masjid atau mushollah harus dijadikan pusat pemberdayaan peserta didik dalam memahami, mengamalkan, menghayati Islam secara benar. Di luar jadwal yang ada di kelas, peserta didik bisa belajar agama dalam kegiatan-kegiatan di masjid atau mushollah sekolah. Di sini kreatifitas guru PAI dituntut secara maksimal agar peran dan keberadaan masjid atau mushollah sekolah dapat dirasakan manfaatnya terutama dalam menangkal radikalisme.
Ketiga, memproteksi organisasi kesiswaan seperti OSIS, Rohis (Rohani Islam). Dalam banyak kasus, radikalisme seringkali memperdayakan anak-anak yang aktif di sekolah. Semangat mereka yang bergebu-gebu akan  mudah dipengarui oleh siapa saja yang dianggap hebat, dikagumi. Maka wajib bagi para guru untuk bersama-sama mengawasi, membimbing mereka. Guru harus hadir di tengah mereka sebagai teladan, rujukan setiap persoalan yang dihadapi. Anak -anak tidak boleh dilepas begitu saja.  Baik OSIS maupun Rohis harus diproteksi dari pengaruh paham radikalisme.
Keempat, mengembangkan toleransi dan menanamkan hidup plural. Toleransi adalah sikap saling menghargai, menghormati setiap perbedaan yang ada baik agama, etnis, ras maupun lainnya. Sedanglan pluralisme adalah kesedian hidup bersama perbedaan-perbedaan tersebut. Di tengah keragaman, para guru harus mengedepankan, mencontohkan toleransi antara sesama warga sekolah. Dan terkait dengan radikalisme,  toleransi beragama memilki peran penting sebagai penangkal paham berbahaya tersebut. Di sini peran guru Agama sangat dominan. Guru Agama harus mampu mengayomi semua agama, madzhab, kelompok yang ada. Sehingga di sekolah tercipta kehidupan yang plural, humanis dan toleran.
          Kelima, boleh juga, sekali-kali menyelenggarakan kegiatan khusus terkait bahaya paham radikalisme. Kegiatan dapat dilakukan dengan bekerja sama Kepolisian, MUI, atau wali siswa.
          Singkat kata, radikalisme bisa ada di mana saja termasuk di sekolah. Karenanya kesiapan para pendidik  untuk mengantisipasinya menjadi sebuah keharusan. Sekolah wajib mengantisipasinya dengan sosialisasi sejak dini, memberdayakan masjid atau mushollah sekolah sebagai pusat belajar, mengamalkan dan menghayati agama secara benar, memproteksi OSIS dan Rohis, mengmbangkan hidup toleran dan plural. Dengan langkah-langkah nyata tersebut, radikalsme diharapkan tak memilki cela sedikit pon untuk bisa masuk ke sekolah.Wa Allahu Alam


Kami Tidak Takut


Kamis 14 Januari lalu menjadi titik hitam bagi Indonesia. Aksi teror kembali muncul, mengusik ketenangan dan ketentraman masyarakat. Sebuah ledakan terjadi di depan pos polisi Sarinah dan gerai kopi Starbuck, Jakarta Pusat. Peristiwa terjadi sekitar pukul 10.40 WIB.  Ledakan pertama terdengar pukul 10.40 WIB. Lalu, ledakan kedua terdengar sekitar pukul 10.50 WIB, ledakan ketiga pukul 10.56, ledakan keempat pukul 10.58, ledakan kelima pukul 11.00 WIB, dan ledakan terakhir pukul 11.02 WIB. Menurut keterangan wartawan di lapangan, tiga ledakan terjadi bersusulan dan polisi menemukan senjata. Orang-orang di sekitar kompleks gedung-gedung yang berdekatan dengan Gedung Sarinah  berhamburan keluar setelah ledakan pertama terjadi. Aksi saling tembak antara aparat kepolisian dan  pelaku teror membuat masyarakat panik, terkejut. Maklum, kajadian seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Pasca pengeboman di kawasan Sarinah Jakarta, ada hal menarik yang menjadi pemberitaan publik dan media massa. Ini yang membedakan tragedi pengeboman sebelumnya seperti bom Bali atau lainnya. Ungkapan “Kami Tidak Takut” menjadi obat psikoligis sekaligus reaksi warga terkait isu teror yang ditebar para teroris  di ibu kota. Ungkapan itu mendapat responds sangat cepat di media masa dan dunia maya. Sehingga sehari selang peristiwa pengeboman Sarinah, “Kami Tidak Takut” menjadi trend topic dunia. Ini tentu luar biasa.
          Ungkapan “Kami Tidak Takut” merupakan responds positif masyarakat terhadap ajakan Peresiden Jokowi. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo mengecam aksi teroris di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Dia mengajak rakyat tak takut dan terkalahkan dengan tindakan tersebut.
Di tengah kunjungannya ke Kabupaten Cirebon, Jokowi mengaku telah mendapat laporan mengenai ledakan di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, disusul aksi penembakan. Presiden Jokowi mengajak rakyat tak gentar menghadapi aksi-aksi teroris.  Jokowi mengatakan , rakyat tak boleh dikalahkan dengan rasa ketakutan yang disebarkan kelompok-kelompok teroris. Kita tak boleh takut dan kalah dengan aksi teror. (http://nasional.sindonews.com/)
Presiden Jokowi pun tanpa takut langsung turun ke lokasi ledakan. Kunjungan Jokowi membuat rakyat kaget, terkejut. Jokowi ternyata tak hanya beretorika dengan mengatakan jangan takut. Jokowi telah memberi contoh dan teladan bahwa tindak terorisme harus dilawan. Maka dengan gegap-gempita rakyat pun  meneriakkan kata, Kami Tidak Takut.
Dengan “Kami Tidak Takut”, kita semua diminta bersatu dan bergandeng tangan.  Slogan itu menyadarkan masyarakat bahwa dalam melawan teroris kita harus bersatu,  saling berbagi informasi, bekerja sama dengan semua elemen baik kepolisian, TNI atau lainnya.  Perlawanan kepada teroris bukan saja  digaumkan dengan sangat dahsyat di media sosial, tetapi juga langsung turun ke lapangan. Sejumlah organisasi kemasyarakatan melakukan gerakan tabur bunga di lokasi pengboman  Sarinah dan meneriakkan kembali kata, Kami Tidak Takut.
Kami Tidak Takut merupakan responds nyata dari masyarakat bahwa tujuan teroris untuk menakut-nakuti masyarakat telah gagal. Teroris menjadi terjepit. Gerakan masyarakat yang tidak takut kepada teroris jelas akan mengubah filosofi para teroris di Indonesia. Jika masyarakat turut serta memerangi para teroris, maka aksi itu menjelma menjadi kekuatan maha dahsyat. Apalah arti kepolisian, tentara dan intelijen jika ada banyak masyarakat mendukung aksi terorisme di negeri ini. Mereka pasti tidak dapat berbuat banyak.
 Belajar pengalaman dar kawasan di  Timur Tengah yang sarat dengan konflik dan aksi terror, keberadaan polisi juga tentara sama sekali tidak berdaya menghadapi para teroris.  Karena masyarakat di sana  mendukung mereka. Para teroris dengan mudah membaur dengan rakyat, berlatih, berlindung, lalu kemudian muncul tiba-tiba dari kerumunan orang melakukan tindakan terror.
Memaknainya
          Ke depan semangat dan spirit “Kami Tidak Takut” harus  terus dijaga. Solgan tersebut,  menurut hemat saya harus dimaknai sebagai berikut, pertama, simbol perlawanan bersama terhadap segala bentuk teror di bumi nusantara. Pemerintah dan rakyat harus bersatu melawan teorisme dalam bentuk apa pun. Jangan memberi kesempatan dan ruang gerak sedikit pun pada para teroris. Perlawanan bersama tersebut harus dilandasi pada kesadaran bahwa aksi teror apa pun motivasinya, siapa pun pelakunya, apapun organisasinya, juga apapun ideologinya hanya akan mendatangkan kesengsaraan, bagi orang banyak. Aksi teror adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian univesal.
          Kedua, membangun kesadaran bersama bahwa ideologi terorisme dan radikalisme bisa ada di mana saja. Karenanya, slogan “Kami Tidak Takut” harus membangkitan kesadaran bersama untuk memproteksi diri, keluarga, lingkungan terdekat dari pengaruh paham atau ideologi radikal seperti yang diyakini ISIS misalnya. Bukankah selama ini kita sering dikejutkan dengan fakta, ternyata di antara  mereka (para teroris) berasal dari keluarga, atau lingkungan kita? Seperti diketahui, kemaren (15/1), kepolisian sedikitnya telah mengakap 6 orang di wilayah Cirebon dan Indramayu yang diduga terkait dengan aksi teror Sarinah. Ini harus menjadi pelajaran bagi kita. Diantara cara meproteksi diri dapat dilakukan dengan mempelajari, memahami dan mengamalkan  agama secara benar. Karena aksi teror seringkali dibungkus dengan semangat keagamaan.
          Ketiga, peringatan untuk semua bahwa aksi teror bisa datang kapan saja, di mana saja. Karenanya semua pihak (pemerintah, aparat, juga rakyat) diminta waspada terus, tidak boleh lengah. Kewaspadaan bersama akan mempersempit ruang gerak para pelaku teror.
          Keempat, mengingatkan semua elemen bangsa bahwa bagi kita Pancasila dan NKRI adalah sesuatu yang final. Aksi terorisme biasa berlatar belakang politik, berniat mengganti ideologi dan bentuk negara. Segala usaha yang mengarah ke arah tersebut harus ditolak. Bagi bangsa Indonesia Pancasila dan NKRI adalah harga mati, tak bisa ditawar.
          Walhasil, teriakan kita semua “Kami Tak Takut” menjadikan para teroris terpukul mundur. Mereka akan merasa gagal. Apalagii teriakan itu dimaknai sebagai simbol perlawanan bangsa ini yang membangkitkan kesadaran bahaya setiap ideologi yang mengajarkan terorisme.  Teriakan tersebut sekaligus menjadi peringatan atau warning bahwa aksi teror bisa datang kapan saja, di mana saja yang menjadikan semua rakyat wapada terhadap setiap gerakan terorisme. Akhirnya, menyadarkan semua bahwa Pancasila dan NKRI adalah final, tak tergantikan. Jangan mimpi, para teroris bisa merubahnya. Wa Allahu Alam.
Dimuat di Harian RADAR CIREBON, Senin 18 Januari 2016





Jumat, 15 Januari 2016

Gafatar dan Problem Keberagamaan Kita


          Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) sekarang menjadi pemberitaan hangat di tengah masyarakat. Organisasi ini  diributkan, dipersoalkan keberadaanya setelah ditemukannya seorang  bernama dr Rica Trihandayani yang sebelumnya dilaporkan hilang oleh keluarganya sejak 30 Desember lalu. Dr Rica Trihandayani ditemukan di Bandara Iskandar, Pangkan Bun Kalimantan Tengah pada 11 Januari dan langsung dibawah ke Polda Yogyakarta. Sebelum meninggalkan rumah, dr Rica sempat menulis surat pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS)  yang dikirimkannnya ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Yogyakarta. Dr Rica tercatat sebagai pegawai di rumah sakit Dr Sardjito.
          Kasus menghilangnya warga tidak hanya di Yogyakarta tapi di berbagai daerah seperti Banyumas, Purbalingga, juga Garut Jawa Barat. Di Yogyakarta sendiri tercatat 33 orang yang telah dilaporkan menghilang oleh keluarga mereka. Menghilangnya dr Rica  Trihandayani  dan lainnya diduga, diyakini karena terkait dengan organisasi Gafatar.
          Polda Jawa Barat juga telah menerima laporan hilangnya sejumlah korban yang diduga keras dilarikan oleh Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Seorang bernama Heriyady Atmajaya telah melaporkan ke Polres Garut prihal istri dan kedua anaknya yang meninggalkan rumah sejak 28 Desember 2015. Menurut Heriyady, pembinaan terhadap anak dan istrinya oleh kelompok Gafatar sejak Agustus 2014. Hal itu diyakini berdasarkan sejumlah bukti tertulis (buku harian) yang ditemukan di rumah. Juga kegiatan pengajian yang sebelumnya sempat dicurigai oleh Heriyady.
          Gafatar merupakan organisasi yang telah dilarang pemerintah sesuai surat Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri Nomor 220/3657/D/III/2012 tanggal 20 November 2012. Organisasi ini dilarang lantaran menyebutkan bahwa salat dan puasa Ramadan tidak wajib. Juga sejumlah ajaran yang diyakini sesat atau menyimpang.
Menurut Sekretaris Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama, Muhammadiyah Amin, ajaran Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) adalah sesat dan menyesatkan umat Islam sehingga harus diwaspadai. Organisasi itu tidak terdaftar di Kementerian Agama (Kemenag). Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa Gafatar adalah organisasi ilegal yang tidak layak diikuti masyarakat.
Lebih jauh, Amin mengaku prihatin belakangan ini banyak umat Islam, menjadi korban dari kegiatan organisasi tersebut. Dia menyatakan, bukan hanya kalangan cendekiawan atau terpelajar, dari kalangan "akar rumput" hingga pegawai negeri sipil pun menjadi sasaran untuk dijadikan pengikut organisasi itu. Organisasi tersebut juga menjadikan kalangan orang muda sebagai sasaran rekrutmen. Gafatar dalam aktivitasnya berselubung menjalankan aksi sosial, tapi di sisi lain dalam aspek ajaran sudah melenceng dari Islam.  (http://nasional.republika.co.id/)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Daerah Istimewa Yogyakarta menyatakan Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar adalah sesat. Organisasi ini merupakan metamorfose dari gerakan Al Qiyadah Al Islamiyah bentukan nabi palsu Ahmad Mushadeq yang telah dinyatakan sesat atau dilarang. Gafatar adalah bentuk baru dari organisasi yang mengajarkan pemahaman sesat nabi palsu Ahmad Mushadeq,  demikian ungkap Ahmad Muhsin Akmal,  Sekertaris MUI Daerah Istimewa Yogyakarta.
 Ahmad Muhsin Akmal menambahkan, MUI Daerah Istimewa Yogyakarta adalah organisasi pertama yang mengeluarkan fatwa bahwa Al Qiyadah Al Islamiyah adalah sesat dan menyesatkan.  Pada akhir 2007 yang lalu sedikitnya 900 orang yang telah ikut organisasi ini di Daerah Istimewa Yogyakarta. Ratusan orang itu didata polisi  dan melakukan pertaubatan massal di masjid Polda. Gerakan Gafatar dibungkus dengan kegiatan sosial. Seperti gotongroyong, jalan sehat, khitanan massal, kegiatan pelatihan pertanian, donor darah, dan bakti sosial lainnya.  (http://nasional.tempo.co/)
Terkait dengan permasalahan di atas, Presiden Joko Widodo memberikan instruksi khusus kepada jajajaran di bawahnya. Hal itu ditegaskan oleh  Sekretaris Kabinet Pramono Anung, pemerintah sungguh-sungguh menangani hal-hal yang seperti ini. Kami diminta oleh Presiden untuk memantau hal yang berkaitan dengan Gafatar. Pramono melanjutkan, Presiden meminta Polri dan Kementerian Dalam Negeri untuk mendalami motif berkembangnya paham Gafatar. Ia menengarai, ada ideologi tertentu yang dikembangkan Gafatar untuk kepentingan tertentu. Pramono berharap, masyarakat dapat kritis dan menggunakan akal sehatnya saat mendapati paham-paham tertentu yang baru terdengar.
            Kehadiran pemahaman, gerakan keagamaan semisal Gafatar atau lainnya tak lepas dari problem keberagamaan kita, umat Islam. Problem keberagamaan itu yang menyuburkan pemahaman atau gerakan menyimpang seperti Gafatar. Menurut hemat saya, berikut hal-hal yang menjadi problem keberagamaan kita, Pertama, memahami agama secara parsial. Islam itu harusnya dipelajari, diamalkan, dihayati secara kaffah yakni sempurna dan menyeluruh. Jangan memahami, menghayati, mengamalkan Islam secara sebagian (parsial) kemudian mengabaikan bagian lain. Memahami atau mempelajari Islam secara parsial akan menjerumuskan pada pemahaman Islam yang salah. Contoh memahami jihad dengan hanya mengejar predikat syahid tanpa memahami konsep kepemimpinan, konsep negara, konsep keimanan  dalam Islam dan lainnya akan membuat sempit pandangan sehingga semua orang yang berbeda dianggapnya sebagai kafir yang harus diperangi. Ini tentu sangat berbahaya.
          Kedua, minim ilmu dan klaim paling benar. Penguasaan terhadap ilmu agama yang pas-pasan mendorong seseorang mudah merasa paling benar. Perasaan paling benar adalah penyakit sosial. Syetan terjerumus pada kesesatan abadi  menolak perintah Allah untuk hormat pada Adam as karena perasaan paling hebat, paling benar. Apalagi bila  dibarengi dengan semangat menggebu-gebu dan berlebihan, klaim paling benar dapat mengantarkan pada pengakuan sebagai nabi, malaikat bahkan tuhan.
          Ketiga, pengajaran agama yang minim di komunitas terpelajar kritis yang memilki semangat tinggi. Selama ini pemahaman seperti Gafatar itu berkembang pada komunitas masyarakat yang tak memilki latar belakang pendidikan agama namun memilki semangat tinggi. Sayangnya, kebutuhan terhadap juru agama yang mempuni tidak terpenuhi. Ruang kosong itu kemudian dimasuki oleh oknum tertentu, membawa ajaran yang kerapkali menyimpang. Saya masih ingat, saat kuliah, pemahaman keagamaan semacam itu tumbuh subur di PT umum yang pemahaman agama mahasiswanya rendah. Pemahaman seperti Gafatar tak mendapat responds yang positif di IAIN misalnya.
          Akhir kata, keberadaan pemahaman keagamaan semisal Gafatar tidak hadir begitu saja, tapi terkait dengan problem keberagamaan kita. Problem keberagamaan tersebut sedikit banyak membuka peluang untuk tumbuh suburnya gerakan semisal Gafatar. Ini yang harus disikapi oleh kita, umat Islam. Kita harus mengajarkan, memahami agama secara utuh, sempurna. Kita tak boleh merasa puas dengan apa yang sudah kita pahami apalagi merasa paling benar. Dan yang terpenting, kewajiban kita semua  menyampaikan pemaham agama yang benar termasuk pada komunitas masyarakat yang hanya memilki semangat. Wa Allahu Alam

Dimuat di Harian Radar Cirebon, Jumat, 15 Januari 2016

Dicari Negarawan Sejati


          Satu tahun terakhir hiruk pikuk politik nasional tak pernah sepi. Isu ke isu mewarnai. Rakyat hampir kehabisan kesabaran menyaksikannya. Pasalanya, para politisi itu hanya menciptakan kegaduhan yang tak membawa manfaat apa-apa bagi rakyat. Kegaduhan telah menyebabkan instabilitas yang bisa menghambat laju pembangunan dan gerak perekonomian. Kegaduhan telah memecah konsntrasi, menghabiskan waktu dan energi elemen bangsa dalam mengisi pembanguan. Kegaduhan politik hanya mencerminkan sifat kekanak-kanakan, ambisi, egois, kepentingan golongan atau pribadi. Rakyat sekadar dijadikan seperti barang yang diperjuangkan. Sebenarnya apa yang sedang mereka perjuangkan?
          Dalam salah satu acara televisi swasta nasional, salah satu redaktur Media Indonesia, ketika mengomentari Yuddy Crisnandi terkait menteri menilai menteri, mengatakan Yuddy adalah politisi sejati. Apa yang dilakukannya selalu berorientasi pada kepentingan politik praktis untuk dirinya. Ungkapan tersebut, menurut saya, berlaku tak hanya untuk Menteri dari Partai Hanura itu. Tapi hampir semua politisi baik yang di legislatif maupun Pemerintah  melakukan hal sama. Tidak tercermin dari mereka sikap seorang negarawan.
          Politisi memang beda dengan negarawan. Mungkin adegium populer dalam bahasa Inggris ini dapat memberi pemahaman akan perbedaan tersebut, ‘The state-man (great leader) think the next generation, the politician leader think the next election’. Negarawan memikirkan masa depan bangsa dan negara, sedangkan politisi hanya memikirkan masa depan Pemilu dan Pilpres. Tidak hanya menjelang pemilu, politisi kita bahkan sepanjang waktu mengejar, bertarung, berebut kepentingan dan kekuasaan. Alasan ini barangkali yang melatarbelakangi mereka disebut politisi sejati.
          Mantan Ketua Umum Muhamadiyah, Syafiih Ma’arif (2013) membedakan keduanya sebagai berikut, negarawan adalah seorang yang bervisi ke depan untuk kebesaran bangsa dan negara jauh melampaui usianya. Kekuasaan baginya hanyalah sebuah wahana untuk mewujudkan cita-cita mulia politiknya demi tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan bersama, dan untuk tujuan itu dia sangat rela menderita. Sebaliknya, politisi adalah seorang pragmatis yang pada umumnya tunavisi, tetapi syahwatnya terhadap kekuasaan demikian dahsyat. Dengan kekuasaan di tangan, banyak kenikmatan duniawi yang dapat diperoleh. Nyaris tak ada kepedulian terhadap tegaknya keadilan dan terciptanya kesejahteraan umum bagi semua. (www.rumahpemiluh.org)
          Perbedaan itu yang membedakan cara mereka dalam meraih apa yang dicita-citakan. Bagi politisi apa pun dapat dilakukan asal kepentingan tergapai. Berbeda dengan negarawan, mereka selalu mementingkan maslahat bangsa dan negara yang lebih besar.
          Di antara hiruk pikuk politik nasional yang berlarut-larut adalah konflik internal di tubuh partai-partai besar seperti Partai Golkar dan PPP. Konflik internal kedua partai peninggalan orde baru itu sudah setahun lebih berlangsung. Kedua kubu yang berkonflik hanya mempertahankan ego dan ambisi masing-masing. Tak terlihat mereka berpikir kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar. Pantas kalau rakyat mempertanyakan, apa tidak ada negarawan di kedua partai tersebut? Apa semuanya politisi sejati? Sebenarnya bukan hanya Parta Golkar atau PPP, lebih jauh negara  dan bangsa kita membutuhkan, sedang mencari para negarawan yang berjuang semata-mata untuk kepentinga rakyat.
Karakter negarawan
          Nah, selanjutnya seperti apa negarawan yang diinginkan itu? Menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus dimiliki seorang negarawan. Saya menyebutnya sebagai karakter, yaitu, pertama, negarawan harus memiliki sifat wajib bagi rasul yakni amanat, cerdas, jujur, dan pandai berkomunikasi. Amanat berartikan dipercaya. Seorang dipercaya karena antara ucapan dan tindakan sama, tidak bertolak belakang. Lebih jauh disebut jujur yaitu orang yang tak pernah berdusta. Kemudian  cerdas dalam membaca situasi dan keadaan serta mampu menghadirkan solusi setiap persoalan. Negarawan harus  pandai berkomuniakasi atau menyampaiakan dan menjelaskan apa yang menjadi visi-misinya secara jelas dan gamblang  kepada rakyat.
          Kedua, berpikir visioner jauh ke depan. Pemikiran negarawan tidak dangkal, sesaat, tetapi melesat jauh ke depan. Kadang pemikirannya baru dapat dibuktikan setelah sekian lama, puluhan tahun. Dan pemikiran seperti membutuhkan kedalaman ilmu, juga keikhlasan semata-mata untuk kepentingan orang. Pemikiran melesat seperti tak mungkin muncul bila dibarengi dengan kepentingan sesaat, ego pribadi.
          Ketiga, mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan apa pun. Ini ciri dominan yang membedakan negarawan dengan politisi. Politisi mengejar kepentingan pribadi atas nama kepentingan rakyat. Sementara negarawan berpolitik semata-mata  untuk kepentingan bangsa dan negara. Untuk alasan tersebut mereka rela berkorban. Di sini dapat dikatakan,  tidak semua politisi itu negarawan. Namun semua negarawan adalah politisi. Karena seorang negarawan dalam memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara selalu dengan cara berpolitik.
          Keempat, mampu menjadi teladan. Keteladanan untuk semua elemen bangsa. Tidak hanya untuk sesama politisi, juga untuk rakyat. Mereka diteladani karena jasa, prilaku dan tindak tanduknya dalam berpolitik, memperjuangkan kepentingan rakyat. Mereka menghadirkan keadilan, kesejahteraan bagi masyarakat. Karenanya mereka dicintai oleh rakyat, sebaliknya mereka pun sangat mencintai rakyat.
          Akhir kata, saat ini bangsa dan negara kita sangat membutuhkan kehadiran para negarawan. Kebutuhan ini harusnya disadari dan dipahami oleh para politisi. Sehingga mereka mampu mentransformasi diri menjadi negarwan yang akan mendatangkan kesejahteraan, keadilan dan kemakmura bagi rakyat. Wa Allahu Alam



http://www.slideshare.net/

MEA dan Pendidikan Kita


          Terhitung 1 Januari  lalu, Asean Economic Community (AEC) atau dalam istilah  bahasa Indonesia Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) diberlakukan. MEA atau AEC adalah bentuk kerja sama antara anggota negara-negara Asean  yang terdiri dari Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Melalui kerja sama tersebut akan diberlakukan perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. MEA dipersiapkan dan dirancang  untuk mewujudkan wawasn ASEAN 2020.  Dengan diberlakukannya MEA, jelas persaingan usaha akan semakin sempit walau pangsa pasar lebih luas meliputi negara-negara ASEAN.
          Pembentukan MEA berawal dari kesepakatan para pemimpin ASEAN dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada KTT selanjutnya yang berlangsung di Bali Oktober 2003, petinggi ASEAN mendeklarasikan bahwa pembentukan MEA pada tahun 2016.
          Pertanyaanya adalah apakah  kita semua, Indonesia sudah siap guna mengahadapi MEA? Dalam sebuah kesempatan, Presiden Jokowi menegaskan bahwa siap tidak siap Indonesia harus siap. Jangan takut. Kita harus bangun optimisme. Terkait dengan kesiapan Indonesia, beberapa kalangan mengusulkan agar kita fokus pada nilai unnggul. Nilai lebih yang dimiliki.  Tentu dengan tidak mengabaikan potensi unggul lainnya.
          Anas Arief, Kepala Bagian Perlindungan Konsummen Kementerian Kordinator Perekonomian berpendapat, Indonesia memliki keunggulan dalam beberapa sektor. Diantaranya, Anas Arif menyebutkan keunggulan sektor kontriuksi, sektor kesehatan, sektor kelautan dan produk lokal. Pada sektor tersebut Indonesia bisa memfokuskan diri.  Untuk sektor kontrusksi permasalahan kita ada pada sertifikasi.  Demikian pula sektor kesehatan, secara profesional talenta Indonesia diakui oleh Jepang. Namun sertifitaktnya belum dimiliki. (http://nasional.republika.co.id/)
          Walaupun di banyak sektor Indonesia memiliki nilai unggul itu tidak menjamin akan memenangkan persaiangan. Keunggulan tersebut membutuhkan SDM  yang handal untuk menyulapnya menjadi kemenangan. Dan SDM yang diharapkan sangat bergntung dunia  pendidikan. Sementara dunia pendidikan kita masih dipertanyakan oleh banyak pihak seperti Daniel Johan, Kapoksi Komisi IV  DPR RI. Ini yang harus dijawab oleh dunia pendidikan kita.
          Daniel Johan, menyebutkan Indoensia masih memiliki kelemahan dalam persaingan di MEA. Disebutkannya kelemahan tersebut diantaranya di bidang pendidikan, pemerintahan, birokrasi, sistem dan peraturan undang-undang. Secara khusus dalam bidang pendidikan, Daniel Johan berargumentasi Kelemahan Indonesia di bidang pendidikan dapat dilihat dari sedikitnya lulusan sarjana dibandingkan sekolah dasar. (http://www.beritasatu.com/)
Pendidikan kita
            Pendidikan mengemban peran sangat  penting dalam membangun  sumber daya manusia (SDM) handal yang kompetitif,  mampu bersaing dengan negara lain. Oleh karena itu untuk menyambut MEA, dunia pendidikan kita harus mampu mempersiapkan SDM yang terampil, peka dan kritis dalam menghadapi tantangan maupun perubahan-perubahan yang akan terjadi di dunia pendidikan mendatang. Dina Nur Hayati (2015) menyebutkan, tantangan MEA dalam dunia pendidikan yang akan dihadapi antara lain, menjamurnya lembaga pendidikan asing, standar dan orientasi pendidikan yang makin pro pasar, serta pasar tenaga kerja yang dibanjiri tenaga kerja asing. (https://dinanurhayati.wordpress.com)
          Kehadiran lembaga pendidikan asing di era MEA merupakan suatu kenistaan yang tak dapat ditolak tapi harus disikapi, disiasat, dihadapi dan dipersiapkan oleh lembaga pendidikan kita. Ke depan persaingan lembaga pendidikan akan lebih ketat lagi. Persaingan tak hanya antara lembaga pendidikan kita, juga dengan lembaga pendidikan asing. Di sini, mutu dan  kualitas pendidikan akan dipertaruhkan. Sebab tidak mustahil untuk mengejar mutu dan kualitas, masyarakat kita memilih lembaga pendidikan asing. Bukankah selama ini sebagian dari mereka juga bersekolah atau kuliah di lembaga pendidikan asing, bahkan untuk itu mereka rela meninggalkan tanah air untuk belajar di luar ke Malaysia, Australia misalnya?
          Ini menjadi tantangan yang harus disadari oleh semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di tanah air. Semua civitas pendidikan harus siap dan mempersiapkan diri menghadapi MEA. Mereka dituntut meningkatkan kemampuan, kualitas, etos kerja, dan tanggung jawab. Ditambah lagi posisi mereka sebagai produsen SDM Indonesia.
          Kemudian pendidikan kita ke depan harus berorientasi pada pangsa pasar. Saya teringat dengan konsep pendidikan Link annd Match yang digagas mantan Menteri Pendidikan Prof. Dr wardiman Joyonogoro. Link and Match ialah pendekatan menghendaki adanya hubungan anatara dunia pendidikan dan dunia usaha atau industri. Dunia penidikan disiapkan sebagai pemasok tenaga kerja handal sedangkan dunia usaha sebagai pengguna. Sehingga dalam Link and Match, kurikulum menyesuaikan dunia usaha dan industri.
          Beberapa waktu lalu,  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anis Baswedan mencabut pemberlakuan Kurikulun 2013 dengan alasan penerapan kurikulum itu terlalu buru-buru. Kurikulum 2013  disempurnakan. Mustinya, penyempurnaan itu juga mengakomodir kepentingan kita semua menghadapi MEA. Karena sebagaimana telah disebutkan sebelumnya tantangan dan tuntutan dunia pendidikan terkait MEA adalah berorientasi pada pasar. Karena kurikulum 2013 yang sedang direvisi oleh Kemendikbut idealnya tanggap terhadap pesoalan MEA. Sehingga ke depan kurikulum pendidikan bisa menjawab kebutuhan menghadapi pasar bebas.
          Dan paling penting dari semuanya adalah kesiapan guru dalam menghadapi MEA. Karena guru berada pada garda terdepan pendidikan, yang menyiapkan SDM Indonesia bersaing di MEA. Untuk itu guru harus meningkatkan etos kerja, kualitas diri, kreatifitas dalam mendidik dan mengajar peserta didik. Program Tunjangan Sertifikasi Guru (TPG) yang digulirkan oleh Pemerintah beberapa tahun belakangan harus dimaknai sebagai usaha meningkatkan kulaitas, profesionalisme  disamping meningkatkan kesejahteraan guru tentunya.
          Walhasil, MEA sudah di depan mata. Kita tak bisa menghindar. Semua harus siap termasuk dunia pendidikan. Dan guru sebagai pelaku pendidikan yang berada di garda terdepan harusnya lebih tanggap dan siap. Jangan pernah meremehkan.  Bila Pendidikan kita tak siap, bisa jadi masyarakat kita sendiri akan memilih lembaga pendidikan asing. Ini menjadi memalukan. Selain itu , pendidikan kita tak akan mampu mencetak SDM Indonesia handal yang dapat bersaing dan memenangkan di era MEA. Ini yang menjadi ketakutan sebagian dari kita. Sekarang saatnya kita buang ketakutan, menyongsong optimisme ke depan dengan usaha dan kerja keras. Wa Allahu Alam

Dimuat di Harian Radar Cierbon, 12 Januari 2016, Fajar Cirebon, 13 Janauary 2016





Kamis, 07 Januari 2016

Gaduh Lagi, Menteri Menilai Menteri


          Dalam tulisan 2016 Politik Teduh, Mungkinkah? kemaren (6/1), saya sedikit meragukan politik akan menjadi lebih teduh di tahun ini. Harapan masyarakat agar para poltisi, pejabat, elit negeri untuk bersikap dan bertindak lebih dewasa di 2016 itu seperti api jauh dari panggang. Saya menyebutkan ada beberapa fakta dan realitas yang meruntuhkan harapan dan optimisme itu. Diantara fakta itu ialah isu reshufle kabinet jilid dua yang kembali memanas, rencana pansus Freepot yang diduga sebagai ajang balas dendam dewan terhadap sejumlah pihak, konflik internal beberapa partai politik yang tak berujung seperti yang dialami Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Parta Golkar, serta legalitas Partai Golkar.
          Sekarang kegaduhan itu ditabuh kembali, dimulai. Adalah Yuddy Crisnandi, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) yang membuka dan mengawali kegaduhan politik di tahun ini. Politikus Partai Hanura itu melakukan penilaian akuntabilitas terhadap instansi dan lembaga pemerintah dalam satu  tahun. Penilaian ini dilakukan oleh 5 lembaga yakni MenPAN-RB, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Dalam Negeri, Badan Pusat Statistik (BPS).
Adapun Kementerian yang mendapatkan nilai rendah di antaranya Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Yuddy Chrisnandi menegaskan, penilaian akuntabilitas kementerian yang dilakukan pihaknya tak terkait rencana reshuffle. Menurutnya, penilaian ini adalah tugas yang diamanatkan dalam UU dan instruksi presiden. (http://www.merdeka.com/)
Penilaian Yuddy di atas memyulut emosi banyak pihak terutama kalangan partai politik. Penilaian tersebut dianggap sarat dengan muatan politik, disamping tak etis tentunya. Yuddy dituduh sedang bermanuver untuk mempertahankan keberadaan dirinya dalam kabinet kerja. Dia dianggap berusaha mencari muka di hadapan Presiden di saat isu reshufle bergulir. Karena, entah secara kebetulan atau memang sudah disetting sebelumnya, kementerian yang dipimpinya bertengger di posisi tiga terbaik dengan nilai 7,7.
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengkritik keras apa yang dilakukan Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi yang membeberkan hasil rapor akuntabilitas kinerja menteri kabinet kerja ke publik. Menurut Hasto yang berwenang mengevaluasi kinerja menteri adalah Presiden. Hasto mengatakan Presiden yang memilih dan menempatkan menteri dalam jajaran kabinet kerja. Karenanya mengevaluasi kinerja menteri itu adalah kewenangan presiden.
Kritik lebih tajam disampaikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Ketiga Menteri yang berasal dari PKB, semua berada di posisi buncit dalam rapor penilaian itu. Sekretaris Fraksi PKB DPR, Jazuli Fawaid mengatakan penilain itu seperti jeruk makan jeruk. Mana bisa menteri mengevaluasi menteri? Penilaian itu sebenarnya   langkah politik Yuddy Crisnandi yang tendesius,  membuat gaduh suasana. Idealnya evaluasi diserahkan ke lembaga yang lebih kompeten, bukan MenPAN-RB. Jazuli bahkan menegaskan Yuddy layak dirushufle karena kerapkali membuat gaduh.
Menanggapi serangan berbagai pihak terkait penilain tersebut, Yuddy Crisnandi mengaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah konstitusional. Penilaian itu berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Hanya persoalannya kenapa dipublikasikan ke publik? Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) itu harusnya disampaikan ke Menteri Keuangan. Kemudian Menteri Keuangan menyampaikannya ke Presiden. Ini yang menyebabkan berbagai kalangan menuding Yuddy sebagai biang gaduh. Sungguh ironis. Kenapa justru kegaduhan datang dari anggota kabinet?
Terkait dengan kegaduhan di atas Presiden Jokowi kembali menegaskan, yang berhak memberikan penilaian terhadap kinerja para menterinya dalam Kabinet Kerja adalah dirinya sendiri. Menteri diminta fokus bekerja dan tidak perlu untuk memberikan penilaian terhadap menteri lainnya.
Sebelumnya  Sekretaris Kebinet, Pramono Anung mengklarfikasi bahwa Presiden tidak pernah memerintahkan MenPAN-RBYuddy Chrisnandi untuk menyampaikan hasil evaluasi kinerja menteri yang dilakukan Kemen PAN-RB kepada publik. Pramono mengakui bahwa hasil evaluasi kinerja kementerian dan lembaga yang dilakukan Kemen PAN-RB telah disampaikan kepada Presiden Jokowi dan para anggota kabinet lainnya. Namun demikian, hal tersebut disampaikan dalam forum tertutup. Jadi apa yang dilakukan Menteri Yuddy adalah bentuk dari kreativitas Yuddy.
Harap-harap cemas
          Melihat kegaduhan di atas, rakyat seperti saya merasakan kecemasan dan harapan bercampur menjadi satu. Cemas karena mengkhawatirkan kegaduhan sepanjang tahun seperti yang telah terjadi pada 2015. Namun demikian tentu kita tak boleh putus asa. Kita harus optimis, kita masih berharap politik menjadi lebih teduh. Sehingga pemerintah bisa fokus bekerja, bekerja dan bekerja.  Rakyat pun akan segera meraskan apa yang dijanjikan oleh Jokowi-JK saat Pilpres lalu.
          Oleh karenanya, sebagai bagian dari rakyat, saya menyarankan hal-hal berikut, pertama, kepemimpinan Jokowi di kabinet diminta lebih tegas. Jangan biarkan kegaduhan berkepanjangan terjadi dalam tubuh kabinet kerja. Jangan abaikan bila para menteri saling lempar tanggung jawab, saling menyalahkan. Bila dipandang perlu, gunakan hak perogatif untuk mereka (baca:menteri) yang bandel. Rushufle lebih baik daripada kegaduhan.
          Kedua, para pejabat negara, elit politik, anggota dewan diharapkan lebih dewasa dalam bertindak, bersikap. Jadilah para negarawan yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan kelompok dan pribadi. Ingat anda semua dipilih, digaji oleh rakyat. Kenapa rakyat diabaikan?
          Ketiga, khalayak ramai seperti saya dan anda juga berkewajiban secara moral untuk membantu menjaga kondusifitas dan stabilitas politik nasional. Karena opini publik pun bisa jadi memperkeruh, membuat kegaudahan baru. Saya menyaksikan  media sosial menjadi tempat atau ruang kegaduhan publik dimaksud.
          Akhir kata, kegaduhan penilaian Menteri Yuddy Crisnandi harus dapat diambil pelajaran oleh semua pihak. Biarkan ini menjadi kegaduhan yang pertama dan terakhir di tahun 2016 ini. Terakhir, semoga kegaduhan ini cepat selesai, berlalu. Amin. Wa Allahu Alam.
(Tulisan dimuat di Radar Cirebon, 8 Januari 2016)



        

Menimbang Komunikasi Guru dan Wali Siswa (Mengambil Pelajaran kasus Aop Saopudin)


          Beberapa media baik cetak maupun online kemaren (5/1), melaporkan kembali  kasus kriminalisasi guru di Majalengka yang sempat menjadi topik hangat dalam pemberitaan nasional baik online maupun cetak. Guru itu bernama Aoup Saopudin. Guru honorer itu mengajar di SDN Penjalin V Majalengka. Aop Saopudin melakukan razia rambut gondrong di kelas III pada 19 Maret 2012. Dalam razia itu, didapati 4 siswa yang berambut gondrong yaitu AN, M, MR dan THS. Mendapati rambut gondrong ini, Aop lalu melakukan tindakan disiplin dengan memotong rambut THS ala kadarnya sehingga gundul tidak beraturan.
Sepulang sekolah, THS menceritakan hukuman disiplin itu ke ayahnya, Iwan. Kemudian Iwan bersama teman-temannya  mendatangi rumah Kepala Sekolah, Ayip Rosidi. Sesampainya di rumah tersebut, Iwan tidak mendapati Ayip dan pulang. Di jalan, Iwan bertemu dengan Ayip dan Iwan lalu menanyakan razia rambut gondrong yang berakhir dengan pemotongan rambut anaknya. Jawaban Ayip tidak memuaskan pria kelahiran 23 November 1975 itu sehingga Iwan mencari Aop. Setelah Iwan menemukan Aop, ia langsung mengangkat kerah baju Aop dan mendorong tubuh Aop ke belakang, mencukur rambut dan memukulinya.
          Tidak terima perlakuan tersebut Aop melaporkannya ke kepolisian. Tak mau kalah, Iwan pun melapor balik. Kasus guru dan wali siswa pun berakhir di ranah hukum. Kasus hukum yang bergulir dua tahun lalu itu berakhir di Mahkama Agung (MA). Dalam keputusannya MA, menyatakan bahwa Aop Saopudin tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaiman yang didakwakan. MA juga memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, keudukan, dan harkat martabatnya. Mahkamah Agung berpendapat apa yang dilakukan Aop Saopudin adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan tindakan pidana dan terdakwa tak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan tersebut  karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik dan disiplin.       
Tanggung Jawab dan Komunikasi
          Membaca kasus di atas, menjadi menarik untuk menimbang dan menakar kembali komunikasi ideal guru dan wali siswa. Yaitu komunikasi yang didasari oleh tanggug jawab bersama dalam mendidik anak atau peserta didik. Tanggung jawab dalam artian bahwa mendidik bukan hanya tugas guru atau orang tua, tapi membutuhkan peran aktif keduanya. Mereka harus saling mendukung, menopang, membantu, serta saling mengisi dan melengkapi. Baik guru maupun orang tua harus memahami tanggung jawab bersama itu. Mereka tidak boleh saling menyalahkan apalagi saling melempar tanggung jawab.
          Untuk menjaga kebersamaan dalam tanggung jawab bersama mendidik itu diperlukan jalinan komunikasi yang baik antara keduanya. Yaitu komunikasi yang sejajar. Keduanya harus bisa kompak dalam segala hal terkait pendidikan anak atau peserta didik. Menteri Pendidikan dan kebudayaan Anis Baswedan, dalam pidato hari pendidikan  tahun  2015 lalu mengingatkan bahwa wajah masa depan kita berada di ruang-ruang kelas, memang. Akan tetapi, hal itu bukan berarti bahwa tanggung jawab membentuk masa depan itu hanya berada di pundak pendidik dan tenaga kependidikan di institusi pendidikan. Secara konstitusional, mendidik adalah tanggung jawab negara. Namun, secara moral, mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Orang tua pastinya berada pada garda terdepan.
          Selama ini komunikasi dan kerjasama antara guru dan orang tua berjalan tidak efektif. Komunikasi keduanya hanya terjadi pada forum rapat yang diselenggarakan oleh pihak sekolah. Untuk sebagian orang tua, undangan rapat juga dikaiatkan dengan penarikan iuran. Ini anggapan yang keliru. Komunikasi guru  dan orang tua tak sebatas soal pembiayaan sekolah tetapi berkaitan dengan semua hal menyangkut pendidikan anak atau peserta didik.  Anggapan keliru di atas bisa jadi berdasar pada pengalaman. Karena sekolah  menjalin komunikasi dengan orang hanya  terkait soal iuran saja. Selebihnya tidak.
          Di tambah lagi era kebebasan, penegakan HAM yang dipahami secara salah oleh sebagian masyarakat. Pemahaman yang salah ini mendorong orang tua mudah membawa persoalan anak di sekolah ke ranah hukum. Lebih parah lagi, bila mereka menghakiminya sendiri. Maka tak sedikit kasus guru dan siswa berakhir di kepolisian. Hal ini terutama bila terkait dengan kekerasan baik fisik atau psikis.
          Di awal tahun pelajaran 2015-2016 yang lalu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anis Baswedan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut seperti penegasan kembali pentingnya penanaman nilai-nilai luhur, budi pekerti, karakter.
Permendikbud tersebut diantaranya mengatur tentang keharusan orang tua mengantar anaknya di awal masuk sekolah. Ini berlaku buat semua peserta didik, tidak hanya siswa baru. Kalau bagi peserta didik baru kita sudah sering melihatnya, terutama di sekolah dasar atau sebagaian siswa baru pada tingkat menengah pertama. Untuk SLTA, kita jarang menemukannnya. Dalam peraturan Menteri tersebut semua peserta didik (baru atau lama) di semua tingkatan (SD, SLTP, SLTA) saat hari pertama sekolah harus diantar oleh orang tua mereka. Tidak cukup hanya itu. Mereka (orang tua) juga diminta menitipkan anak-anaknya pada guru di sekolah. Seperti serah terima tanggung jawab, masing-masing dari mereka (orang tua-guru) harus memahami kewajiban dan hak masing-masing baik saat anak-anak di sekolah atau di rumah. Kedua belah pihak diharapkan dapat bekerja sama dalam membimbing, mengajar, dan mendidik mereka.
Anjuran dalam Permendikbud di atas sebagai upaya Mendikbud untuk menciptakan budaya komunikasi guru-orang tua yang efektif, sejajar. Dan tentunya komunikasi itu tidak hanya pada awal masuk sekolah. Komunikasi harus terus menerus dilakukan baik secara formal seperti dalam rapat atau non farmal seperti kunjungan guru ke rumah atau sebaliknya.
Untuk mengharmoniskan komunikasi guru-wali siswa, saya mengusulkan hal-hal berikut, pertama, memberdayakan buku komunikasi. Gunakan buku tersebut untuk  menceritakan apa yang siswa pelajari, pemberitahuan mengenai PR, memberikan pujian serta pemberitahuan lain mengenai anak didik kita kepada orang tua. Buku komunikasi juga bisa berbentuk laporan bulanan yang melaporkan perkembangan belajar peserta didik termasuk aktivitasnya di sekolah. Kemudian buku komunikasi juga mengcover  laporan kegiatan siswa selama liburan misalnya.
Dari buku komunikasi tersebut, guru dan orang tua bisa menjadikannya sebagai bahan materi komunikasi keduanya. Dengan memberdayakan buku komunikasi, perkembangan pendidikan peserta didik dapat dipantau, dipelajari dan dicarikan solusi secara bersama.
Kedua, mengadakan pertemuan dengan orang tua seluruhnya saat tahun ajaran baru dimulai, kenalkan diri dan biarkan orang tua menyampaikan kekhawatiran serta harapan mereka terhadap kita sebagai guru, kaitannya dengan proses pendidikan putra-putrinya. Juga pertemuan akhir tahun untuk tujuan evaluasi dan perumusan program tahun pelajaran berikutnya.
Ketiga, mengajak orang tua untuk menjadi relawan di kelas, menjadi bintang tamu misalnya saat pembelajaran mengenai topik tertentu yang terkait dengan mereka. Misalnya saat materi ajar tentang kepolisian RI, datangkan polisi dari orang tua siswa untuk mempermudah penyerapan materi.
Akhir kata, kasus Aoup Saopudin harus dijadikan pelajaran berharga bagi guru dan orang tua atau wali sisiwa. Bahwa komunikasi   keduanya akan sangat membantu perkembangan pendidikan anak atau peserta didik. Maka tak elok, bila keduanya berkonfrontasi, bermusuhan. Keduanya selayaknya bersatupadu mendidik anak atau peserta didik. Bukankah itu merupakan tanggung jawab mereka bersama? Wa Allahu Alam