Jumat, 30 Oktober 2015

Pentingnya Memahami HAM dan Hak Kewarganegaraan


          Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 6 sampai 8 Oktober 2015, Fahmina institute Cirebon telah menyelenggarakan pelatihan HAM dan Hak Kewarganegaraan. Pelatihan dilaksanakan di desa Manis Lor Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan. Kegiatan yang digelar selama tiga hari itu, menurut Rosidin, direktur Fahmina institut bertujuan untuk membangun kepedulian dan sensitivitas generasi muda terhadap pelanggaran hak kebebasan beragama dan intoleransi di tengah masyarakatnya. Kemudian membangun dialog antara generasi muda yang berbeda agama/keyakinan. Selain itu peserta dibekali ketrampilan mendokumentasikan tindakan diskriminasi atas nama agama maupun keyakinan.
          Dari kegiatan tersebut diharapkan, peserta latihan mampu berkontrobusi bagi masyarakat di lingkunganya, menciptakan tatanan sosial yang adil, damai. Karena meskipun hak warga negara mnoritas dilindungi undang-undang namun realitasnya seringkali tak sejalan. (Radar Cirebon, Edisi Rabu, 28 Oktober 2015)
          Kegiatan yang dilaksanakan Fahmiina Institute sungguh sangat penting dan strategis. Penting karena belum meratanya pemahaman HAM dan Hak  Kewarganeraan yang benar di tengah masyarakat. Strategis karena banyaknya indikasi pelanggaran HAM seperti sikap intolerasnsi terhadap kelompok minoritas dan pengabaian hak warga negara dalam masyarakat. Sebut saja kasus Salim Kancil di Lumajang. Berdasarkan kajian dan dan investigasi Komnas HAM, kasus tewasnya aktivis yang menentang penambangan pasir ilegar itu dinyatakan telah  melanggar HAM.  Terbaru,  beberapa waktu lalu, Walikota Bogor Arya Bima menerbitkan surat edaran pelarangan peringatan Asyuroh bagi warga Syiah. Surat edaran itu disinyalir banyak pihak aneh, bahkan Mahfud MD, mantan Ketua MK menyebutnya ngawur. Arya Bima dianggap telah melanggar HAM terhadap kaum minoritas, penganut madzhab Syiah. Bukankah merayakan peringatan keagamaan termasuk hak paling dasar manusia, terlepas apa keyakinannya. Ini memang sangat janggal, ironis, memalukan sekaligus memilukan.. Seorang kepala daerah dengan terang-terangan  merampas hak paling dasar rakyatnya.
Beberapa waktu lalu,  kita juga membaca di harian ini, di kabupaten Cirebon ratusan warga masyarakat  tak bisa membuat akte untuk anak-anak mereka. Pasalnya, surat kawin yang menjadi syarat pembuatan akte disinyalir palsu. Pemalsuan dilakukan oleh perangkat desa, dalam hal ini Lebe. Pasangan suami-istri dikawinkan tanpa dilaporkan ke KUA. Padahal mereka membayar seusuai aturan yang berlaku. Warga diberi surat nikah palsu. Ini jelas pelanggaran. Memperoleh surat menikah, akte anak, atau lainnya adalah hak warga negara.
Apa HAM, Hak Kewarganegaraan itu?
          HAM kepanjangan dari Hak Asasi Manusia. Yaitu hak yang paling dasar yang dimiliki  manusia. Hak tersebut harus diterima oleh manusia siapa pun dia. Yang kaya, miskin, pejabat, rakyat jelata, semua manusia tak memandang status dan kedudukan. Hak itu ada sejak lahir dan merupakan martabat manusia. Para pakar, mendefinisikannya dengan beragam. Menurut C. de Rover, HAM adalah hak hukum setiap orang sebagai manusia. Hak-hak universal dan tersedia untuk semua orang, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan. Hak-hak tersebut dapat dilanggar, tetapi tidak pernah dapat dihilangkan. Hak asasi manusia adalah hak-hak hukum, ini berarti bahwa hak-hak ini adalah sah. Hak asasi manusia dilindungi oleh Konstitusi dan hukum nasional dan di banyak negara di dunia. Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia yang harus dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. Hak asasi manusia bersifat universal dan abadi. Franz Magnis- Suseno mendefinisikan lain. Menurutnya,  HAM adalah hak-hak manusia tidak seperti yang diberikan kepadanya oleh masyarakat. Jadi bukan karena hukum positif, tetapi dengan martabat sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia adalah manusia. Sedangkan menurut Nomor 39 Tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu adalah kasih karunia-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
            Adapun Hak kewarganegaraan dapat diartikan sebagai hak yang harus diterima oleh warga negara dari negaranya. Dalam UUD 1945 Pasal 27  ayat 2 ditegaskan,  setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjungjung hukum dan pemerintahan  itu dengan tidak ada kecualinya.
Lebih jauh UUD 1945 menjelaskan haak warga negara dan HAM  sebagi berikut: 1)hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai Pasal 27 ayat 2 yang bebunyi, tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian,  2)hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan, sesuai Pasal 28 A, 3)hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturanan melalui perkawinan yang sah (Pasal28 B ayat 1)  4)hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, 5)hak untuk mengembangkan diri, mendapatkan pendidikan, ilmu pengetahuan dan tekhnologi, meningkatkan kualitas hidup demi kesejahteraannya (Pasal 28 C ayat 1) 6)kemerdekaan berserikat (pasal 28), 7)pengakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28 D) 8)kebebasan memeluk agama (Pasal 28 E) 9)memperoleh, menyimpan, menyampaikan informasi (Pasal 28 F) 10)perlindungan diri, keluarga, harta benda (Pasal 28 G)
Pasal-pasal diatas harus menjadi jaminan bahwa setiap warga negara terlindungi hak asasi dan hak kewarganegaraannya. Negara harus menjamin hak-hak warganya. Dan sebagai  warga yang baik kita harus memahami hak-hak tersebut kemudian menuntut bila hak-hak itu diabaikan oleh negara.
Masyarakat diminta mengawasi bersama, tanggap bila ada pelanggaran HAM di lingkunganya. Kemudian berani melaporkannya ke pihak berwenang. Pengawasan bersama diharap mampu mengurangi pelanggaran HAM.
Akhir kata, memahami HAM dan hak dan kewarganegaraan sedikit banyak membantu mengurangi tindakan pelanggaran HAM. Memahami diharpkan menghadirkan kesadaran bersama. Kesadaran bersama dapat mengontrol tindakan yang akan dilakukan masyarakat. Di sini pentingya pemahaman HAM dan Hak kewargengaraan. Dan apa yang digagas Famina Institute layak mendapat sambutan semua pihak. Wa Allahu Alam

Sekolah Negeri Dan Swasta, Jelas Beda?


          Menteri Pendidikan Dasar, Menengah dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Dr Anis Baswedan PhD, Senin kemaren (26/10/2015) menegaskan bahwa tidak ada bedanya antara sekolah swasta dan negeri. Pemerintah tidak akan membedakan keduanya. Keberadaan sekolah  negeri dan swasta sama dalam rangka mencerdaskan bangsa. Jadi pemerintah juga tidak akan memandang sebelah mata terhadap sekolah swasta.  Saat ini masyarakat sudah tidak melihat lagi sekolah swasta atau negeri. Mereka akan melihat dan memandang bagaimana kualitas sekolah yang bersangkutan. Hal ini dinyatakan oleh Anis Baswedan saat kunjungan di Komplek Kampus Hijau Indramayu dalam acara peletakan batu pertama SMK NU Kelautan.
          Pernyataan Pak Anis menarik untuk dikaji, dibuktikan lebih lanjut. Apa benar sekolah negeri dan swasta dipandang sama oleh pemerintah? Apa benar kualitas sekolah negeri-swasta itu sama? Dan bagaimana masyarakat memandang kedua macam sekolah tersebut?
               Secara umum masyarakat memandang, sekolah negeri dan swasta dibedakan pada hal-hal berikut: pertama, kepemilikan. Sekolah negeri adalah sekolah  miilik umum dan dibiayai oleh negara dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 ayat 4, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Sedangkan sekolah swasta adalah sekolah yang dimiliki oleh perorangan atau sekelompok masyarakat dalam bentuk yayasan atau organisasi kemasyarakatan.
              Kedua, pungutan SPP (sumbangan Penunjang Pendidikan). Sekolah Negeri tidak dipungut SPP untuk SD, SMP/sederajat karena telah disokong oleh program BOS sedangkan untuk SMU/sederajat biaya SPP relatif terjangkau sehingga masih dapat dirasakan oleh masyarakat yang kurang mampu. Sedangkan bagi sekolah swasta, BOS belum bisa mencukupi sehingga sebagian sekolah memungut  SPP baik di SD, SLTP apalagii SLTA. Besaran SPP sekolah bervariasi sesuai dengan kemampuan yayasan dan masyarakat (wali murid)  yang  ditetapkan secara bersama.
Ketiga,  pengajar, tenaga kependidikan. Sekolah negeri,  tenaga pengajar mayoritas berstatus pegawai negeri dan jika kekurangan tenaga pengajar sekolah diperbantukan guru honorer. Dari status guru honorer juga dapat diajukan menjadi pegawai negeri. Sedangkan  sekolah swasta, tenaga pengajar adalah pegawai swasta. 
Keempat, Fasilitas.  Jika menyinggung fasilitas, sekolah negeri dan swasta  juga berbeda. Bila melihatnya pada sekolah swasta yang bonafid sekolah swasta bisa mengungguli sekolah negeri yang menyandarkan bantuan negara. Tapi secara umum fasilitas sekolah negeri relatif lebih baik, karena tidak semua sekolah swasta memiliki finansial lebih.
          Dari perbedaan-perbedaan di atas, menyekolahkan anak di keduanya (negeri-swasta) memiliki kelebihan dan kelemahan. Secara umum, menyekolahkan anak di sekolah negeri biayanya relatif lebih murah (Baca:standar) dibandingkan di sekolah swasta. Karena pembiayaan sekolah swasta lebih mengandalkan dari pungutan atau partisipasi  siswa atau wali murid sedang sekolah negeri bergantung ke pemerintah.
Kemudian bagaimana dengan kualitas kedua sekolah tersebut? Bila melihat dari aspek prasarana atau fasilitas,  sekolah swasta relatif lebih baik. Karena sekolah yang sudah memperoleh kepercayaan masyarakat lebih mudah memungut biaya, seperti biaya bangunan atau lainnya. Sebaliknya, sekolah negeri relatif sulit melakukannya. Namun, demikian tidak sedikit sekolah negeri yang berfasilitas tak kalah karena kelihaian kepala sekolah dalam mengusulkan bantuan ke pemerintah. Sebaliknya, tidak sedikit sekolah swasta yang berfasilitas minim karena kurang dipercayai mesyarakat.
Kalau  dilihat dari aspek pengajar, harusnya sekolah negeri lebih baik sebab mereka (para guru) mayoritas pegawai negeri yang gajinya lebih dari cukup. Sehingga mereka lebih fokus mengajar, dibanding guru honorer. Sebaliknya,  di sekolah swasta. Guru PNS idealnya lebih baik, lebih berkualitas, lebih profesional. Namun demikian, pada prakteknya  hal tersebut tidak menjamin,  bergantung pada masing-masing guru. Bisa jadi guru honorer lebih berkualitas baik.
Selanjutnya, bagaimana dengan perhatian pemerintah terhadap kedua sekolan tersebut? Secara teori, apa yang dikatakan Anis Baswedan memang sebuah keharusan. Akan tetapi, di lapangan tentu seperti api jauh dari panggang. Baik sekolah negeri maupun sekolah swasta harus bersaing secara ketat memperebutkan bantuan dana pemerintah. Bahkan persaingan seringkali tidak sehat, tidak sportif. Bagi sekolah yang lincah, pandai membaca kesempatan, memiliki modal awal, memiliki koneksitas atau akses ke atas, baik ke pemerintah pusat maupun ke pemerintah daerah akan lebih mudah mendapatkan fasilitas dari negara. Sebaliknya, banyak sekolah yang membutuhkan perhatian, tapi karena terpencil, jauh dari keramaian, tak tersentuh anggaran pemerintah. Inilah permasalahan sebenarnya.
Selanjutnya ketimpangan dan kesenjangan antara sekolah pun tak dapat terhindarkan. Yang kuat semakin megah, maju, dengan jumlah siswa besar. Sementara sebaliknya, bagi sekolah yang terpinggirkan. Senandung “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” ala Roma Irama berlaku dalam pendidikan di negeri kita. Kaitan dengan ini,  sudah tak dibedakan lagi antara sekolah negeri dan sekolah swasta.
Oleh karena itu, menurut hemat saya penegasan Menteri Anis Baswedan beberrapa hari lalu di Indramayu itu, harus dijadikan pertama, dasar pijakan setiap pengambilan keputusan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Bahwa pemberian bantuan, fasilitas  itu semata-mata berdasarkan kebutuhan bukan karena faktor kedekatan, lobi-melobi,  apalagi faktor politik.
Kedua, ajakan membuat prioritas. Artinya pemerintah harus membuat skala prioritas dalam pemberian bantuan fasilitas atau lainnya. Skala prioritas dibuat berdasarkan kondisi ril di lapangan setelah terlebih dahulu dilakukan penelitian dan kajian. Sehinga ketimpangan dan kesenjangan dapat diminimalisir.
Walhasil, pernyataan Anis Baswedan bahwa tidak ada bedanya sekolah negeri dengan sekolah swasta jelas masih perlu dibuktikan. Jangan dijadikan sekadar retorika belaka. Kemudian pernyataan itu harus menjadi peringatan untuk semua elemen dalam pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Sehingga ke depan senandung Roma Irama, bisa berubah menjadi, “yang miskin jadi kaya, yang kaya tetap kaya”. Artinya sekolah pinggiran, kumuh, terpencil berubah menjadi sekolah unggulan. Dan sekolah favorit, maju tetap diunggulkan. Ini menjadi tantangan kita semua. Bagaimana bisa? Wa Allhu ‘Alam


           


Senin, 26 Oktober 2015

Efektifkah Hukuman Kebiri Bagi Fedofil?


          Diskursus dan wacana penerapan hukuman kebiri bagi fedofil nampaknya mulai menemukan titik terang.  Persoalan yang sebelumnya ramai dibicarakan oleh publik itu sekarang mendapat respon positif dari pemerintah. Setelah mendapat masukan dari bergagai pihak, akhirnya Pemerintah memandang sangat serius kejahatan kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan seksual. Untuk itu, Pemerintah memandang perlu melakukan terobosan, di antaranya memberikan hukuman yang lebih berat lagi kepada pelaku kekerasan kepada anak.
Jaksa Agung Prasetyo menegasakan bahwa Presiden Joko Widodo telah menyetujui diterapkannya hukuman mengebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak atau yang biasa disebur fedofil. Fedofil telah menjadi ancaman nyata bagai keamanan, kesehatan, perkembangan kejiwaan anak Indonesia. Terakhir, Kekerasan menimpa  Putri Nur Fauziah,  gadis cilik berusia 9 tahun ditemukan tak bernyawa di Jalan Jalan Sahabat , Kalideres, Jakarta Barat. Polda Metro Jaya, Sabtu (10/10/2015)  dengan sigap telah menetapkan Agus Dermawan alias Pea (37) sebagai tersangka. Terungkapnya kasus pembunuhan sadis yang diawali pelecehan seksual ini  memunculkan kemarahan dan kekesalan masyarakat. Mereka berharap tersangka dijatuhi hukuman berat, bahkan bila perlu dihukum mati. Hal itu wajar, karena tersangka,  selain membunuh dan melakukan kekerasan seksual terhadap korban, juga telah melakukan hal serupa kepada sedikitnya 13 bocah di lingkungan Kampung Rawa Lele. Bahkan, salah satu korbannya hamil, kemudian digugurkan.
Sebelumnya berbagai kalangan telah mengusulkan ke pemerintah untuk memperberat hukuman bagi para fedofil. Usulan bahkan datang dari internal pemerintah sendiri seperti Menteri Sosial.  Khofifah Indar Parawansa mengusulkan memberi hukuman yang berat pada pelaku, bila perlu dengan mengebirinya. Walau Khofifah sendiri menyadari usulan tersebut akan mendapat reaksi keras dari aktivis HAM. Hukuman mengebiri sebenarnya telah diberlakukan di negara-negara maju seperti sebagian negara bagian di Amerika Serikat yakni California, Florida,Georgia, Oregon, Texas, Iowa, dan Montana. Pemgebirian juga diberlakukan di Moldova, Polandia, Israel, Estonia, Argentina, Australia, Rusia, Korea Selatan, Denmark, Jerman juga Filipina. Khofifah berargumen, perlunya hukuman kebiri bagi fedofil anak karena korban fedofil bisa berantai. Korban fedofil  bisa menjadi fedofil baru.
Usulan juga disampaikan Seto Mulyadi , pemerhati anak Indonesia tekemuka. Menurut Setyo, pemerintah sapatutnya berani mengambil langkah tegas untuk menghukum para fedofil. Bagi Seto Mulyadi, hukuman seberat mengebiri juga tidak masalah dan pantas bagi pelaku tindak kekerasan terhadaap anak. Dengan demikian angka kekerasan seksual terhadap anak di tanah air diharapakn dapat menurun. Hal  senada juga disampaikan KPAI. KPAI meminta pemerintah bertindak dan mengambil langkah cepat. Bagi KPAI permasalahan ini sudah dianggap darurat. Kepada masyarakat luas juga diharapkan kewaspadaan, kehati-hatian dalam menjaga dan melindungi pergaulan anak-anaknya.
Pengebirian dapat dilakukan melalui proses kimiawi yang biasa disebut chemical castration. Chemical castration adalah pengebirian dengan cara pemberian obat untuk mengurangi hormon seseorang. Dengan pengurangan hormon secara drastis, otomatis libidonya bakal menghilang sehingga tak membahayakan lagi bagi  lingkungan di sekitarnya. Pengebirian juga dapat dilakukan dengan melakukan operasi  atau bedah dengan  memotong kelenjar testis pria. Namun demikian tidak berarti meniadakan hukuman kurungan (baca:penjara), hukuman keberi dipandang sebagai antisipasi saat yang bersangkutan bebas, keluar dari penjara agar tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Selama ini, fedofil yang telah melakukan kekerasan seksual hanya dijerat dengan menggunakan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) yang ancaman hukumannya hanya 15 tahun penjara. Dan terbukti, hukuman tahanan itu tak membuat jera yang lain. Tindak kekerasan pada anak pun terus terjadi di tanah air.
        Seekarang Pemerintah berencana akan merealisasikan usulan-usulan di atas dengan  menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), yang akan memberi hukuman tambahan dengan mengebiri para fedofil. Diterbitkanya Perppu bertujuan mempercepat proses. Karena kalau  merevisi Undang-Undang mungkin akan lebih lama prosesnya, sementara tuntutan tentang upaya perlindungan bagi anak-anak ini sudah semakin mendesak, dan telah masuk dalam ketegori darurat seperti ditegaskan KPAI. Dalam mengebiri, pemerintah berencana melakukannya  dengan memberikan suntikan hormon perempuan, dengan begitu mereka (pelaku kekerasan sesual terhadap anak) secara biologis tidak lagi terdorong melakukan kekerasan seksual.(http://www.voaindonesia.com/)
Efektifkah, menjerakan pelaku?
          Tujuan setiap hukuman apa pun bentuknya adalah lahirnya efek jerah atau perubahan sikap yang lebih baik bagi warga binaan atau narapidana. Artinya, setelah proses pembinaan selama di Lapas, para napi diharap bisa berubah. Kemudian bagi yang lain akan merasa takut melakukan pelanggaran hukum tersebut karena sanksi hukumanya yang yang dipandang sangat berat. Nah, sekarang bagaiamana hukuman mengebiri bagi fedofi? Apa dapat memunculkan efek jera?
          Berdasarkan pengalaman beberapa negara yang sudah menerapkan hukuman kebiri, terbukti kejahatan seksual terhadap anak menurun. Para fedofil anak  akan berpikir ulang berkali-kali  untuk melakukan perbuatan bidadap itu. Di Jerman angka kekerasan terhadap anak menurun 80 persen setelah menerapkan hukuman kebiri bagi fedofil. Di Jerman hukuman ini cukup ampuh mendatangkan efek jera. Dari 104 orang yang dikebiri sejak tahun 70an, hanya tiga orang yang kembali melakukan kejahatan seksual. (http://fokus.news.viva.co.id)
          Martin Holly, dokter ternama bidang seksologi dan psikiater di Rumah Sakit Psikiater Bohnice di Praha mengatakan, hampir 100 orang pemerkosa yang dikebiri tidak mengulangi kejahatan yang sama. Lebih jauh, sebuah studi di Denmark menunjukkan angka penurunan tingkat kejahatan dari 2,3 persen menjadi 80 persen yang dilakukan oleh 900 penjahat yang dikebiri pada tahun 1960an. 
Sedangkan studi di Amerika Serikat pada tahun 1981 menunjukkan hal yang sama. Sebanyak 48 pria yang dikebiri secara kimia menggunakan medroxyprogesterone acetate yang disuntikkan selama 12 bulan mengaku telah kehilangan hasrat seksual, sedikit berfantasi seksual dan dapat mengendalikan desakan seksual mereka. (https://www.change.org)
          Akhir kata, melihat kajian dan  penelitian di atas, yang menuujukkan betapa efek jera itu terbukti nyata pada hukuman kebiri, maka penerbitan Perpu oleh pemerintah menjadi langkah tepat yang harus mendapat dukungan dari semua pihak. Tidak ada alasan kiranya bila kita menolak.  Secepatnya terbitkan.Wa Allahu Alam


          

Minggu, 25 Oktober 2015

Memotret Politik Pedesaan


          Kemaren, Minggu 25 Oktober 2015 Kabupaten Cirebon telah menggelar pesta rakyat yang menggambarkan demokrasi   di pedesaan. Ada  124 desa di 37 Kecamatan yang telah  menyelenggararakan pemilihan kuwu. Sejumlah  355 calon kuwu bertarung untuk memperebutkan kursi kepemimpinan di desa-desa. Pesta demokrasi yang telah dianggarkan (sebagianya) oleh Pemkab berdasarkan Undang-undang No.6 Tahun 2014 itu berjalan lancar. Dalam pemilihan Kuwu yang dilaksanakan serentak kemaren, Pemerintah Cirebon  sedikitnya telah mengaggarkan  biaya Rp. 10 miliaran, 7 miliar untuk penyelenggaraan dan 3 miliar untuk pengamanan.
          Euforia pemilihan kuwu sangat menarik, tidak kalah dengan pemilihan kepala daerah. Itu sangat terasa. Sejumlah alat peraga kampanye  mewarnai ruas jalan desa dan kabupaten selama masa kampanye. Ratusan calon kuwu pun melakukakan kampanye dengan berbagai cara seperti gelar pertemuan warga, melakukan kerja bakti, dan sosialiasasi diri atau program melalui pemasangan pamlet, spanduk dan lainnya. Untuk memenangkan pesta demokrasi tingkat desa itu, para calon kuwu harus siap menggolontorkan dana lebih besar lagi.
          Kuwu adalah sebutan untuk seorang Kepala desa di Kabupaten Cirebon. Penyebutan itu tentu tidak terlepas dari sejarah panjang kepemimpinan desa dan pemilikan kuwu  di wilayah Cirebon. Dalam kajian sejarah Cirebon, Kuwu merupakan sebutan atau gelar yang diberikan masyarakat Caruban  Kepada Ki Danusela atau Ki Gedeng Alang-Alang karena dianggap berhasil memimpin pedukuhan bernama Caruban.  Masyarakat Caruban (Cirebon tempo dulu) sendiri  terdiri dari etnis Jawa, Sunda, Arab, India, Cina dan lainnya. Masyarakat dari etnis beragam ini mempercaykan  Ki Danusela untuk memimpin mereka. Ki Danusela menjadi kuwu pertama di Cirebon.
          Sedangkan pemilihan Kuwu, menurut Fiolog Raden Achmad Opan Safari Hasyim,  dipilihnya Ki Danusela tidaklah asal-asalan, melaikan dengan menggunakan mekanisme pemilihan  yang cukup demokratis. Saat itu pemilihan kuwu disebut uwi-uwian. Teknis pemilihan kuwu saat itu, setiap orang  yang menyatakan dukungan kepada calon, harus berdiri di belakangnya. Setelah semua warga Caruban menyatakan pilihan dan dukungannya baru dihitung berapa yang memilih berdiri di belakang calon. Waktu itu, mayoritas warga Caruban memilih berdiri di belakang Ki Danusela. Makanya, sejak jaman dulu pemilihan kuwu itu dilaksanakan secara langsung, jauh sebelum Pilkada langsung. Pemilihan kuwu merupakan pesta demokrasi rakyat yang pertama di Indonesia. (http://www.radarcirebon.com/)
Potret Politik
          Dalam pemilihan Kuwu, kita dapat memotret politik pedesaan. Potret politik pedesaan, menurut hemat saya, bercorakan hal-hal sebagai berikut: pertama, politik kekerabatan. Kerabat atau keluarga dalam pemilihan Kuwu sangat menentukan hasil pemilihan. Pasalnya, masyarakat pedesaan memilih calon kuwu berdasarkan kedekatan kekerabatan. Mereka memilih calon yang memilki hubungan kerabat atau keluarga. Untuk tujuan tersebut, tak sedikit calon atau keluarga calon seketika menjalin hubungan kekeluargaan dengan mengawinkan bagian keluarga mereka dengan keluarga lain. Perkawinan politik ini bertujuan menarik suara dari keluaga calon besan. Pilihan berdasarkan kekerabatan  sangat terasa dalam pemilihan kuwu. Hal ini yang membuat antara keluarga besar calon saling bermusuhan. Dan permusuhan di antara mereka terkadang sampai bertahun-tahun. Tak jarang, dendam kusumat mereka sampai pada pemilihan Kuwu periode berikutnya. Corak poltik seperti ini yang saya yakin tidak ditemukan dalam pilkada maupun lainnya.
          Kedua, politik apa kata tokoh. Tokoh masyarakat di pedesaan memiliki pengaruh sangat besar. Seorang tokoh dapat mengarahkan calon pemilih untuk menentukan pilihan dalam Pilwu. Tokoh masyarakat yang berpengaruh akan menjadi rebutan para calon Kuwu. Mereka mendekati dengan berbagai cara untuk meminta kesedian sang tokoh menjadi team pemenangan. Dan terbukti, selama ini tokoh berpengaruh sangat signifikan menarik suara. Pengaruh tersebut lebih terasa pada desa-desa tertinggal, yang jauh dari sentuhan kemajuan tekhnologi atau pesatnya arus informasi.
          Ketiga, politik balas jasa. Corak politik seperti ini mungkin tak hanya di pedesaan di tingkat nasional pun berlaku. Mereka yang berjasa membantu, mendukung, mensukseskan calon kuwu menjadi kuwu biasanya akan diangkat menjadi perngkat desa. Maka, tak dapat terhindari pergantian kuwu akan  merombak  seluruh perangkat desa yang lama.
          Keempat, Politik para pejudi. Yaitu memilih calon karena faktor taruhan atau judi. Pejudi juga memilki andil yang tak bisa diremehkan dalam pemilihan Kuwu. Pejudi ibarat tangan ketiga, memiliki kekuatan yang seringkali ditakuti oleh para calon Kuwu. Mereka mampu merubah peta kekuatan. Tak jarang calon yang awalnya diremehkan, justru unggul dan menang. Pejudi mampu mengacak-acak perpolitikan di desa, apalagi bila pelaku judi datang dari luar. Mereka tak memiliki pertimbangan lain kecuali menarik keuntungan sebesar-besarnya. Ini yang di beberapa tempat menimbulkan kerusuhan. Dan Pilwu serentak, salah satu tujuanya untuk mengurangi peran para pejudi. Para pejudi dipaksa terpecah konsentrasinya karena pemiihan dilakukan secara serentak.
          Kelima, politik uang. Yakni membeli suara dengan segepok rupiah.  Memilih berdasarkan siapa yang memberi uang. Karena rendahnya kepercayaan masyarakat pada politisi memaksa mereka untuk berpikir pragmatis, siapa memberi dipilih. Dalam hal ini, sebagian masyarakat melakukanya secara berlebihan dengan menerima uang dari semua calon dan memilih calon yang memberi uang paling besar. Politik uang biasanya akan terbaca  dengan jelas saat akhir, menjelang pemilihan dilakukan. Politik uang di penghujung hari tenang biasa disebut dengan serangan fajar. Disebut serangan fajar karena uang dibagikan menjelang fajar (pagi buta) menjelang pemungutan suara.
          Singkatnya, corak politik  di atas menggambarkan ciri khas potret politik dan demokrasi di pedesaan. Potret politik yang banyak memiliki perbedaan dengan politik daerah atau politik nasional. Politik pedesaan memilki warna tersendiri. Poltik pedesaan menjadi kekayaan khazanah demokratisasi di tanah air. Apalagi, seperti disebutkan sebelumnya, politik pedesaan dalam Pilwu telah berumur cukup panjang.
          Terakhir, semoga pemilihan Kuwu di wilayah Cirebon kemaren mampu memilih para    pemimpin desa yang dapat memajuhkan dan mensejahterahkan  masyarakat pedesaan bersama unsur pemerinthan desa lainnya seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Pemberdayaan Desa (LPM). Amin. Wa Allahu ‘Alam (Dapat Dibaca di Harian Radar, Senin 26 Oktober 2015)




          

Awas! Ada Honorer K2 Siluman


Beberapa waktu lalu, tepatnya 15 September 2015, di hadapan Komisi II DPR,  Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi memutuskan akan mengangkat seluruh honorer K2 sebanyak 439.965 orang. Setelah kami berhitung dan mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya, kami putuskan untuk mengangkat ‎seluruh honorer K2, kata Yuddy pada rapat kerja Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Yuddy bahkan menambah lebih dari jumlah honorer K2. Jika hanya tercatat 439.965, ia membulatkanya menjadi 440 ribu orang. Proses pengangkatan ini tidak dilakukan secara serentak melainkan bertahap. Pengangkatan dimulai pada tahun 2016 sampai 2019. Keputusan ini diambil setelah dilakukan kajian dan aspirasi (tuntutan) dari honorer.
          Rencananya mulai tahun depan, pemerintah akan mengangkat 100 ribu tenaga honorer menjadi CPNS. Begitu seterusnya sampai 2019. Janji manis pemerintah ini, membuat kekhawatiran berbagai pihak terkait proses pengangkatan. Rencana pemerintah tersebut dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu.  Kekhawatiran terutama terkait dugaan munculnya tenaga honorer  K2 siluman. Yakni mereka yang muncul seketika dalam database honorer. Mereka yang sebelumnya tidak pernah tercatat bekerja sebagai tenaga honorer, muncul secara tiba-tiba bak siluman.
Adalah Luthfi A Mutti, anggota Komisi II  DPR RI (bidang pemerintahan dalam negeri) mensinyalir adanya indikasi jumlah tenaga honorer bodong yang menyusup. Dalam hitunganya, politisi asal partai Nasdem ini menyebutkan lebih dari 90 persen tenaga honorer K2 itu siluman. Luthfi meminta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi  (PAN-RB) menjalankan pengangkatan dengan benar dan transparan. Jangan sampai bekerja di bawah tekanan politisi. Menurutnya baik pemerintah maupun parlemen tentu ingin dicap positif oleh masyarakat. Namun caranya bukan dengan meloloskan tenaga honorer siluman menjadi CPNS.( Radar Cirebon, Rabu 21 Oktober 2015)
Kecurigaan dan kekhawatiran Lutfi A Mutti sangat beralasan. Pasalnya berdasrkan pengalaman pengangkatan honorer sebelumnya, praktek curang seperti itu memang ada dan nyata. Misalnya, penelitian dan temuan ICW pada tahun 2013 yang telah dilaporkan ke Bareskrim Polri. ICW telah menyerahkan 1.226 daftar pegawai honorer K2 siluman yang lolos dalam rekruitmen CPNS 2013 ke Bareskrim Polri. Daftar tersebut berasal dari enam wilayah kabupaten/kota di Indonesia. Enam wilayah itu adalah Tangerang,  Blitar,  Buton Utara,  Toba Samosir,  Tasikmalaya, dan  Garut. (http://nasional.kompas.com/)
Di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah,  sekitar 50 orang tenaga honorer kategori dua (K2) yang dinyatakan lulus menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) oleh Panitia Seleksi Nasional (Panselnas), terindikasi sebagai honorer K2 siluman. Mereka diketahui lulus tapi tidak benar mengabdi. Untuk itu,  BKD telah mengusulkan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (PAN-RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) agar berkas kelulusan mereka tidak diproses atau digugurkan. (http://bisnis.liputan6.com/)
Paling mutakhir, di Kudus, berdasarkan laporan Suara Merdeka edisi 16 Maret 2015, ada 32 honorer K2 yang dipermasalahkan setelah penerbitan SK CPNS. Pasalnya mereka dianggap siluman, tak tercatat sebelumnya sebagai tenaga honorer. Kecurangan tersebut terjadi karena ada oknum pejabat yang menyelundupkan puluhan honorer K2 siluman. Karena itu berbagai pihak menuntut dan meminta BKN Regional Yogyakarta mengambil langkah-langkah signifikan atas permasalahan yang diadukan. (http://berita.suaramerdeka.com)
Menyikapinya
          Melihat kasus-kasus di atas, semua pihak sebaiknya membantu pemerintah dalam hal ini BKN untuk bersama-sama mengawasi proses pengankatan honorer. Hal ini sebagai upaya mewuujudkan kejujuran di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Berikut hal-hal yang bisa disikapi oleh kita semua, pertama, mengawal data honorer. Pengawalan data honorer dapat dilakukan oleh semua pihak terutama para honorer sendiri. Berdasarkan pengalaman saya, saat proses pengangkatan dari honorer ke CPNS, data honorer dapat diminta dari BKD setempat. Lebih efektif, yang melakukannya adalah organisasi yang menaungi para tenaga honorer. Saya masih ingat, kordinator kecamatan seringkali mengajak mengecek secara bersama-sama validitas database. Kesempatan itu dapat digunakan untuk memeriksa lebih jauh, bila ada tenaga honorer yang tak dikenal sebelumnya.
          Kedua, melaporkan setiap ada kejanggalan dengan menyertakan bukti yang nyata dan valid. Melaporkan memang membutuhkan keberanian. Apalagi oknum yang dihadapi adalah para pejabat daerah yang tentu memiliki kekuasaan. Sebenarnya melapor tidak hanya pada saat menemukan honorer siluman dalam data base, tapi saat ada pengangkatan honorer oleh pihak terkait yang tidak memenuhi ketentuan juga dapat dilaporkan. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi PNS, Pasal 8 ditegaskan, sejak ditetapkanya Peraturan Pemerintah ini, semua Pejabat Pembina Kepegawaian dan pejabat lain dilingkungan instansi, dilarang mengangkat tenaga honorer atau yang sejenis kecuali ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Maka harusnya sejak, 11 Nopember 2005 (tanggal ditetapkan PP ini) tidak ada lagi pengangkatan tenaga honorer.
          Ketiga, penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan atau lainnya mustinya pro aktif, disamping menindaklanjuti setiap laporan juga ikut bersama-sama mengawasi database tenaga honorer K2 di daerahnya masing-masing. Pengawasan dari penegak hukun  akan menghadirkan efek jerah bagi oknum yang akan melakukan pemalsuan data tersebut. Kemudian Lembaga Perlindungan Saksi (LPS) diminta menjamin keselamatan setiap pelapor kasus.
          Keempat, meminta database dipublikasikan kepada masyarakat. BKD harusnya dapat menyampaikan database secara terbuka ke publik baik secara manual atau online. Sehingga masyarakat dapat menilai langsung. Hal ini untuk menjaga tranparansi, keterbukaan selama proses pengankatan. Kecurigaan khalayak luas akan terbantahkan  jika hal itu dilakukan. Dan penyelewengan pun dapat terminimalisir.
          Walhasil, hal-hal di atas bisa dilakukan, jika kita memiliki tekad kuat dan kepedulian yang tinggt dalam memberantas setiap penyelewengan. Dan tekat dan kepedulian itu harus dibangun oleh semua pihak. Dan akhir kata,  Kehadiran honorer K2 siluman harus diwaspadai oleh kita semua. Awas ada honorer K2 siluman di sekitar anda! Wa Allhu Alam
(Tulisan ini juga dimuat Di Harian Umum  Radar Cirebon, Jumat 23 Oktober 2015)










Piala Presiden dan Potret Pendidikan Kita


          Piala Presiden telah Berakhir. Minggu malam 18 Oktober 2015 menjadi saksi kemeriahan, kegembiraan para pecinta bola di tanah air. Laga final antara Persib Bandung dan Sriwijaya FC mengobati kerinduan masyarakat luas terhadap event bergengsi sepak bola Indonesia. Laga yang digelar di Gelora Bungkarno itu menjadi hiburan rakyat yang sangat berarti di tengah kepenatan hidup baik karena tekanan ekonomi, gunjang-ganjing politik, atau problematika bangsa lainnya. Presiden Jokowi pun turut hadir menyaksikan laga dua club terbaik hasil seleksi dalam Piala Presiden.
          Laga final Piala Presiden berakhir denga skor 2- 0 untuk kemenangan Persib Bandung. Persib Bandung berhasil membawa pulang trofi Piala Presiden 2015. Yaitu sebuah trofi unik, tak dibuat dari emas seperti piala kebanyakan, namun dari kayu jati. Trofi itu dibuat khusus oleh Ida Bagus Ketut Lasem, perajin asal Desa Kemenuh, Kabupaten Gianyar, Bali. Piala setinggi 60 sentimeter dengan berat 15 kilogram dan lebar 25 sentimeter diserahkan langsung oleh Presiden Jokowi.. Sementara Sriwijaya FC harus puas berada di urutan kedua setelah berjuang keras selama dua kali empat puluh lima menit.
          Untuk mengamankan kegiatan tersebut Kepolisian RI dalam hal ini Polda Metro Jaya telah mengantisipasi dari jauh hari. Berbagai upaya telah dilakukan. Termasuk mempertemukan para tokoh terkait untuk mencari kesamaan pemahaman. Pertemuan tersebut menghadirkan tokoh-tokoh kunci seperti Walikota Bandung, Ridwan Kamil sebagai orang tua Persib, juga Gubernur DKI Basuki  Tjahaja Purnam sebagai tuan rumah sekaligus pembina Persija. Seperti diketahui, Bobotoh dan The Jak Mania akhir-akhir ini seringkali terlibat pertikain massal atau  kerusuhan dalam event sepak bola seperti ini. Kemudian ribuan personil pun  diturunkan untuk mengamankan sebelum dan sesudah laga final.
          Secara umum pelaksanaan laga final Piala Presiden berjalan lancar, aman serta sukses. Walaupun riak-riak kecil masih terjadi, mengganggu kenyamanan, keamanan perhelatan sepak bola nasional tersebut. Seperti ditegaskan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Tito Karnavian, tidak ada kerusuhan selama final Piala Presiden 2015 di Jakarta. Sebab, aksi yang terjadi pada beberapa hari belakangan bukan terkategori sebagai kerusuhan. Yang ada hanya insiden kecil seperti pelemparan batu, saling dorong atau saling ejek. Selama proses pengamanan, sebanyak 39 orang ditahan polisi karena terbukti melakukan tindak pidana terkait dengan final Piala Presiden. Mereka ditemukan membawa bom molotov, senjata tajam, juga narkoba. Mereka pun diperlakukan sesuai proses hukum yang berlaku.
Selain itu, Polda Metro Jaya telah memulangkan lebih dari 1.000 remaja yang diamankan karena berpotensi menimbulkan kericuhan pada laga final Piala Presiden tersebut. Hampir 2.000 orang, setelah diidentifikasi, di-interview, difoto, kemudian dilepaskan. Sebagian besar dari mereka adalah remaja. Mereka  dijemput orangtua masing-masing. Para orangtua diminta menandatangani surat pernyataan untuk mengawasi anak-anak mereka.  Setelah dipelajari, banyak dari mereka yang berumur tanggung, para pelajar  yang hanya ikut-ikutan berdasarkan pesan di media sosial. (http://megapolitan.kompas.com/)
Keterlibatan para pelajar membuat keprihatinan dalam dunia pendidikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menilai bahwa kerusuhan yang terjadi pada laga final Piala Presiden 2015, Minggu kemarin, merupakan gambaran pendidikan di lingkungan hidupnya. Begitu seorang anak tumbuh, maka dia adalah hasil pendidikan di rumah dan di sekolah serta lingkunganya. Jadi itulah potret kita. Anies menegaskan, persoalan ini membuat dirinya khawatir karena kerusuhan itu melibatkan banyak anak di bawah usia pendidikan. Untuk itu Anis Baswedan mengajak seluruh pihak untuk sama-sama mencari solusi dan membereskan masalah pendidikan di Indonesia.  Menteri Anies juga meminta agar semua pelanggaran yang dilakukan oleh oknum-oknum tersebut diproses secara hukum. (http/nasional Kompas.com)
Catatan Untuk Civitas Pendidikan
Pernyataan Anis Baswedan telah menyadarkan kita semua, terutama civitas pendidikan bahwa output pendidikan masih jauh dari apa yang diinginkan. Pendidikan kita belum mampu mencetak generasi berakhlak mulia. Para pendidik belum dapat mengantarkan peserta didik menuju tujuan pendidikan nasional. Seperti disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pernyataan Anis Baswedan memang harus diapresiasi. Ini sesuatu yang jarang terjadi, tidak biasa dilakukan pejabat pemerintah apalagi sekelas menteri. Di Indonesia, pejabat kerapkali saling melempar tanggung jawab. Tapi pengakuan saja tak cukup. Butuh langkah konkrit. Butuh kerja keras. Dan tentu butuh tekad kuat, kerja sama, dukungan jajaran di bawahnya. Seperti apa hebatnya seorang Anis Baswedan tak bakal mampu merubah wajah dan potret pendidikan di Indonesia tanpa dukungan semua pihak terutama guru/pendidik sebagai garda terdepan, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Karenanya, pernyataan Menteri Anis Baswedan di atas harus dijadikan sebagai peringatan sekaligus pengingat bagi dunia pendidikan khususnya para pendidik, betapa berat dan tanggung jawab mereka menghadirkan generasi terbaik bangsa di masa yang akan datang. Sehingga apa yang terjadi di Piala Presiden tidak terulang kembali di waktu yang akan datang
Oleh karena itu, berikut beberapa catatan untuk kita semua, civitas pendidikan, yang  harus disikapi. Pertama,  pendidik harus berusaha lebih keras lagi dalam menjalankan tugas mendidik. Jangan lengah. Tantangan dalam mendidik anak sekarang jauh lebih sulit di bandingkan dulu, saat kita didik oleh guru. Tantangan sejalan dengan  perubahan zaman yang sangat cepat kemajuan perkembangan ilmu, sains, dan teknologi.
Kedua, berusahalah menjadi teladan terbaik. Anak-anak didik membutuhkan contoh nyata dari akhlak mulia. Mereka tidak sekadar butuh ilmu, tapi juga panutan hidup. Lebih lagi, arus global seringkali menggoyakan bahkan menumbangkan pondasi akhlak mereka.
       Ketiga, mengembangakan segala kemampuan dan kualitas diri menjadi tuntutan profesi yang harus dipenuhi. Guru harus mengasah SDM-nya dengan banyak membaca, belajar terus menerus, melakukan penelitian, melakukan trobosan dengan menciptakan metode, media pembelajaran misalnya. Guru tidak bisa stagnan, tangtangan dalam mendidik berputar cepat, silih berganti seiring dengan kecepatan perubahan zaman.

          Akhir kata, impian mewujudkan persepakbolaan  Indonesia yang profesional, bersih dari segala kecurangan seperti pengaturan skor, jujur, sportif, aman, menghibur, sekaligus bernilai ekonomi membutuhkan partisipasi dari semua pihak, semua elemen bangsa. Dan dunia pendidikan memilki peran penting, strategis dalam membentuk karakter, akhlak manusia Indonesia. Impian di atas tak akan bisa terwujud bila akhlak, karakter, prilaku kita semua masih seperti sekarang.
(Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, Rabu 21 Oktober 2015) 

Minggu, 18 Oktober 2015

Tentang Hari Santri Nasional


           Presiden Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional beberapa hari yang lalu. Awalnya Presiden Jokowi berencana memilih 1 Muharom, namun karena pertimbangan bahwa 1 Muharam adalah tahun baru Islam, sudah menjadi hari libur nasional maka tidak mungkin dijadikannya sebagai Hari Santri Nasional. Dipilihnya 22 Oktober didasari pada peristiwa bersejarah perjuangan para santri merebut kemerdekaan, yakni Resolusi Jihad di Surabaya dan sekitarnya.
          Setelah Indonesia menyatakan merdeka,  tepatnya 22 Oktober 1945, Netherland Indian Civil Administration (NICA) dari pemerintahan Belanda datang untuk kembali merebut kekuasaan  di Surabaya dengan membonceng pihak Sekutu. Mennyikapi  keadaan seperti itu, KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan tentara NICA dan Sekutu yang dipimpin Inggris tersebut. 
 Resolusi Jihad merupakan seruan wajib berjihad melawan penjajah yang diserukan oleh para ulama. Resulosi Jihad ditandatangani oleh KH Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 setelah bermusyawarah dengan ratusan kiai dari berbagai daerah. Resolusi Jihad adalah fatwah para ulama untuk merespons agresi Belanda kedua. Resolusi itu memuat seruan bahwa setiap muslim wajib memerangi penjajah. Para pejuang yang gugur dalam peperangan melawan penjajah pun dianggap mati syahid.
          Kaitan dengan 22 Oktober, Sekretaris negara, Pramono Anung menegaskan bahwa hari itu  tidak otamatis menjadi hari libur meski telah ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri (HSN) sendriri merupakan usulan dari internal kabinet dan pihak eksternal yang terkait.
Muhammadiyah Menolak
          Sayangnya, HSN yang merupakan pengakuan terhadap peranan penting umat Islam Indonesia  dalam perjuangan kemerdekaan tersebut tidak disepakati (baca: ditolak) oleh salah satu ormas Islam, dalam hal ini Muhammmadiyah.
Adalah Haedar Nasir, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang menyatakan Muhammadiyah keberatan dengan penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Muhammadiyah menilai penetapan Hari Santri Nasional dapat mengganggu ukhuwah umat Islam lewat polarisasi antara santri dan nonsantri yang selama ini sudah mulai mencair. Muhammadiyah juga secara resmi akan mengirim surat kepada Presiden,  menyatakan keberatan dengan penetapan  HSN tersebut. (http://khazanah.republika.co.id/)
Menurut Haedar, Muhammadiyah tidak ingin umat Islam makin terpolarisasi dalam kategorisasi santri dan nonsantri. Hari Santri akan menguatkan kesan eksklusif di tubuh umat dan bangsa. Padahal, selama ini santri-nonsantri makin mencair dan mengarah konvergensi. Untuk apa membuat seremonial umat yang justru membuat kita terbelah. Apalagi hari yang dipilih sangat eksklusif dan milik satu kelompok Islam. Hal itu kian menambah kesenjangan yang berpotensi mengganggu ukhuwah umat Islam.
Memaknai Lebih Jauh
          Sebenarnya Polarisasi seperti disebut Haedar Nasir adalah politik de vide et impera ala Belanda. Politik de vide et impera atau politik pecah belah ,  politik adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. (https://id.wikipedia.org/)
 Clifford Gerts seorang antropolog asal Amerika serikat setelah melakukan penelelitian pada tahun 1960 an mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan. Kelompok santri digunakan untuk mengacu pada orang muslim yang mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat islam. Kelompok abangan merupakan golongan penduduk jawa muslim yang memprtikkan islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan kelompok santri yang ortodoks dan cenderung mengikuti kepercayaan adat yang didalamnya mengandung unsur tradisi Hindu, Budha, dan Animisme. Sedangkan kelompok priyayi digunakan sebagai istilah orang yang memiliki tingkat sosial yang lebih tinggi atau sering disebut kaum bangsawan.
Sebenarnya penggolongan ketiga kategorisasi ini tidaklah terlalu tepat. Banyak ahli yang mementahkanya karena pengelompokkan priyayi – non priyayi adalah berdasarkan garis keturunan seseorang, sedangkan pengelompokkan santri – abangan dibuat berdasarkan sikap dan perilaku seseorang dalam mengamalkan agamanya (Islam). Dalam realita, ada priyayi yang santri dan ada pula yang abangan, bahkan ada pula yang non muslim.
       Dan sekarang sesungguhnya sudah tidak relevan lagi (baca:tidak tepat) berbicara soal polarisasi priyayi, santri, abangan. Karena saya yakin, kita sudah menyadari dan memahami bahwa polarisasi itu diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Sebenarnya Haedar Nasir sendiri mengakui, dalam bahasa beliau, selama ini santri-nonsantri makin mencair dan mengarah konvergensi. Karenanya saya menyangsikan, apa  Haedar Nasir mengajak kita kembali ke jaman penjajah dengan mengkategorikan kembali masyarakat jawa ke tiga kategori itu? Saya yakin, tidak.
          Oleh karena itu, menurut hemat saya, terlepas penolakan dari saudara-saudara kita, Muhammadiyah, selayaknya kita memaknai HSN lebih jauh lagi. Pemaknaan itu diantaranya menjadikan HSN sebagai pengakuan negara terhadap peran umat Islam apa pun golongan, kelompoknya. Pengakuan itu harus kita hargai dengan senantiasa meningkatkan peran dan fungsi kita dalam membangun bangsa dan negara. Peran umat Islam, siapa, apa pun golongannya akan berdampak positif pada kemajuan Indonesia.
Kemudian, HSN juga harus dimaknai sebagai hari persatuan umat Islam dalam mengisi kemerdekaan dan pembangunan. Bukan saatnya lagi kita mempermasalahkan santri atau tidak santri. Kita harus bersama-sama berperan aktif memajukan negara dan bangsa. Santri dalam HSN hanya simbol yang ingin diambil dari tubuh umat Islam Indonesia.
Akhir kata, HSN selayaknya menyatukan kita umat Islam untuk berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak sebaliknya. Karenanya,  sangat arif bila kita tidak memperdebatkannya lebih panjang lagi. Wa Allahu ‘Alam