Senin, 13 Juli 2015

SUKSES BERPUASA



          Kita sudah sampai di penghujung bulan suci Ramadhan. Pertanyaanya, apakah kita sukses dalam berpuasa? Mengacu surat Al Baqarah 184,  tujuan puasa adalah maqam (baca:predikat) taqwah. Bahwa berpuasa adalah sebuah proses yang mengantarkan kita menjadi orang yang bertaqwah. Jalaluddin Rakhmat (1995) menyebut puasa sebagai madrasah ruhani. Yakni wahana dan tempat pembelajaran bagi orang-orang beriman dalam mensucikan diri dari  segala macam kotoran baik jasmani maupun ruhani. Puasa menjadi sebuah proses seorang hamba mendekatkan diri pada Tuhannya. Tentu tidak mudah meraih gelar atau predikat taqwah. Rintangan, halangan, godaan telah menghadang kita selama berpuasa. Serangkaian Rintangan, halangan, godaan tersebut dapat menghancurkan dan menghapus pahala berpuasa bila kita tak mampu menaklukkannya.
          Ramadhan menggembleng dan melatih kita untuk selalu mentaati Allah SWT, menjauhi larangan-Nya. Di dalamnya kita berlatih jujur, peduli dengan sesama dengan merasakan lapar dan dahaga kaum du’afah (orang lemah). Selama berpuasa kita mengikis habis berbagai penyakit hati seperti riya’, hasud atau iri dengki, ghibbah (membicarakan orang lain), nammimah atau mengaduh domba, fitnah (menuduh orang). Dalam berpuasa juga kita menahan ammarah atau emosi tak terkendali. Ramadhan benar-benar menjadi madrasah ruhani (baca:tempat belajar jiwa) yang mampu membersihkan dan mensucikan manusia dari berbagai kotoran dan dosa. Setelah berpuasa kesucian jiwa kita diharapkan kembali. Itulah makna idul fitri.
Sukseskah puasa kita?
          Kesuksesan berpuasa dapat diukur dengan mengevaluasi diri, sejauh mana kita meraih tingkatan taqwa. Dan ketaqwaan dapat dilihat dari ciri-cirinya, yang melekat pada diri muttaqin atau orang yang bertawa. Al Quran menyebutkan ciri orang bertaqwa di antaranya, Pertama, dalam Al Baqarah ayat 3-4 dijelaskan bahwa ciri orang bertaqwa adalah 1)meyakini hal-hal gaib, 2) gemar mendirikan salat, 3) suka menafkakan sebagian hartanya kepada yang membutuhkan, 4) menerima, mengimani dengan segala konsekuensinya termasuk pasrah sepenuhnya terhadap ajaran yang diturunkan kepada nabi Muhamad SAW dan 5) meyakini adanya hari akhirat.
Jelasnya, bahwa orang bertaqwa adalah orang yang memilki keimannan yang kuat. Iman yang melahirkan ketaatan pada Allah dan rasul-Nya. Apa yang diperintahkan Allah atau rasul-Nya, dilakukan dengan sepenuh hati didasari niat dan tekad untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ia senantiasa mendirikan salat dengan khusuk dan ikhlas sehingga salatnya tersebut dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar. Ia selalu berbagi dengan saudara-saudaranya sesama manusia yang membutuhkan baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit, baik saat senang maupun saat susah. Dalam puasa hal-hal di atas telah dilatihkan pada kita. Salat tarawih menamkan kecintaan pada salat. Zakat, infaq dan sedekah saat berpuasa sangat diutamakan dalam Ramadhan. Merasakan lapar, dahaga bertujuan  berbagi rasa, membangkitkan empati dan kepedulian terhadap sesama.
Kedua, surat Al Baqarah ayat 177 menjelaskan ciri-ciri orang bertaqwa di samping seperti yang telah disebutkan dalam ayat 3-4 seperti beriman, mendirikan salat dan lainnya, dalam ayat ini ditambahkan ciri orang bertaqwah  yang lain yaitu bersedia membebaskan budak, menunaikan zakat, memenuhi janji, bersabar dalam segala hal.
Bagi orang bertaqwa zakat adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Zakat adalah ibadah sosial yang memupuk rasa empati dan kepedulian terhadap sesama. Zakat diwajibkan kepada mereka yang memilki harta lebih. Dalam berpuasa kita mengakhirinya dengan zakat fitrah untuk membersihkan jiwa kita. Lebih jauh, bahwa merasakan lapar atau dahaga saja tidak cukup, kita harus segera berbagi.
Memenuhi setiap janji menjadi karakter lain orang yang bertaqwa. Janji memang hutang yang harus dibayar. Kemudian orang bertaqwa senantiasa bersabar dalam menjalankan kehidupan. Sabar dalam artian menerima dengan lapang apa yang menimpa dirinya, atau apa yang didapat. Dalam sebuah hadis ditegaskan sabar itu ada tiga macam yaitu sabar dalam menjalankan perintah, sabar dalam menjauhi larangan, dan sabar saat tertimpa musibah.
          Ketiga, dalam Surat Aali 'Imraan 133 – 135 disebutkan, diantara tanda orang bertaqwa adalah menafkan sebagian hartanya saat lapang maupun sempit, menahan amarah, suka memaafkan, memohon ampun, tidak berbuat keji. Allah SWT telah berfirman, “Orang-orang yang menafkahkan , baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan  orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.Dan  orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri , mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”     
          Nah, sekarang saatnya mengevaluasi diri apakah sifa-sifat di atas sudah tertanam, melekat pada diri kita? Jawaban kita menjawab sukses tidaknya kita berpuasa. Sukses atau gagal berpuasa akan  terlihat jelas saat meninggalkan Ramadhan. Coba renungkan, kalau selama ini kita basahi lisan kita dengan dzikir, salawat, bacaan Al Quran bagaimana setelah Ramadhan? Apakah lisan kita masih istiqamah? Atau sebaliknya? Lisan yang saat berpuasa digunakan untuk dzikir, salawat, bacaan Al Quran itu sekarang kita gunakan untuk menggunjing orang, memfitnah atau mengadu-domba. Begitu seterusnya. Semoga kita tergolong orang-orang yang dapat mempertahankan kesucian jiwa setelah berpuasa. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir bathin.



Ketika Hukum Ditegakkan Bukan Demi Hukum

          Baru redah konflik KPK-Polri, sekarang akan ada konflik baru. Konflik yang menarik Komisi Yudisial  (KY) dan Polri berhadapan, bersitegang. Adalah Ketua KY Suparman Marzuki dan Komisioner lainnya Taufiqurrahman Sauri telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik yang diduga dilakukan keduanya terhadap hakim Sarpin Rizaldi. Hakim kontroversial yang pernah menggugurkan status tersangka Komjen Budi Gunawan itu, melalui salah satu pengacaranya, melaporkan keduanya pada tanggal 30 Maret 2015. Sarpin menganggap keduanya telah mencemarkan nama baiknya soal putusan praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
          Menurut sudut pandang komisioner KY seperti yang ditegaskan Taufiqurrahan Sauri, dalam melaporkan dugaan pencemaran nama baik, Sarpin tidak memenuhi kedudukan hukum yang sesuai sebagai korban karena  apa yang dikomentari oleh kedua pimpinan lembaga tinggi negara itu hanya sebatas hasil putusan saat memimpin praperadilan, bukan pernyataan secara pribadi. (.kompas.com, 10/07/2015)
            Sebaliknya, Penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri  menegaskan, penetapan tersangka tersebut sesuai prosedur. Dua alat bukti  telah ditemukan. Yakni  tulisan di media massa yang menurut pelapor telah mencemarkan nama baiknya dan keterangan saksi ahli bahasa serta ahli pidana. Dua alat bukti  sudah cukup menetapkan terlapor menjadi tersangka. Rencananya, Penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri akan memanggil kedua tersangka tersebut pada Senin (13/7/2015) .
Sebelumnya (30 Juni 2015) KY memutuskan untuk memberikan rekomendasi sanksi berupa skors selama 6 bulan terhadap Sarpin Rizaldi. Keputusan ini diambil dalam rapat pleno yang diikuti semua Komisioner KY. Ini mirip dengan apa yang menimpa KPK beberapa waktu lalu, saat kedua pimpinan (AS, BW) ditetapkan sebagai tersangka setelah menetapkan Jendral BG sebagai tersangka. Kemiripan ini yang mempercepat mengalirnya dukungan publik terhadap KY.
Kenapa kerap kali terjadi?
          Konflik antara penegak atau lembaga hukum seperti ini bukanlah  yang pertama terjadi. Sering. Bahkan kerap kali terjadi. KPK-Polri saja orang menghitung sudah tiga jilid yang disebutnya sebagai pertarungan cicak vs buaya. Nah sekarang kembali, menimpa KY-Polri. Apa ini juga akan berjilid-jilid? Waktu yang akan menjawab. Sebagai orang awam hukum, saya mempertanyakan kenapa ini terjadi? Dan saya yakin bukan hanya saya yang mempertanyakannya, segenap rakyat pun memendam perasaan yang sama.
          Menurut hemat saya, konflik-konflik di atas terjadi karena hukum ditegakan bukan  demi hukum itu sendiri tapi untuk kepentingan lain. Karenanya saya melihat konflik seperti itu sebagai konflik kepentingan. Ada beberapa kepentingan (baca:motif) yang sering muncul, mencampuri hukum pertama, kepentingan politik. Ini sangat dominan dan kerap kali terjadi. Menurut Asrul Ibrahim Nur, Peneliti Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research, jika upaya penegakan hukum disusupi hal yang berbau politis maka sudah jelas penanganan suatu kasus akan terseret ke ranah politisasi. Hal ini ditandai misalnya dengan pengumuman tersangka suatu kasus yang menunggu momentum tertentu. (http://www.theindonesianinstitute.com). Bila kasus hukum masuk ke rana politik biasanya konflik akan memakan waktu lebih lama, dan melibatkan banyak pihak karena dalam politik banyak dan beragam  kepentingan.
          Dalam kasus-kasus sebelumnya seperti KPK-Polri dari jilid 1 sampai yang terakhir motif politk sangat terlihat dengan jelas. Sehingga peneyelesainnya pun beraroma politis yang tak jarang mengedepankan kompromi-kompromi. Untuk kasus KY-Polri, mungkin belum bisa ditarik kesimpulan. Waktu akan menjawab. Dan khalayak ramai secara cepat pasti akan bisa memahami.
          Kedua, berlatar belakang dendam. Dendam muncul pada institusi atau penegak hukum saat anggotanya terjerat kasus hukum di institusi/penegak hukum lainnya. Dendam itu memburu yang dianggap lawan (penegak dan institusi lain), walau secara hukum belum tentu bisa dibuktikan kesalahannya.
          Ketiga, melemahkan peran intitusi lain. Untuk hal ini, KPK telah diyakini oleh publik sebagai institusi atau penegak hukum yang perannya sering dilemahkan oleh berbagai pihak, termasuk intitusi atau penegak hukum lainnya. Kenapa? Karena KPK menjadi ancaman bagi pelaku korupsi. Sedang mereka (baca:Koruptor) ada hampir di semua lini kepemerintahan termasuk di intitusi/penegak hukum seperti Polri, Kejaksaan. Bagi koruptor KPK adalah musuh  bersama. Semangat melemahkan peran ini sangat berbahaya bagi penegakan hukum.
          Saat hukum ditegakan bukan untuk tujuan hukum  maka itu disebut kriminalisasi. Kriminalisasi diartikan sebagai sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat oleh karena hanya karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap perlakuan sebagai kriminalisasi formal dalam peraturan perundang-undangan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kriminalisasi)
Solusi ke depan
          Ke depan agar tidak terjadi lagi kriminalisai antara penegak atau institusi hukum, menurut saya ada beberapa hal yang dapat dilakukan, pertama, pimpinan-pimpinan penegak atau institusi hukum sebaiknya jangan dari kalangan poltisi, atau orang yang bersentuhan dengan poltik. Seperti Jaksa Agung, Ketua KPK, idealnya dipilih bukan dari kalangan poltisi atau yang pernah bersentuhan dengan politik seperti mantan politisi. Hal itu akan menarik lembaga yang dipimpinnya pada kepentingan politi tertentu.
          Kedua, melihat konflik yang pernah terjadi antara penegak hukum, pimpinan  intitusi/penegak hukum  jangan dipilih dari mereka yang pernah berkonflik. Contoh konkrit sekarang pansel KPK mestinya tidak memilih calon dari Polri atau Kejaksaan. Kenapa? Karena kedua lembaga itu pernah berkonflik dengan KPK, bisa jadi nanti akan menjadi problem tersendiri bagi KPK dalam memaksimalkan perannya memberantas korupsi.
          Ketiga, meningkatan profesionalitas.  Penegak hukum profesional akan menegakkan hukum secara adil. Yang dilakukan pasti semata-mata untuk hukum. Profesionalitas itu bisa dilakukan dengan pendidikan dan pelatihan yang terpadu, terprogram dan sistemik.
          Keempat, pada pihak lain diharapkan tidak mencampuri urusan hukum. Biarkan para penegak hukum menjalankan tugasnya. Beri kepercayaan pada mereka.
          Ringkasnya, saat hukum ditegakan bukan kerena hukum itulah kriminalisasi. Kriminalisasi antara penegak hukum akan mengganggu laju proses penegakan hukum itu sendiri. Dan mandegnya pengekan hukum akan merugikan kita semua sebagai bangsa yang bercita-cita menghadirkan keadilan bagi semua rakkyat. Nah, selayaknya kita semua menghindarinya. Wa Allahu Alam



Jumat, 10 Juli 2015

Kenapa MK Melegalkan Dinasti Politik?

          Pada tanggal 8 Juli 2015 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya melegalkan dinasti poltik. Dalam persidangan yang dipimpin oleh  Ketua MK Arief Hidayat, MK secara resmi membatalkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015  tentang Pilkada Pasal 7 Huruf r, yang menyebutkan bahwa syarat  calon   kepala daerah (gubernur, Bupati atau Walikota) tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan. Adapun permohonan uji materi diajukan oleh seorang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan.
          Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan dengan petahana memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Padahal, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam  UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 3 yang mengaskan, setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. Kemudian MK memandang Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 juga sulit dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada. Ini karena pemaknaan terhadap frasa ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai kepentingannya hingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. (http://print.kompas.com/baca/2015/07/09)
Latar Belakang
          Latar belakang pelarangan calon kepala daerah  memiliki konflik kepentingan kekerabatan (baca:hubungan keluarga) dengan petahana di antaranya pertama, ada (bisa disebut banyak, dan menjadi kecenderungan) sejumlah kepala daerah yang terpiih menggantikan suami, orang tua, atau keluarga initi lainnya setelah mereka menjabat dua periode dan tidak diperbolehkan mencalonkan kembali. Bakhan ada satu propinsi yang beberapa Walikota/Bupati saling memiliki hubungan kekerabatan dengan gubernurnya. Sebut saja propinsi Banten misalnya, Wakil Bupati Serang Tatu Chasanah adalah adik kandung Gubernur Banten (nonaktif) Atut Chosiyah. Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman adalah adik tiri Atut. Adapun Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany adalah adik ipar Atut dan Wakil Bupati Pandeglang Heryani adalah ibu tiri Atut.
          Kedua, faktor kecemburuan politik dan sosial. Sebuah daerah tentu banyak yang berpotensi dan ingin memimpin. Menjadi tidak fair, tidak imbang ketika seorang calon pemimpin harus berhadapan dengan keluarga petahana. Karena dalam banyak hal mereka akan terkalahkan oleh keluarga petahana. Di tambah lagi masyarakat terbiasa merasa nyaman pada zona aman, lebih suka mempertahankan yang ada dibanding mengusung perubahan.
          Ketiga, kecenderungan penyalagunaan wewenang sang petahana dalam pilkada, tentu untuk membantu calon yang memiliki hubungan kekerabatan denganya. Potensi ini sangat wajar muncul karena faktor kekerabatan di antara keduanya, serta keinginan melanggengkan kekuasaan sang petahana. Potensi ini telah mengantarkan tidak sedikit kepala daerah berakhir di jeruji besi sebab kasus korupsi.
          Keempat, memproteksi diri dan keluarga dari sentuhan penegak  hukum. Petahana yang tak bisa mencalonkan lagi, untuk mengamankan diri, keluarga, serta harta kekayaannya mendorong salah satu (bisa istri, anak, adik) keluarga untuk menggantikannya dengan tujuan mengamankan apa yang telah diraih, telah dilakukan selama memimpin dari sentuhan penegak hukum. Bukankah penegak hukum seringkali terbendung saat  berhadapan dengan kekuasaan?
Demokrasi ala Dinasti
          Ungkapkan di atas dimaksudkan bahwa politik dinasti tidak serta merta ada tanpa dukungan rakyat. Artinya politik dinasti lahir konstitusional lewat jalur demokrasi yakni pilkada. Dengan demikian sebenarnya tidak ada yang salah selagi proses pilkadanya berjalan jujur dan adil. Persoalan muncul saat pilkada tidak jurdil, direkayasa, penuh intrik. Dan kecurangan-kecurangan tersebut lebih lebih mudah dilakukan oleh calon petahana karena kekuasaan yang mereka miliki. Saya tidak mengatakan selain mereka tidak ada potensi, tetap ada walau lebih kecil potensinya.
          Sebenarnya dinasti politik takkan berdiri kokoh bila tidak mendapat dukungan dari rakyat. Pilihan rakyatpun tentu beralasan. Bisa jadi karena sang petahana sukses dalam membangun, mensejahterahkan mereka. Apalagi rakyat sekarang sudah mulai melek politik. Hanya memang kekuasaan kalau terlalu lama itu secara umum cenderung korup. Tapi tidak selalu, tergantung pada moralitas orang yang bersangkutan. Kaitan dengan ini Mahfud MD (2015) menegaskan bahwa fenomena politik dinasti yang berkembang di Indonesia bukan semata-mata menyangkut persoalan konstitusionaliitas. Fenomena ini merupakan masalah moralitas politik. (http://nasional.kompas.com/read/2015/07/08/21043481/Mahfud.Nilai.Putusan.MK.Terkait.Politik.Dinasti.Sudah.Tepat)
          Kekuasaan terlalu lama yang cenderung korup itu yang harus diwaspadai, dikontrol oleh semua elemen  seperti  penegak hukum, LSM, jurnalis, media. Dan mereka dituntut berani membongkar penyelewengan-penyelewengan, bila ada. Kontrol dan pengawasan mereka harus netral dari pengaruh kekuatan politik mana pun. Netralitas sangat penting untuk menegakan keadilan dan kejujuran bagi semua pihak. Bila mereka (baca:penegak hukum dan lainnya) tak mampu, tak kuasa mengontrol maka keputusan MK bakal semakin membuat subur politik dinasti yang sedang disangsikan, dicurigai oleh khalayak ramai.  Dinasti politk bakal mempersulit regenerasi dan menutup ruang bagi tokoh baru potensial yang tak memiliki trah politik dinasti. Ini yang disayangkan oleh pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio (2015),  kenapa MK mengabulkan uji materi terhadap pasal tersebut. Seharusnya MK tidak hanya mempertimbangkan dari sisi hukum tapi dari sisi keadilan masyarakat untuk mendapatkan pimpinan yang memang betul-betul dari piliha mereka. (http://news.detik.com/berita/2963518/)
            Akhirnya, setelah dinasti politik dikukuhkan oleh MK. Sekarang kita hanya bisa berharap ke partai politik. Jika ternyata parpol berubah sikap pasca putusan MK dengan tetap mencalonkan keluarga petahana maka pada dasarnya parpol telah mengingkari komitmen saat mereka membahas UU Pilkada beberapa waktu lalu untuk mendemokratiskan pelaksanaan pilkada dan untuk menciptakan regenerasi kepemimpinan di tingkat daerah yang akan membawa manfaat untuk rakyat. Mereka kembali mengkhianati rakyatnya. Wa Allahu ‘Alam
(Dimuat di Harian Radar, Sabtu, 11 Juli 2015)



Rabu, 08 Juli 2015

Di Balik “Menteri Menjelek-jelekan Presiden”



          Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan statemen Menteri dalam negeri, Tjahjo Kumolo yang mengatakan ada menteri yang menjelek-jelekan presiden. Ungkapan itu membuat publik bertanya-tanya siapa menteri dimaksud? Tjahyo tak bergeming, tak menyebutkan nama dengan alasan tidak etis. Sebuah jawaban yang menurut saya mengambang, menimbulkan tanya. Apa mengumbar statemen ke publik, menuduh rekan sesama anggota kebinet etis? Jelas tidak etis, apalagi di bulan suci Ramadahan.Itu bagian dari fitnah. Kalau alasanya untuk menjaga wibawa presiden sebenarnya ada cara lain yang lebih elok, bijak, mulia seperti menyelesaikannya secara internal antara PDIP dan presiden Jokowi. Tak perlu disampaikan ke publik. Nampaknya ada maksud lain dibalik tuduhan itu. Ada apa di balik “menteri menjelek-jelekkan presiden”?
          Dengan mudah rakyat membacanya sebagai manuver politik. Tujuannya tak lain mendorong lebih cepat dilakukannya resufle kabinet. Ini bukan pertama kali. Sebelumnya elit PDIP menyebut ada brutus di istana yang menghalangi-halangi komunikasi bu Megawati dengan Jokowi. Dari sudut pandang mereka (baca:elit PDIP) istilah brutus digunakan karena dianggap sebagai benalu bagi Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan sekaligus sebagai penghalang komunikasi Jokowi dengan PDIP sebagai partai pengusung. Mereka diklaim sebagai pengkhianat. Saat itu tuduhan mengarah ke sekretaris kabinet Andi Wijayanto, Luhut Panjaitan, dan Rini soemarno. Nah, untuk yang sekarang tuduhan mengarah ke siapa?
          Adalah Ahmad Basyarah yang pertama kali memberi kesaksian di salah satu TV nasional  tentang rekaman suara yang diduga kuat seorang menteri, dalam sebuah acara, menjelek-jelelkan presiden. Sayang dia tak menyebut nama. Kemudian sinyalemen itu dilanjutkan oleh Politisi PDI Perjuangan lainnya Masinton Pasaribu yang menegaskan bahwa sang menteri dimaksud adalah salah satu menteri permpuan di jajaran kementerian bidang ekonomi. Tuduhan kembali mengarah ke Rini soemarno.
Siapa sebenarnya Rini Soemarno?
          Pertanyaan di atas wajar muncul. Karena sejak awal kabinet kerja dilantik perempuan yang satu ini selalu mendapat sorotan dan tuduhan miring. Mulai dari tuduhan agen neoleberal dalam bidang ekonomi sampai urusan kewarganegaraan ganda. Anehnya tuduhan itu datang dari PDIP yang merekomendasikan Rini bergabung dengan Jokowi dan menjadikannya sebagai ketua team transisi berasama Andi Wijayanto, Akbar Faisal dan lainnya.
          Perempuan yang bernama asli Rini Mariani Soemarno lahir di Maryland, Amerika Serikat, 9 Juni 1958. Ayahnya, Soemarno, merupakan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan Kabinet Kerja III periode 1960-1962. Di tahun 1962-1963, Soemarno masih menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia dan juga Menteri Urusan Bank Sentral Kabinet Kerja IV. Kemudian mulai 1964-1966, Soemarno menjabat sebagai Menteri Koordinator Kompartimen Keuangan di empat kabinet yang berbeda. Alasan ditunjuknya sebagai Gubernur Bank Indonesia ialah karena Soemarno pernah menjabat sebagai Eksekutif Direktur Bank Internasional untuk Rekontruksi dan Pembangunan di Washington mulai 1 November 1958 hingga Oktober 1960.
          Pada masa kecilnya, Rini pernah berpindah Amerika Serikat, Jakarta, dan Belanda karena tugas ayahnya. Rini mendalami studi ekonomi di Wellesley College, Masschusetts, Amerika Serikat pada tahun 1981. Setelah lulus, Rini sempat magang di Departemen Keuangan Amerika Serikat dan memulai karirnya dengan bekerja di Citibank Jakarta pada tahun 1982. Karirnya terus melesat hingga menggapai kursi Vice President yang menangani Divisi Coorporate Banking, Marketing and Trainning. Sukses di Citibank tak membuat Rini lantas berpangku tangan malah menginginkan tantangan yang lebih besar. Karena itu, pada 1989 ia kemudian memilih pindah ke PT Astra Internasional untuk dapat terus mengembangkan dirinya. Dengan filosofi ingin berkarya sebaik mungkin, Rini terus mendaki tangga sukses. Tahun 1990 karirnya di Astra Internasional berbintang terang. Tahun itu ia dipercaya William Soeryadjaya, komisaris perusahaan itu, menduduki kursi Direktur Keuangan Astra Internasional sampai 1998. Pada Kabinet Gotong Royong tahun 2001 hingga tahun 2004, Rini dipercaya sebagai menteri perindustrian.
          Kedekatanya dengan Megawati Soekarno Putri menjadikan khalayak menganggapnya sebagai kader PDIP. Namun mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo membantah bahwa Rini adalah anggota atau kader partai. Menurut Tjahjo, Rini sudah dekat jauh sebelum menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian era Megawati Soekarnoputri. Rini pun membenarkan perihal kedekatannya dengan Megawati. Rini menceritakan sejarah kedekatan ayahnya dengan Presiden Soekarno, ayah Megawati. Dia mengatakan kakak tertuanya seumuran dan bersahabat dengan Guntur Soekarnoputera (kakak Megawati). Kakak perempuannya satu sekolah dengan Sukmawati Soekarnoputri (adik Megawati). Namun secara pribadi, Rini mengaku tak banyak berinteraksi dengan mereka karena umur jauh berbeda. Setelah menjadi menteri, Rini baru intens berinteraksi dengan Megawati. Karena kedekatannya dengan Megawati membuat dia terpilih menjadi Kepala Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-JK.
          Rini Soemarno sengaja dipasang oleh Megawati sebagai orang kepercayaannya di lingkungan Jokowi. Dari Rini, Mega berharap banyak mendapat informasi terkait dengan Jokowi. Melaluinya, Mega menyampaikan pesan ke Jokowi. Rini dijadikan seperti  Radar buat Megawati yang setiap saat dapat memantau gerak-gerik Jokowi. Tapi yang terjadi justru kebalikannya, Rini nampaknya memilki agenda tersendriri. Dia akhirnya lebih setia ke Jokowi yang sekarang menjadi atasanya. Nah, alasan inilah yang memerahkan telinga elit PDIP. Mereka geram, meyebutnya sebagai pengkhianat (baca:brutus istana), menuduhnya mendistorsi pesan Megawati, serta menghalang-halangi komunikasi Mega - Jokowi. Dan terakhir ia dituduh sebagai menteri yang menjelek-jelekkan presiden.
Pelajaran bagi Publik
          Dagelan politik tingkat tinggi ini banyak memberi pelajaran pada publik atau rakyat. Diantaranya dapat saya sebut, pertama, politik selalu buta, menghalalkan segala cara untuk mengejar apa yang menjadi kepentingan. Praktek-praktek keji seperti menuduh, mendiskriditkan, menjadi wajar dilakukan untuk sebuah kepentingan. Politik  seringkali tak mengenal etika, norma juga agama. Agama hanya seringkali dijadikan alat dalam mencapai tujuan politik. Dagelan-dagelan semacam ini sering bermunculan baik di daerah maupun di Jakarta. Ini membuka mata rakyat bahwa dalam politik tidak selalu untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi melulu untuk kepentingan kelompok ,golongan atau keppentingan partai.
          Kedua, dalam politik tak mengenal lawan dan kawan. Tidak ada kawan sejati. Sebaliknya tidak ada lawan sejati. Yang ada adalah kepentingan sejati yang dikejar walau harus menghancurkan pertemanan dan persahabatan. Maka tak heran hari ini kawan besok menjadi lawan atau sebaliknya. Orang menyebut politik itu cair, susah ditebak. Jelas susah ditebak, karena kepentingan juga selalu cair. Di sinilah antara kawan dan lawan bercampur. Bagi orang awam seperti saya kadang susah memilah-milahnya.
          Ketiga, mempertanyakan politk santun. Apa ada politik santun? Belakangan para poltisi kerapkali menyebut-nyebut poltik santun sebagai jargon baru mereka dalam berpolitk. Secara teori bisa jadi poltik santun dapat dipahami sebagai berpolitk yang mengedepankan etika dengan menghindari fitnah, pembunuhan karakter, mencarai kambing hitam, atau lainnya. Tetapi pada dataran praktis bisa disimpulkan hampir tak ada yang namanya poltik santun. Poltik terlihat kejam. Poltik tebukti keji dengan menhalalkan segala cara (walau melanggar etika) dalam menggapai tujuan.
          Akhir kata, siapa dibalik “menteri yang menjelek-jelekkan presiden”? Hanya Allah dan pelaku sesungguhnya yang mengetahui. Karena semuanya masih dalam putaran tuduhan yang belum terbuktikan. Dan ada apa dibalik “menteri yang menjelek-jelekkan presiden” ? Kembali hanya Allah dan pihak yang menuduh yang mengetahui maksud sesungguhnya dari upaya tuduhan itu. Bagi rakyat awam seperti saya, sudah beruntung bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari manuver-manuver politik seperti itu. Pelajaran untuk selalu waspada, memahami setiap sepak terjang para politisi di negeri ini. Hal itu tentu untuk menentukan pilihan di waktu akan datang. Wa Allahu ‘alam