Rabu, 22 Februari 2017

Politik Agama dan Pemilih Rasional


          Pilkada 15 Februari lalu memberi banyak pembelajaran. Saya menyaksikan Pilkada 2017 lebih pada Jakarta sentris. Pilgub Jakarta mendapat perhatian dan sorotan publik luar biasa. Namun demikian, Pilgub DKI Jakarta telah menggambarkan kematangan demokrasi Indonesia. Walau harus diakui, suhu politik di Jakarta kadang membuat kita semua waswas, khawatir. Pilkada Jakarta  telah menguras energi bangsa ini. Politik Pilkada Jakarta melebar ke banyak ranah. Masuk ke wilayah hukum, juga agama. Begitulah politik,  demokrasi.
          Dalam Pilkada DKI Jakarta, ada dua hal yang menarik perhatian saya. Pertama soal politik agama dan pemilih rasional. Pertanyaannya apa kedua hal tersebut saling terkait? Menurut Sumanto Al Qurtuby, relasi antara agama dan politik memang sangat dinamis, unik, menarik, sekaligus lucu. Keduanya kadang saling berseteru. Juga bisa menyatu. Kemudian apa politik agama telah berhasil mempengaruhi pilihan rakyat? Apa masyarakat Jakarta cukup rasional dalam menentukan pilihannya?
          Sebelum lebih jauh, apa sebenarnya politik agama itu? Politik sejatinya merebut kekuasaan dengan cara yang demokratis, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, politik agama dapat dipahami sebagai berpolitik dengan menggunakan isu, simbol dan dogma agama. Agama dimanfaatkan untuk meraih kepentingan politik. Sekarang apa politik agama sah dilakukan? Tentu sah-sah saja. Di Indonesia, semua hal bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Penegakan hukum, pendidikan, birokrasi bahkan agama sekalipun. Khusus prihal politik agama, Pilkada Jakarta pada tahun ini menjelaskannya secara terang benderang.
Politik Aksi Damai
          Berawal dari pernyataan Gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama terkait surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu. Dimanfaatkan oleh pihak yang bersebrangan dengannya, Ahok menjadi bulan-bulanan publik Jakarta, bahkan rakyat Indonesia. Ahok dicaci, dibenci juga  diancam. Isu agama berdalih penistaan Al Quran dimanfaat dengan sangat cantik oleh segelintir aktor politik. Hal itu yang tak disadari oleh umat Islam Indonesia. Padahal pernyataan Ahok seputar Al Maidah 51 itu berada pada area multi tafsir. Banyak perbedaan pendapat, para ulama berbeda dalam menafsirkan makna dan kandungan ayat tersebut. Sebagian ulama besar di tanah air semisal Prof Quraish Shihab, KH. Maimun Zubair, KH. Mustofa Bisri, KH Said Aqil Siradj, dan Prof Syafii Maarif tak menemukan penistaan dalam kalimat-kalimat yang dilontarkan Ahok. Kata auliya bagi mereka tak berartikan  pemimpin seperti diyakini peserta aksi.
Rentetan aksi damai umat Islam (411, 212) mampu menggiring suara publik. Terbukti, berdasarkan berbagai hasil survei  suara Ahok-Djarot merosot tajam. Menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI) Denny JA, suara Ahok sempat terjun bebas ke angka 10.6% setelah sebelumnya memimpin. AHY melesat tinggi. Bermodalkan 0% di awal, dapat menyentuh 32. 30 persen mengungguli kedua calon lain. Sementara Anies  di posisi 31.10 %. Bahkan saat itu,  Burhanudin Muhtadi, direktur Indikator merasa heran. Dia mengatakan, kita sudah pengalaman survei ribuan kali, tetapi baru kali ini ada data kinerja dan elektabilitas tidak berbanding lurus. Biasanya kalau puas akan memilih lagi. Kepuasan masyarakat terhadap kinerja Ahok-Djarot tak berbanding lurus dengan pilihan mereka, ada apa sebenarya? Tak lain karena kesuksesan menggiring isu penistaan agama ke rana politik Pilkada.  Warga DKI nampaknya terkesimak dengan aksi-aksi tersebut.
Keadan berbalik setelah debat kandididat digelar. Suara Ahok-Djarot berdasarkan berbagai survei perlahan tapi pasti naik terus. Sampai pada akhirnya, 15 February 2017 lalu Pilkada DKI Jakarta berdasarkan hitung cepat berbagai lembaga survei memenangkan pasangan nomor urut 2, Ahok-Djarot. Apa yang diragukan oleh Burhanuddin Muhtadi soal kepuasan dan pilihan warga tak terbukti. Ahok unggul karena kinerjanya dinilai memuaskan. Pasangan yang diusung PDI-P dan lainnya tersebut memperoleh suara berkisar 43%, disusul Anis-Sandi 39% dan paling buncit AHY-Silvy 17%.  Apa yang bisa disimpulkan dari fenomena ini? Saya melihatnya sebagai pilihan masyarakat Jakarta yang rasional dan cerdas.  Isu agama tak terlalu berpengaruh bagi mereka. Pemilih Jakarta dianggap masih rasional seperti keyakinan banyak pihak. Melalui debat kandidat, warga Jakarta bisa menilai setiap pasangan calon gubernur.
Pemilih Rasional
          Siapa sebenarnya mereka? Pemilih rasional adalah masyarakat pemilik hak pilih yang menggunakan haknya dengan pertimbangan akal sehat (rasio). Mereka tak terpengaruh oleh berbagai isu, termasuk money politik. Mereka teguh pendirian. Mereka memilih setelah melakukan kajian. Mempelajari visi-misi, program juga latar belakang pasangan calon.
          Pemilih rasional  dalam menentukan pilihan Pilkada memiliki karakterisktik tertentu. Ciri mereka antara lain adalah, pertama, memilih berdasarkan pertimbangan rasional bukan emosional. Faktor kedekatan, pengaruh tokoh besar, pertimbangan fisikal seperti tampan wajah atau jenis kelamin dan lainnya diabaikan. Mereka tak mau mengikuti arus. Tak mudah percaya propaganda, kampanye, juga pencitraan. Mereka tak sudi memilih kucing dalam karung. Apa atau siapa yang dipilih harus bisa meyakinkan mereka.
          Kedua, memilih berdasarkan kajian visi-misi dan program kerja. Visi adalah pandangan jauh tentang masa depan. Sedangkan misi terkait apa yang akan dilakukan. Keduanya dituangkan dalam program kerja yang nayata. Visi-misi dan program kerja yang ditawarkan wajib rasional, solutif serta terukur. Tak nagmbang. Apalagi kabur. Terlebih jika tak masuk akal. Program kerja dituntut lengkap, menyentuh berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Program juga harus jelas, memperbaiki keadaan, memastikan solusi yang cepat dan tepat.
          Ketiga, melihat rekam jejak, latar belakang. Bahwa calon kepala daerah kudu berintegritas tinggi, beraklak mulia, menguasai persoalan, berpengalaman, dan meyakinkan menawarkan solusi. Juga terpenting anti        korupsi. Sebab, bagi mereka negeri ini hancur karena ulah para koruptor.
          Singkat kata, Pilkada sangat menarik diikuti. Dalam Pilkada banyak pembelajaran. Pilkada mematangkan kedewasaan masyarkat dalam berpolitik dan berdemokrasi. Sehingga mereka menjadi pemilih rasional. Cerdas menetukan pilihan. Tepat memilih pemimpin. Wa Allahu Alam



Jadilah Gurunya Manusia


Pendidikan nasional dipandang seperti berjalan di tempat. Tak mengalami kemajuan yang berarti. Pendidikan nasional menghadapi banyak persoalan yang memerlukan penyelesaian secara cepat, tepat dan terukur. Diantara persoalan pendidikan kita yang menonjol antara lain tentang belum meratanya akses pendidikan, rendahnya input dan output pendidikan, intervensi Pemerintah secara berlebihan dengan mengeluarkan kebijakan yang berganti-ganti, kesejahteraan guru honorer yang jauh dari hidup layak, angka putus sekolah yang masih cukup tinggi serta rendahnya kualitas guru atau tenaga pendidik.
Berbagai permasalahan di atas sebaiknya segera diselesaikan. Sehingga mutu dan kualitas pendidikan nasional menjadi membaik. Kita wajib mengejar ketertinggalan dari bangsa lain di sektor pendidikan. Diantara yang perlu disikapi oleh kita semua, terutama Pemerintah adalah tentang mutu dan kualitas guru yang dinilai masih rendah. Pendidikan berkulitas meniscayakan keberadaan guru bermutu tinggi. Sebab guru berada pada garda terdepan dalam mendidik anak bangsa.
Pendidikan nasional disamping membutuhkan guru profesional, berkompetensi tinggi juga butuh gurunya manusia. Yakni guru yang mendidik peserta didik secara manusiawi. Jika dalam kajian Filsafat mendidik itu adalah memanusiakan manusia, maka sepantasnya dilakukan secara manusiawi. Tak mungkin memanusiakan manusia secara tak manusiawi.
Munif Chatib (2011) menjelaskan Gurunya Manusia sebagai guru yang punya keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlash akan berintropeksi diri apabila ada siswa yang tidak memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar sebab mereka sadar, profesi guru tidak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan pengembangan kompetensi.
Gurunya Manusia
Menurut hemat saya, Gurunya Manusia mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dirinya dengan guru pada umumnya. Pertama, mengajar dan mendidik dengan kasih sayang. Guru melakukan pekerjaan dan profesinya dengan ikhlash. Mereka mendidik peserta didik dengan sepenuh hati. Gurunya manusia bekerja bukan untuk mengejar materi belaka. Mereka merasa memikul amanat besar mengantarkan anak didik menjadi manusia seutuhnya. Sehingga bagi mereka waktu, pikiran dan tenaga terfokus hanya untuk anak-anak didik. Gurunya manusia menyadari  pentingnya kehadiran mereka dalam kehidupan nyata peserta didik. Karenanya, menjadi teladan dengan memberi contoh yang baik ke anak menjadi kewajiban yang harus diusahakan sekuat tenaga.
Kedua, mendidik secara manusiawi. Seperti disinggung sebelumnya, tak mungkin mendidik manusia dengan mengabaikan prinsip-prinsip kemanuisan. Guru dalam mendidik tak boleh mengabaikannya. Guru diminta bisa menghargai pendapat dan perasaan siswa. Gurunya manusia tak menggunakan kekerasan. Mereka tak memperlakukan peserta didik seperti robot. Tak boleh membentak, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan. Gurunya manusia tak pernah marah.  Mendekati anak dengan pendekatan rasional,  perasaan dan kasih sayang. Mereka senantiasa memberi motivasi tak memerintah secara kaku. Mereka tak hanya bisa melarang dengan kejam tapi memberi pandangan atas mudharatnya sesuatu.
Ketiga, mengajar dengan cara menyenangkan. Konsep ini sebenarnya sudah lama diajarkan. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara sudah lama menyampaikannya. Bahwa mendidik, mengajar anak didik itu wajib menyenangkan. Untuk itu, materi dikemas secara apik, sisitematis sehingga mudah dipahami. Disampaikan dengan berbagai motode pembelajaran yang tidak menjenuhkan. Kelas didesain secara baik sehingga dapat mendukung jalanya proses belajar mengajar. Lingkungan sekolahpun ditata dengan baik sesuai tujuan pembelajaran. Semuanya menjadi tugas dan tanggung jawab gurunya manusia. Jadikan sekolah anda layaknya sebuah taman. Pasti siswa akan betah, nyaman dan senang.
Keempat, menjelajah kemampuan peserta didik. Guru beperan menggali, mengembangkan pootensi yang dimiliki peserta didik. Gurunya manusia meyakini bahwa bakat, potensi dan kecerdasan manusia itu mejemuk dan beragam. Tak ada siswa yang bodoh. Semua peserta didik berpotensi menjadi juara di bidang yang dikuasainya. Karenanya, tak ada alasan menyalahkan peserta didik. Gurunya manusia senantiasa mengevaluasi terkait apa yang telah disampaikan, metode menyampaikannya serta kesiapan peserta didik. Kemudian bertekad memperbaikinya di waktu mendatang.
Kelima,  memposisikan diri sebagai fasilitator. Fasilitator itu seperti tukang kebun yang tiap hari menyirami tanaman. Siswa ibarat tanaman jika diberi air akan tumbuh dan berkembang. Fasilitator hanya mengarahkan, memandu kegiatan, membimbing peserta didik dalam memahami materi. Tidak menggurui, apalagi menjadi sumber belajar tunggal. Guru yang bukan fasilitator biasanya lehernya sering membengkak karena setiap hari ia berceramah dari kelas ke kelas.  Guru fasilitator meyakini bahwa peserta didik sudah menguasai (walau sedikit) tentang materi yang menjadi bahan ajar. Guru fasilitator hanya membangkitkan semangat dan minat serta memantik pengalaman-pengalaman belajar siswa sebelumnya. Kemudian dikembangkan sesuai yang diinginkan.
Keenam, pembelajar abadi. Belajar bagi gurunya manusia adalah kebutuhan dan tuntutan. Belajar itu sepanjang hidup, tak mengenal usia. Belajar tak boleh berhenti saat menjadi guru misalnya. Justru guru diminta menjadi teladan bagi peserta didiknya dalam menebar semangat belajar. Perkembangan ilmu pengetahuan tekhnologi dan kemajuan informasi yang sangat cepat kudu diimbangi oleh guru. Guru tak boleh tertinggal informasi. Mereka harus dapat mengikuti zaman.
Belakangan, Kemeterian Pendidikan Nasional (Kemendikbud) membangun gerakan guru pembelajar. Ini wajib disambut baik oleh setiap guru di Indonesia. Dengan gerakan guru pembelajar diharapkan menghadirkan guru-guru berualitas yang mampu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan nasional di masa mendatang.
Akhir kata, saat ini Indonesia membutuhkan gurunya manusia. Yakni mereka yang ikhlas mendidik anak negeri. Menghadirkan kelas-kelas yang menyenangkan. Menciptakan sekolah laksana taman. Ya, guru yang mengajar dengan penuh kasih sayang dalam mengantarkan peserta didik pada potensi terbaik yang dimilikinya. Wa Allahu Alam
Tulisan ini dimuat di Harian Umum Radar Crebon, Senin 20 February 2017

Senin, 13 Februari 2017

Pentingnya Pendidikan Seks Sejak Dini


            Tidak tepat lagi jika membayangkan seks bebas itu hanya ada di negara-negara barat. Itu dulu. Seks bebas, pornografi dan prilaku seks menyimpang telah ada dalam lingkungan terdekat kita sekalipun. Coba perhatikan beberapa data berikut.  Berdasarkan  survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Oktober 2013 memaparkan bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah .  20% dari 94.270  perempuan yang mengalami hamil di luar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja dan  21%  diantaranya pernah melakukan aborsi. Lalu pada kasus terinfeksi HIV dalam rentang 3 bulan sebanyak 10.203 kasus, 30% penderitanya berusia remaja. Itu tiga tahun yang lalu, sekarang angkanya tentu lebih tinggi lagi.
          Kemudian terkait pornografi, Ketua Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera (JBDK) Peri Umar Faruk seperti ditulis Kompas.com, menyebutkan bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukan selama 2010, masyarakat Indonesia berada pada urutan keempat di dunia yang suka membuka internet untuk situs pornografi. Pada tahun 2008 dan 2009, Indonesia berada pada urutan ketiga setelah Vietnam, Kroasia, dan beberapa negara Eropa lainnya. Sekarang masyarakat Indonesia berada di peringkat pertama dalam hal membuka situs pornografi.
          Akibatnya, penderita HIV/aids di Indonesia pun meningkat. Sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1987, jumlah penderita HIV/aids bertambah dari tahun ke tahun. Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional menunjukan, tahun 1987 jumlah penderita AIDS di Indonesia masih lima kasus. Dalam rentang waktu 10 tahun, hanya bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak 2007, kasus AIDS tiba-tiba melonjak menjadi 2.947 kasus dan periode Juni 2009 meningkat hingga delapan kali lipat, menjadi 17.699 kasus. Dari jumlah tersebut, yang meninggal dunia mencapai 3.586 orang. Tahun 2010 jumlah meningkat menjadi 21.591, tahun 2011 menjadi 21.031, tahun 2012 berjumlah 21.511, dan pada tahun 2013 menjadi 29.037. (http://www.kemenpppa.go.id)
          Fakta di atas membuat para orang tua merasa waswas dan takut.  Ancaman menghadang pada anak-anak mereka. Ancaman  berupa seks bebas, penyakit seks, kekerasan seksual serta pornografi nyata ada di depan mata.  Apa cukup sekadar merasa takut? Tentu tidak. Harus ada upaya dan usah nyata dalam membentengi anak dari bahaya ancaman seperti disebutkan. Dan saya melihat pendidikan seks adalah salah satu upaya yang kudu dilakukan. Walau diakui, kaitan dengan hal ini para pakar pendidikan masih berselisih pendapat. Sebab, ada sebagian yang bersikukuh bahwa hal itu tak diperlukan apalagi jika dimasukan dalam kurikulum pendidikan.
Pendidikan Seks
          Dr. A. Nasih Ulwan dalam  (2008) mendefinisikan Pendidikan seks sebagai upaya pengajaran penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seks yang diberikan kepada anak agar ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri, dan perkawinan, sehingga jika anak telah dewasa dan dapat memahami unsur-unsur kehidupan ia telah mengetahui masalah-masalah yang dihalalkan dan diharamkan bahkan mampu menerap kan tingkah laku islami sebagai akhlaq, kebiasaan, dan tidak mengikuti syahwat maupun cara-cara hedonistic. 
Kapan pendidikan seks itu dimulai? Menurut Pakar Pendidikan Indonesia, Munif Chatib dalam sebuah seminar dan peluncuran  buku Menikah Itu Ibadah di Gramedia Cirebon belum lama (12/2), pendidikan seks itu harus dilakukan sejak dini. Penulis buku Gurunya Manusia itu menyebutkan ada tiga pola dalam pendidikan seks. Pertama, memberi informasi yang dibutuhkan secara benar dan tepat. Anak sebaiknya memperoleh informasi dari orang tuannya sendiri prihal seks. Orang tua tak boleh menutup-nutupi. Informasi yang disampaikan disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan anak.  Informasi atau ilmu terkait seks akan menjadi bekal anak dalam berprilaku. Informasi yang diperoleh dari luar beresiko terselewengkan. Dan pastinya, orang tua tak dapat mengontrolnya.
Kedua, menjawab pertanyaan anak tentang seks. Ada sebagian dari kita yang tak mau menjawab pertanyaan anak terkait seks. Alasanya, karena hal itu tabu dibicarakan. Tak pantas membahasnya, apalagi dengan anak. Padahal pertanyaan itu muncul secara alami. Pertanyaan tersebut didorong oleh naluri (baca:fitrah) dan rasa ingin tahu yang ada pada setiap anak. Kalau pun menjawab, orang tua terkesan menghindar dari jawaban sesungguhnya. Saat orang tua tak menjawab dikhawatirkan anak mencari jawaban secara liar. Ini berbahaya. Sebab itu, jadilah teman diskusi bagi anak anda tentang apa saja, termasuk terkait prilaku seks.
          Ketiga, terkait prilaku. Prilaku seks sehat kudu diajarkan ke anak. Selain itu, orang tua diminta memberikan teladan dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Hubungan laki-laki- perempuan antara sesama anggota keluarga wajib  dibangun secara sehat. Keteladanan sangat penting. Anak sebaiknya didik sejak dini bagaimana kehidupan seks secara sehat misalnya dengan memisahkan mereka (laki-perempuan)  saat tidur.
Menyesuaikan Usia
          Ketiga pola di atas dilakukan sesuai perkembangan dan usia anak-anak.  Menyampaikan informasi, menjawab pertanyaan dan mendidik prilaku seks sehat harus mengikuti usia sang anak. Fase anak terbagi menjadi masa anak-anak, masa menjelang baligh, masa remaja  atau masa dewasa.  Di sini, orang tua dituntut  mengerti materi apa yang disampaikan dan kapan menyampaikannya.
          Pada usia anak-anak informasi yang dibutuhkan masih sebatas  nama-nama anggota tubuh beserta fungsinya. Kemudian anggota tubuh yang tak boleh disentuh oleh orang lain. Menjelang baligh, mereka mulai dikenalkan fisik lawan jenis. Diajarkan pengetahuan agama terkait kewajiban menurut aurat misalnya. Dan pada masa remaja mereka sebaiknya sudah mulai mengerti  hal-hal terkait reproduksi.
          Demikian dengan menjawab pertanyaan, orang tua sepantasnya menyesuaikan usia anak. Pada anak kecil berilah jawaban secara global, secara umum. Sedangkan pada mereka yang menjelang baligh berilah jawaban yang lebih rinci. Baru setelah dewasa atau menjadi remaja anak berhak mengetahuinya secara mendetail prihal seksualitas. Saat itu, orang tua sebaiknya menjadi sahabat sejati anak-anaknya. Mereka menjadi tempat curhat, teman diskusi bagi para remaja. Pada usia ini, anak mulai bertanya soal pernikahan, menilai pasangan dan lainnya.
          Pendidikan terkait prilaku juga sama, harus disesuaikan usia anak kita.  Pada masa anak-anak orang tua menamkan rasa malu. Mereka dilatih untuk menutup kamar mandi, berganti pakaian dalam kamar. Untuk keamanan mereka, perlu dilatih berteriak saat anggota tubuh vital seperti kelamin disentuh oleh orang lain apalagi yang tak dikenal. Menjelang dewasa, kamar mereka (laki-perempuan) dipisah. Laki-perempuan tak boleh tidur bersama. Berteman dengan lawan jenis diarahkan pada pergaulan yang sehat. Kemudian saat dewasa, orang tua wajib membatasi pergaulan dengan lawan jenis. Tanamkan bahwa masa remaja sebaiknya digunakan pada hal-hal bermanfaat.
          Akhir kata, pendidikan seks memang penting. Pendidikan seks dilakukan sejak dini. Dalam mendidik seks, orang tua juga guru di sekolah wajib menyesuaikan dengan perkembangan dan usia anak. Sehingga mereka matang sesuai dengan perkembangan dan usianya. Jika hal itu dilakukan, harapanya ancaman dan rasa takut orang tua akan hilang. Dan anak-anak kita menjalani hidup secara sehat. Wa Allahu Alam
Dapat Dibaca di Harian Radar Cirebon, Selasa 14 Februari 2017



Sarjana Pendidikan di Era Sertifikasi


            Seiring dengan diberikannya Tunjangan Profesi Guru (TPG), profesi guru tak lagi dipandang sebelah mata. Harkat. Derajat dan martabat guru di tengah masyarakat mulai terangkat. Profesi guru dianggap menjanjikan secara materi.  Kesejahteraan guru di era sertifikasi lebih baik. Guru tak lagi bersepeda butut. Guru ke sekolah sudah bermobil. Banyak dari mereka yang bisa menunaikan haji. Jarkasih sebutanya, haji dari hasil sertifikasi.
          Fakultas keguruan pun kebanjiran mahasiswa. Sebelumnya calon mahasiswa masuk keguruan setelah tak diterima di fakultas favorit.  Sekarang mereka berebut masuk ke fakultas yang mencetak calon guru tersebut. Ya, minat ke fakultas keguruan meningkat tajam. Sejumlah perguruan tinggi pun beramai-ramai membuka fakultas keguruan.  Dan akhirnya, diprediksi sarjana pendidikan akan menjamur. Dari mereka yang benar-benar kuliah sampai yang memilih jalan pintas.
          TPG merupakan bukti komitmen Pemerintah dalam memperhatikan kesejahteraan guru. Sebagai ujung tombak pendidikan, guru memiliki peran penting dan strategis dalam memajukan pendidikan nasional. Mereka berperan besar dalam menciptkan generasi Indonesia yang diharapkan seperti disebut dalam tujuan pendidikan. Yakni  mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
          Namun, sepuluh tahunan TPG diberlakukan,  kualitas pendidikan dinilai banyak pihak tak mengalami perkembangan berarti. Sertifikasi guru tak mendobrak kualitas pendidikan nasional. TPG tak merubah kinerja  guru. TPG tak membuat kompetensi guru Indonesia lebih baik. Program TPG belum bisa menghadirkan guru profesional dalam sistem pendidikan di Indonesia. Harapan perbaikan kualitas pendidikan nasional melalui TPG belum terwujud. Sebab itu, wacana penghapusan TPG sempat muncul ke permukaan.
          Ini menjadi tantangan berat bagi sarjana kependidikan yang akan menjadi guru di masa yang akan datang. Pasalnya, mereka menjadi tumpuan harapan berikutnya guna mewujudkan pendidikan nasional yang maju, berkualitas. Jika guru yang ada sekarang (semoga tidak) tak bergeming, tak mau mengubah diri maka kepada mereka nasib pendidikan di Indonesia digantungkan. Mereka kudu memilki komitmen kuat dalam memajukan pendidikan. Mereka dituntut banyak belajar. Menyiapkan diri menjadi guru profesional seperti harapan Pemerintah. Ini bukan berarti menyerahkan persoalan kepada mereka. Tanggung jawab pendidikan tetap ada pada para guru disamping unsur pendidikan yang lain. Mereka sebatas masa depan yang pantas dipersiapkan.
Tantangan
          Permasalahan di atas sebaiknya dijadikan tantangan bagi sarjana pendidikan, calon tenaga pendidik di waktu mendatang. Mereka wajib memahami permasalahan pendidikan di tanah air. Permasalahan yang ada pada dunia pendidikan Indonesia selayaknya menjadi PR bagi mereka untuk menyelesaikannya kelak ketika menjadi guru, terlibat langsung dalam pendidikan. Oleh sebab itu, sarjana pendidikan dan calon guru dituntut menyiapkan diri sebaik mungkin. Berikut hal-hal yang menurut hemat saya wajib dipersiapkan. Pertama, tanamkan niat baik. Tekad kuat memperbaiki pendidikan nasional. Jangan ingin menjadi guru jika hanya untuk mengejar kelebihan materi. Sebab, guru tak hanya soal profesi atau pekerjaan. Lebih dari itu, guru merupakan ujung tombak dalam mendidik anak negeri, menyiapkan generasi mendatang. Posisi guru dalam membangun bangsa sangat menentukan. Di tangan mereka, generasi Indonesia ditentukan. Karenanya, menjadi guru membutuhkan niat baik serta tekad kuat. Seorang guru kudu memilki komitmen kuat dalam memperbaiki mutu pendidikan di tanah air.
          Kenapa pendidikan nasional sekarang seperti berjalan di tempat? Salah satu sebabnya adalah tak sedikit guru yang tidak memilki komitmen memajukan pendidikan. Mereka seakan terpaksa menjadi guru. Menjadi guru sekadar pekerjaan memenuhi kebutuhan hidup. Damayanti (2016) dalam buku Sukses Menjadi Guru, menyebutnya sebagai guru yang tidak tulus dengan tujuan seadanya. Tipe guru seperti ini menjadi pendidik bisa jadi karena nasib, tak direncanakan. Tak diinginkan.
          Sejak di bangku kuliah, calon guru sebaiknya menamkan tekad kuat mengabdi untuk negeri, menyiapkan generasi baru. Sehingga lulus menjadi sarjana pendidikan mereka siap menghadapi segala tantangan. Keuletan, kerja keras, komitmen serta integritas mereka akan dibuktikan dalam berkontribusi memperbaiki pendidikan.
          Kedua, menyiapkan kompetensi yang dibutuhkan. Menurut Amirullah Syarbini (2015), kompetensi guru adalah kemampuan, kecakapan, ketrampilan, dan pengetahuan yang dimiliki seorang guru yang diperoleh melalui proses pendidikan keguruan, pelatihan, dan pengembangan sejenis lainnya sehingga ia dapat dinyatakan sebagai guru profesional.
          Sementara itu, dalam Undang-undang No. 14  Tahun 2005 dan Peraturan No. 19 Tahun 2005 dinyatakan bahwa kompetensi guru meliputi; kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Sarjana pendidikan selayaknya menyiapkan kompetensi-kompetensi tersebut secara baik. Keempat kompetensi itu harus diasah sejak di bangku kuliah. Jangan ketika menjadi guru baru berpikir akan memperbaiki kompetensi diri.       
          Ketiga,  guru harus kreatif, inovatif. Guru dalam menjalankan tugas membutuhkan kreatifitas tinggi. Guru kreatif adalah guru yang tak bisa diam, selalu menciptakan hal-hal baru dalam menjalan tugasnya mengajar dan mendidik peserta didik. Guru kreatif selalu berinovasi. Memperbaiki, menyempurnakan hal yang sudah ada. Inovasi adalah menggali permasalahan lebih dalam sehingga menemukan sesuatu yang baru. Nah, kreatifitas dan inovasi tersebut mesti dibiasakan oleh mahasiswa keguruan. Kelak ketika lulus menjadi sarjana, kreatifitas mereka sudah teruji. Maka jadilah mereka guru yang kreatif. Sebab kreatifitas membutuhkan pembiasaan, latihan serta pengalaman.

          Walhasil, sarjana pendidikan sekarang dihadapkan pada tantangan tak mudah. Ada persoalan membelit dunia pendidikan di depan mata. Mereka dituntut peduli dan menyiapkan diri. Di sisi lain, profesi guru sekarang tak sekadar mulia tapi menjanjikan secara ekonomi. Pemerintah telah memperhatikan kesejahteraan mereka. Program TPG bukti nyatanya. Hanya, TPG juga menjadi beban seiring dengan harapan meningkatnya mutu dan kualitas pendidikan nasional. Bagaimana mau menjadi guru? Silahkan masuk fakultas keguruan! Sarjana pendidikan yang memiliki kualitas hebat, komitmen kuat serta kriatifitas tinggi akan dibutuhkan di masa mendatang.Wa Allahu Alam.

Sabtu, 04 Februari 2017

Sertifikasi Khatib, Perlukah?


            Banyak pihak yang keberatan atas rencana Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama guna melakukan sertifikasi pada setiap khatib Jumat. Mereka beralasan, apa yang akan dilakukan  sangat berlebihan. Bahkan ada yang menyebut keterlaluan, zaman orde baru saja tak ada sertifikasi khatib seperti itu. Sebagian anggota DPR RI pun telah menolak gagasan yang diwacanakan Menteri Agama Lukman Saifuddin Zuhri tersebut.
          Sebelum lebih jauh, sebaiknya diketahui terlebih dahulu sebenarnya apa tujuan sertifikasi khatib? Apa yang melatarbelakangi pemertintah menggagas hal itu? Sertifikasi khatib dilatarbelakangi oleh keluhan masyarakat bahwa tidak sedikit khatib yang meleceng dari relnya. Kutbah Jumat tak diisi dengan nasehat yang menyejukkan. Kutbah Jumat dijadikan ajang saling ejek, saling menyalahkan. Bahkan saling menyesatkan dan mengkafirkan antara kelompok atau golongan Islam. Menag menekankan, sertifikasi bukan dibuat karena hendak membatasi seseorang untuk berceramah kala shalat Jumat. Ini merupakan respons dari keluhan dan keresahan masyarakat saat menghadapi khotbah Jumat yang dirasa memecah belah persatuan umat Islam juga NKRI.
          Menteri Agama menjelaskan bahwa sertifikasi khatib JumT bertujuan untuk mengarahkan khotbah Jumat pada ajaran Islam rahmatan lil alamin yang moderat. Sebab, semua agama yang berkembang di Indonesia berpaham moderat, bukan ekstrem. Tidak ada agama yang ekstrem di Indonesia. Sejarah mencatat, selama ratusan tahun, Indonesia berperan dalam moderasi agama. Dengan demikian, fungsi agama ikut menjalin kemajemukan di Indonesia. Karenanya, moderasi agama ini yang diusung Kementerian Agama. Itu juga yang dikembangkan Muhammadiyah dengan dogma Islam berkemajuan. Dikembangkan NU dengan Islam Nusantara.
          Memahami latar belakang dan tujuan di atas, saya memahami maksud dan itikad baik Menteri Agama. Hanya, niat baik saja tak cukup. Gagasan, ide, program atau apa yang akan dikerjakan wajib terukur. Dikaji, dipelajari baik-buruknya, mudharat-maslahatnya. Mempertimbangkan waktu, kondisi  dan keadaan yang ada.
          Menurut hemat saya, sertifikasi khatib Jumat jika dipaksakan akan memunculkan banyak permasalahan. Pertama, memanaskan situasi nasional. Seperti dipahami bersama panasnya Pilkada DKI Jakarta membuat gerah tak hanya oleh warganya tapi semua rakyat Indonesia. Suhu politiik Pilkada 2017 secara umum atau terlebih khusus Jakarta sungguh memanaskan suasana politik nasional. Kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur Jakarta non aktif Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dengan sederet persoalan di sekelilingnya telah mengoyak persatuan dan kesatuan. Terlebih ketika kasus hukum Ahok tersebut diseret ke ranah politik.
          Kasus penistaan agama Ahok telah menggerakkan (memancing emosi) umat Islam. Hal itu dapat  dilihat pada aksi damai 411 atau aksi super damai 212.  Kalau saja Polri tak mengelola konflik  dan perbedaan yang ada terkait kasus Ahok secara cerdas dan bijak maka Indonesia barangkali sudah terpecah belah. Aksi damai umat Islam itu akhirnya diketahui oleh pihak keamanan tak murni lagi. Ada aktor politik yang memanfaatkan stiuasi di air keruh. Mereka diduga melakukan makar dengan menunggangi aksi damai umat Islam. Sejumlah tokoh nasional seperti Sukmawati Soekarno Putri, Sri Bintang Pamungkas, Ahmad Dani harus berhadapan dengan hukum atas tuduhan makar.
          Belum lagi soal Habib Rieziq Shihab. Sang tokoh utama dibalik aksi damai menuntut proses hukum Ahok sekarang dilaporkan berbagai pihak terkait pelanggaran hukum yang diduga dilakukannya. Aksi saling lapor meramaikan sekaligus memanaskan suasana. Politik nasional menjadi liar. Sekarang, apa Menag akan menambah persoalan baru dengan menggulirkan sertifikasi khatib? Saya yakin sertifikasi khatib akan memunculkan konflik berkepanjangan di tengah anak bangsa, umat Islam khususnya. Mengutip pendapat Wakil Ketua Komisi VIII Sodik Mujahid, sertifikasi yang diusulkan Kemenag terkesan provokatif dan malah berpotensi menuai keributan dalam masyarakat. (http://nasional.kompas.com)
          Kedua, Indonesia bukan negara agama.  Tak sepantasnya negara mengatur prihal agama lebih jauh. Biarkan urusan agama dijalankan oleh pemeluknya tanpa intervensi negara secara berlebihan. Apalagi sertifikasi khatib terkait dengan pemahaman keagamaan yang beragam. Multi tafsir,  beragam pendapat pasti bermunculan. Perbedaan dan konflik di akar rumput menjadi ancaman nyata bagi umat Islam. Terlebih lagi, selama ini umat Islam belum memahami dan menyikapi perbedaan sebagai rahmat secara baik. Terbukti, mereka tak mampu bersikap dewasa dalam mengelola perbedaan yang ada.  Perbedaan seringkali berujung pada konflik antara sesama.
          Ketiga, soal  pihak yang berwenang memberi sertifikasi. Terkait hal ini, Menteri Agama mengisayaratkan memberikan kewenangan tersebut kepada ormas-ormas Islam. Mereka diminta membentuk wadah guna menjembatani perbedaan dalam menentukan sertifikasi khatib Jumat. Pemerintah hanya sebagai fasilitator. Ini pun tak sepi dari masalah. Perselisihan antara sesama ormas Islam dalam melaksanakan kewenangannya menyeleksi khatib bakal tak terelakkan. Keberagaman latar belakang khatib dan perbedaan cara pandang dan pemahaman keagamaan ormas-ormas akan mudah menyulut pertikaian di anatara mereka. Berawal dari sertifikasi khatib, perpecahan umat menjadi nayat di depan mata.
          Mengenai keresahan masyarakat prihal sejumlah khatib Jumat yang kerap menebar fitnah, menunjukkan sikap intoleran, saling menyalahkan. Menyesatkan bahkan mengkafirkan. Menurut saya, biarkan hal itu dikembalikan kepada keadaran hukum masyarakat. Artinya, bagi mereka yang dirugikan dengan materi khatib dipersilahkan menempuh jalur hukum. Mereka bisa mengadukan sang khatib ke yang berwajib. Sebaliknya, para khatib pun diminta berhati-hati dalam menyampaikan pesan keagamaan dalam kutbah Jumat. Hindari materi agama terkat hal-hal yang bersifat perbedaan atau masalah furu’iyah. Jangan mudah menyalahkan, menyesatkan pihak lain. Hormati segala perbedaan baik dengan sesama Islam atau dengan lainnya.
          Khatib Jumat sepatutnya menyampaikan agama dengan hikmah, mauidhoh hasanah (nasehat yang baik), dan mengedepankan dialog. Berdakwa dengan hikmah itu artinya mengajak, memperngaruhi orang lain dengan perkataan yang santun, lembut. Hikmah merupakan ungkapan soal bagaimana menyelesaikan masalah dengan ilmu bukan dengan emosi apalagi dengan otot. Kemudian nasehat yang baik, tak menyinggung perasaan orang lain. Jika dipandang perlu khatib juga bisa berceramah dengan pendekatan dialog. Mengedepankan logika dan kesantunan dalam tutur kata.
          Akhir kata, Menag sebaiknya mengkaji ulang gagasan dan wacana soal sertifikasi khatib Jumat. Persoalannya bukan baik tidaknya kebijakan yang akan diambil tersebut. Tapi ketepatan waktu atau momentum serta metode yang tak terpenuhi. Apalagi, masyarakat kita masih alergi pada setiap hal yang beraroma represif ala orde baru.Wa Allahu ‘Alam