Senin, 30 Mei 2016

Siapa Ekskutor Hukum Kebiiri?


            Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti U‎ndang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016. Perpu tersebut  salah satunya mengatur  tentang hukuman tambahan bagi pelaku kajahatan seksual terhadap perempuan dan anak berupa hukuman kebiri kimia. Pemerintah menilai bahwa  kejahatan seksual pada perempuan dan anak termasuk kategori kejahatan luar biasa. Karena itu,  perlu penambahan hukuman untuk menimbulkan efek jera.
Kaitan dengan ini, Presiden Jokowi mengatakan, dalam Perppu itu, diatur tentang pemberatan pidana, yakni penambahan masa hukum sepertiga dari ancaman pidana, dipidana‎ mati, pidana seumur hidup, serta pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Pidana tambahan yaitu pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Namun yang menjadi perdebatan sekarang, siapa yang menjadi eksekutor kebiri itu? Secara umum, pemerintah juga masyarakat luas berasumsi bahwa pihak yang tepat menjadi eksekutor adalah para dokter sebagai bagian utama tenaga kesehatan. Tapi keinginan tersebut menjadi sulit diwujudkan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai oraganisasi yang menaungi dokter sepertinya keberatan jika ditunjuk sebagai eksekutor. Mereka takut melanggar kode etik seorang dokter yang wajib menghormati kemanusiaan. Termasuk soal naluri seksual yang jadi kodrat manusia.
Wakil Ketua PB IDI, Daeng M Faqih menegaskan, IDI  tidak dalam posisi setuju atau tidak. Tapi, saat ini sebetulnya masih dalam pembahasan. Karena dalam internal IDI  masih ada penolakan.  Lalu, bagaimana bila secara resmi IDI ditunjuk? Daeng mengatakan, pemerintah perlu membicarakan lebih lanjut dengan pihak profesi. Sebab, hingga kini pun dia tidak tahu teknis soal hukuman kebiri itu. IDI belum pernah diajak duduk bersama untuk merancang hal tersebut. (http://www.jpnn.com/)
Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat Dr dr Prijo Sidipratomo SpRad(K) mengatakan dokter menolak menjadi eksekutor kebiri karena sangat bertentangan dengan kode etik. Sesuai kode etik, seorang dokter harus menjadi pelindung kehidupan sesuai Pasal 11 Kode Etik Kedokteran. Dalam penjelasanya, seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk memelihara kehidupan alamiah pasiennya dan tidak untuk mengakhirinya.
Prijo beralasan, penolakan tersebut bukan berarti dokter tidak mendukung hukuman untuk pelaku kekerasan seksual pada anak-anak. Sebagai buktinya, dia setuju pelaku paedofil dihukum mati. Hal lain yang akan menjadi ganjalan, seorang dokter bertindak harus dengan inform consent atau persetujuan tindakan medis dari pasien atau keluarganya. Tanpa itu. dokter tidak bisa melakukan tindakan medis. Persoalan, bagaimana jika pelaku paedofil kemudian menolak memberikan persetujuan untuk disuntik kebiri?
Menanggapi penolakan IDI di atas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonanhan Laoly mengatakan eksekusi itu, akan dilakukan dokter kepolisian jika dokter umum menolak mengeksekusinya. Hal ini kata Yasonna bukan tanpa sebab, karena hukum telah memerintahkam demikian. Kalau hukum yang memerintahkan kita harus lakukan, tidak boleh menolak. Kalau IDI menolak,  ada dokter polisi. karena hal itu dilindungi Undang-undang.
Lebih jauh, Yasonna mengungkapkan, hukuman kebiri sebagai hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual tidak hanya diterapkan di Indonesia, melainkan juga di beberapa negara lainnya, bahkan di beberapa negara Eropa. Tetapi ia menekankan, hukuman tambahan juga mempertimbangkan sifat kejahatan yang dilakukan pelaku kejahatan seksual tersebut. (republika.co.id/)
Sementara itu, pihak Kepolisian telah menyatakan kesiapannya menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia jika ditunjuk oleh Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Humas Mabes Polri, Irjen Boy Rafli  mengatakan, andai diminta bantuan Kepolisian siap. Untuk bangsa dan negara apa saja kita siap. Termasuk pelaksanaan hukuman kebiri yang sedang jadi perbincangan publik. Tapi tentu kudu melalui proses hukum terlebih dulu. Mekanisme peradilan. Menurut Boy Rafli, hukuman kebiri tergantung putusan hakim dalam persidangan. Kesiapan Polri sendiri tergantung permintaan jaksa sebagai eksekutor. (http://news.detik.com/)
Saran dan solusi
          Mencermati perdebatan tentang eksekutor keberi kimia bagi kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak, hal-hal berikut bisa dijadikan sebagai solusi sekaligus saran untuk pihak terkait. Pertama, jangan ciderai perasaan korban kejahatan seksual.  Perdebatan publik diminta menjaga perasaan para korban kejahatan. Seberat apa pun hukumannya, bagi mereka tidak cukup. Secara psikologis, tak dapat mengobati. Tak menjamin masa depan mereka. Sebab itu semua elemen bangsa wajib menyadari bagaimana penderitaan mereka akibat kejahatan seksual yang menimpa.
          Kedua, semua warga negara wajib taat hukum. Hukum tidak boleh kalah oleh segala kepentingan termasuk kode etik kedokteran. Hukum bukan untuk dilawan. Siapa pun kita kudu memahaminya. Karenanya, hukum musti dikedepankan.
          Ketiga, mengedepankan hukum dibanding ego. Masyarakat luas sebenarnya heran kenapa IDI menolak? Mereka mempertanyakan, sebetulnya penolakan tersebut karena alasan etik profesi atau ego semata? Apa kode etik lebih agung, lebih mulia dibanding penegakan hukum?
          Apa kode etik itu? Ratna Samil (2001) dalam buku Etika Kedokteran  menjelaskan kode etik adalah pedoman perilaku yang berisi garis-garis besar, adalah pemandu sikap dan perilaku. Dalam kedokteran, kode etik menyangkut  dua  hal. Yaitu  Etik Jabatan Kedokteran ( Medical Ethics ) Ini menyangkut masalah yang berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawat, para pembantunya serta terhadap  masyarakat & pemerintah. Kemudian Etik Asuhan Kedokteran ( Ethics of Medical Care ) yakni mengenai sikap & tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi tanggungjawabnya.
          Memahami difinisi di atas, menurut hemat saya, kode etik tak selayaknya megalahkan hukum. Hukum berada di atas kode etik yang sepantasnya dijungjung tinggi oleh IDI atau para dokter. Untuk itu, saya kira IDI segera menurunkan ego. IDI kudu siap berdialog dengan pemerintah memecahkan masalah, mencari solusi. Tak tepat bila IDI bersikukuh, mempertahankan egonya.
          Keempat, pemerintah dituntut lebih cepat membuat aturan di bawah Perpu sebagai tindak lanjut teknis. Bisa berbentuk Peratutan Pemerintah (PP), peraturan menteri terkait atau lainnya. Sehingga ketidakjelasan siapa eksekutor kebiri segera terjawab. Bisa jadi, IDI menolak karena dasar hukum teknis terkait masalah itu belum ada. Dan IDI sepantasnya dilibatkan dalam penentuan siapa eksekutor kebiri tersebut. Karena bagaimanapun secara medis mereka adalah pihak yang paling berkompeten.
          Akhir kata, perdebatan tentang eksekutor hukuman kebirih sah saja terjadi. Tapi, alangkah bijak bila perdebatan dan diskusi publik terkait persoalan itu tak menciderai perasaan korban kejahatan. Cukup penderitaan mereka terima dari pelaku. Kita tak boleh menambahinya. Karena itu, segera pemerintah mencari solusi. Menerbitkan aturan di bawah Perpu mengatur secara teknis pelaksanaan hukuman kebiri dan pemberatan lainnya. Untuk IDI, mengambil sikap bijak nan arif adalah pilihan tepat saat ini. Tak perlu mengedepankan ego, apalagi mengatasnamakan kode etik. Sungguh tak etis rasanya, kode etik dijadikan tunggangan ego profesi oleh para dokter.  Wa Allahu Alam




Kamis, 26 Mei 2016

Ada Apa Dengan La Nyalla?


          Senin (23/5) lalu menjadi hari berarti bagi La Nyalla, Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Pasalnya, gugatan praperadilan La Nayalla dikabulkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur. La Nyalla yang juga  Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur itu status tersangkanya dinyatakan tidak sah, batal demi hukum. Ini kali ketiga, yang berangkutan memenangkan sidang praperadilan.
Kepala Seksi Penyidikan Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejati Jatim, Dandeni Herdiana, mengatakan akan tetap mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk menjerat La Nyalla. Sebab, menurutnya, bukti La Nyalla merugikan uang negara sudah sangat jelas. Dan pasti pihaknya (Kejati) akan membuat sprindik baru. Jumlah alat bukti yang telah kami kantongi cukup kuat. Sayangnya, Dandeni belum bisa memastikan kapan sprindik baru tersebut akan dikeluarkan untuk menjerat La Nyalla. Dia hanya berjanji akan mengeluarkan sprindik baru untuk memproses kembali penyidikan kasus tersebut. (http://jatim.metrotvnews.com/)
Sebelumnya, Kejati Jatim telah menetapkan La Nyalla sebagai tersangka dalam kasus dana hibah ke Kadin Jatim dan kasus pencucian uang. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, La Nyalla tidak pernah memenuhi panggilan penyidik kejati. Yang bersangkutan dikabarkan kabur ke Singapura.
Praperadilan pertama dikabulkan PN Surabaya pada 7 Maret 2016. Kemudian Kejati menerbitkan sprindik baru dan dilanjutkan penetapan tersangka pada 16 Maret 2016. Gugatan praperadilan diajukan dan dikabulkan hakim. Tak lama setelah gugatan dikabulkan, kejati menerbitkan sprindik lagi. Gugatan itu kembali dikabulkan kemaren Senin 23 Mei 2016.
Sidang tersebut dipimpin oleh hakim, Mangapul Girsang. Dia mengabulkan gugatan tentang dugaan korupsi hibah Kadin Jatim tahun 2012 sesuai sprindik penetapan tersangka nomor 397/O.5/Fd.1/04/2016 bertanggal 12 April 2016 dan tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sesuai sprindik nomor 447/0.5/Fd.1/04/2016 tertanggal 22 April 2016. Hakim menilai kedua sprindik tersebut tidak sah dan cacat hukum, karena dianggap tidak cukup bukti.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Edward Omar Syarif Hiariej, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim telah melakukan pembangkangan terhadap institusi Pengadilan. Penegasan itu disampaikan Edward saat menjadi saksi ahli dalam lanjutan sidang praperadilan atas penetapan Ketua Umum Kadin Jatim La Nyalla Mattalitti sebagai tersangka pada perkara penggunaan dana hibah Kadin Jatim 2012 untuk pembelian saham IPO Bank Jatim, pada praperadilan sebelumnya.  (http://news.okezone.com/)
Kasus hukum La Nyallah terbilang langkah. Bisa jadi tidak ada contoh lainnya. Tiga kali memenangkan gugatan praperadilan, Kejati Jawa Timur masih kukuh berniat mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru. Hal ini yang jadi tanda tanya bagi khalayak ramai. Ada apa sebenarnya?
Sebagai orang yang awam hukum, saya melihat dalam kasus ini tersembunyi kebenaran. Kebenaran itu disembunyikan untuk kepentingan tertentu. Kepentingan siapa?  Rasanya sulit bagi masyarakat luas mengungkap misterinya. Point-point berikut diharapkan menjelaskan lebih jauh. Point berikut merupakan keraguan dan tanda tanya publik terhadap kasus tersebut. Pertama, jika La Nyalla bersalah, kenapa praperdilan selalu membatalkan status tersangkanya? Tiga kali sidang praperadilan memberi posisi kuat pada yang bersangkutan. Apa majlis hakim keliru memutuskan seperti diyakini Kejati Jatim sehingga meminta Komisi Yudisial (KY) turun tangan, menyelidikinya? Terlibatnya beberapa hakim dan pennegak hukum laiinya menimbulkan tanya kembali, apa ketiga hakim sudah terbeli? Atau memang Kejati tak mampu menghadirkan dua alat bukti sebagai syarat penetapan status tersangka seseorang?
Kedua, jika La Nyalla benar, kenapa Kejati Jatim bersikukuh membuat kembali Sprindik. Bahkan ada ungkapan sampai seribu kali. Ini mencerminkan keyakinan yang dipegang oleh Kejati Jatim sangat kuat. Hanya,  kenapa tak mampu menghadirkan dua alat bukti sehingga status tersangka kembali dibatalkan oleh majlis hakim sidang praperadilan? Apa kenerja mereka tak profesional? Atau ada kepentingan lain, poltik misalnya. Seperti disebut beberapa pihak, kasus ini syarat dengan kepentingan politik praktis terkait kepemimpinan La Nyalla di PSSI.
Ketiga, terlepas siapa yang salah? Logika publik menegaskan, tak mungkin keduanya benar. Sebaliknya tak mungkin keduanya salah. Pasti salah satunya benar. Dan salah  satunya salah. Kemudian siapa yang salah, siapa yang benar? Waktu akan menjawab berikutnya. Yang pasti masyarakat luas meyakini bahwa ada sesuatu yang salah. Ada yang ditutupi dari khalayak ramai.
Memperhatikan ketiga point di atas, saya sebagai salah satu bagian masyarakat luas berharap hukum dapat ditegakkan. Penegakan hukum harus tegas, tak pandang bulu. Hukum seyogyanya tajam ke atas juga ke bawah. Hukum menjadi benteng terakhir setiap konflik atau persoalan yang dihadapi masyarakat. Hukum tak boleh diperjualbelikan. Tak memutus sesuai kepentingan atau pesanan pihak tertentu.
Harapan dan mimpi indah di atas menjadi tantangan dan tanggung jawab semua penegak hukum baik Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, KPK,  KY, juga MA. Ini akan diuji oleh waktu dan jaman. Tapi harapan mulia tersebut ibarat panggang jauh dari api. Kenapa? Sebab, akhir-akhir ini sorotan publik sedang tertujuh ke sana. Penegak hukum sedang mengalami banyak ujian dengan terbelit kasus hukum oleh berbagai kalangan di ranah hukum. Paling mutakhir, kasus Sekretaris MA, Nurhadi, kasus Bupati Subang yang melibatkan oknum Jaksa, juga  Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Provinsi Bengkulu.
Akhir kata, publik nampak tak sabar melihat hukum tegak, lurus. Dan Kecemasan tersebut kudu segera dijawab oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Karena bagaimana pun, sebagai top leader di negeri ini, mereka berdua berkewajiban merealisasikan janji-janji saat kampanye Pilpres lalu. Bila ada yang tak sehat di ranah hukum dalam pemerintahan mereka, secepatnya ditanggulangi, diluruskan. Rakyat Indonesia menunggu.
Kemudian untuk Pak La Nyallah, pulanglah. Untuk apa kabur, bila anda merasa benar. Apa anda tak percaya penegakan hukum di negeri sendiri? Hadapi kasus hukum dengan sportif dan bertanggungjawab. Untuk Kejati Jatim, bekerjalah secara profesional. Jangan mengedepankan emosi dalam mengakan hukum. Tegakan hukum demi hukum dan untuk hukum sendiri, bukan untuk kepentingan lain.  Wa Allahu Alam

Dimuat di harian Umum Radar Cirebon, Jumat 27 Mei 2016

Selasa, 24 Mei 2016

Tak Sekadar Membaca


 Seperti diakui Mendikbud, persentase minat baca masayarakat Indonesia hanya 0,01 persen. Dari peresentasi tersebut dipahami bahwa dari 1000 orang hanya satu yang terbiasa membaca. Ini sangat memprihatinkan.
Sebab itu, bulan Agustus 2015 lalu, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendikbud) meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).  GLS dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud tersebut merupakan upaya untuk menumbuhkan budi pekerti pada peserta didik.  Menggunakan istilah menumbuhkan bukan menanamkan karena pada hakekatnya setiap anak memiliki budi pekerti dimaksud. Menurut Mendikbud, Anis Baswedan menumbuhkan maknanya memberi ruang bagi tumbuhkembangnya budi pekerti peserta didik.  Sebab, pada dasarnya anak sudah memilki modal dasar budi pekerti.
          Dalam Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti, guru diminta melakukan  pembiasaan mengajak peserta didik membaca buku selama 15 menit. Kegiatan 15 menit membaca itu dilakukan untuk membiaskan mereka membaca. Buku yang dibaca tidak harus buku paket atau kurikulum. Peserta didik bebas membaca buku yang disukai. Buku dapat diambil dari perpustakaan atau membawa dari rumah baik dapat meminjam orang tua, teman atau membeli sendiri.
          GLS seperti disebutkan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud, Mahsun bertujuan membiasakan dan memotivasi siswa untuk mau membaca dan menulis guna menumbuhkan budi pekerti. Dalam jangka panjang, peserta didik memilki kemampuan literasi yang tinggi. (http://litbang.kemdikbud.go.id/)
          Sekarang bagaimana pelaksanaan GLS? Apa cukup sekadar membaca 15 menit sebelum belajar? Tentu tidak. Membaca 15 menit di awal jam pelajaran itu hanya salah satu upaya membiasakan, mendorong anak  untuk mau membaca. Dengan pembiasaan tersebut membaca diharapkan menjadi kebutuhan bagi peserta didik. Juga untuk menanamkan kecintaan mereka pada membaca dan buku.
          Dalam sebuah acara di TV swasta, Mendikbud Anies Baswedan mengatakan, untuk mendorong minat baca masyarakat sekadar membaca buku tak cukup. Dibutuhkan gerakan bersama. Di samping membaca, kita harus mengajak orang lain membaca. GLS  merupakan usaha yang bertujuan untuk itu di lingkungan sekolah. Tapi saya meyakini GLS di sekolah saja tak cukup. Perlu gerakan di tempat lain. Gerakan itu harus bermula di keluarga dan diakhiri di lingkungan masyarakat. Ini yang dimaksud gerakan bersama seperti diungkapkan sang Menteri. Sebab itu permasalahan ini menjadi tanggungjawab setiap dari kita, bukan para pendidik di sekolah semata.
          Gerakan membaca di keluarga bisa diupayakan dengan hal-hal berikut. Pertama, teladan dari orang tua. Teladan menjadi sesuatu yang penting. Keteladan lebih mudah diterima oleh anak dibanding  perintah. Sebab, manusia memilki kecenderungan melawan perintah. Karena dalam kata perintah terdapat perampasan ego seseorang. Untuk itu gerakan membaca dalam keluarga harus dimulai dari orang tua. Ayah dan ibu kudu membiasakan  diri membaca terlebih dahulu sebelum memerintah.
          Kedua, menyisihkan uang belanja untuk membeli buku. Sehingga di rumah memilki buku bacaan. Terlebih bagi yang memilki anggaran lebih, membentuk perpustakaan kecil di sudut rumah menjadi pilihan bijak. Untuk menamkan kecintaan pada buku, orang tua dapat mengajak anak saat membeli buku.
          Ketiga, orang tua mengarahkan bacaan anak. Bacaan anak disesuaikan dengan usia mereka. Bacaan untuk anak tak perlu dibatasi. Biarkan mereka memilih bacaan yang disukai secara bebas. Orang tua cukup mendampingi dan membimbing.
          Selanjutnya, gerakan membaca di  sekolah seperti yang dicanangkan Kemendibud dengan GLS-nya. Kepala sekola dan guru harus menyikapinya dengan baik. Guru dan semua civitas sekolah wajib melaksanakan. Gerakan membaca di sekolah seyogyanya menjadi contoh bagi keluarga, masyarakat luas. Bagaimanapun di sekolah adalah tempat manusia terdidik. Sangat ironis bila sekolah sebagai lembaga pendidikan budaya membacanya lemah.
          Sebab itu, selain kegiatan 15 menit membaca setiap awal pelajaran juga diperlukan langkah lain, seperti mengoptimalkan perpustakaan sekolah. Setiap sekolah idealnya memiliki perpustakaan. Perpustakan sebagai sumber informasi, ilmu juga rujukan kudu dikelola secara baik. Selama ini,  perpustakaan sekolah terbengkalai.
Pemerintah tak sedikit memberi bantuan buku, juga gedung. Hanya pemerintah memang belum bisa menyediahkan tenaga kepustakaan untuk sekolah. Karenanya, guru wajib mengelolanya. Untuk ini, membutuhkan kesadaran tersendiri dari guru. Bagi mereka yang tidak cinta buku, tak biasa membaca panggilan moral  itu tak akan muncul. Sehingga kita menyaksikan banyak perpustakaan sekolah yang keberadaannya antara ada dan tiada.
          Majalah dinging (mading) juga musti ada di sekolah. Mading berfungsi untuk memberikan informasi. Melalui mading, siswa bisa dilatih mengelola informasi. Mading dapat berfungsi sebagai korannya sekolah. Di mading pula kreatifitas menulis bisa dikembangkan. Mereka yang berbakat menulis, melukis atau lainnya dapat ditampilkan di mading. Ini akan menjadi mootivasi luar biasa bagi peserta didik untuk melatih menulis dan menghasilkan karya. Dan otamatis kegiatan membaca menjadi lebih semarak.
          Kegiatan membaca peserta didik perlu dipantau terus oleh guru. Sekolah dapat menyediahkan buku laporan membaca siswa. Dalam setiap minggu atau bulan buku itu diperiksa guru. Guru dapat mengetahui sejauh mana peserta didiknya membaca dalam seminggu atau sebulan? Sudah berapa buku? Lebih jauh, mereka dilatih menulis ringkasan dari bacaan yang dipahami. Ini tentu sangat menarik, bermanfaat dalam menumbuhkembangkan budaya literasi anak.
Kemudian, gerakan dalam masyarakat luas.  Sebagai anggota masyarakat, setiap dari kita harus  berperan aktif dalam menggerakan minat baca. Ketika  membaca buku di berbagai tempat seperti  terminal, pasar, pinggir jalan atau lainnya, saat itu secara tak sadar kita telah mengkampanyekan pentingnya membaca.  Saya kadang merasa malu melihat orang asing yang berkunjung ke negara kita. Mereka telah terikat dengan bacaan dan buku. Mungkin anda pernah menyaksikan turis asing itu ke mana-mana, di mana saja membawa buku dan membacanya. Membawa buku seperti rokok bagi bangsa kita.
Walhasil, gerakan membaca yang dilakukan  dalam keluarga, sekolah dan masyarakat luas diharpkan bisa merubah bangsa Indonesia menjadli lebih berbudaya dan beradab. Budaya membaca akan mendorong budaya menulis. Maka, di masa mendatang Indonesia tidak lagi menjadi negara terbelakang  dalam budaya literasi. Namun, hal itu tidak semuda membalik tangan. Butuh kerja sama, kesadaran tinggi, komitmen kuat serta gerakan bersama dari masyarakat. Sekarang bagaimana dengan kita,  apa sudah siap? Jawaban  pertanyaan tersebut akan menentukan budaya leterasi, minant baca  khususnya dia waktu yang akan datang. Wa Allahu Alam

Budaya Literasi Kita Masih Lemah


          Saat mengunjungi sebuah toko buku, saya mendengar informasi disampaikan. Bahwa untuk hari ini ada discount 20% dalam setiap pembelian buku. Saya baru ingat, ini terkait dengan Hari Buku Nasional. Saya pun memanfaatkannya. Saya membeli buku tidak seperti biasanya. Hari itu, saya lebih banyak mendapatkan buku.
Setiap 17 Mei diperingati sebagai Hari Buku Nasinal. Peringatan Hari Buku Nasional dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2002. Hari Buku Nasional sendiri merupakan ide Menteri Pendidikan  Kabinet Gotong Royong, Abdul Malik Fadjar.  Tanggal 17 Mei diambil dari pendirian Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) di Jakarta yakni 17 Mei 1980.
Melalui Hari Buku Nasional diharapkan  memacu minat baca masyarakat Indonesia, sekaligus menaikkan penjualan buku. Pasalnya, di Indonesia, rata-rata hanya 18 ribu judul buku yang dicetak setiap tahunnya. Jumlah tersebut jauh berbeda dengan negara lainnya, seperti Jepang dengan 40 ribu judul buku per tahun dan China dengan 140 ribu judul buku per tahun.
Terkait minat baca, Taufiq Ismail pernah melakukan penelitian. Pada tahun 1996 menemukan perbandingan tentang budaya baca di kalangan pelajar, rata-rata lulusan SMA di Jerman membaca 32 judul buku, di Belanda 30 buku, Rusia 12 buku, Jepang 15 buku, Singapura 6 buku, Malaysia 6 buku, Brunei 7 buku, sedangkan Indonesia 0 buku. Itu 20 tahun lalu.  Bagaimana dengan sekarang?
Sekarang, seperti diakui oleh Mendikbud Anies Baswedan, mengutip data UNESCO, persentase minat baca Indonesia hanya 0,01 persen. Dari peresentasi tersebut dipahami bahwa dari 1000 orang hanya satu yang terbiasa membaca. Ini tentu sangat minim. Juga memprihatinkan. Nampaknya, minat baca kita tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan.
Belum lama, saya menyaksikan melalui media online betapa meriahnya pameran buku Big Bad Wolf. Kegiatan yang dilaksankan di ICE Bumi Serpong Damai Tangerang itu ramai dibicarkan di dunia maya.  Dalam pameran yang setiap hari libur buka 24 jam itu antusias pengunjung  sangat tinggi. Mereka datang hingga tengah malam.  Mereka memborong buku. Maklum, sebab di pameran tersebut buku dijual sangat murah. Mengamati kegiatan itu sepertinya orang Indonesia suka membeli buku. Tapi kenapa  perkembangan minat baca  di tanah air tidak seiring dengan ramainya pameran buku itu? Apa bangsa kita hanya gemar beli buku tapi tidak mau membaca?
Data lain menyebutkan, berdasarkan sebuah survei,  Indonesia menempati urutan ke 60 dari 61 negara. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Botswana, sebuah negara miskin di Afrika. Penelitian di bidang literasi yang dilakukan oleh  Central Connecticut State University di New Britain, Conn, Amerika Serikat, menempatkan lima negara pada posisi terbaik yaitu Finlandia, Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. (The Jakarta Post, 12 Maret 2016).
Berbagai data di atas menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi dalam masyarakat Indonesia. Bangsa kita masih mengandalakan apa yang  dilhat dan didengar dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS), seperti ditulis selasar.com 29-5-2015,  pada tahun 2006 menunjukkan 85,9 persen masyarakat memilih menonton televisi daripada mendengarkan radio (40,3 persen) dan membaca koran (23,5 persen).
Masyarakat belum terbiasa melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman dari membaca. Mereka belum dapat mengaktualisasikan diri melalui tulisan. Membaca dan menulis  belum mengakar kuat dalam budaya bangsa Indonesia. Masyarakat lebih sering menonton atau mendengar dibandingkan membaca apalagi menulis.
Kondisi di atas tidak hanya pada kalangan awam (masyarakat umum), lingkungan terpelajar atau dunia pendidikan pun masih jauh dari apa yang disebut budaya literasi. Peserta didik belum tertanam kecintaan membaca. Bahkan guru dan dosen, tak sedikit dari mereka yang juga sama keadaanya. Itu bisa dibuktikan dengan  minimnya jumlah buku yang dimiliki mereka. Perpustakaan sekolah yang tak terawat dapat menjadi saksi bisu betapa civitas akademika itu jauh dari  budaya literasi. 
Sebab itu, di awal tahun pelajaran 2015-2016 yang lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan  telah mengeluarkan peraturan menteri (Permen), yang mewajibkan para siswa membaca buku 10 menit sebelum jam belajar dimulai. Ini sebuah upaya menamkan, menumbuhkan minat baca peserta didik. Diharapkan, kegiatan membaca itu berkelanjutan, menjadi kebiasaan hingga hari tua.
Budaya Literasi
Apa budaya litersai itu?  Budaya  seperti disebutkan wikipedia.org diartikan sebagai sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan, dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan literasi dalam Kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan  tulis-menulis. Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis dan peka terhadap lingkungan sekitar.. Maka secara sederhana, budaya literasi dapat didefinisikan sebagai kemampuan menulis dan membaca masyarakat dalam suatu negara.
Untuk membangun budaya literasi, menurut hemat saya, beberapa langkah bisa dilakukan. Pertama, menumbuhkan minat baca sedini mungkin. Minat membaca diimulai dari keluarga. Orang tua wajib mendorong putra-putrinya untuk membaca banyak buku. Tak cukup itu, mereka seyogyanya memberi contoh. Mereka kudu  terlebih dahulu membiasakan membaca. Mereka dapat menciptakan lingkungan yang mendukung menumbuhkan minat baca seperti menyediakan ruang baca dengan buku bacaan yang cukup. Sebab itu, membeli buku dijadikan kebutuhan primer yang harus dipenuhi dalam setiap bulannya. Menyisihkan uang bulanan untuk tujuan di atas menjadi pilihan orang tua bijak dalam  membangun budaya literasi.
          Kemudian, sekolah memiliki peran penting. Di sekolah, anak-anak wajib dibiasakan membaca. Guru memberi teladan. Mereka menanmkan kepada peserta didik kecintaan terhadap buku. Perpustakaan sekolah (diupayakan ada) sepantasnya dikelola dengan baik. Sehingga perpustakaan sekolah menjadi menarik untuk dikunjungi.
          Di sekolah, budaya tulis menulis dimulai. Peserta didik diajari menulis. Dalam setiap pembelajaran, guru dapat menyisipkan kegiatan menulis atau mengarang. Osis dilatih mengelola majalah dingding. Lebih jauh, pelajar SLTP atau SLTA dapat dipacuh untuk menerbitkan buletin, jurnal  atau lain.
          Kedua, subsidi buku. Di beberapa negara maju, pemebelian buku memperoleh subsidi dari pemerintah. Sebagai negara berkembang yang mengejar ketertinggalan di berbagai sektor, tak salah bila Pemerintah mengusahakan hal tersebut. Subsidi akan membantu masyarakat dalam memiliki serta membaca buku. Ini terlihat mustahil. Tapi selagi ada usaha dari semua pihak, saya  yakin tidak ada yang mustahil.
          Ketiga mengoptimalkan peran perpustakaan daerah. Keberadaan perpustakaan daerah selama ini belum menunjukkan perannya di tengah masyarakat dalam mendorong minat baca. Keberadaanya antara ada dan tiada. Ini terkait dengan pengelolaan dan pelayanan yang belum maksimal. Koleksi buku perlu ditambah. Perpustakaan daerah diupayakan membuat terobosan dengan kegiatan menarik seperti lomba menulis, lomba baca puisi, atau lainnya. Saya juga melihat sosialisasi masih sangat kurang.
Ke depan perpustakaan daerah diminta menjadi lokomotif  minat baca masyaraat. Ini  sebuah tantangan berat sekaligus tanggung jawab  dalam upaya menamkan budaya membaca dan menulis. Kemudian, rasanya tidak rasional bila satu daerah hanya satu perpustakaan. Sebab itu, perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk membangun perpustakaan umum di setiap kecamatan atau desa. Ini semata-mata untuk mendekatkan bacaan ke masyarakat..
Keempat, menghargai karya tulis. Bangsa ini musti belajar mennghargai karya orang lain. Dan karya tulis sepatutnya memperoleh tempat khusus, melebihi karya lain. Pemerintah dituntut memilki perhatian khusus pada para penulis. Pemerintah harus mendorong kegiatan penulisan juga penelitian.
Akhir kata, Hari Buku Nasional dimaknai tidak sebatas serimonial belaka. Hari Buku Nasional harus mampu meningkatkan minat baca masyarakat. Ini membutuhkan upaya bersama. Mengutip ungkapan Pak Anies Baswedan, kita tidak boleh hanya sekadar membaca tapi harus mengajak orang lain membaca. Lingkungan membaca harus diciptakan di mana saja kita berada. Dari budaya membaca akan lahir budaya menulis. Membaca dan menulis itulah hakekat dari budaya literasi. Wa Allahu Alam
Tulisan ini dimuat di harian umum Fajar Cirebon, Senin 23 Mei 2016




Jumat, 20 Mei 2016

Setnov Menang, Jokowi Senang



          Munaslub Partai Golkar telah usai. Munaslub yang digelar di Bali itu memilih dan menetapkan Setya Novanto (Setnov) sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2016-2019. Dalam perhelatan akbar  yang berlangsung 14-17 Mei itu, Partai Golkar mengeluarkan sikap politik yang berbalik arah dari sikap sebelumnya. Munaslub menegaskan bahwa Golkar keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP) dan menyatakan bergabung, mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Sikap tersebut sudah diprediksi oleh banyak pihak sebelumnya. Sebab, Munaslub merupakan solusi yang telah disepakati oleh pihak yang bersengketa (ARB-Agung Laksono) yang dijembatani oleh Yusuf Kalla dan beberapa tokoh senior partai.
          Kemenangan Setnov memimpin Partai Golkar menimmbulkan banyak pertanyaan di tengah masyarakat. Setnov yang sebelumnya menjadi bulan-bulanan media karena kasus papa minta saham itu dianggap oleh publik sebagai politisi licin, kontroversial, serta terindikasikan  terlibat berbagai kasus hukum. Setnov yang dilengserkan dari jabatan Ketua DPR RI itu dinilai memilki  cacat moral. Ia tak pantas  memimpin sebuah partai seperti Golkar. Tapi politik tetap saja politik. Politik tak mengenal, mengabaikan catatan moral seseorang. Dalam politik siapa yang bisa menebar pengaruh, mengerahkan kekuatan dan merangkul banyak orang akan menang.
          Setnov memilki rekam jejak yang buruk terkait dengan beberapa kasus hukum. Namun demikian, yang bersangkutan selalu selamat dari jeratan hukum. Penegak hukum seakan tak mampu menyentuhnya. Paling mutakhir, dalam kasus papa minta saham. Kejaksaan Agung sampai hari  tak mampu menjadikannya sebagai tersangka. Padahal, di depan media Kejagung berkali-kali mengatakan akan menegakkan hukum tanpa pandang bulu terkait kasus tersebut.
          Setnov berulangkali namanya tersret dalam berbagai kasus. Namanya pernah disebut terlibat dalam kasus pengalihan hak utang (cessie) Bank Bali kepada Bank Dagang Negara pada tahun 1999. Setnov diduga terlibat karena ia menjadi salah satu pemilik perusahaan swasta yang menerima transfer dana sebesar 500 milyar rupiah dari Bank Bali. Setnov lolos dari proses hukum kasus cessie Bank Bali setelah Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) pada 18 Juni 2003.
          Tahun 2003, Setnov kembali dikaitkan dengan dugaan korupsi pengadaan beras dari Vietnam sebanyak 60 ribu ton. Bersama Idrus Marham, Setnov diduga ikut memberi izin pengalihan puluhan ribu ton beras dari gudang pabean ke gudang non pabean. Negara mengalami kerugian berkisar 122,5 miliar rupiah atas perpindahan ilegal puluhan ton beras tersebut. Ia sempat diperiksa di Kejagung pada tanggal 27 Juli 2006. Kasusnya pun tak jelas hingga sekarang.
          Kemudian kasus PON Riau. Tahun 2012, Setnov diduga memiliki peran memberi dana ke beberapa anggota DPR RI untuk memuluskan anggaran PON dalam APBN. Dia sempat diperiksa oleh KPK pada tanggal 20 Juni 2012 dan 19 Agustus 2013. Dan seperti sebelumnya, Setnov kembali lolos dari jerat hukum dalam kasus tersebut.
Masa lalu Setnov terkait beberapa kasus hukum di atas akan menjadi beban berat bagi Partai Golkar. Setnov diyakini akan sulit mendongkrak perolehan suara Golkar baik dalam Pilkada, Pemilu maupun Pilpres mendatang. Suara Golkar akan menjadi pertaruhan di tangan Setnov. Mungkinkah mantan Ketua DPR itu membawa Golkar selangkah lebih maju, meraih kemenangan kembali?
 Dalam sejarah, Golkar tercatat sebagai partai penguasa di masa orde baru yang selalu menguasai suara rakyat dan parlemen. Di awal reformasi pun Golkar bisa menjadi pemenang kedua setelah PDIP. Seperti dikutip cnnindonesia.com, tahun 2004 Partai Golkar sukses menjadi pemenang dengan suara 21,58% suara, 23,27% dengan 128 kursi di DPR RI. Kemudian di 2009 Partai Golkar harus puas di posisi kedua dengan perolehan suara 14,45% suara dan 19,11% dengan 107 kursi.  Terakhir di era kepemimpinan ARB Golkar di posisi kedua dengan perolehan suara 14,30% suara dan 83 kursi di DPR. Di Pemilu 2019 mampukah Golkar bangkit kembali meraih kemenangan setelah merosot perolehan suara dan kursinya sejak tahun 2009? Ini menjadi tugas berat bagi sang nahkoda baru partai berlambang beringin tersebut.
Sementara bagi Presiden Jokowi kemenangan Setnov memilki makna berbeda. Kemenangan Setnov menjadi point positif bagi karir politik Jokowi di masa mendatang. Saya menyebutnya  seperti dalam judul tulisan, Setnov menang Jokwi senang. Paling tidak ada beberapa alasan yang menguatkan statemen tersebut. Pertama, kemenangan Setnov melumpuhkan kekuatan oposisi di KMP. KMP akan tersisa Gerindra dan PKS setelah ditinggal Golkar, PAN, PPP. Munaslub kemaren tidak hanya mengantarkan Setnov menjadi orang nomor satu di Golkar tapi menegaskan, menyatakan tekad bulat mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Setnov begitu terpilih langsung menyatakan tekadnya untuk mendukung pemerintah. Ini point penting dalam perjalanan pemerintahan Jokowi ke depan. Jokowi akan merasa lebih leluasa dalam menjalankan semua program pembangunan yang dicanangkan tanpa harus mendapat hambatan berarti dari perlemen. Stabilitas politik akan mudah terjaga. Kegaduhan politik diperkirakan akan hilang dengan sendirinya. Parlemen menjadi sunyi senyap.
Kedua, kemenangan Setnov akan memudahkan Jokowi memgendalikan Golkar. Masa lalu Setnov terkait kasus hukum menjadi kartu as buat Jokowi. Jokowi dapat menggunakannya kapan saja. Sehingga dipastikan Golkar ke depan berada di tangan Jokowi. Tidak munutup kemungkinan Jokowi pun dapat berlayar bersama Golkar di Pilpres mendatang bila PDIP mencampakannya.
Ketiga, kemenangan Setnov mengurangi kekuatan JK di istana. Walau tidak seperti sebelumnya saat bersama SBY,  dominasi JK memang masih ada. JK memilki pengaruh cukup kuat dalam lingkaran kekuasaan. Selama ini Jokowi sering menggunakannya ketika terkait dengan Partai Golkar. Di waktu mendatang pengaruh JK terkait Golkar tak akan digunakan sepenuhnya. Jokowi pasti memilih membangun komunikasi politik langsung dengan Ketua Golkar, Setnov.
Keempat, kemenangan Setnov di Golkar akam memuluskan Jokowi memimpim Indonesia dua periode. Di Pilpres mendatang Jokowi diperkirakan tak menemukan lawan tangguh seperti Prabowo dulu. Partai sebesar Golkar ternyata hanya mampu menampilkan Setnov yang kontroversial. Sebagai ketua umum,  Setnov pantas berambisi bertarung merebut RI-1. Pengalaman Golkar yang gagal total menjadikan ARB sebagai capres atau cawapres pada Pilpres 2014 lalu nampaknya akan terulang.  Secara moral ARB terbebani oleh lumpur Lapindo, sedangkan Setnov akan terbebani kasus papa minta saham dan dugaan jeratan kasus hukum laiinya.
Walhasil, Setnov telah terpilih menjadi Ketua Golkar dengan membawa masa lalunya. Bergabungnya Golkar ke barisan partai pendukung pemerintah harusnya mempercepat pembangunan. Pemerintah akan lebih cepat mengejar target pencapaian pembangunan karena tak akan ada hambatan politik yang berarti lagi dari kaum oposisi di parlemen setelah Golkar menyatakan keluar dari KMP. Kemudian, terlepas apakah Jokowi senang atau tidak dengan kemenangan Setnov, bagi rakyat laju pembangunan memang kudu lebih cepat agar bisa mengejar berbagai ketertinggalan. Wa Allahu Alam
Tulisan dimuat di harian umum Radar Cirebon, Senin 23 Mei 2016

Kekerasan dan Pendidikan Seks


          Pemberitaan tentang kekerasan seksual menjadi sajian utama media (cetak, elektronik atau online) dua minggu terakhir. Kekerasan seksual pada perempuan dan anak seakan mendapat momentum. Berita kekerasan seksual bermunculan di berbagai daerah di tanah air.  Kasus YY di Bengkulu menjadi pembuka serial panjang kekerasan seksual  pada tahun ini. Gadis berumur 14 tahun itu merenggang nyawa setelah diperkosa 14 pemuda tanggung. Terakhir, saya membaca di media online seorang kepala Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Yogyakarta memperkosa siswinya.
          Deretan panjang berita kekerasan seksual itu memilukan hati kita semua. Ada apa dengan bangsa kita? Kenapa prilaku  keji seperti itu banyak terjadi, menimpa anak, orang dekat kita? Dimana para orang tua? Para pendidik? Para penegak hukum? Kenapa pemerintah absen di sana?
          Pertanyaan seperti itu muncul dalam benak dan pikiran. Pertanyaan itu hadir akibat keterkejutan dan ketidakmampuan kita semua menyelesaikan masalah secara tuntas selama ini. Kekerasan seksual ada di tengah masyarakat jauh sebelum kasus YY.  Dari waktu ke waktu data kekerasan seksual baik terhadap perempuan maupun anak meningkat. Harian Kompas (4/5) melaporkan, berdasarkan catatan Komnas Perempuan pada tahun 2013-2015 kekerasan terhadap perempuan menunjukkan tren peningkatan.  Pada 2013 tercatat ada 279.760 kasus. Pada tahun 2014 bertambah menjadi 293.220 kasus. Dan tahun 2015 bertambah lagi menjadi 321.752 kasus.
          Salah satu penyebab kekerasan seksual, seperti disebutkan banyak  pihak adalah masalah prilaku seks. Rismijati E Koesma, dosen Fakultas Psikologi Unpad menyebutkan, mengapa seseorang terdorong melakukakan kekerasan seksual? Karena kebutuhan seksual itu sesuatu yang alami, sesuatu yang dimiliki  setiap orang yang diberi oleh Yang Maha Kuasa. Gairah seksual adalah sesuatu yang tidak dipelajari, tidak dibentuk tetapi siapa pun pasti memiliki kebutuhan tersebut. Kebutuhan seksual adalah basic needs yang sama dengan kebutuhan makan dan minum serta bersifat siklus sehingga kebutuhan ini pada prinsipnya harus dipenuhi. (Pikran Rakyat 19/5)
          Sebagai kebutuhan dasar, prilaku seks membutuhkan pembelajaran. Pembelajaran tentang bagaimana menyalurkan kebutuhan gairah  seksual  secara benar dan sehat itu disebut dengan pendidikan seks. Pendidikan seks (sex education) adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar. Informasi itu meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan.
          Pendidikan seks sangat penting. Paling tidak untuk dua alasan. Pertama, untuk membantah argumentasi bahwa membicarakan seks adalah sesuatu yang tabu, tidak etis dan tak pantas. Kedua, untuk membekali anak memahami seks secara benar seperti tentang kesehatan anatomi reproduksi atau lainnya. Sehingga seks bebas tidak lagi menarik bagi anak mereka.
          Kemudian secara umum tujuan pendidikan seks sesuai dengan interpersonal  confence  of seks eduction and family planing pada tahun 1962 adalah untuk mencetak atau menghasilkan manusia dewasa yang dapat menjalankan kehidupan yang bahagia serta bertanggungjawab terhadap dirinya dan terhadap orang lain.
Kapan pendidikan seks dimulai? Dan bagaimana pendidikan seks itu dilakukan? Pendidikan seks dimulai sejak dini dalam keluarga. Orang tua menjadi guru pertama bagi anak-anaknya. Orang tua wajib menyampaikan informasi terkait seks secara tepat. Yakni tepat saat dan tepat meteri. Tepat saat artinya tepat waktu kapan hal itu harus disampaikan. Tepat meteri pengertiannya adalah materi apa yang pas disampaikan kepada anak. Ukuran ketepatan saat dan materi ini terkait usia, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Orang tua sejak awal kudu menyampaikan berbagai hal terkait perbedaan jenis kelamin (pria-wanita) misalnya. Mereka juga harus mengawasi hubungan anak mereka yang berbeda jenis kelamin dalam kehidupan keluarga di rumah. Orang tua musti menjelaskan batasan-batasan yang dijaga antara lelaki dan perempuan. Dalam ajaran agama misalnya, Rasulullah SAW memerintahkan memisahkan mereka (anak laki-laki dan perempuan) saat tidur pada usia tujuh tahun. Ini contoh nyata pendidikan seks sejak dini yang diajarkan oleh Islam.
Sebagai orang dewasa di rumah, ayah dan ibu sepantasnya memberi contoh yang baik terkait hubungan laki-perempuan dewasa. Mereka harus bisa menjaga diri baik dalam berpakaian, bertuturkata. Mereka tak boleh menampilkan kemesraan berlebihan di depan anak.  Mereka dituntut menampilkan hubungan sepasang suami istri yang baik dan sehat di depan anak. Sehingga anak bisa memahami bagaimana kehidupan seks suami-istri itu dilakukan secara benar dan sehat.
Bisa jadi kekerasan seksual yang terjadi di rumah merupakan akbiat dari tidak adanya pendidikan seks. Seperti diketahui melalui pemberitaan, kekerasan seks terhadap perempuan kadangkala dilakukan oleh ayah (kandaung atau tiri) terhadap anaknya. Atau seorang kakak pada adiknya. Majikan terhadap pembantunya. Sebab itu, pendidikan seks dalam kehidupan keluarga di rumah wajib dilakukan. Sehingga ke depan, tidak ada lagi kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga.
Kemudian sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Sekolah seyogyanya mengambil peran dalam pendidikan seks terhadap peserta didik. Pendidikan seks dalam kurikulum pendidikan kita memang belum pernah ada. Tentang perlu tidak memasukan pendidikan seks dalam kurikulum masih dalam perdebatan para pakar pendidikan.
Dalam pendidikan dikenal apa yang disebut dengan hidden kurikulum. Hidden kurikulum yaitu Kurikulum tersembunyi atau kurikulum terselubung, secara umum dapat dideskripsikan sebagai hasil (sampingan) dari pendidikan dalam latar sekolah atau luar sekolah, khususnya hasil yang dipelajari tetapi tidak secara tersurat dicantumkan sebagai tujuan.
Dan menurut hemat saya, selagi pendidikan seks belum tercantum dalam kurikulum maka pendidikan seks bisa dimasukan dalam hidden kurikulum. Di sini, ketrampilan dan kreatifitas guru dalam mengajar sangat menentukan. Mereka diharapkan memasukan pendidikan seks pada pelajaran yang terkait atau berhubungan. Kemudian di masa mendatang, dunia pendidikan diminta mengakomodirnya dalam kurikulum pendidikan sejak di TK sampai perguruan tinggi.
Terakhir di tengah masyarakat. Masyarakat luas juga memikul tanggung jawab kolektif dalam mendidik anggota masyarakat. Kita semua punya kewajiban menciptakan lingkuangan yang bersih dan sehat. Lingkungan sehat tercermin dalam hubungan antara warga berbeda jenis kelamin yang baik. Lingkungan yang tak mengenal seks bebas. Lingkungan dimana kaum laki-laki melindungi kaum hawa. Terciptanya lingkungan sehat seperti itu akan terwujud dengan sendirinya bila setiap keluarga dibangun dan dibina secara baik seperti dijelaskan sebelumnya.
Akhir kata, seperti ditegaskan Denyzi Wahyuadi, Peneliti dari Pusat Kajian Seks dan Gender Universitas Indonesia,  pendidikan seks itu harus diberikan sedini mungkin dan sesuai umur peserta didik. Berdasarkan pengalaman di Belanda pendidikan seks di sekolah ternyata sangat berpengaruh dalam menunda melakukan hubungan seksual pertama kali oleh anak remaja. (http://www.republika.co.id/)
Dan akhirnya sebagai salah satu solusi mencegah kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, pendidikan seks di rumah, sekolah dan masyarakat luas yang kita lakukan diharapkan bisa mengurangi terlebih menghapus tindak kekerasan seksual di masa mendatang. Semoga. Wa Allahu Alam
Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon, Jumat 20 Mei 2016

          

Rabu, 18 Mei 2016

Golkar dan Politik Uang


          Sabtu malam (14/5) Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar secara resmi dibuka oleh Presiden Joko Widodo. Munaslub yang semula dijadwalkan pada tanggal 15 Mei 2016 itu diajukan sehari lebiih awal.  Munaslub partai beringin yang  dilaksanakan di Bali juga dihadiri oleh Wakil Presiden,  beberapa Menteri kabinet kerja, sejumlah pejabat di lingkungan istana serta para pemimpin partai politik.
          Dalam sambutannya, Presiden Jokowi mengakui bahwa sejumlah orang dekatnya seperti Wapres Yusuf Kalla dan Menteri Polhukam Luhut Binsar Panjaitan telah melakukan langkah-langkah terkait Munaslub. Jokowi memaklumi hal itu, karena keduanya adalah kader Golkar bahkan pernah menduduki jabatan tertinggi di partai tersebut. Namun, Presiden mengaskan bahwa pemerintah tak berpihak pada siapa pun. Istana tak mendukung siapa pun. Saat ini, Jokowi hanya berharap Partai Golkar bisa kembali bersatu setelah mengalami perpecahan selama lebih dari setahun.
            Munaslub Partai Golkar kali ini memang sangat menarik didiskusikan. Kenapa? Karena Munaslub tersebut merupakan anti klimaks perpecahan di tubuh partai peninggalan orde baru itu. Munaslub  menjadi solusi yang disepakati oleh kedua kubu yang beselisih, yaitu kubu Abu Rizal Bakri dan Agung Laksono. Selain itu, sebagai partai pemenang kedua dalam Pemilu 2014 lalu tentu Partai Golkar punya daya tarik tersendiri.
          Diantara isu politik paling mendapat sorotan publik menjelang Munaslub adalah soal mahar politik. Yakni disyaratkannya membayar uang satu milyar bagi bakal calon ketua umum. Syarat yang disebut oleh para pengamat sebagai mahar politik itu hampir saja mencoret dua kandidati bakal calon Ketua Umum yakni  Syahrul Yasin Limpo dan Indra Bambang Utoyo.
          Mahar politik merupakan praktek politik uang dan termasuk tindak pidana korupsi.  Praktek politik uang menjadi  pembicaraan publik yang sangat seksi. Seksi karena ramai dibicarakan walau sulit, tak mudah dalam pembuktian. Hampir semua partai tersentuh isu tersebut saat penyelenggarakan kongres, muktamar, atau Munas. Dan Partai Golkar, dalam Munaslub sekarang, membuat trobosan kontroversial dengan membuat syarat bakal calon Ketum berupa uang satu milyar yang disebutnya sebagai sumbangan kepada Partai.
          Isu politik uang dalam pemilihan ketua umum di Partai Golkar bukanlah hal baru. Munas Golkar tahun 2004 disebut-sebut sebagai Munas yang paling bergizi. Gizi diwujudkan dalam berbagai fasilitas serba mewah bagi peserta Munas. Gizi berbentuk transportasi, akomodasi, dan tentu uang saku bagi pemiliki suara. Munas yang diselenggarakan di Bali itu dianggap sebagai Munas yang paling ramai transaksi politik uang di dalamnya.
          Dan sekarang, Bali kembali menjadi saksi pergelaran akbar politik Partai Golkar. Berdasarkan ldata yang masuk pada Dewan Komite Etik Munaslub, puluhan laporan diadukan baik berupa lobi-lobi, pertemuan dengan DPD juga lainnya yang diduga bernuansa transaksi politik uang yang dilakukan para bakal Caketum Golkar. Dan dari kedelapan bakal calon ketua itu, Setya Novanto digadang-gadang sebagai calon yang memiliki finansial yang paling kuat. Seperti dilaporkan, dia menjadi Caketum Golkar terkaya.
          Jika politik uang benar terjadi, menurut hemat saya hal itu akan menjadi preseden buruk bagi partai Golkar. Pertama, akan memperburuk citra partai.  Khalayak ramai akan mengamini kebenaran berita yang selama ini beredar di media massa. Bahwa politik uang telah terjadi di Munaslub Golkar. Partai Golkar yang selama kepemimpinan Abu Rizal Bakri tersorot tajam akan semakin dipandang negatif oleh rakyat. Partai yang pernah berkuasa selama 32 tahun di masa orde baru itu akan semakin terpuruk citranya. Dan pesaing Golkar akan memanfaatkanya isu itu menjadi kampaye hitam terhadap partai berwarna kuning tersebut.
          Kedua, gagal di pilkada 2017. Isu politik uang pasca Munaslub pasti berlanjut.  Dan selama itu Partai Golkar akan terkoreksi dan tersorot. Pembicaran para analis, pakar politik, dan para politisi sendiri di tengah masyarakat  akan mempersulit  Partai Golkar  dalam Pilkada. Para calon kepala daerah yang diusung Golkar dalam Pilkada mendatang akan sulit menang. Hal ini akan menjadi beban berat bagi Ketua Umum terpilih  Partai Golkar di masa akan datang.
          Ketiga, perpecahan bisa kembali terjadi. Seperti diyakini, uang akan menjadi petaka bila digunakan pada sesuatu yang tidak baik. Praktek politik uang menjadi bara api yang siap membakar. Ketidakpuasan calon yang kalah dalam politik uang akan melahirkan dendam berkepanjangan.
Harapan
          Sebab itu, saya berharap apa yang diduga selama ini tak terbukti, tidak terjadi. Munaslub  diminta berjalan dengan fair play, bermain bersih. Munaslub diharapkan bersih dari segala bentuk mony politic. Dan ini menjadi tanggungjawab kolektif semua peserta Munaslub. Para Caketum wajib mengedepankan masa depan partai daripada karir politik pribadi mereka masing-masing. Mereka kudu siap menang dan kalah. Mereka seyogyanya menunjukkan itikad baik, berkomitmen dalam memerankan politik bersih di arena Munaslub.
          Untuk mewujudkan harapan di atas, saya mengusulkan hal-hal berikut. Pertama, Dewan Komite Etik yang dibentuk khusus untuk Munaslub diminta berperan aktif. Dewan etik harus maksimal dalam mengawasi setiap gerak para calon ketua. Dewan etik wajib bertindak tegas. Jangan takut. Keberadaanya harus dirasakan, menjadi pembeda dengan Munas sebelumnya. Sehingga Munas kali ini akan menjadi Munas yang bersih dari setiap praktek politik kotor seperi mony politic.
          Kedua, para caketum diminta menanamkan tekad kuat untuk tidak bermain kotor. Mereka diharapkan menawarkan visi-misi dan program kerja kepada peserta, tidak menjanjikan uang. Mereka sepantasnya menjual idealisme bukan mengandalkan kekuatan finansial. Figur pemimpin seperti itu yang akan membawa Golkar menjadi partai modern nan maju.
          Ketiga, peserta wajib mengawasi bersama jalanya Munaslub. Pengawasan bersama seperti itu akan mempersempit ruang gerak pelaku politik uang. Mereka harus menolak tegas segala bentuk transaksi politik. Tapi sebaliknya, bila peserta justru mengharapkan uang dalam pemilihan ketua umum di Munaslub maka itu akan mempermudah setiap gerak pelaku politik kotor. Di sini moralitas, integritas setiap peserta dipertaruhkan.       
          Walhasil, politik uang harus ditolak. Politik uang akan menjadi racun dalam kehidupan politik dan demokrasi kita. Partai Golkar sebagai partai besar yang memilki pengalaman panjang sepantasnya menampilkan teladan bagi partai lain. Partai Golkar harus menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Politik uang sebagai salah satu bentuk korupsi wajib dihilangkan dari arena Munaslub Parta Golkar yang sedang berlangsung beberapa hari ke depan. Semoga. Wa Allahu Alam