Rabu, 30 September 2015

Bola Panas Bernama Isu Kudeta


Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, ia akan berdiri paling depan untuk menolak jika ada militer di Indonesia yang hendak mengudeta Presiden RI selaku pemimpin pemerintahan dan negara. Itu karena, menurut SBY, kudeta sama saja dengan menggerus hasil kerja keras para perwira tinggi TNI yang dilakukan pasca reformasi sampai hari ini. Kalau ada pemikiran militer untuk melakukan kudeta, sekarang saya yang paling depan mengatakan menolak dan tidak setuju. Kalau ada yang nekat melaksanakan kudeta, saya akan berada di pihak yang berseberangan, karena itu merusak apa yang sudah kita lakukan‎ sampai hari ini. Hal ini disampaikan  SBY dalam tanggapannya terhadap buku Transformasi TNI karya Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo di Kantor CSIS, Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Senin (28/9/2015).
Lebih jauh, SBY menjelaskan, jika hendak menyampaikan sesuatu terkait kondisi terkini, para petinggi TNI dan Polri bisa langsung mengomunikasikannya ke Presiden. Penyampaian perlu dilakukan dengan baik dan kontekstual. Itu karena ada mekanisme di mana presiden memiliki ruang untuk berkomunikasi dengan Panglima TNI dan Kapolri. Kalau ada pikiran-pikiran TNI yang ingin disampaikan kepada presiden, sampaikan di sini dengan cara yang baik, kontekstual sambil memberikan rekomendasi, mungkin mengingatkan juga tidak dilarang. Pasti presiden mendengarkan. Namun jika disampaikan dengan "jalur pintas" melalui kudeta, maka demokrasi Indonesia yang sudah belasan tahun dibangun akan rusak. Bahkan menurut SBY, bukannya semakin maju, demokrasi akan kembali mundur ke belakang jika pengambilalihan kekuasaan dengan paksa itu dilakukan.
(Liputan.6.com)
Pernyataan mantan Presiden, sekaligus Ketua Umum Partai Demokrat itu mengejutkan banyak pihak. Seperti petir di siang bolong, statemen SBY itu memunculkan banyak tanya. Laksana bola liar, isu kudeta yang digulirkan oleh Presiden keenam akan menerjang setiap kelompok, elemen bangsa yang ada. Sebagian orang mempertanyakan dari mana sumber informasi yang diterima SBY? Orang sekelas Pak SBY apa mungkin menyatakan sesuatu tanpa ada sumber yang jelas? Karena sebelumnya tak ada tanda-tanda tentara (baca:TNI) berencana mengkudeta Presiden. Presiden dan tentara bahkan terlihat mesrah (baca:dekat). Presiden Jokowi dikelilingi oleh para purnawirawan Jenderal seperti Sutiyoso yang diangkat kepala BIN, Luhut Binsar Panjaitan Menkopulhukam dan lainnya. Selama ini tidak terlihat gejolak di tubuh TNI terkait dengan Presiden. Kalau ada sedikit kekecewaan itu dikarenakan mutasi yang dilakukan beberapa waktu lalu. Dan itu juga masih dalam batas kewajaran.
Kalau pun pernyataan di atas ada sumbernya, Pak SBY pastinya tidak akan langsung menelan menta-menta, mempercayainya. Tentu akan dikaji terlbih dahulu sejauh mana kebenaran berita yang diterima. Dan SBY harusnya tidak berbicara sembarang, asal-asalan. SBY bukan rakyat biasa. SBY mantan presiden. SBY ketua umum sebuah Partai besar. SBY memiliki banyak pengikut, yang mengagguminya. Apa yang dikatakannya akan sangat berpengaruh dalam masyarakat. Tapi kenapa isu kudeta disampaikannya? Ini yang belum bisa dipahami oleh khalayak.
Kemudian cara yang dipilih, menyampaikan langsung ke publik juga dianggap tak tepat. Harusnya, sebagai seorang negarawan, SBY lebih baik membicarakannya langsung ke Presiden Jokowi. Tapi kenapa cara bijak ini tak dilakukannya? Bukankah hal itu lebih dapat mengelola konflik (kalau memang ada) daripada membukanya ke publik secara terbuka. Karena hal itu dapat menimbulkan salah tafsir, spekulasi, saling tuduh, saling mencurigai antara sesama warga negara, elemen bangsa. Dan ini sangat bahaya bagi keamanan dan stabilitas negara. Apa sebenarnya motif atau tujuan yang ingin dicapai Pak SBY di balik isu kudeta yang disampaikannya?
Sebenarnya cara ini, menyampaikan sesuatu ke publik secara terbuka, bukanlah yang pertama bagi SBY. Sebelumnya saat Pemerintah sibuk merumuskan langkah, kebijakan yang akan diambil dalam mengatasi krisis ekonomi SBY mengkritisi Pemerintahan Jokowi-JK secara terbuka dan mengusulkan beberapa strategi, langkah yang harus diambil. SBY terkesan menggurui dan mendikte Pemerintah. Padahal kalau beliau menyampaikannya secara langsung, Jokowi tak mungkin menolaknya. Paling tidak akan dijadikan sebagai masukan. Saat itu orang menilai  Pak SBY terkena post power syndrome. Apa yang dilakukakannya didasari pada perasaan  atau bayang masa lalunya  saat  masih menjabat presiden.
Kemudian bola panas “isu kudeta” juga akan mengganggu stabilitas keamanan dan politik yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Para invsestor akan menahan bahkan menarik diri untuk menanam modal karena faktor distabilitas keamanan yang dianggapnya mengancam. Padahal Pemerintah, seperti yang sering disampaikan oleh Presiden Jokowi sedang berusaha keras memperbaiki keadaan ekonomi dengan menjaga kondusifitas dalam negeri. Jokowi meminta semua elemen untuk menjaga stabilitas keamanan, termasuk menghindari segala macama kegaduhan baik politik, hukum, atau lainnya.
Karenanya, terkait dengan isu kudeta, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Syaiful Bahri Anshori mengatakan bahwa ia belum melihat ada isu ke arah sana. SBY harus mengklarifikas, siapa yang mau kudeta?" sebut Sekretaris Dewan Syuro DPP PKB itu di gedung DPR, Senayan, Jakarta (Selasa, 29/9). Syaiful menjelaskan, sepengetahuannya Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo siap menjamin Pemerintahan Jokowi-JK selama lima tahun. Selain itu, tambah Syaiful, Presiden Jokowi juga dalam periode kepemimpinannya saat ini, menginginkan TNI yang kuat. (http://politik.rmol.co/read/2015/09/29/218998/Isu-Kudeta-Militer-SBY-Jauh-dari-Kebenaran-)
Akhir kata, sebagai pelempar isu,  Pak SBY harus segera mengklarifkasi dan menjelaskan kepada masyarakat apa yang menjadi kekhawatirannya berupa kudeta militer. Bila tidak jangan salahkan kalau masyarakat menilainya hanya omong kosong. Tidak ada pilihan lain kecuali kita menyebut hal seperti itu sebagai bagian  post power syndrome yang sedang dialami SBY. Sebagai rakyat kecil seperti saya, kita hanya bisa menunggu kedewasaan politk, kenegarawanan dari  mantan orang nomor satu di Republik ini. Selebihnya, kita diminta tak mudah mempercayai atau menganggap isu sebagai sebuah kebenaran siapa, dan dari mana pun sumbernya. Isu tetaplah isu. Akhirnya, menjaga persatuan dan kesatuan menjadi pilihan akhir dalam menghadapi setiap persoalan, termasuk soal isu kudeta. Wa Allahu ‘Alam
(Dimuat Di Harian Radar Cirebon, Kamis 1 Oktober 2015)





Sertifikasi Guru Akan Dihapus


          Benarkah sertifikasi guru akan dihapus? Pertanyaan ini muncul, mengemuka, diperbincangkan oleh khalayak ramai di media sosial  setelah beredar kabar Pemerintah berencana menghapus tunjangan profesi guru (TPG). Dengan peniadaan itu, ke depan guru hanya akan menerima tunjangan kinerja setelah melalui pengujian. Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Sumarna Surapranata mengatakan dasar penghapusan TPG karena tidak semua guru berkinerja bagus meskipun telah mendapat tunjangan itu. Kemendikbud pun menggariskan bahwa insentif kepada guru akan diberikan sesuai dengan kompetensi dan kinerja.  Ini artinya TPG harus disesuaikan. Pemerintah ingin secepatnya insentif berbasis kompetensi dan kinerja itu terealisasi.
Lebih jauh, Sumarna Surapranata menegaskan penghapusan Tunjangan Profesi Guru sah dilakukan mengingat dalam Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) disebutkan bahwa besaran gaji PNS tergantung pada kinerja. Ke depan, tunjangan harus disesuaikan dengan tiga komponen uji yang akan dilakukan Kemendikbud, yakni penilaian kinerja guru (PKG), uji kompetensi guru (UKG), dan prestasi siswa. 
Sumarna Surapranata melanjutkan, reformasi tunjangan guru akan dimulai tahun ini dengan penerapan UKG pada 19 November- 27 November. Selain itu akan dilaksanakan pula penilaian kinerja guru untuk memastikan kualitas dan transparansi evaluasi kinerja mereka. Dua hal itu akan menjadi menu pada pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB). Jadi rapor guru nantinya harus terdiri atas PKG, UKG, dan prestasi belajar. Adanya PKB ini merupakan terobosan baru pelatihan guru. ( http://www.koran-sindo.com/)
Kabar rencana Pemerintah di atas memunculkan pro kontra dalam masyarakat terutama mereka yang terkait, atau peduli dengan dunia pendidikan di tanah air. Bagi yang mengamini rencana tersebut, melihat bahwa setelah dilaksanakan program sertifikasi guru belum nampak perbaikan, perubahan yang signifikan padan kinerja guru khususnya atau pada dunia pendidikan umumnya. Menurut Hafid Abbas (2015), guru besar FakultasI lmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, menilai sertifikasi guru melalui portofolio dan pelatihan 90 jam tak lebih dari formalitas belaka. Guru tidak dilatih, melainkan hanya diberi sertifikat secara cuma-cuma. Hafid mendukung revisi sertifikasi guru karena tidak memberi dampak perbaikan atas mutu pendidikan nasional. 
Bagi guru, penghapusan TPG tentu menjadi  kabar buruk. Sehingga PGRI sebagai induk organisasi yang menauingi para guru telah menolak dengan tegas dan keras rencana itu. Ketua PGRI, Sulistiyo mengingatkan, bahwa Presiden Jokowi telah berjanji  tidak akan menghapus sertifikasi guru. Hal itu disampaikan Jokowi saat mengunjungi, menghadiri Rapat Kordinasi Pimpinan Nasional (Rakorpimnas) PGRI akhir Juni 2014. Jika penghapusan dilakukan berarti Jokowi telah mengingkari janjinya sendiri. Dan itu yang akan dituntut oleh para guru. PGRI sebagai wadah guru, siap menerjunkan ribuan guru untuk menagih janji tersebut.
Sulistiyo melanjutkan, dasar hukum pemerintah ingin menghapus TPG karena adanya UU ASN dinilai ada yang salah dipahami oleh Kemendikbud. Sebab TPG dan TPD (Tunjangan Profesi Dosen) harus tetap diberikan karena hal itu merupakan amanat UU Nor 14/2015 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Dalam UUGD tertulis sangat jelas bahwa guru (termasuk dosen) yang telah memperoleh sertifikat pendidikan (mengikuti sertifikasi) akan memperoleh satu kali gaji pokok. Saat ini ada sekitar 1,6 juta guru telah memperoleh TPG. Masih sekitar 1,5 juta guru belum memperolehnya. Saat belum semua guru mendapatkan TPG apa mungkin pemerintah  mau menghapusnya? Karenanya Sulistiyo berharap, pemerintah tidak menghapus tunjangan tersebut lantaran saat kondisi ekonomi negara sedang mengalami kesulitan sehingga apabila tunjangan itu dipotong maka guru akan semakin kesusahan.
Intropeksi diri
          Terlepas benar tidaknya rencana penghapusan sertifikasi, bagi guru harusnya hal itu dijadikan momentum untuk mengevaluasi diri, mengintropeksi diri. Dari evaluasi dan intropeksi diri itu diharapkan menjadi perisai yang mementahkan keraguan banyak kalangan terhadap peningkatan kinerja dan prosfesionalisme guru setelah menerima tunjangan sertifkasi. Berikut beberapa hal, bahan renungan bagi kita, para guru, pertama, sadar atau tidak,  setelah adanya TPG, guru menjadi sorotan dalam masyarakat. Eksistensi mereka disorot dan diperhatikan. Rejekinya (baca:kesejahteraannya) menjadi konsumsi pembicaraan orang banyak.  Guru seperti selebriti yang lagi naik daun. Guru selalu disorot, dilihat terutama kinerjanya. Nah, untuk alasan itu guru harus wapada, senantiasa menjaga diri, menjalankan tugas dengan baik. Guru jangan malas. Guru harus menunjukkan kinerja maksimal dalam mengajar di sekolah.
          Kedua, untuk memaksimalkan kinerja, profesionalisme, guru harus mengembangkan SDM-nya. Pengembangan SDM bisa dilakukan dengan belajar lagi, mengikuti kuliah S.2 misalnya atau mengikuti diklat-diklat yang menunjang tugasnya, seminar, serta kegiatan keilmuan lainnya. Ini penting. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sangat cepat. Guru harus bisa mengikutinya. Guru jangan sampai tertinggal informasi. Derasnya arus informasi memudahkan setiap orang memperolehnya. Bila guru tak tanggap, bisa jadi ia tersalip oleh siswanya. Ini tentu memalukan dan sangat memilukan.
          Ketiga, sepantasnya bila guru menyisihkan sebagian rejekinya untuk sesuatu yang  menunjang pekerjaan dan tugasnya. Misalnya menyisikan uang sertifikasi untuk membeli buku, kompeter, laptop, infokus, membuat alat peraga atau lainnya. Guru sebagai sumber belajar bagi siswa seharusnya memiliki koleksi buku lebih banyak. Coba kita mengevaluasi diri, sejak menjadi guru,  berapa buku yang kita beli setiap bulannya?
          Keempat, membaca lebih banyak lagi. Guru yang baik adalah guru yang mau menjadi pembelajar abadi. Yakni guru yang tak pernah berhenti belajar. Membaca sebagai kunci belajar harus berada di tangan setiap guru tentunya. Saatnya kita mengevaluasi, sebagai guru, berapa buku yang kita baca dalam seminggu?
          Nah, hal-hal di atas akan bermanfaat bagi guru bila dilakukan. Tentu untuk meningkatkan kinerja dan profesinya sebagai guru profesional. Bila kinerja meningkat dengan sendirinya kualitas pembelajaran di kelas meningkat. Kualitas pembelajaran meningkat akan mempengaruhi mutu pendidikan kita ke depan. Selamat mengevaluasi diri. Saatnya, guru Indonesia berubah. Wa Allahu ‘Alam
(Dimuat di Radar Cirebon, Rabu, 30 Sepetember 2015)


         


Sabtu, 26 September 2015

Memahami Musibah Dalam Haji 2015


          Musim haji tahun ini sangat memperhatinkan. Pasalnya, musibah secara beruntun menimpa jamaah haji, termasuk dari Indonesia. Diawali dengan jatuhnya alat berat crane di atap Masjidil Haram karena diterjang angin dan badai yang terjadi pada Jumat (11/9/2015). Faktor alam mendominasi sebab musibah, walau ada faktor kelalaian atau human eror. Ratusan orang meninggal dalam musibah ini, termasuk 11 jamaah haji asal Indonesia. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi, menyimpulkan tidak ada unsur pidana dalam tragedi ini. Penyebab utamanya adalah kesalahan pengoperasian crane.  Sebagai  pengembang, Group Bin Ladin Saudi bertanggung jawab terhadap sebagian akibat terjadinya insiden. Kasus ini sudah diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum, sementara pihak pengembang sedang dicekal atau dilarang bepergian ke luar negeri dan tidak akan digunakan kembali dalam proyek pemerintahan selanjutnya. Demikian penjelasan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Mustafa bin Ibrahim Al Mubarak, dalam konferensi pers di Kedubes Saudi Arabia beberapa waktu lalu. (htpp/Tempo.com)
          Kemudian, Kebakaran yang menimpa pemondokan haji 403 yang dihuni jemaah asal Indonesia di wilayah Aziziyah Utara di Kota Mekah, Arab Saudi, Rabu, 16 September 2015, waktu setempat. Peristiwa kebakaran terjadi pukul 23.30 di kamar nomor 810. Penyebabnya adalah seorang jamaah memasak nasi dengan rice cooker lalu kelupaan dan ditinggal pergi ke Masjidil Haram. Tidak ada korban dalam musibah ini. Saat terjadi kebakaran, semua penghuni pemondokan yang berjumlah 1.024 jemaah langsung dievakuasi ke Hotel Holiday Inn, tidak jauh dari pemondokan.
Disusul, Selasa (22/9/2015) malam,  puluhan tenda jamaah haji Indonesia di Padang Arafah roboh diterpa angin kencang. Tenda-tenda yang roboh tersebut berada di maktab nomor 8 dan 9 yang dihuni jamaah haji dari Banten, Jakarta Selatan, dan Depok. Robohnya tenda disebabkan angin kencang disertai klat yang menerpa Padang Arafah selepas Isya. Jamaah yang sedang berada di dalam tenda sudah menduga tenda mereka akan roboh. Mereka pun memutuskan untuk keluar dari tenda.
Dan yang terkini, Mina kembali berduka. Ratusan orang meninggal dunia dan terlukaa dalam musibah ini. Setidaknya ratusan orang hilang termasuk 225 jamaah asal Indonesia, 717 jemaah haji meninggal termasuk 3 orang jamaah asal Indonesia, 805 terluka, karena terinjak-injak saat melakukan pelemparan jumrah di Mina, Kamis, 24 September 2015. Untuk di Mina sebenarnya ini bukan tragedi yang pertama kali. Sebelumnya sudah pernah terjadi dari tahun ke tahun. Pada 1990, insiden paling fatal, terjadi ketika massa berdesakan di terowongan menuju Mekkah. Sebanyak 1.426 orang jamaah haji meninggal duniia karena terinjak-injak. Tahun 1994, sekitar 270 calon haji meninggal lantaran terinjak-injak massa saat pelaksanaan ritual jumrah di Mina. Tahun 1998, sekitar 180 calon haji terinjak-injak massa yang panik setelah beberapa di antara mereka jatuh dari jembatan layang saat pelaksanaan ritual jumrah.Tahun 2001, sedikitnya 35 calon haji tewas terinjak-injak massa di Mina pada hari terakhir ibadah haji. Tahun 2003, sebanyak 14 orang tewas terinjak-injak saat dua rombongan yang usai melempar jumrah bertemu dengan rombongan lain yang baru datang. Tahun 2004,  massa yang berdesakan di Mina mengakibatkan ratusan orang terinjak-injak. Sebanyak 244 orang tewas, dan ratusan lainnya cedera pada hari terakhir pelaksanaan ibadah haji. Tahun 2006, lebih dari 360 calon haji tewas terinjak-injak massa yang tengah menjalani ritual lempar jumrah di Mina. Pada musim haji tahun itu pula, sebuah gedung delapan lantai yang berfungsi sebagai penginapan di dekat Masjidil Haram ambruk. Sedikitnya 73 orang tewas. (http://internasional.kompas.com/)
Catatan Memahami Musibah
          Musibah merupakan hal yang tak bisa terelakkan, tapi bisa dihindari. Saat kejadian tentu siapa pun tak bisa menghindar. Tapi, sebagai orang beriman kita diwajibkan berikhtiar, berusaha untuk menjaga keselamatan, terhindar dari segala bencana, malapetaka, atau musibah. Karenanya, ke depan,  menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian kita semua umat Islam, pertama, bagi penyelenggara haji di semua level dan tingkatan terutama Pemerintah Arab Saudi hendaknya berkaca dari pengalaman pada tahun ini atau tahun-tahun sebelumnya untuk selalu memperbaiki pelayanan pada tamu-tamu Allah. Pemerintah Arab Saudi secepatnya mengevaluasi seluruh proses pelayan haji dan merencanakan perbaikan dalam segala hal untuk persiapan haji berikutnya. Arab Saudi tidak bisa berlepas diri kemudian dengan mudah menyalahkan jamaah. Bagaimanapun mereka penanggung jawab utama sebagai khodimul haromain, pengelola dua kota suci umat Islam (mekkah-Madinah). Sangat disayangkan, Pangeran Khaled al-Faisal, ketua Komite Pusat Haji Kerajaan Arab Saudi, dengan mudah seakan melepas tanggung jawab yang ada di pundaknya, menyalahkan jamaah haji asal negara-negara Afrika sebagai penyebab desak-desakan.
          Kedua, sebagai umatan wahidan (baca:umat bersatu), selayaknya kita semua bersatu memperbaiki, merekontruksi ulang sistem pelayanan haji di semua tingkatan dan level. Kita harus menghindari saling menyalahkan. Arab Saudi harus berinisiatif membicarakannya secara terbuka dengan negara-negara Islam lainnya dalam forum internasional. Karena bagaimana pun persoalan haji tidak hanya persoalan Arab  Saudi, tapi persoalan negara-negara muslin secara keseluruhan.
          Ketiga, saya tertarik dengan ajakan Fajar Mukhtar (2015), Pemerintah Saudi  perlu belajar ke Karbala. Ya, ke Karbala. Peringatan Asyura dan arbain Imam Husein as disebut-sebut sebagai gathering terbesar di dunia. Menurut Wikipedia, tahun 2014 saja ada 20 juta peziarah mendatanginya. Jumlah itu 10 kali lipat orang yang melaksanakan ibadah haji. Bagaimana kota Karbala bisa mengatur jumlah peziarah yang sangat banyak itu? Itu sangat menarik dan layak untuk dipelajari. Toh tak ada salahnya untuk mencari sesuatu yang baik demi keselamatan Jemaah. Maaf, Saya tak sedang membicarakan madhzabnya. (http://www.kompasiana.com/)
Keempat, memperhatikan berbagai musibah atau tragedi di setiap musim haji, saatnya (baca:tidak ada salahnya) bagi Pemerintah Arab Saudi untuk mendengarkan, mempertimbangkan,  menerima usulan beberapa negara muslim seperti Iran, Libiya agar pengelolaan ibadah haji ditangani secara bersama oleh negara-negara muslim. Pengelolaan bisa dikomandani oleh oraganisasi negara-negara muslim seperti OKI.
Kelima, selama ini, petugas haji kita baik team kesehatan, pembimbing atau lainnya mereka bertugas bersamaan melaksanakan ibadah haji. Hal ini sedikit banyak memecah konsentrasi dalam melaksanakan tugas utama mereka sebagai petugas atau panitia haji. Ke depan mustinya mereka fokus melaksanakan tugas memberi pelayanan pada jamaah, tidak menjalankan ibadah haji.
Keenam, bagi jamaah haji dari manapun asalnya, selayaknya menaati aturan, menjaga kebersamaan, lebih mendahulukan kepentingan umum daripada ego pribadi.
Akhir kata, hal-hal di atas mejadi PR bersama, kita semua umat Islam. Bukan saatnya kita berbicara madzhab, kelompok, organisasi, negara, etnis, suku bangsa atau apa pun perbedaan yang ada. Saatnya kita bersatu mengelola pelaksannan haji yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Dan itu menjadi tanggung jawab bersama. Semoga bisa terwujud dalam waktu yang akan datang. Semoga.





.
.
.


Apa Salah Gayus Tambunan?


          Publik kembali terkejut. Gayus Tambunan, narapidana 30 tahun dalam kasus pajak diketahui keluar meninggalkan lembaga pemasyarakatan. Gayus Tambunan terlihat dalam sebuah photo yang diunggah oleh Baskoro Endrawan di media sosial Faacebook. Gayus Tambunan sedang makan bersama dua orang wanita di sebuah restoran di Jakarta. Gayus tampak memakai kaos biru, celana jeans dan topi biru serta memakai jam tangan. Sebuah telepon genggam pun tampak berada di atas meja di hadapannya. Setelah dikonfirmasi ke berbagai pihak, ternyata benar Gayus Tambunan keluar dari lembaga pemasyarakatan Sukamiskin Bandung Rabu, 9 September 2015 untuk keperluan menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam kasus gugutan cerai dari istrinya. Keberadaan Gayus yang bisa menghirup udara bebas di tengah masa tahanan pun dipertanyakan banyak kalangan.
          Kejadian semacam ini bukanlah yang pertama bagi Gayus Tambunan. Sebelumnya, 24 September 2010 dengan paspor palsu atas nama Soni Laksono Gayus Tambunan pergi ke Makau. Kemudian dilanjutkan jalan-jalan ke Singapura pada 30 September 2010. Gayus Tambunan pernah terlihat menontoton pertandingan tenis di Bali pada 26 Nopember 2013. Dan sekarang seakan tak pernah kapok ia berulah kembali.
          Ini yang menyebabkan Menteri Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly berang dengan ulah terpidana Gayus Tambunan yang kembali membuat kontroversi dengan terlihat di publik. Pak Menteri seperti kebakaran jenggot. Beliau nampak marah bercampur kecewa, mengancam memindahkannya ke lapas Gununung Sindur Bogor. Ancaman itu terbukti,  menjadi kenyataan pada Selasa 22 September 2015. Di Lapas Gunung Sindur, Gayus menempati kamar khusus. Yaitu kamar yang ada di blok A yang  merupakan blok khusus tahanan narkoba.  Sebenarnya apa salah Gayus Tambunan sehingga membuat berang sang Menteri.
Bagi politisi Demokrat, Ruhut Sitompul, kaitan dengan Gayus, Menkum HAM sebagai pejabat negara tidak perlu marah,   memaki-maki, menyalahkan Gayus. Namanya narapidana pasti berusah ingin menghirup udara bebas. Dan untuk hal itu mereka melakukan apa saja. Lebih elok bila pak Menteri mengevaluasi dan mengoreksi anak buahnya di tingkat bawah. Karena terbukti dari rentetan plesiran (baca:keluar Lapas) Gayus Tambunan, justru yang terbukti bersalah adalah aparat hukum. Tercatat puluhan aparat hukum yang dijatuhi sanksi baik berat, sedang, maupun ringan karena ulah plesiran  Gayus Tambunan. Diantara mereka adalah Kepala Rutan  Brimob Iwan Siswanto, Bambang Heru Ismiarso mantan Direktur Keberatan dan Banding Pajak, Poltak Manulang Direktur Pra Penuntutan (Pratul), Jaksa Cirus Sinaga, dan masih banyak lagi.
Kesalahan Gayus sebenarnya hanya berusaha keluar di masa tahanan dari Lembaga Pemasyarakatan. Uang yang dimilki dijadikannya sebagai alat untuk tujuan itu. Uang digunakannya untuk menyuap semua oknum aparat terkait, yang memiliki kewenangan di Lapas, yang bisa membantunya keluar, menghirup udara bebas. Dan selebinya adalah kesalahan aparat penegak hukum. Dari kasus ini terlihat betapa bobroknya mental sebagian aparat hukum kita. Dan inilah persoalan yang seharusnya menjadi perhatian kementerian Hukum dan HAM untuk perbaikan ke depan. Sekarang Menteri  Hukum dan HAM dituntut untuk dapat membersihkan praktek-praktek ala mafiah yang ada di dalam Lapas. Menurut, Muthiah Alhasany (2015),saat menceritakan pengalamannya, mengaskan bahwa mafia Lapas tidak berdiri sendiri, tetapi menjadi satu kesatuan dengan oknum kepolisian dan pengadilan. Trio setan yang membuat hukum menjadi tumpul, lebih banyak merugikan rakyat daripada membantu menegakkan keadilan. Karena mereka terdiri dari orang-orang yang paham dan ahli hukum, maka sulit untuk dijerat. Justru hukum menjadi sumber mata pencaharian mereka yang luar biasa. (http://www.kompasiana.com)
Izin Keluar Lapas
          Sebenarnya tidak mudah bagi seorang warga binaan untuk meninggalkan Lapas. Ada aturan yang sangat ketat  mengaturnya. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, ada beberapa hal (syarat)  yang membolehkan warga binaan keluar. Dalam Pasal 11 ayat 2 meninggalkan Lapas karena untuk urusan pendidikan. Disebutkan, apabila Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan membutuhkan pendidikan dan pengajaran lebih lanjut yang tidak tersedia di dalam LAPAS, maka dapat dilaksanakan di luar LAPAS.
          Dalam Pasal 17 ayat 1, untuk tujuan berobat. Itu pun bila di LAPAS tidak bisa tertangani oleh layanan kesehatan yang ada. Ditegaskan oleh ayat tersebut, dalam hal penderita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) memerlukan perawatan lebih lanjut, maka dokter LAPAS memberikan rekomendasi kepada Kepala LAPAS agar pelayanan kesehatan dilakukan di rumah sakit umum Pemerintah di luar LAPAS.
           Kemudian meninggakan LAPAS karena hal-hal yang luar biasa. Pasal 52 ayat 1 menyebutkan, Hak keperdataan lainnya dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi: a. surat menyurat dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya;b. izin keluar LAPAS dalam hal-hal luar biasa. Lebih lanjut terkait hal-hal yang luar biasa, Keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang tata cara pelaksanaan hak warga binaan menegaskan bahwa yang dimaksud hal-hal luar biasa adalah yang sungguh-sungguh luar biasa sifatnya meliputi :a)meninggalnya/sakit keras ayah, ibu, anak, cucu, suami, istri, adik atau kakak kandung; b)menjadi wali atas pernikahan anaknya;c)membagi warisan.
Ada juga hak cuti seperti yang diatur dalam pasal 41 ayat 1 dan ayat 42, disebutkan Setiap Nrapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dapat diberikan cuti berupa:a. cuti mengunjungi keluarga; dan b. cuti menjelang bebas. Untuk cuti mengunjungi keluarga dibatasi 2X24 jam. Sayangnya, menurut Pasal 36 ayat (1) Peraturan Menkum HAM No 21/2013 menyebutkan bahwa narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi tidak berhak mendapat cuti mengunjungi keluarga.
Nah, sekarang bagaimana dengan kasus Gayus Tambunan, keluar LAPAS untuk mengikuti sidang kasus gugatan perceraian dari istrinya? Berdasarkan peraturan yang sudah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa hal itu ilegal,  tidak ada dasar hukumnya. Bila demikian, siapa yang salah? Orang yang meminta izin atau yang mengizinkan keluar? Anda pasti dengan mudah bisa menjawabnya.
Terlepas dari siapa yang lebih salah, akhir kata,  kita semua harus menyadari bahwa pengelolaan lembaga pemasyarakatan masih sangat lemah. Kelemahan utama ada pada pengawasan. Namun tidak menutup kemungkinan pada sektor lainnya. Dan yang paling penting, kita harus mewaspadai, memerrangi, melawan setiap mafia yang ada, termasuk di LAPAS. Mafia membuat segalanya menjadi rusak, kacau, dan keluar dari aturan yang ada. Wa Allahu Alam
(Dimuat Di Harian Radar Cirebon, Jumat, 25 September 2015)


         


Minggu, 20 September 2015

Kinerja menurun, Kenapa Tunjangan Naik?


Uang bulanan yang diterima para anggota Dewan Perwakilan Rakyat mulai Oktober 2015 mendatang dipastikan bertambah setelah usulan kenaikan tunjangan untuk anggota dewan disetujui pemerintah. Para anggota DPR akan menerima sejumlah tunjangan, di antaranya tunjangan kehormatan, komunikasi intensif, peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, serta bantuan langganan listrik dan telepon, seperti yang tercantum di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. Besaran tunjangan kehormatan untuk anggota DPR, misalnya naik dari Rp3,7 juta menjadi Rp5,5 juta. Kemudian bantuan langganan listrik dan telepon naik dari Rp5,5 juta menjadi Rp7,7 juta. Kenaikan tunjangan anggota DPR ini tercantum dalam Surat Menteri Keuangan No S-520/MK.02/2015 tertanggal 9 Juli 2015.
Penolakan pun bermunculan, bahkan sebagian datang dari beberapa anggota dewan sendiri seperti Masinton Pasaribu dari PDI-P, juga politisi Partai Demokrat Syarif Hasan. Walau penolakan mereka dianggap oleh publik sebagai pencitraan semata. Karena mereka menolak saat usulan telah disetujui oleh Pemerintah dan ditandatangani oleh Menteri keuangan bukan saat diusulkan. Berbagai elemen masyarakat mengkritik kenaikan tersebut. Publik merasa belum sepantasnya tunjangan mereka dinaikkan karena rendahnya kinerja selama ini. Yenny Sucipto, sekretaris jenderal Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) bahkan memandang kenaikan tunjangan anggota DPR tidak etis di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang terpuruk.
Koordinator investigasi sekretaris nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (seknas Fitra) Apung Widadi mengatakan sebenarnya gaji anggota dewan sudah lebih dari cukup. Dari surat edaran Setjen DPR, setelah dipotong iuran wajib anggota Rp 478.000, dan pajak PPH Rp 1.729.608, total gaji pokok dan tunjangan bersih anggota DPR nilainya mencapai Rp 16.207.200. Yaitu terdiri dari gaji pokok Rp 4.200.000, tunjangan istri Rp 420.000, tunjangan anak Rp 168.000. Uang sidang paket Rp 2.000.000, tunjangan jabatan Rp 9.700.000, tunjangan beras Rp 198.000, dan tunjangan PPH Rp 1.729.608. Wakil rakyat juga menerima penerimaan lain-lain, seperti tunjangan kehormatan yang jumlahnya Rp 4.460.000 untuk ketua alat kelengkapan. Wakil ketua alat kelengkapan dewan mendapat Rp 4.300.000 sedangkan Rp 3.720.000 untuk anggota alat kelengkapan dewan. Ada juga tunjangan komunikasi sebesar Rp 14.140.000, untuk semua anggota DPR. Selain itu anggota DPR juga mendapat tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran Rp 3.500.000 untuk ketua alat kelengkapan, Rp 3.000.000 untuk wakil ketua alat kelengkapan, dan Rp 2.500.000 untuk anggota alat kelengkapan. Anggota DPR juga mendapat biaya penelitian dan pemantauan peningkatan fungsionalitas konstitusional dewan sebesar Rp 600.000 untuk ketua alat kelengkapan dewan. Wakil ketua alat kelengkapan dewan mendapat Rp 500.000. Anggota DPR juga mendapat dukungan biaya bagi anggota komisi yang merangkap anggota badan panitia anggaran sebesar Rp 2.000.000 untuk ketua alat kelengkapan, Rp. 1.500.000 untuk wakil ketua alat kelengkapan, dan Rp 1.000.000 untuk anggota alat kelengkapan. Belum cukup, pemerintah juga memberikan dukungan biaya listrik dan telepon Rp 5.500.000 untuk semua anggota DPR. Selain itu, juga ada biaya penyerapan aspirasi masyarakat sebesar Rp 8.500.000 untuk semua anggota DPR.( http://www.jpnn.com/)
Kinerja menurun
Berbagai tunjangan dengan angka-angka cukup besar itu sayangnya tak dibarengi dengan kinerja yang baik. Kinerja DPR RI periode 2014-2019 ini dinilai banyak kalangan tak lebih baik dari periode sebelumnya, bahkan  cenderung lebih buruk. Mereka hanya ribut dan gaduh terkait dengan kepentingan politk masing-masing. Sejak  pelantikan, mereka memperebutkan kursi pimpinan dan kelengkapan dewan lain. KMP dan KIH mempertontonkan keegoan, ambisi masing-masing. Energi terkuras habis berbulan-bulan dalam perkelahian ini. Saya ingat ucapan Presiden Abdurrahman Wahid yang menjuluki mereka (baca:anggota Dewan) anak TK.Ucapan yang dulu menggemparkan politik tanah air itu ternyata benar adanya. Kedewasaan rakyat pilihan ini tak terlihat sama sekali. DPR lebih senang mempertunjukan sandiwara koaliasi KIH dan KMP, ajang tarik menarik kepentingan politik   kelompok,  tawar menawar dan bagi-bagi kekuasaan dan pertunjukan lain yang tidak seharusnya terjadi.
Dalam hal legislasi, DPR juga terlihat miskin prestasi. Dari 39 Rancangan Undang-Undang yang masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015, hanya tiga RUU yang telah selesai dibahas dalam keputusan Rapat Paripurna.  Sebuah prestasi yang sangat tidak sebanding  dan tidak seimbang dengan kecerdasan dan kepintaran yang mereka miliki serta  pendapatan yang mereka terima setiap bulannya. Kaitan dengan ini, Wakil ketua DPR, Agus Hermato sendiri mengakui bahwa dalam hal pembahasan Undang-undang anggota dewan jauh tertinggal dari target yang telah ditetapkan mereka sendiri
Belum lagi soal kehadiran. Kebiasaan membolos saat sidang sudah menjadi rahasia umum yang memalukan sekaligus memilukan. Sampai dalam acara sepenting peringatan ulang tahun DPR RI yang ke-70 saja hampir separuh lebih anggota tak hadir. Berdasarkan laporan CNN Indonesia, anggota dewan yang datang pada acara terssebut  tercatat hanya 288 orang dari total 560 orang anggota. Anggota dewan yang datang berasal dari PDIP 65 anggota, Golkar 50 anggota, Gerindra 35 anggota, Partai Demokrat 25 anggota,  PAN 22 anggota,  PKB 25 anggota, PKS 21 anggota, PPP 20 anggota,  Partai NasDem 15 anggota dan Hanura 10 anggota. Bukankah ini memprihatinkan? Di mana tanggung jawab mereka sebagai wakil rakyat? (http://www.cnnindonesia.com/)
Walhasil, tak adil dan tak masuk akal rasanya bila kinerja buruk anggota DPR diapresiasi dengan kenaikan tunjangan mereka. Apalagi kenaikan dilakukan saat kondisi ekonomi negara yang sedang krisis. Sungguh, tak etis. Apa mereka tak memilki rasa empati pada rakyat yang diwakilinya  yang sedang kesulitan dalam segala hal? Sekarang saatnya mereka berpikir ulang, merenungkan apa yang telah diusulkan setelah rakyat menjerit, meneriakkan ketidakadilan. Saya kira belum terlambat bila mereka merubah keputusan, membatalkan kenaikan tunjangan. Apa itu mungkin? Hanya waktu dan hati nurani anggota Dewan yang terhormat yang akan menjawabnya. Wa Allahu Alam






Jumat, 18 September 2015

Menengok Nasib Honorer K2


Honorer kategori dua (K2) yang belum terangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) , Selasa, 15 September 2015 .melakukan aksi besar-besaran di gedung DPR, Senayan, Jakarta. Honorer yang mayoritas para guru ini menuntut diperlakukan yang sama. Seperti dengan kebijakan DKI Jakarta yang mengangkat 5.421 guru bantu menjadi CPNS. Kalau mereka diangkat, kenapa kami tidak. Kami juga anak bangsa, kami juga mengabdi,  kata Ketum Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I)‎ Titi Purwaningsih. Bahkan mereka sempat mengancam akan mengepung istana bila tuntutan tidak terpenuhi. Namun sebelem ke istana, mereka pantas bernapas lega. Pasalnya, tuntutan untuk diangkat menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) kini terpenuhi.Di hadapan Komisi II DPR,  Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi memutuskan mengangkat seluruh honorer K2 sebanyak 439.965 orang. Setelah kami berhitung dan mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya, kami putuskan untuk mengangkat ‎seluruh honorer K2. kata Yuddy pada rapat kerja Komisi II DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/9). Yuddy bahkan menambah lebih dari jumlah honorer K2. Jika hanya tercatat 439.965, ia membulatkan menjadi 400 ribu orang. Proses pengangkatan ini tidak dilakukan secara serentak melainkan bertahap. Pengangkatan dimulai pada tahun 2016 sampai 2019. (http://www.jawapos.com/)
Janji Men-PAN-RB di atas menjadi angin segar dan berita menggembirakan bagi tenaga honorer di tanah air. Tapi berita gembira ini akan menjadi sekadar iming-iming yang mirip mimpi di siang bolong bila para honorer tidak menindaklanjutinya dengan meneruskan perjuangan mereka sampai Pak Menteri membuktikan janjinya untuk menuntaskan pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil. Janji tersebut hanya pijakan awal yang harus diikuti dengan langkah-langkah berikutnya. Jika tak ada langkah dan gerakan konkrit setelahnya, maka janji akan menjadi janji semata, tak akan terbukti. Janji pemerintah itu harus dikawal, ditagih, dan tentu disikapi secara rasional oleh honorer
Menjadi PNS (seperti dijanjikan) bukan sesuatu yang mudah, tanpa rintangan. Tapi sebaliknya. Dan itu harus disadari oleh semua tenaga honorer. Ini juga  diakui sendiri oleh juru bicara Men-PAN-RB, Herman Suryatman saat menerima informasi rencana silaturahmi akbar eks K2 yang dikoordinasikan oleh Forum Honorer K2 Indonesia bersama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di kantor KemenPAN-RB beberapa waktu lalu. Beliau menegaskan, kami dan khususnya Pak Menteri, sangat simpati terhadap nasib eks K2. Kami tengah menyiapkan skema untuk menangani persoalan ini. Memang tidak seperti membalikan telapak tangan, perlu waktu dan proses. Dari sisi humanisme kami harus memperhatikan keadilan, tapi di sisi lain penyelesaiannya tidak boleh keluar dari peraturan perundangan.
Tapi paling tidak janji tersebut membuat hati tenaga honorer sedikit lebih tenang. Mereka bisa bekerja kembali dengan baik dengan tetap berjuang merubah nasib agar kehidupan mereka lebih sejahtera. Mereka harus terus merapatkan barisan, bersatu. Mereka akan dihadapkan banyak permasalahan dalam proses panjang (menjadi PNS) tersebut. Hal itu butuh kekompakan, kebersamaan dalam gerak dan langkah. Hindari intrik atau perpecahan antara sesama honorer. Karena itu akan menjadi hambatan serius bagi mereka. Manfaatkan setiap momentum yang ada untuk menagih janji pemerintah tersebut.
Pengalaman Honorer sebelumnya
          Pengangkatan honorer menjadi PNS sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya pemerintah telah melakukannya pada tahun anggaran 2007, 2008 untuk Guru Bantu Sementara (GBS) juga honorer lainnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2015 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi calon pegawai negeri sipil (PNS). Disusul dengan pengankatan honorer Kategori 1. Honorer K.1 adalah mereka yang tersisah dalam pengangkatan di anggaran 2007 dan 2008. Dan yang terakhir (anggaran 2015) sebagian kecil honorer K.2 telah diangkat CPNS. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, menurut hemat saya ada beberapa catatan yang dapat disikapi, dipegangi oleh honorer dalam proses dan perjuangan mereka, pertama, hindari atau tepatnya jangan mudah percaya dengan janji-janji dari oknum manapun yang menawari membantu proses pen-CPNS-an. Kebijakan pemerintah pusat yang menjanjikan pengankatan tenaga honorer menjadi CPNS bisa disalahgunakan oleh oknum di daerah untuk melakukakan tindak penipuan terhadap para honorer. Mereka menjanjikan banyak hal dari soal pemberkasan, SK pengangkatan sampai masalah penempatan. Tentu mereka tidak menjanjikannya secara gratis. Mereka meminta uang yang tidak sedikit sebagai imbalan jasanya. Berdasarkan pengalaman,  tidak sedikit honorer yang terbujuk, dan pada akhirnya tertipu.
          Kedua, ikuti semua proses yang ada, jangan ada yang tertinggal baik berupa pendataan, pemberkasan maupun lainnya. Karenanya, ikuti setiap  perkembangan proses yang sedang berjalan. Informasi dapat diperoleh dari pemerintah dalam hal ini instansi terkait baik di daerah atau pusat, media (cetak-elektronik), organisasi honorer baik di pusat atau daerah, juga dari sesama honorer.
          Ketiga, jalin komunikasi berkesinambungan dengan pemerintah, instansi terkait baik di daerah maupun pusat. Itu dapat dilakukan baik dengan audiensi, rapat kordinasi, atau lainnya. Tentu hal ini lebih efektif bila dilakukan oleh organisasi yang menaungi honorer.
          Keempat, memaksimalkan peran aktif organisasi dalam menyatukan langkah, menlindungi anggota dari segala hal yang merugikan, serta mendorong, menekan,  pemerintah untuk merealisasikan janji.
          Mengakhiri tulisan ini, ada seorang honorer di Madura Ruskin namanya. Seorang guru salah satu SMP negeri di Pemakasan Madura ini telah mengabdi menjadai honorer sejak tahun 1984. Honornya berawal dari 6 ribu rupiah sampai sekarang hanya 500 ribu. Awalnya Ruskin merasa genbira bukan kepalang saat mengetahui janji pemerintah akan mengangkat tenaga honorer K2. Harapan besar itu buyar seketika tatkala MK menolak Uji Materi Undang-Undang No.5 Tahun 2014 tentang tentang aparatur sipil negara (ASN). Dalam putusan tersebut ditegaskan bahwa batas maksimal usia CPNS adalah 35 tahun.  Sedangkan Ruskin usianya 53 tahun. Pupuslah harapan sang honorer. (http://radarmadura.co.id/)
          Ternyata nasib Ruskin tak seindah janji pak Menteri. Tegasnya, janji itu baru pijakan awal yang membutuhkan perjuangan tanpa kenal lelah oleh para honorer untuk mewujudkan mimpinya menjadi aparatur negara sipil. Semoga tak ada Ruskin-Ruskin lain di waktu mendatang amin.
(Tulisan telah dimuat di Harian Radar Cirebon, Sabtu, 19 September 2015)

Rabu, 16 September 2015

Menungggu Sanksi MKD DPR


          Hari ini (16-09-2015) telah dijadwalkan pemanggilan beberapa pihak terkait kasus dugaan  pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh ketua, wakil ketua DPR RI saat kunjungan ke Amerika awal September lalu. Setya Novanto dan Fadli Zon (ketua dan wakil ketua DPR RI) menghadiri rangkaian kegiatan bakal calon presiden Amerika dari partai Republik Donald Trump di sela-sela kunjungan resmi mereka dalam mengikuti 4 tahun Word Conference of Speakers of inter Parliamentary. Sebuah  kegiatan study banding ke PBB untuk mencari jalan keluar kesulitan ekonomi global . Kehadiran mereka dianggap telah melanggar kode etik karena telah merendahkan diri dan martabat bangsa dalam acara tersebut.
          Dugaan pelanggaran kode etik mereka digugat banyak pihak. Adalah Budiman Sudjatmiko, Adian Napitulu, Carles Honoris, Diah Pitaloka dari Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia, Maman Imanulhaq dari Partai Kebangkitan Bangsa, Amir Uskara dari Parta Persatuan Pembangunan, dan Akbar Faizal dari Partai Nasdem. Mereka telah melaporkan  Setya Novanto, Fadli Zon dan lainnya ke Mahkamah Kehormatan DPR RI pada tanggal 7 September 2015 lalu. Menurut para pelapor, Setya Novanto dan Fadli Zon diduga melanggar Pasal 292 Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib mengenai Kode Etik yang menyebutkan bahwa setiap anggota selama menjalankan tugas harus menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibelitas DPR. Selain itu, mereka dituding melanggar Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik, Pasal 1 ayat 10 tentang Perjalanan Dinas, serta  Bab II Ketentuan Umum dan  integritas (http://www.cnnindonesia.com/politik)
            Bagi saya orang awam, apa yang dilakukan oleh kedua pemimpin DPR RI itu memang sangat janggal dan menyalahi asas kepatutan seorang pemimpin lembaga tinggi negara. Berikut beberapa hal yang menjelaskan dan memperkuat asumsi itu, pertama, pertemuan mereka dengan Donald Trump, bakal calon Presiden Amerika tersebut dilakukan pada 4 September, padahal kunjungan resmi mereka berakhir 2 September. Kenapa mereka tidak langsung kembali? Bahkan menurut berita yang beredar mereka kembali di atas tanggal 10 September. Untuk  kepentingan siapa mereka memperpanjang kunjungan tersebut? Kepentingan pribadi atau masih untuk kepentingan bangsa dan negara yang telah membiayai perjalanan dinas tersebut?
          Kedua, tidak sepantasnya seorang pimpinan lembaga tinggi negara menghadiri rangkaian kegiatan kampanye calon presiden di negara lain. Apalagi dalam pertemuan tersebut sangat jelas mereka berdua telah dimanfaatkan. Bagaimana kalau sang bakal calon presiden ternyata kalah? Sedangkan mereka mengatasnamakan Indonesia. Bahkan dalam jas mewah mereka pun masih menggantung atribut DPR RI. Dan Donald Trump, sang bakal calon presiden juga menyebut-nyebut Indonesia. Tentu itu akan menjadi catatan tersendiri bagi presiden terpilih dalam memandang Indoenesia di waktu yang akan datang.
          Ketiga, sangat tidak logis, seorang pejabat tinggi negara saat melakukan kunjungan ke luar negeri tidak untuk kepentingan bangsanya tapi untuk kepentingan bangsa yang dikunjungi. Bukankah Setya Novanto, sang ketua DPR RI dengan enteng mengiyakan pertanyaan Donald Trump saat menegaskan bahwa dia dan rombonganya ke Amerika untuk bertemu denga drinya dan akan melakukan satu kegiatan besar untuk Amerika Serikat. Ini jelas tidak mudah diterima oleh kita, bangsa Indonesia.
          Keempat, jawaban Setya Novanto bahwa bangsa Indonesia menyukai Donold Trump jelas sebuah kebohongan. Apa dasarnya? Apa betul kita semua sangat menyukai Donald Trump yang anti Islam, rasis, dan anti kulit non putih? Rasanya tak mudah membuktikanya. Kenapa semudah itu Setya Novanto mengatasnamakan bangsanya untuk dipertaruhkan mengikuti kepentingan dan amabisinya. Ironi memang.
          Kelima, sedihnya lagi mereka bersikukuh, merasa benar. Ditambah lagi perlawanan yang ditunjukan di depan publik. Mereka dengan congkak menujukkan kekuasaan dengan menggunakan berbagai macam alasan dan logika. Tapi lucunya, logika dan alasan mereka dengan mudah ditelanjangi oleh rakyat. Bagaimana tidak? Mereka beralasan pertemuan dengan Donald Trump itu untuk menarik investasi ke dalam negeri. Mereka lupa bahwa itu bukan tugas mereka, bukan kewenangan mereka. Mencari investasi dengan mengadakan pertemuan berbagai pihak itu tugas pemerintah dalam hal ini Presiden dan para menterinya. Terlihat alasan yang mengada-ada, dan dibuat-buat.
          Keenam, lebih sulit dicerna lagi, Fadli Zon menganalogikan dan  menyamakan  kunjungannya dengan kunjungan Presiden Jokowi yang membawa serta istri. Fadli Zon nampaknya tidak memahami bahwa istri Presiden itu ibu negara. Ibu negara jelas sangat dibutuhkan kehadiranya dalam pertemuan bilateral dalam sebuah kunjungan presiden ke luar negeri. Dalam pertemuan-pertemuan itu ibu negara sangat berperan mendampingi sang Presiden. Dan biasanya para ibu negara memiliki agenda tersendiri untuk membicarakan hal-hal lain seperti masalah budaya, tradisi, dan tema-tema lainnya. Nah, kalau istri pimpinan dewan untuk apa?
          Ketujuh, kenapa mereka tidak mau minta maaf ke rakyat. Padahal kalau meminta maaf, saya yakin permasalahannya tak serumit ini. Dan itu terlihat lebih elok, bijak, dan lebih dewasa. Bangsa kita juga bangsa yang mudah memaafkan. Bahkan dalam banyak kasus sering melupakan kesalahan-kesalahan di masa lalu dalam kehidupan berbangsa. Justru sebaliknya, mereka merasa paling benar. Dan tak boleh disalahkan.
          Akhirnya, rakyat kecil seperti saya hanya bisa menyerahkan semua persoalan di atas ke proses hukum dan politik yang berjalan di DPR. MKD DPR dinanti peran aktifnya untuk bisa mengungkap lebih jauh dugaan-dugaan tersebut dan menghadirkanya ke rakyat dengan bukti. Dan lebih dari itu, MKD harus tegas. Katakan yang  sebenarnya pada rakyat. Berilah sanksi pada pihak yang melanggar sesuai kadar pelanggarannya. Hindari basa-basi politk yang menjijikan. Rakyat sudah bosan menyaksikannya. Ditunggu. Wa Allahu Alam.