Minggu, 28 Juni 2015

TIDAK SEKADAR MENAHAN LAPAR DAN DAHAGA



          Satu sore, Rasulullah SAW mengelilingi pinggiran kota Madinah. Di bulan suci Ramdhan itu sengaja beliau menghabiskan waktu menjelang magribnya untuk melihat dan memantau aktivitas masyarakat Madinah. Di sebuah perkampungan, seorang perempuan sedang marah-marah, mengomel, mengumpat dan memaki lawan bicaranya, pembantu rumahnya sendiri. Rasulullah SAW menyaksikan kejadian itu, beliau mengamati perempuan itu, kemudian beliau kembali ke rumahnya. Sampai di rumah, nabi SAW langsung menujuh ke satu sudut, beliau mengambil berbagai macam makanan. Bergegas meninggal kembali rumahnya dan menuju ke perkampungan yang telah dikunjungi sebelumnya.
          Begitu sampai, Rasulullah SAW langsung mengucap salam dan menyapa. Salam dan sapaan Rasulullah menghentikan sang perempuan memarahi pembantu rumahnya tersebut seraya ia menjawab salam dan sapaan Rasulullah. Siapa gerangan anda? Aku Muhammad, Rasul Allah, jawab sang nabi. Ini aku bawakan beberapa makanan untuk kamu, makanlah wahai fulanah, lanjut nabi. Aku sedang berpuasa wahai nabi Allah jawabnya.Nabi Muhamad SAW menimpali, puasa itu tidak sekadar menahan makan dan minum. Mulut, mata, seluruh anggota tubuh pun harus ditahan dari segala perbuatan dosa seperti mencaci maki orang lain, marah, mengumpat dan lainnya. Kemudian Rasulullah SAW  bersabda, Saat ini sungguh sedikit orang yang sedang berpuasa yang banyak hanyalah orang yang merasakan lapar dan dahaga.
          Riwayat di atas menegaskan kepada kita bahwa puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga tetapi lebih daripada itu. Puasa secara bahasa diartikan sebagai imsak, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan menahan diri. Sedangkan menurut istilah, para ahli fiqhi menyebutkan puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa  sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Al Imam Gazali membagi orang puasa pada tiga kelompok. Kelompok pertama disebutnya sebagai puasanya orang awam yakni berpuasa hanya menahan lapar dan dahaga. Kelompok kedua disebutnya puasanya orang khusus yaitu disamping menahan lapar dan dahaga juga menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan keji dan dosa. Sedangkan kelompok ketiga disebutnya sebagai puasanya orang super khusus yakni disamping menahan lapar dan dahaga, menjaga anggota badan dari dosa, juga menjaga hati dari keburukan seperti berprasangka buruk, iri hati dan lainnya.
Puasa memang berbeda dengan ibadah yang lainnya, pertama, khusus ibadah puasa urusannya langsung Allah SWT yang menanganinya. Allah yang akan memberi penilaian terhadap orang yang berpuasa, berbeda dengan ibadah lainnya Allah SWT melibatkan para malaikat seperti malaikat Raqib dan Atid. Dalam sebuah hadist Qudsi disebutkan "Setiap amal perbuatan anak Adam - yakni manusia itu, yang berupa kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh kalinya sehingga tujuhratus kali lipatnya. "Allah Ta'ala berfirman: "Melainkan puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku akan memberikan balasannya” (HR. Imam Muslim).
Kedua, puasa tidak bisa dimasuki riya’ karena dalam ibadah ini hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Dalam ibadah salat misalnya, bisa saja pelakunya bertujuan untuk dipuji orang, tapi tidak dengan puasa sebab hanya Allah yang mengetahui apakah ia sedang berpuasa apa tidak.
Ketiga, berbeda dengan ibadah lainnya, Allah membalas orang yang berpuasa dengan surga dan menyediahkannya pnitu khusus buat mereka. Rasulullah SAW bersabda, sesungguhnya syurga mempunyai suatu pintu yang dinamakan “Rayyan”. Pada hari kiamat nanti pintu tersebut akan berseru kepada orang-orang yang telah berpuasa untuk memasuki surga melalui pintu itu. Setelah semuanya masuk, ditutuplah pintu itu.(HR. Bukhori Muslim)
Pesan Moral dan Sosial
          Ibadah puasa menyampaikan banyak pesan kepada kita baik yang bersifat moral maupun sosial. Pesan-pesan tersebut harus kita tangkap selama kita berpuasa. Pesan-pesan itu harus kita rasakan dalam kehidupan nyata pasca Ramadhan. Di antara pesan itu adalah, pertama, berpuasa mengajarkan kejujuran dan tanggung jawab. Seperti disinggung sebelumnya puasa ibadah yang hanya Allah dan yang bersangkutan yang mengetahuinya. Ini menjadi ujian kejujuran seorang. Orang bisa saja mengatakan berpuasa, tapi Allah SWT mengetahu yang sebenarnya. Hal ini sekaligus menamkan tanggung jawab terhadap diri sendiri, lingkungan, tentu Allah SWT.
          Kedua, menyucikan jiwa. Puasa menjadi ajang dan wahana penyucian diri dan jiwa. Karenanya selesai berpuasa kita diharapkan menjadi orang yang suci, kembali seperti semula (fitrah). Idul fitri (menjadi suci seperti awal penciptaan) menjadi tujuan akhir orang berpuasa. Maka beruntunglah orang berpuasa, yang senantiasa mensucikan dirinya. (QS.87:14)
          Ketiga, puasa mendidik kita bahwa harta yang kita miliki itu ada waktu dan saat yang benar kita menggunakannya. Ini disimbolkan makanan yang halal, yang kita miliki tak boleh dimakan sebelum waktu maghrib tiba.  Saya teringat dengan ucapan Sayidana Ali bin Abi Thalib ra, Tidak pernah aku melihat ada orang yang memperoleh harta yang berlimpah kecuali di sampingnya ada hak orang yang disia-siakan. Harta dan kekayaan yang kita peroleh secara halal sebaiknya tak kita gunakan sebelum mengeluarkan apa yang menjadi hak kaum lemah seperti fakir, miskin, anak yatim.
          Keempat, puasa melatih kesabaran.  Sabar adalah menahan diri (baca:menerima) apa yang kita terima, kita rasakan. Menahan lapar,  dahaga dan apa saja yang membatalkan puasa melatih dan menggebleng   kesabaran seorang mukmin. Tanpa sabar kita tidak mungkin mampu menahan diri dari makan dan minum ketika berpuasa. Sifat sabar, semcam ini  harus dimiliki dalam kehidupan setelah berpuasa yang penuh dengan godaan, cobaan dan problem yang berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, pendidikan, politik, kemanusiaan dan lain-lainnya. Dan sifat sabar tidaklah muncul dengan sendirinya, melainkan harus dilatih secara bertahap, sehingga kesabaran tertanam secara kokoh dalam diri dan  jiwa kita.
          Kelima, memupuk solidaritas sosial. Berpuasa seharusnya menumbuhkan kesadaran sosial. Kita dipaksa merasakan penderiataan orang-orang miskin berupa rasa lapar dan dahaga. Hal itu diharapkan dapat menumbuhkan kepedulian terhadap mereka yang lemah. Tak heran jika di bulan ini infak, sodaqoh kerapkali dilakukan oleh umat Islam.
          Keenam, mengajarkan kebersamaan. Dalam berpuasa pola makan kita diatur secara bersama-sama. Sahur di pagi hari sebelum fajar dan berbuka (ifthor) saat tiba waktu maghrib yakni ketika matahari terbenam.
Pesan-pesan itu akan bisa ditemukan dan kita rasakan selama kita berpuasa  dengan cara yang benar, tentu tidak berpuasa yang hanya menahan lapar dan dahaga. Semoga kita termasuk orang berpuasa yang mampu meraih berbagai hikmah di balik kewajiban itu. Amin

Apa Betul Guru Bukan Peneliti?



          Ada yang menarik dari pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) beberapa hari lalu, Sulistiyo mengatakan, PGRI sangat mendukung upaya peningkatan profesionalitas guru. Namun, menjadikan meneliti dan menulis karya ilmiah masuk dalam publikasi ilmiah wajib dilaksanakan oleh guru itu memberatkan. Apalagi jika guru tidak melakukannya lalu dia tidak bisa naik pangkat. Bahkan tunjangan profesinya terancam tidak diberikan, sungguh kebijakan yang keliru dan menyengsarakan guru, Sulistiyo menegaskan, guru bukanlah peneliti (Republika.co.id)
Apa betul guru bukan peneliti? Mari kita lihat definisi guru dalam Undang-undang No.14 tahun 2005  tentang guru dan dosen pada Pasal 1 ayat 1, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik  pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan  menengah.  
Dalam ayat tersebut tidak disebutkan fungsi guru sebagai peneliti. Berbeda dengan dosen, dalam pasal yang sama ayat 1, dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dalam ayat ini dengan jelas menyebutkan penelitian sebagai salah satu cara dosen dalam mengemban tugas utamanya.
          Kemudian kaitan dengan profesionalisme guru seperti disebutkan dalam pasal 7 dalam UU tentang guru dan dosen, penelitian tidak dimasukan dalam prinsip profesionalitas seorang guru. Dan penelitian tidak dikategorikan sebagai kompetensi guru seperti yang ditegaskan dalam pasal 10, bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.  Dalam tugas profesionalisme guru pun tidak ada kewajiban meneliti seperti yang tertulis dalam pasal 20.
          Demikian dalam Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen, sebagai penjabaran lebih lanjut UU No. 14 tahun 2005  tidak ada satu kata pun yang menyebutkan penelitian. Dengan demikian dapat ditegaskan kalau guru memang bukan peneliti.
Lantas apa persoalannya?
          Kalau guru bukan peneliti, kenapa meneliti dijadikan syarat untuk kenaikan pangkat, bahkan ancaman pencabutan sertifikasi bagi yang tidak melakukan. Penelitian tersebut berupa tindakan kelas (PTK). Kewajiban penelitian diberlakukan kepada guru golongan III.b. ke atas.Pemberlakuan  PTK mengacu pada Peraturan Menteri PAN No. 16 tahun 2009 pasal 11. C yang menyebutkan bahwa Pengembangan keprofesian berkelanjutan, meliputi: 1. pengembangan diri: a) diklat fungsional; dan b) kegiatan kolektif Guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau
keprofesian Guru; 2. publikasi Ilmiah: a) publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal; dan b) publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman Guru; 3. karya Inovatif: a) menemukan teknologi tepat guna; b) menemukan/menciptakan karya seni; c) membuat/ memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum; dan d) mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya.
 Pasal di atas telah memberatkan guru dalam menghadapi proses kenaikan pangkat. Sebenarnya Permen PAN ini juga telah merubah waktu kenaikan pangkat para guru. Kalau sebelumnya dua tahun sekali mereka bisa naik pangkat, sekarang paling tidak empat tahun. Itu bisa ditempuh bila memenuhi persyaratan diantaranya apa yang diatur pasal 11.c ini.
Keberatan guru bukan tanpa alasan. Di samping karena faktor kesiapan dan sumber daya manusia (SDM), juga karena pasal 11.c tersebut tak sejalan, tak selaras dengan Undang-undang No.14 tahun 2005  tentang guru dan dosen dan Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen. Dalam UU dan  PP  tersebut tak menyebutkan sama sekali tentang penelitian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sehingga wajar bila para guru mencoba   mempertanyakannya. Apa yang disampaikan Ketua Umum PGRR merupakan cerminan dan aspirasi guru di tanah air.
Harus diakui bahwa sejak digulirkannya tunjangan profesi guru telah merubah kehidupan guru lebih baik. Tapi harusnya tujuan mulia tersebut tidak dibarengi dengan tuntutan-tuntutan yang berlebihan, yang terkesan menyulitkan dengan memberlakukan berbagai kebijakan yang memberatkan para guru. Dan tidak adil bila pemerintah bersikukuh dalam hal ini.
Saran dan Solusi
          Memperhatikan permasahan di atas, menurut hemat saya ada beberapa item yang bisa disarankan kepada pemerintah juga guru Pertama, merevisi Permen PAN No. 16 tahun 2009 terutama Pasal 11.c. Alasanya sudah jelas karena Permen PAN itu betentangan dengan UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dan PP No. 41 tahun 2012 seperti telah diuraikan.  Andai guru harus  melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah (walaupun dalam UU Guru dan Dosen, tidak disebutkan satu kata pun), maka kegiatan itu tidak boleh menjadi kewajiban yang menghambat nasib guru jika dia sudah melaksanakan tugas pokoknya dengan baik. 
          Kedua, guru selayaknya meningkatkan SDM dan kualitas diri. Bukankah di antara tujuan tunjangan guru di samping untuk mensejahterakan guru juga untuk meningkatkan kualitas mereka? Nah, kesempatan dan momentum seperti ini harus disikapi dan bisa diambil dengan sebaik mungkin. Jangan sampai masyarakat memberi penilaian negatif. Gaji cukup ditambah tunjangan sertifikasi kenapa kualitas tak meningkat? Pertanyaan ini harus selalu diingat oleh setiap guru. Bila perlu menjadi spirit atau dorongan buat mereka agar selalu berusah mengembangkan diri, selalu belajar baik lewat  pendidikan formal dengan melanjutkan ke S.2 misalnya, atau mulai melakukan penelitian.
          Dua hal di atas saya kira jalan tengah yang arif dan bijak. Baik pemerintah maupun guru harus sama-sama memahami posisinya masing-masing. Dan semoga statemen ketua PGRI itu dapat menjadi pengingat kita semua (baik pemerintah atau pun guru) terkait peran, tugas, dan kewajiban masing-masing. Wa Allahu Alam.




Sampah Masuk Istana



          Dalam rapat terbatas Selasa 23 Juni 2015, tak seperti biasanya Presiden Joko Wododo membahas secara khusus prihal sampah dan pengelolaanya. Masalah ini dijadikan tema pembahasan karena menurut Presiden, sepengetahuannya tidak ada daerah yang berhasil mengelola sampah secara baik, sistemik, terpadu mulai dari masyarakat, pemerintah daerah, sampai pemerintah pusat. Menurut Jokowi, dari pengalamannya sebagai Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, penanganan sampah kerap terkendala dengan regulasi. Jokowi berharap, sampah tidak berakhir sekadar menjadi sampah tapi bisa menjadi produk yang bernilai ekonomi. Selama ini pemanfaatan sampah masih sangat kecil, hanya sekitar 7,5 persen dari total sampah yang menumpuk tiap hari. Dengan jumlah penduduk sebesar 250 juta jiwa dan produksi sampah 0,7 kg per orang per hari, maka timbunan sampah nasional saat ini mencapai sekitar 175.000 ton per hari.
          Berkaitan dengan regulasi, sebenarnya sudah ada Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, juga Peraturan Pemerintah No.81 tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Dalam undang-undang tersebut cukup detail bagaimana pengelolaan sampah diatur mulai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kerja sama antara daerah, kemitraan dengan badan usaha yang akan mengelola sampah, peran masyaraka, pengawasan, penyelesaian sengketa terkait sampah, sanksi baik administratif maupun pidana baik bagi mereka yang mengimpor sampah ke suatu wilayah atau pengelolaan yang menyalahi aturan dan standar baku pengelolaan menurut yang yang telah diatur dalam Undang-undang ini.
          Kemudian UU No.18 tahun 2008 dijabarkan, dijelaskan lebih jauh oleh PP. No.81 tahun 2012. Dalam peraturan tersebut diatur tentang kebijakan dan strategi pengelolaan sampah, penyelenggaraan pengelolaan sampah, kompensasi, pengembangan   dan penerapan teknologi, sistem informasi,  peran masyarakat; dan pembinaan. Jadi hemat saya dari sisi perundang-undangan sudah cukup lengkap dan detail, hanya barangkali praktek di lapangan yang belum maksimal. Ini barangkali yang dimaksud oleh  Presiden terkait dengan regulasi di daerah yang beliau sebut mandeg, berhenti di jalan terbukti tidak ada satu daerah pun yang berhasil dalam menangani sampah, yang bisa ditiru dan dicontoh oleh daerah lain atau dapat dijadikan percontohan untuk skala nasional.
Membangun Kesadaran
          Sebagai warga negara, menurut hemat saya yang paling penting adalah bagaimana kita bersama-sama membangun kesadaran membuang sampah pada tempatnya. Kenapa? Karena hal tersebut akan sangat membantu pemerintah dalam menangani persoalan sampah. Kesadaran kita akan mempercepat terciptanya wilayah atau daerah yang bersih. Kesadaran masyarakat menjadi gerakan dari bawah yang sangat efektif. Dan ini menjadi hal yang utama. Lebih jauh, walau pemerintah melakukan berbagai upaya, menjalankan berbagai program sesuai aturan perundang-undangan yang ada bila dibarengi dengan kesadaran masyarakat yang rendah maka mustahil cita-cita dan keinginan pemerintah akan terwujud. Nah, akhirnya kesadaran kita menjadi ujung tombak penyelesaian masalah ini.
          Berikut beberapa point yang harus menjadi perhatian kita dalam membangun kesadaran pertama, jangan menganggap remeh masalah sampah. Sebagian besar masyarakat tidak menyadari akan pentingnya menjaga lingkungan dari sampah. Itu bisa dibuktikan dangan kebiasaan mereka membuang sampah sembarangan. Membuang sampah ke kali, bahu jalan, tepi laut atau lainnya. Mereka tidak menyadari bahaya yang mengancam karena sampah yang kita buang bukan pada tempatnya. Membuang sampah sembarangan mengakibatkan banjir, mengundang berbagai penyakit, pencemaran air bersih,  dan kemudharatan lainnya.
          Kedua, tak memahami jenis sampah. Memahami jenis sampah itu penting untuk membedakan perlakuan kita terhadapnya. Menurut Daniel (2009) sampah terbagi menjadi 1. sampah organik yaitu sampah yang dapat diurai secara alamiah atau biologi seperti sisa makanan, dedaunan. Sampah jenis ini biasa disebut sampah basah. 2. sampah anorganik yakni  sampah yang tak mudah diurai dan membutuhkan penanganan lebih lanjut seperti plastik, kaleng. Biasa disebut sampah kering. 3.sampah beracun seprti limbah rumah sakit, limbah pabrik. Dalam UU No.18 tahun 2008 pasal 2 sampah dibedakan menjadi sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. Sampah rumah tangga yaitu sampah yang berasai dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga selain tinja.  Sampah sejenis sampah rumah tangga seperti sampah yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum. Sedangkan sampah spesifik yaitu sampah yang mengandung bahan berbahaya atau racun seperti sampah akibat yang timbul dari bencana alam, puing bangunan dan lainnya. Pemahaman kita terhadap jenis sampah memudahkan kita menyikapinya secara berbeda.
          Ketiga, manusia sebagai penguasa bumi (dalam bahasa agama disebut khalifah Allah). Bahwa kita semua adalah wakil Tuhan di bumi yang bertugas memakmurkannya. Kesadaran akan kapasitas kita sebagai khalifah di bumi harusnya menyadarkan kita akan kewajiban menjaga kelestarian bumi. Jangan justru kita sebaliknya merusak bumi dengan membuang sampah sembarangan. Dalam Al Quran Alllah berfirman, Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi ". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang melakukan perbaikan."(QS.02:11)
            Akhirnya, diagendakanya permasalah sampah dalam rapat kabinet oleh presiden harus menyadarkan kita akan pentingnya permasalahan tersebut.  Seperti diketahui sebelumnya tidak pernah sampah masuk dalam agenda pembahasan di istana. Itu menunjukkan keseriusan presiden dalam mengatasi dan menyikapi problematika sampah di negeri ini. Dan tentu hal ini harus kita dukung. Tanpa dukungan dari rakyat seperti kita apalah arti seorang Jokowi. Wa Allahu Alam


         

Jokowi Salah Lagi, Salah Lagi



          Nampaknya mejadi presiden harus siap disorot, diamati, dinilai dalam segala hal termasuk pada soal-soal kecil sekalipun. Dua pekan ini publik kembali mempersoalkan kesalahan yang dilakukan presiden. Jokowi salah lagi. Ada peristiwa yang menjadi sorotan, bahkan berujung cacian, tentu dari lawan-lawanya. Pertama, Jokowi salah kostum dalam menerima tamu. Pada hari Selasa 16 Juni 2015, presiden Jokowi menerima Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin di Istana Merdeka. Saat menerima Din Syamsuddin, Jokowi mengenakan pakaian militer lengkap dengan baret warna hijau. Kedua, presiden makan minum dengan tangan kiri sambil berdiri. Yaitu saat berbuka bersama dihadapan anak-anak yatim se-jobodetabek pada hari kamis 18 Juni 2015 di istana negara. Jokowi terlihat minum sambil berdiri dan menggunakan tangan kiri. Momen ini tak luput dari jepretan para wartawan. Perbincangan publik pun mulai ramai, menyalahkan, menggunjing, bahkan sebagian mencaci.
Jokowi memang beda
          Tulisan ini tidak bermaksud untuk membela pak Jokowi. Hanya yang perlu disadari oleh kita semua bahwa setiap pemimpin itu memiliki tipikal, ciri, gaya masing-masing dalam segala hal seperti  gaya bicara, cara berpakaian, bagaimana berpenampilan, nampang di layar kaca dan lainnya. Dan kebetulan Jokowi memang banyak memiliki perbedaan dengan presiden-presiden sebelumnya dalam berpakaian misalnya. Dalam berpakaian Jokowi dikenal sederhana dan simpel, tentu menurut ukuran seorang presiden. Dalam soal pakain, sempat juga jadi sorotan publik saat kunjungan pertama beliau ke Brunai Darussalam pada tanggal 9 Februari 2015. Saat bertemu dengan Sultan Hassanal Bolkiah, ada yang cukup mengganggu dalam penampilan Jokowi ketika itu. Satu buah kancing dalam jas yang dikenakannya terlihat tak terpasang. Hal itu membuat dasi yang terselip dengan cukup panjang di dalamnya tampak menyembul. Cara berpakaian beliau jauh dari kata necis, berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya pak SBY misalnya.
          Kaitan dengan salah kostum dalam menerima tamu, sebenarnya pihak istana sudah melakukan klarifikasi bahwa saat itu presiden baru saja menghadiri acara bersama TNI. Sedangkan Din Syamsuddin beserta rombongan sudah terlalu lama menunggu. Mengambil langkah praktis, presiden langsung menemui. Itulah Jokowi. Orang kebanyakan bisa jadi menganggapnya sebagai sesuatu yang salah tapi ia tetap  memilih caranya sendiri dalam menghormati dan menghargai tamu. Di matanya apalah arti pakaian ketimbang menjaga perasaan tamu karena terlalu lama menunggu.
          Kemudian mengenai buka bersama, memang istana mendesain acara tersebut dengan nuansa berdiri. Hal demikian bertujuan untuk menggambarkan keakraban presiden dengan tamunya, anak-anak yatim. Tapi yang disesalkan, persoalan sepele itu ditarik jauh pada keagamaan sang presiden. Kenapa saya mengatakannya sepele? Misalnya mengenai tata cara makan-minum, ternyata di samping ada larangan makan-minum dengan berdiri juga ada hadist yang membolehkannya.  Dari Ibnu Abbas beliau mengatakan, “Aku memberikan air zam-zam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau lantas minum dalam keadaan berdiri.(HR. Bukhari no. 1637, dan Muslim no. 2027) Dalam hadist lain, dari An-Nazal, beliau menceritakan bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu mendatangi pintu ar- Raghbah lalu minum sambil berdiri. Setelah itu beliau mengatakan, “Sesungguhnya banyak orang tidak suka minum sambil berdiri, padahal aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan sebagaimana yang baru saja aku lihat.” (HR. Bukhari no. 5615) Jadi sangat tak elok kalau kita memperbesar isu persoalan agama yang masih dalam perdebatan dan perselisihan status hukumnya.
Mengambil pelajaran
          Namun demikian, tetap saja hal-hal di atas harus menjadi pelajaran bagi kita semua terutama orang-orang yang berada sekitar pak presiden. Ke depan harus lebih hati-hati, lebih teliti dalam menyiapkan hal-hal yang terkait presiden. Berikut pelajaran atau hikmah yang bisa dipetik oleh semua pihak, pertama, mengkritisi pemerintah terutama presiden memang kewajiban kita semua. Itu juga tanda atau bukti kalau kita mencintai dan menyayangi pemimpin agar tidak terpeleset pada kesalahan terutama dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Tapi tidak berarti semua hal yang ada pada presiden kita bebas mengoreksi, menyoroti, apalagi mencaci maki. Pada hal-hal yang tidak prinsip misalnya, tak seharusnya kita menghabiskan waktu dan energi untuk memperdebatkannya. Masih banyak yang lebih penting yang memerlukan kajian oleh kita semua. Jangan sampai kita kehabisan energi dalam hal sepele, urusan bangsa dan negara yang lebih besar terlewatkan dari mata dan pikiran kita.
          Kedua, luruskan niat. Niat kita harus kritik membangun, bukan kritik menjatuhkan. Ini penting, agar tata cara berpolitik, berbangsa dan bernegara kita bermoral dan bermartabat. Sebagai bangsa yang memiiki akar budaya dan moralitas yang kuat, banyak contoh yang telah ditunjukan oleh para pendahulu. Selayaknya kita meniru mereka dalam berbangsa dan bernegara. Jika semangatnya menjatuhkan maka hal kecil nan sepele akan terlihat besar dan bisa dibesar-besarkan.
          Ketiga, melihat sesuatu secara proporsional, dan dari sudut pandang yang tepat. Ini penting agar penilain kita terhadap seseorang atau terhadap permasalahan menjadi adil. Jika tidak, kita akan terjebak pada mencar-cari kesalahan orang. Itu tentu bukan karakter bangsa kita.
          Terkhir saya mengutip Dr. Nurcholis Madjid (1992),  bahwa dalam hidup, kita dihadapkan pada pilihan moral fudamental, bahasa lain dari akhlak karimah. Karenannya, mari kita kedepankan akhlak mulia dalam segala tindak tanduk kita. Akhlak akan menuntun ke kehidupan  yang lebih baik. Dalam konteks berbangsa dan bernegara sangat relevan akhlak menjadi panglima. Apalagi di bulan suci Ramadhan,  selayaknya kita mengintropeksi diri untuk memperbaiki kualitas hidup di waktu yang akan datang. Dan semoga kasus ini bisa menjadi pelajaran untuk kita semua. Amin. Wa Allahu Alam