Sabtu, 29 Oktober 2016

Menghadirkan Generasi Berkarakter


            Belum lama, teman saya bercerita. Setelah menandatangani fakta integritas, ia disodori sebuah kertas bertuliskan daftar uang syukuran. Ia diminta menuliskan nominal yang akan deberikan sebagai ungkapan syukur, lulus serangkaian proses menjadi kepala sekolah. Teman saya tersebut mengikuti seleksi kepala sekolah sejak setengah tahun yang lalu dengan berbagai tahapan. Sekarang, katanya tinggal menunggu SK dan pelantikan.
          Kalau cerita di atas benar sungguh memilukan hati. Juga lucu. Bagaimana tidak, setelah tanda tangan fakta integritas justru dilakukan pungli. Pungli yang sedang gencar diperangi pemerintah nyatanya tak membuat jerah oknum bermental korup dalam birokrasi pemerintahan. Cerita itu juga memunculkan tanya, seriuskah pemerintah (dari pusat hingga daerah) dalam memberantas segala tindakan beraroma pungli?
          Cerita tersebut meyakinkan saya bawa pungli, korupsi atau sejenisnya merupakan permasalahan karakter bangsa ini. Segala upaya pemerintah memberantasnya akan tak efektif jika tak diiringi perubahan mental bangsa ini. Revolusi mental yang digaungkan Presiden Jokowi sungguh nyata dibutuhkan. Persoalanya, bagaimana kita melakukannya?
          Pentingnya karakter atau dalam terminologi Islam disebut akhlak sejatinya telah lama diajarkan pada kita, umat Islam khususnya. Nabi Muhamad SAW sudah mengaskan, aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Sabda nabi Muhamad SAW tersebut sekaligus menegaskan misi para nabi dihadirkan ke bumi, yakni memperbaiki karakter atau akhlak manusia.
          Menurut hemat saya, revolusi mental itu kudu dilakukan dengan pendidikan, yakni menanamkan karakter baik kepada anak cucu kita sejak dini. Pentingnya Pendidikan karakter memang sedang didengung-dengungkan oleh pemerintah dan para pendidik. Tapi yang jadi soal, siapkah dunia pendidikan kita memikul tugas berat itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, pemerintah harus membenahi secara terus menerus sistem pendidikan di tanah air. Termasuk menyiapkan para pendidik profesional yang mampu menghadapi tantangan dan tuntutan zaman. Ya, pendidik yang selalu belajar dan belajar. Dalam istilah Anis Baswedan disebut guru pembelajar.
Pendidikan  Karakter
          Secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave”(Ryan and Bohlin, 1999: 5). Kata“to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1987: 214).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, karakter diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Orang berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir.(Koesoema, 2007: 80)
          Muhammad Alwi (2014) memaknai pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, budi pekerti, moral, dan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memeihara yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari  dengan sepenuh hati.
          Menurut Piaget (1967), muatan pendidikan karakter secara psikologis harus mencakup dimensi moral reasoning, moral feeling, dan moral behaviour  (pengetahuan bermoral, perasaan bermoral, dan prilaku bermora) atau dalam arti utuh sebagai moralitas mencakup moral judgment dan moral behaviour, baik yang bersifat prohibition-oriented morality maupun pro-social morality.
          Moral reasoning diartikan sebagai upaya kita memecahkan masalah moral dengan menggunakan logika sehat. Dalam berlogika secara sehat seseorang harus mampu memahami dengan baik masalah yang sedang dihadapinya sebelum memutuskan pemecahan masalah seperti apa yang akan diambilnya. Setelah masalah teridentifikasi dengan jelas, orang tersebut harus ber-reasoning:yaitu membuat pertimbangan-pertimbangan (pertimbangan hukum, agama, dampak, lingkungan dll) dengan cermat. Secara teori, semakin banyak pertimbangan, semakin baik keputusan yang akan diambil.
          Moral feeling atau perasaan bermoral merupakan kondisi psikologis seseorang ketika merasakan baik-buruk sesuatu. Perasaan itu muncul bisa jadi karena pengetahuan yang dimilikinya tentang baik atau buruknya sesuatu. Moral feeling juga hadir disebabkan kebiasaan seseorang memilih sesuatu yang baik, menghindari yang buruk. Perasaan bermoral berkaitan dengan emosi. Ketika anak berbuat tidak benar menimbulkan rasa bersalah, dan ketika anak mampu menyenangkan orang lain timbul rasa bahagia.
          Sedangkan moral behaviour adalah prilaku yang diterima oleh masyarkat. Moral behavior berbentuk tindakan dan perbuatan. Dalam bahasa agama moral behviour disebut sebagai akhlak mulia.
Keteladanan
          Dalam pendidikan karakter, pendidik diminta menampilkan keteladanan. Keteladanan sangat berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak. Dan ini menjadi PR kita bersama. Pasalnya, negeri ini miskin teladan. Para pendidik sebagai ujung tombak wajib menampilkan akhlak mulia. Mereka akan dicontoh oleh peserta didik. Jika mereka tak mampu menemukan teladan pada guru, kepada siapa lagi anak kita belajar menjadi manusia berkarakter? Guru bukan hanya sosok pengajar yang hanya pandai menyampaikan materi pelajaran. Lebih dari itu,  seorang guru wajib memberikan contoh dengan tingkah laku atau perbuatan.
          Pepatah mengatakan guru kencing berdiri, murid kencing berlar. Ini menunjukkan besarnya pengaruh seorang guru untuk menjadi   teladan   di lingkungan   sekolah   maupun   di   luar   sekolah.   Apa   yang dilakukan oleh guru akan ditiru oleh siswa. Keselarasan antara kata dan tindakan   dari   guru   akan sangat berarti dalam membentuk karakter anak didik.
          Singkat kata, mengutip firman Allah SWT (QS:61:02), Hai orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan, mari kita semua (pendidik, orang tua, masyarakat luas) berusaha menjadi teladan yang baik bagi anak cucu kita. Keteladan berpengaruh besar dalam membentuk karakter anak. Jika anak-anak kita berkarakter maka akan hadir generasi baru, generasi Indonesia yang berkarakter. Jika generasi berkarakter telah hadir, saya yakin penyakit sosial seperti pungli atau sejenisnya tak akan ada lagi.Wa Allahu Alam



          

Kasus Munir Jangan dibuat Dagelan


Di negeri ini sering disaksikan dagelan. Dagelan itu jika diartikan secara cepat adalah lelucon. Dalam banyak sisi, hidup kita layaknya sebuah dagelan. Tidak ada keseriusan. Kebenaran terlihat kabur, tak jelas. Kesalahan juga demikian. Rasanya tak ada yang terang benderang di negeri ini selain saat bulan purnama muncul di setiap pertengahan bulan. Semuanya terlihat, terasakan, dinilai samar-samar.
          Kasus pembunuhan Munir kembali menjadi diskusi publik. Komite Informasi Publik (KIP) mengabulkan gugatan para aktifis HAM menuntut pemerintah menyampaikan hasil temuan (laporan) Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir. Selama ini pemerintah belum menyampaikannya pada masyarakat. Padahal dalam butir ke Sembilan Kepres nomor 111 tahun 2004 disebutkan pemerintah akan mengumumkan hasil penyelidikan Tim kepada masyarakat. Pengumuman hasil penyelidikan Tim inilah yang tidak pernah dilakukan SBY. Padahal proses hukum kasus ini terus bergulir, bahkan Polycarpus Budihari Prijanto sebagai tersangka divonis 14 tahun penjara.
          Anehnya, pemerintahan sekarang (seperti disampaikan Mensesneg) menyatakan bahwa dokumen laporan TPF Munir itu tak diketemukan. Hilangnya dokumen itu sangat ganjil. Bagaimana tata kelola administrasi negara dibangun? Rasanya aneh kalau hilang begitu saja. Bisa jadi dokumen itu sengaja dihilangkan guna mengaburkan atau mempersulit pengungkapan kasus.  Kecurigaan publik mengarah ke SBY. Sebab berdasarkan kesaksian Yusril Ihza Mahendra Mensesneg saat itu, juga beberapa pihak lain yang hadir menegaskan dokumen tersebut disampaikan langsung kepada SBY.
          Kemaren (25/10) rakyat Indonesia berharap  ke Pak SBY dapat menunjukkan titik terang soal keberadaan dokumen laporan Tim TPF kasus Munir. Sehingga kasus itu segera terungkap tuntas. Apalagi sebelumnya, SBY sudah menyiapkannya (dua mingguan) untuk membeberkan apa yang sedang diperbincangkan publik. Ya walaupun sebenarnya terlihat berlebihan. Yang dibutuhkan sebenarnya simpel, apa Pak SBY menyimpan atau mengetahui keberadaan dokumen tersebut? Nyatanya, api jauh dari panggang. SBY hanya menggunakannya sebagai panggung untuk menunjukkan eksistensinya di dunia persilatan tanah air. Tak lebih. Tidak banyak membantu.
          Mantan anggota TPF, Hendardi, menilai, persoalan keberadaan dokumen kasus pembunuhan Munir adalah perkara mudah yang dibuat seakan polemik yang rumit. Ini hanya persoalan sederhana, tapi kenapa seakan dibuat sulit sehingga membingungkan publik.
Hendardi meragukan alasan pemerintah yang menyatakan tidak memiliki dokumen. Pasalnya, saat TPF selesai melakukan penyelidikan, ada tujuh berkas laporan yang langsung diserahkan kepada Presiden SBY. Tidak mungkin hilang karena TPF dulu menyerahkan hasil laporannya sebanyak tujuh berkas. Masa ya ketujuhnya hilang begitu saja. Hendardi menilai alasan itu dibuat untuk menutupi keengganan pemerintah untuk membuka hasil penyelidikan TPF.
Hendardi benar. Ini sebuah dagelan belaka. Kedua pihak terkait saling melempar. Pemerintahan sekarang beralasan tak ada dokumen. Sementara pemerintah sebelumnya tidak dapat menunjukkan dengan pasti keberadaan dokumen. Lucu.
          Kasus munir diyakini terkait dengan para pembesar di negeri ini. Poliycarpus hanyalah korban permainan politik tingkat tinggi. Pollycarpus tak lebih sekadar ekskutor di lapangan. Sementara otak dibalik semua itu belum terungkap sampai hari ini. Karena itu, berbagai pihak mendesak pemerintah Jokowi-JK menuntaskan sampai ke akar-akarnya sehingga misteri pembunuhan itu menjadi terang benderang. Dan yang paling penting pihak yang bertanggungjawab wajib menerima hukuman yang setimpal.
          Munir dicurigai oleh negara akan menjual rahasia negara kepada Belanda. Dalam sebuah rapat, Kepala Badan Inteljen Negara (BIN) saat itu dijabat oleh AM Hendropriyono memerintahkan mencegah Munir. Untuk tujuan tersebut dijalankanlah opersi inteljen terhadapnya. Tapi sampai saat ini, AM Hendropriyono belum tersentuh oleh proses hukum.
Mantan Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan pegiat HAM, Munir Said Thalib, Marsudhi Hanafi belum lama (26/10) menegaskan bahwa perkara pembunuhan Munir belum tuntas. Masih ada pihak yang diduga kuat terlibat pembunuhan itu yang lolos dari proses hukum. Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) A.M Hendropriyono adalah orang yang dimaksud. Marsudhi juga menegaskan bahwa AM Hendropriyono disebut dalam dokumen TPF Munir..(Kompas.com)
          Megawati Soekarno Putri adalah presiden saat itu. Bu Mega tentu mengetahui jika memang ada operasi inteljen tersebut. Terlebih hal ini terkait dengan rahasia negara. Logika kita mengatakan, pantas jika Megawati mengetahui semua sepak terjang Hendropriyono. Karena itu patut dipertanyakan, apakah perintah Megawati pada Hendropriyono sehubungan dengan operasi intelejen pada kasus Munir.
          Apa keterkaitan Megawati tersebut menjadi beban bagi Jokowi dalam membongkar kasus ini? Sehingga selama pemerintahannya (2 tahun), Jokowi belum menunjukkan keseriusan menangani kasus Munir. Hanya Jokowi yang bisa menjawab. Yang pasti  para pegiat HAM mulai menyangsikan komitmen Jokowi dalam penegakan HAM terutama terkait kasus Munir.
          Ke depan Jokowi kudu menjawab pertanyaan dan keraguan itu. Jokowi mesti membuktikan bahwa dirinya tak terbebani oleh siapa pun terkait kasus Munir. Tentu tak cukup dengan logika verbal. Butuh aksi nyata. Dan sekarang saya kira momentumnya. Jokowi diminta bertindak cepat, menuntaskan persoalan. Ketegasan Jokowi yang dikenal publik ditunggu dalam kasus Munir.
          Walau tak banyak, apa yang disampaikan oleh SBY bisa menjadi modal bagi pemerintahan Jokowi untuk membongkar kasus ini. Sehingga kegagalan SBY menuntaskan kasus Munir dalam kurun waktu cukup lama yakni 10 tahun harus menjadi pelajaran bagi pemerintahan sekarang. Saatnya sekarang memulai bergerak. Tidak ada kata terlambat untuk menegakan keadilan. Tiga tahun sisa jabatan yang akan datang merupakan waktu yang cukup dalam menyelesaikan kasus ini.
Kesalahan Pemerintahan yang lalu karena tidak mengumumkan hasil TPF Munir ke publik wajib menjadi pelajaran bagi pemerintahan Jokowi-JK. Terlebih soal hilangnya dokumen laporan TPF. Dan sekarang tidak perlu melempar tanggungjawab. Sebab, bagaimanapun pemerintah berkewajiban menegakan keadilan di bumi pertiwi ini.
          Akhir kata, saatnya dagelan ini dihentikan. Mari kita bangun komitmen bersama guna menegakan keadilan. Buktikan keseriusan. Bukan saatnya lagi saling lempar isu. Saling tuduh. Melepas tanggungjawab. Sudah banyak dagelan di negeri ini.Wa Allahu Alam



                             

SBY Seperti Mendapat Panggung


Pembicaraan kasus HAM, terbunuhnya Munir yang sedang kembali dibicarakan semakin menarik. Paling aktual cuitan mantan presiden SBY terkait masalah tersebut. Selama ini publik mempertayakan  hilangnya dokumen laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir. Setelah Komisi Informasi Publik (KIP) mengabulkan gugatan para aktivis yang memerintahkan pemerintah membuka informasi laporan TPF ke publik, sekretariat negara mengaku tak memiliki dokumen tersebut. Ini memang sangat aneh, ganjil. Arah pembicaraan mengarah ke SBY. Sebab seperti disampaikan berbagai pihak yang menyaksikan, dokumen tersebut langsung diterima SBY. Belakangan Presiden menunjuk Jaksa agung mencari dokumen dimaksud. Dan Jaksa Agung pun berjanji akan menemui SBY.
Kemaren  (23/10), seperti biasanya, mantan Presiden keenam itu menyampaikan unek-uniknya di media sosial. Dalam akun Twitter pribadinya, @SBYudhoyono, SBY bicara mengenai ramainya pemberitaan media dan perbincangan publik terkait hasil temuan TPF Munir dalam dua pekan terakhir."Saya amati perbincangan publik ada yang berada dalam konteks, namun ada pula yang bergeser ke sana ke mari dan bernuansa politik," kicau SBY.
Kami buka kembali semua dokumen, catatan, dan ingatan kami apa yang dilakukan pemerintah dalam penegakan hukum kasus Munir.Yang ingin kami konstruksikan bukan hanya tindak lanjut temuan TPF Munir, tetapi apa saja yg telah dilakukan pemerintah sejak November 2004.
          Kemudian SBY sedikit kilas balik bercerita. Ketika aktivis HAM Munir meninggal, saya masih berstatus sebagai capres. tiga minggu setelah jadi Presiden, Ibu Suciwati (istri almarhum) temui saya," kata SBY. Kurang dari seminggu setelah pertemuan itu (TPF Munir belum dibentuk) kita berangkatkan Tim Penyidik Polri ke Belanda.
          Sebenarnya yang diinginkan publik sederhana, apa dukumen itu ada di tangan Bapak? Pak SBY sebenarnya cukup menjawab pertanyaan ini. Jika ada, beliau segera serahkan ke pemerintah. Jika tidak ada, Pak SBY bis menjelaskan apa yang diketahui. Barangkali penjelasan beliau dapat membantu Kejaksaan agung dalam menemukan dokumen penting negara itu.
          Tapi bukan SBY jika simpel seperti itu. SBY lebih suka berbelit. Nampaknya, SBY seperti mendapatkan panggung guna tampil ke publik. SBY berencana akan menjelaskan apa saja yang telah dilakukan pemerintah di eranya terkait kasus Munir.
          Sebagai orang awam, saya melihat hal itu tidak perlu. Apa yang sudah berlalu biarlah sejarah yang mencatat. Lagi pula, masyarakat sudah dapat menilai, membaca dan mempelajari.  Kenapa?
          Pertama, akan memperlebar persoalan. Belum lagi, kepentingan politik praktis yang menyertainya. Padahal persoalannya sangat simpel. Dokumen yang membuat geger negeri ini ada di Bapak atau tidak?
          Kedua, jika melebar akan mengaburkan masalah sesungguhnya. Publik sekarang sedang menanti apa hasil temuan TPF itu? Selanjutnya biarlah pemerintah yang sekarang yang menindaklanjuti temuan itu. Atau kalau memang sudah ditindaklanjuti, berilah kesempatan Pemerintah Jokowi-JK meneruskannya. Yang pasti keadilan belum berdiri tegak. Hukum baru menyentuh eksekutor belum sampai pada otak pembunuhan itu.
          Singkatnya, sudahlah jangan berbelit-belit. Kalau Pak SBY memegang, menyimpan, atau mengetahui dokeumen itu sebaiknya secepatnya menyampaikan ke Kejaksaan Agung. Kalau Pak SBY mau bernyanyi misalnya,,lain waktu saja. Di panggung lain.



Pungli dan Keteladanan dalam Pendidikan


          Upaya pemberantasan berbagai pungutan liar (Pungli) sedang gencar dilakukan pemerintah. Pemerintah telah membentuk satgas sapu bersih (saber) terkait pungli. Satgas tersebut merupakan salah satu aksi nyata dari paket kebijakan pemerintahan Jokowi-JK bidang reformasi hukum. Satgas diketuai langsung oleh Menko Polhukam, Wiranto. Belum lama (21/10), kepada seluruh gubernur, Presiden Jokowi menegaskan komitmennya memberantas pungli. Gubernur sengaja diundang ke istana untuk diajak secara bersama-sama memerangi pungli. Jokowi memandang sangat serius persoalan ini. Walau mendapat cibiran dari lawan-lawan politiknya di parlemen, Presiden tak bergeming.
          Keberadaan pungli memang sudah akut. Hampir di semua sektor dan lini kehidupan kita ada, termasuk dalam dunia pendidikan. Kemaren (21/10),  Walikota Bandung, Ridwan Kamil memberhentikan sembilan kepala sekolah di Bandung karena terindikasi pungutan liar (pungli) dan gratifikasi. Terkait hal tersebut, Kepala Ombudsman Perwakilan Jawa Barat, Haneda Sri Lastoto mengungkapkan di tahun 2016, laporan yang masuk mengenai pungli terbanyak dari sektor pendidikan.      Tindakan tegas Ridwan Kamil layak diapresiasi. Saya meyakini tak hanya Bandung, di daerah lain pun pungli dalam pendidikan itu ada. Karenanya, belajar dari Kang Emil, kepala daerah di tempat lain kudu melakukan aksi nyata guna mendukung komitmen Presiden memerangi segala bentuk pungli termasuk di sekolah. Sekolah yang sejatinya lembaga pendidikan yang mengajarkan kejujuran semestinya bersih dari pungli. Masyarakat luas juga wajib mendukung secara bersama upaya pemerintah tersebut.
            Bagaimana pungutan di sekolah itu terkategorikan liar? Guna memahami hal tersebut, coba perhatikan pengertian pungutan dalam pendidikan. Menurut Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 Tentang Pungutan dan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar Pasal 1, pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.
          Pungutan yang dilakukan oleh satuan pendidikan  yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. didasarkan pada perencanaan investasi dan/atau operasi yang jelas dan dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, serta anggaran tahunan yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan; b. perencanaan investasi dan/atau operasi sebagaimana dimaksud pada huruf a diumumkan secara transparan kepada pemangku kepentingan satuan pendidikan terutama orang tua/wali peserta didik, komite sekolah, dan penyelenggara satuan pendidikan dasar; c. dimusyawarahkan melalui rapat komite sekolah; dan d. dana yang diperoleh dibukukan secara khusus oleh satuan pendidikan dasar terpisah dari dana yang diterima dari penyelenggara satuan pendidikan dasar dan disimpan dalam rekening atas nama satuan pendidikan dasar. (Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012)
          Kemudian pungutan  tidak boleh dilakukan kepada peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis;, dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan/atau digunakan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung.
          Jika pungutan di sekolah menyalahi ketentuan-ketentuan di atas maka dipastikan pungutan itu liar. Masyarakat dalam hal ini wali peserta didik wajib menolak. Jika sekolah memaksakan, mereka dapat mengadukan. Kaitan dengan pengaduan Kemendikbud telah membuka laporpungli.kemdikbud.go.id. Website tersebut sengaja dibuat untuk menampung pengaduan masyarakat jika menyaksikan pungli di sekolah.
Upaya pemberantasan pungli dalam dunia pendidikan di tanah air kudu dilakukan secara bersama-sama. Masyarakat diminta berperan aktif. Memberantasnya tak bisa mengandalkan pemerintah atau aparat penegak hukum. Sebab, pungli juga terkadang didorong oleh kondisi saling membutuhkan kedua belah pihak. Maka kesadaran semua pihak mesti ada. Semua dari kita selayaknya memilki tekad dan komitmen yang sama dalam memerangi pungli pendidikan.
Keteladanan
          Memang ironis ketika  sekolah melakukan pungli. Sekolah merupakan lembaga pendidikan yang  mencetak, mempersiapkan generasi Indonesia menyongsong masa mendatang.   Di sekolah ditanamkan kejujuran sejak dini. Peserta didik digebleng dengan karakter yang kuat dan akhlak mulia. Tindakan pungli di sekolah akan mencemari proses pendidikan yang berlangsung. Jika para pendidik mengajarkan kejujuran mengapa ada pungli? Ini tak mencerminkan keteladanan.
Keteladanan sangat penting dalam mendidik. Dalam Al Quran Allah SWT mengaskan, “Hai orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan ?” (QS. Al-Shaaf: 2). Ayat ini merupakan peringatan keras. Bahwa pendidikan akan rusak jika tak dibarengi dengan keteladanan yang ditampilkan oleh para pendidik. Mengatakan sesuatu yang tidak dikerjakan sama seperti mencampur madu dan racun, yakni sebuah kontradiktif dalam ruang dan waktu yang sama.
Peserta didik membutuhkan figur-figur sebagai teladan. Karenanya, orang tua, guru, kepala sekolah, para pejabat, juga masyarakat luas sepantasnya menampilkan keteladanan yang baik. Anak-anak kita akan mudah menirukan setiap apa yang dilihatnya. Dan sekarang bangsa kita miskin keteladanan. Para pemimpin negeri ini justru menampilkan prilaku buruk. Mereka melakukan korupsi, menyalahgunakan wewenang, merampas uang rakyat.  Anak didik kita dipaksa menyaksikan berbagai prilaku buruk orang tua, guru, para pemimpin, juga yang lain.
Walhasil, gerakan memberantas segala pungli selayaknya dijadikan sebagai momentum bagi bangsa ini untuk memperbaiki diri. Menampilkan keteladanan di setiap langkah dan tindakan. Pungli di sekolah telah merusak proses pembelajaran dan pendidikan. Sebab itu harus dilawan, diberantas. Jangan pernah memberi ruang dan kesempatan kepada para pemungut pungli. Gerakan bersama dari semua elemen bangsa diharapkan bisa meminimalisir pungli di segala sektor dan lini termasuk dunia pendidikan. Terlebih memberantasnya secara total, itu menjadi harapan kita semua. Wa Allahu Alam.


           

          

Sabtu, 15 Oktober 2016

Siapa bilang Memberantas Pungli Sulit?


            Orang bilang pungutan liar (pungli) itu sudah membudaya dalam masyarakat. Rasanya sulit dihilangkan. Sebenarnya sulit tidaknya bergantung pada tekad, komitmen, dan usaha kita. Tak ada yang mustahil di dunia ini. Apalagi sekadar memberantas pungli. Persoalannya hanya apa ada kemauan atau tidak? Ada tekad bulat atau tidak? Ada komitmen kuat apa tidak? Mau kerja keras apa tidak?
          Belum lama, Kepolisian Ri melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Kementerian Perhubungan terkait pungli. Dalam OTT tersebut Presiden Joko Widodo melakukan tinjauan langsung. Jokowi nampaknya merasa geram mendengar laporan tentang hal itu dari Kapolri Jendral Tito Karnavian. Pasalnya, Presiden Jokowi bersama para menteri baru saja membahas tentang permasalahan pungli yang marak di negeri ini.
          Pemerintah sedang menggodok perlunya satgas Sapu Bersih (Saber) pungli.
Satgas tersebut dibentuk guna menindak tegas para pelaku pungli  di berbagai kementerian/lembaga dan tempat berkaitan dengan pelayanan masyarakat. 
Pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum Tim Saber pungli. Dengan Perpres, Satgas Saber pungli dalam bertindak memiliki legalitas sehingga bisa dipertanggungjawabkan. 
          Menjadi rahasia umum,  pungli terjadi di mana-mana. Tidak sekadar terkait pelayanan publik. Di banyak tempat kita menemukannya. Di persimpangan jalan, seorang berdiri mengatur lalu lalang kendaraan. Mereka pun memungut uang walau recehan dari setiap kendaraan yang lewat. Belum lagi parkir ilegal. Dalam lirik lagu berjudul pungli yang dipopulerkan Benyamin Sueb di era 70 –an disebutkan. Ade yang di kolong meja.  Ade yang di tengah jalan. Ade yang memang sengaja di taruh dalam lipatan. Walhasil gampang ditemukan.
          Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala mengatakan, ada empat praktik pungutan liar (pungli) yang harus segera diatasi. Empat pungli tersebut terjadi pada pelayanan di lembaga pemasyarakatan (lapas), imigrasi, peradilan tilang, dan jasa pembuatan surat izin mengemudi (SIM) di kepolisian. Pungli di empat tempat itu dinilai oleh Ombudsman paling parah.
          Dugaan orang pungli itu hal sepele. Korupsi recehan. Nyatanya tidak demikian. Hasil riset yang dilakukan UGM bekerja sama dengan USAID seperti yang dikutip Asma Nadia sungguh mengagetkan. Angka pungli di Indonesia setiap tahun mencapai 3 triliun rupiah. (http://www.republika.co.id/)
          Pungli sudah mejadi bagian hidup masyarakat Indonesia. Bahkan pungli menjadi lapangan pekerjaan. Saya pernah diberi kartu nama oleh seseorang. Di kartu tersebut tertulis profesinya sebagai biro jasa pembuatan SIM, STNK, KTP, KK dan lainnya. Tujuannya membantu masyarakat. Tapi uang yang diambil dari orang yang mengggunakan jasanya tak lain adalah pungli.  Bisa jadi yang bersangkutan satu dari sekian banyak calo yang berkeliaran di tempat-tempat pelayanan publik.
          Pungli sejatinya warisan dari penjajah. Hindia Belanda kerap melakukan pungutan kepada rakyat. Maklum mereka penjajah. Dalam kamus para penjajah yang ada hanya bagaimana dapat mengeruk keuntungan sebanyak mungkin dari negeri yang dijajahnya. Sayangnya, kebiasaan buruk itu diteruskan oleh aparatur pemerintahan setelah negeri ini dinyatakan merdeka.
          Saya melihat pungli berkembang subur karena ketidakjelasan aturan. Kosongnya aturan disalahgunakan untuk melakukan pungutan liar. Contoh, Pungli di persimpangan jalan pada setiap kendaraan umum. Walau mereka berjasa mengajak penumpang, tetap saja itu adalah pungli. Orang melakukan tersebut karena tidak ada larangan atau aturan. Di tambah lagi dengan lemahnya penegakan hukum.
Memberantas
          Seperti ditegaskan Presiden Jokowi dalam OTT di Kemenhub, pungli kudu dibrantas, dilawan dan dihentikan. Pesan dan ajakan Jokowi tersebut seharusnya didukung dan disambut baik oleh  kita, warga negara. Negara ini sudah terlalu lama keropos dijajah oleh bangsa sendiri melalui pungli. Tekad kuat sang Presiden memberantas pungli tak akan bermakna apa-apa jika tak memperoleh dukungan dari rakyatnya.  Pemerintah dan rakyat harus bersatu melawan segala macam bentuk pungli.
          Dalam memberantas pungli,  menurut hemat saya ada beberapa hal yang wajib dilakukan oleh kita semua. Pertama, persoalan mental. Moral bangsa ini mesti direvolusi. Gagasan revolusi mental oleh Presiden Jokowi sepantasnya tidak hanya selogan belaka, tapi dilakukan. Nilai kejujuran, tanggungjawab, mandiri, kerja keras, dan lainnya kudu tertanam kuat dalam diri bangsa ini.
          Menurut Ganjar Parnowo, Gubernur Jawa tengah memberantas pungli merupakan target utama revolusi mental. Disamping memberantas pungli, menanamkan kejujuran, kerja keras,  tanggung jawab dan nilai-nilai karakter lainnya dilakukan sejak dini. Dunia pendidikan atau sekolah mengemban tanggungjawab untuk itu. Para pendidik diharapkan mampu mencetak anak-anak jujur. Ini menjadi PR berat dunia pendidikan.
          Kedua, mereformasi birokrasi. Kaitan ini,  KemenPAN-RB wajib menjadi komando sekaligus memikul tanggungjawab penuh. KemenPAN-RB kudu tegas pada mereka yang melakukan pungli. Sanksi tegas harus ditegakan. Pemecatan menjadi pilihan tepat guna mendatangkan efek jerah bagi yang lain. Pengawasan ditingkatkan dan dimaksimalkan secara berkeseinambungan. Regulasi yang dinilai menyuburkan budaya pungli dihapus.
          Ketiga, mendukung, mendorong satgas Saber pungli yang akan dibentuk pemerintah dalam menjalankan tugasnya dengan baik. Dukungan semua pihak akan mempermudah, mempercepat kerja satgas dalam memberantas Pungli.
          Keempat, menata regulasi terkait pelayanan publik. Regulasi atau aturan yang ada saat ini tak sedikit yang tumpang tindih, saling berbenturan. Hal ini menyebabkan suburnya pungli. Sebab itu dibutuhkan kajian mendalam secara menyuluruh terkait regulasi mengenai pelayanan publik.
          Keempat, menyediahkan lapangan kerja. Seperti disinggung sebelumnya pungli berkaitan dengan lapangan kerja. Karenanya, sangat bijak disamping  memberatas semua jenis pungli kita juga membuka lapangan kerja yang bisa menampung mereka yang berkecimpung di dunia pungli seperti para calo atau lainnya.
          Akhir kata, saatnya bangsa ini bangkit membebaskan diri dari segala Pungli. Pungli harus diperangi bersama-sama. Pungli layak hilang dari budaya bangsa ini.  Kosa kata pungli kudu dicoret dari kamus bahas Indonesia. Itu semua tidak sulit. Tidak mustahil. Bisa dilakukan. Asal ada kemauan, tekad, dan kerja keras kita semua, bangsa Indonesia.Wa Allahu Alam

Politik Akrobatik Pilgub DKI


          Tak bisa dipungkiri, Pilgub DKI Jakarta adalah pilkada 2017 yang “terseksi”. Terseksi dalam pengertian banyak menarik perhatian publik. Tak hanya di Jakarta, khalayak ramai dalam kurun waktu cukup lama memperbincangkannya. Dari sekian banyak tema, saya ingin melihatnya dari sisi politik. Saya menyebutnya sebagai politik akrobatik.
          Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akrobat diartikan sebagai kemahiran dalam melakukan berbagai ketangkasan (seperti berjalan di atas tali, naik sepeda beroda satu, menerbangkan pesawat udara). Akrobatik dalam wikipedia.org dimaknai  sebagai penampilan luar biasa yang melibatkan keseimbangan, ketangkasan, dan koordinasi motorik. Hal ini dapat ditemukan pada banyak seni pertunjukan, acara olahraga, dan seni bela diri.
          Kenapa politik akrobatik? Sebab saya melihat di Pilkada  DKI Jakarta para politisi menampilkan sikap yang tak lazim. Mereka cepat berubah. Mereka menghalalkan segala cara. Merka saling melempar isu, fitnah. Mereka tak pernah lelah menyerang lawan. Di awal, hampir semua politisi menyerang petahana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sampai pada akhirnya membentuk tiga poros yang dikomanandoi tiga tokoh nasional yakni Megawati Soekarno Putri, Prabowo Subianto dan Susilo Bambang Yudhoyona (SBY).
Politik tak lain adalah cara menggapai kekuasaan. Dalam berpolitik segala hal dapat dimainkan, digunakan. Agama yang sakral sekalipun kerap dijadikan alat politik. Tapi, di Pigub DKI  tidak sekadar itu. Saya melihatnya lebih jauh lagi. Politisi tak sekadar  cepat berubah. Mereka menjilat ludahnya sendiri tanpa malu. Mereka berbalik arah, menikung di tengah jalan. Menyerang kanan-kiri. Kawan jadi lawan, juga sebaliknya. Poiitisi di Pilgub DKI laksana para akrobatik yang memainkan aksi di tengah kerumunan massa. Begitu cepat, lincah gerak mereka. Hampir sepanjang tahun 2016 panggung politik di Jakarta memanas, bergelora dan  membara.
Akrobat politik
          Coba perhatikan aksi akrobatik para politisi di  Pilgub DKI Jakarta. Pertama, Ahok, PDIP dan Teman Ahok. Karir politik Ahok dimulai dari Belitung sebagai Bupati. Ahok sempat kalah dalam Pilgub Bangka Belitung. Gubernur Jakarta itu pernah aktif di Partai Indonesia Baru (PIB). Lompat ke Golkar, Ahok menjadi anggota DPR RI. Tahun 2012 bergabung dengan Gerindra dipasangkan dengan Jokowi memenangkan Pilgub DKI. Kemudian menjadi gubernur setelah Jokowi menjadi Presiden. Dan akhirnya, Ahok pun hengkang dari Gerindara karena berbeda pendapat dengan partai tersebut soal pemilukada.
          Sebagai politisi non partai, Ahok pernah bermaksud maju dalam Pilkada Jakarta lewat jalur independen bersama komunitas relawan, Teman Ahok. Sukses menggalang 1 juta,  Teman Ahok sempat menjauhkan Ahok dari PDIP. Ahok terpaksa berhadapan dengan hampir semua partai politik termasuk PDIP. Konforntasi Ahok bersama Teman Ahok dengan PDIP pun meruncing.
          Akhirnya, Ahok pun mengubah haluan mengurungkan niat menggunakan jalur independen memilih partai. Teman Ahok mengalah, merelakan. Bersama Nasdem, Hanura, Golkar dan PDIP, Ahok didaftarkan sebagai Cagub bersama Djarot Saepul Hidayat dari PDIP.
          Lawan menjadi kawan. Edi Marsudi seteru Ahok di DPRD kini menjadi ketua tim sukses Ahok-Djarot. Ketua DPRD Jakarta yang pernah menuduh Ahok telah melakukan deparpolisasi tersebut sekarang harus memikul tanggungjawab mensukseskannya menjadi Gubernur kembali. Tak hanya Edi Marsudi,  politisi PDIP lain seperti Masinton Pasaribu yang semula menyerang sang petahana kudu tunduk pada keputusan partai, mensukseskan Ahok menuju DKI-1. Demikian juga dengan Teman Ahok. Sekarang mereka bergandengan tangan dengan partai-partai yang sebelumnya dikritisi.
          Kedua, Anis Baswedan, politik santun dan mafia. Anda pasti terkejut menyaksikan Anis Baswedan diusung oleh Gerindra dan PKS sebagai Calon Gubernur bersama Sandiago Uno. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dikenal santun itu sekarang berjuang menuju DKI-1 bersama mereka yang dulu menjadi lawan politiknya di Pilpres 2014.
          Anda pasti ingat, sebagai juru bicara Jokowi-JK bagaimana keras Anis menyerang Probowo. Dalam sebuah kesempatan ia menegaskan kenapa pilihannya jatuh ke Jokowi? Sebab  Jokowi tidak memiliki beban moral. Prabowo dianggap sebagai bagian dari masa lalu yang memiliki sejumlah beban moral. Lebih dari itu, Anis menuduh bahwa Prabowo didukung oleh para mafia karena Capres nomor urut satu itu bagian dari mereka. Sekarang Anis telah berdamai dengan tuduhannya sendiri. Tanpa malu, ia menjilat ludahnya sendiri.
          Sekejap Anis Baswedan dinilai khalayak berubah. Dalam waktu singkat dibalik kata-kata santu Anis meluncur politik kotor. Demi ambisi meraih DKI-1, Anis mengabaikan peran Ahok tentang bersihnya sungai di Jakarta. Ia beragumentasi bahwa gagasan sungai bersih dicetuskan Gubernur sebelumnya, Fauzi Bowo. Anis Baswedan sekarang bersekutu dengan mereka yang dulu dituduhnya sendiri sebagai mafia menjatuhkan Ahok, merebut kursi DKI-1.
          Ketiga, Agus dan SBY. Agus Yudhoyono dicalonkan bersama Sylviana Murni oleh Koalisi Cikeas yang terdiri Partai Demokrat, PPP, PAN, dan PKB. Kehadiran Agus di panggung politik Jakarta mengejutkan banyak pihak. Pasalnya sebelumnya ia merupakan anggota TNI aktif berpangkat infantri. Publik bertanya, kenapa SBY mengorbankan karir anaknya di militer? Bukankah ia prajurit yang cerdas, karirnya juga bagus?
          Pertanyaan di atas bukan tanpa sebab. Pasalnya, SBY pada tahun 2009, saat memberikan pengarahan kepada para perwira lulusan akademi TNI dan Polri yang bakal dilantik mengingatkan agar para prajurit TNI sebaiknya tidak bercita-cita menjadi kepala daerah mulai dari tingkat bupati, walikota, atau gubernur. Seyogianya, cita-cita yang tertanam dalam sanubari para prajurit adalah menjadi jenderal, laksamana, atau marsekal. Nah, Kenapa sekarang SBY mengingkari ucapanya sendiri? Apa ucapan dan nasihatnya hanya berlaku untuk prajurit lain, bukan untuk anaknya?
Tidak haya itu, SBY juga telah mengingkari janjinya pada Yusril Ihza Mahendra guna mengusungnya sebagai Cagub. Mantan Mensegneg yang tak lain pengacara hebat itu hanya bisa gigit jari. SBY seperti halnya Ahok, Anis juga politisi lain. Mereka adalah para politisi ulung yang pandai berakrobatik. Pandai berkata-kata, pandai bersilat lidah.
Pelajaran buat kita
          Kalau politisi berakrobatik mengedepankan kepentingan dan ego diri dan kelompoknya, kenapa kita masyarakat awam ikut-ikutan? Membela mereka mati-matian. Menyerang orang lain yang bersebrangan. Dan sayangnya lagi, jika para politisi kawan-lawan sangat cair kapan saja bisa berubah, kita justru bermusuhan selamanya. Para politisi bisa sangat cepat berpindah haluan sementara rakyat di bawah tetap setia dengan apa yang diyakini. Jadi ironis sekali, jika rakyat bermusuhan karena urusan politik akrobatik Pilgub DKI. Lebih sayang lagi jika masyarakat luar Jakarta yang melakukannya. Apa kepentingan mereka?
          Walhasil, mendukung calon kepala daerah, partai politik, atau caleg itu wajar dan lumrah. Yang tak wajar itu kita bermusuhan karena mempersoalkannya. Bagi mereka (politisi-partai) kawan-lawan sangat cair, kenapa kita membeku dalam pertentangan, permusuhan dan konflik?Wa Allahu Alam


Dimas Kanjeng dan Gaya Hidup Instan


            Dimas Kanjeng ramai dibicarakan. Keberadaannya mampu menghipnotis masyarakat luas. Khalayak terkejut-kejut. Seorang seperti Dimas Kanjeng bisa membohongi ribuan orang dari berbagai kalangan. Bahkan tokoh nasional sekelas Marwah Daud Ibrahim turut jadi korban. Dan anehnya, sebagian mereka tak merasa tertipu. Mereka masih mempercayai yang bersangkutan.
          Seorang pengikut mengatakan, Dimas Kanjeng akan menyelamatkan ekonomi umat. Sebab itu ia berharap aparat hukum melepaskannya dari semua tuntutan. Bahwa untuk kepentingan bangsa dan negara,  Dimas Kanjeng sebaiknya dilepas. Bukan lagi mengasuh padepokan, melainkan direkrut menjadi pegawai pemerintah. Biar pemerintah nggak repot-repot memungut pajak. Cukup menggandakan uang yang sudah ada. Lucu bukan?
          Mungkin sebagian dari kita bertanya, sehebat apa Dimas Kanjeng sampai bisa mencuci otak orang seperti itu. Bagi saya, Dimas Kanjeng hanya penipu biasa. Tak ada yang spesial dalam menjalankan aksinya. Dia (seperti yang lain dalam meninpu) menggunakan simbol-simbol agama dalam memoles aksi. Justru saya melihat faktor gaya hidup instan masyarakat yang akut menjadi persoalan utama dalam kasus ini.
          Gaya hidup instan sering kita saksikan. Seorang artis menjadi terkenal hanya karena mengaku pernah menjadi selingkuhan politisi di Senayan. Tak perlu capek-capek, ia menjadi ngetop. Seorang pegawai (negeri atau swasta) karena tuntutan pekerjaan membeli ijazah tanpa berlama-lama melakoni kuliah. Seoarang petani menjual sawah  untuk berinvestasi pada perusahaan yang menawarkan penghasilan berlipatganda sekadar memotong jalan menjadi kaya. Ia cukup duduk manis di rumah, uang masuk ke rekeningnya setiap bulan.
          Demikian juga bagi mereka yang ingin kaya, kiranya tak perlu lagi repot-repot merintis bisnis dan melakukan ekspansi usaha. Cukup mengikuti ritual, kekayaan diharapkan bisa datang cepat. Untuk tujuan seperti ini Dimas Kanjeng dibutuhkan. Mereka ingin kaya tanpa usaha. Mereka bermimpi memilki uang banyak tanpa harus berkeringat.
          Ya, hidup instan menjadi pilihan banyak orang. Hidup instan menjadi gaya hidup sebagian besar masyarakat kita. Memilih jalan pintas merupakan sesuatu yang lumrah. Tidak salah. Walau untuk itu, hukum diabaikan. Norma agama, sosial dibuang. Ada banyak kisah terkait dengan jalan instan yang diambil oleh sebagian orang. Selain cerita keberhasilan, tak sedikit dari mereka yang menemui kondisi yang berkebalikan dari yang diharapkan.
          Jalan instan sejatinya bertujuan meringkas ruang dan waktu. Fokus pada hasil dan mengabaikan proses. Tapi hidup instan telah menghilangkan nalar kritis dari seseorang. Selain itu, mereka yang telah dirasuki pola pikir instan akan selalu menyederhanakan sesuatu hingga tak lagi memiliki kemampuan dalam menghadapi berbagai masalah. Selain itu kredibilitas dan integritas seseorang riskan tergadaikan.
Kenapa memilh instan?
          Menurut hemat saya, memilih jalan instan disebabkan beberapa hal. Pertama, rendahnya etos kerja. Etos kerja bangsa kita dikenal sangat lemah. Padahal seperti ditegaskan Jansen Sinamao etos kerja adalah kunci dan fondasi keberhasilan suatu masyarakat atau bangsa. Etos juga merupakan salah satu syarat bagi upaya peningkatan kualitas tenaga kerja atau SDM, baik pada level individu, organisasi maupun sosial.
Tidak hanya lemah, etos kerja masyarakat kita dikenal buruk. Dalam buku Manusia Indonesia, Mochtar Lubis (1977) menegaskan etos kerja orang Indonesia adalah (1) Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati; (2) Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam; 
(3) Berjiwa feodal. Gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati dan lebih mementingkan status daripada prestasi;  (4) Percaya takhyul. Gemar hal keramat, mistis dan gaib; (5) Berwatak lemah. Kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif, yaitu (6) Artistik; dekat dengan alam. Dengan melihat keadaan saat ini, ini merupakan kenyataan pahit, yang memang tidak bisa kita pungkiri, dan memang begitu adanya.
Maka, dalam meraih kesuksesan masyarakat lebih memilih jalan pintas. Bagaimana hidup sejahtera tanpa harus usaha. Bagaimana bisa kaya raya tanpa bekerja. Bagaimana bisa banyak uang dengan hanya berpangku tangan. Ini gaya hidup instan, dipilih mengabaikan kerja keras.
Kedua, mengabaikan akal sehat. Dalam logika akal sehat setiap sesuatu memiliki sebab akibat. Setiap sesuatu ada prosesnya. Hujan diawali dengan mendung. Kesuksesan dan keberhasilan diraih dengan kerja keras. Keuntungan diperoleh dengan usaha. Begitu seterusnya. Mengesampingkan sebab (baca:proses) pada dasarnya adalah mengabaikan akal sehat. Dan hidup instan merupakan akibat dikesampingkannya akal sehat.
Ketiga, rapuhnya karakter, mental dan kepribadian. Sikap tanggung jawab, kejujuran, kerja keras dan disiplin menjadi sesuatu yang langka. Rasa percaya diri, tekad bulat telah mengendor dalam diri setiap dari kita. Kesabaran, tahan banting, serta ulet menghilang dari diri kita. Ketika mental, karakter dan kepribadian rapuh, memilih jalan pintas, hidup instan tak terhindarkan.
Sebab itu, pendidikan atau penguatan karakter baik yang dilakukan oleh sekolah, keluarga atau masyarakat luas mutlak dibutuhkan. Revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi tak boleh berhenti di tempat. Harus diteruskan. Sehingga bangsa kita menjadi tangguh dan kuat. Tidak cengeng, terlebih memilih yang serba instan.
Akhir kata, budaya instan dalam segala hal kudu ditinggalkan. Raih kesuksesan dengan kerja keras. Mimpi setinggi langit memang sah. Tapi iringi mimpi itu dengan usaha. Jangan sekadar mimpi. Kemudian duduk manis mengharap bulan jatuh dari langit. Berkhayal jadi orang kaya raya itu boleh. Maka rajinlah bekerja untuk mewujudkan keinginan itu. Wa Allahu Alam