Rabu, 22 Februari 2017

Jadilah Gurunya Manusia


Pendidikan nasional dipandang seperti berjalan di tempat. Tak mengalami kemajuan yang berarti. Pendidikan nasional menghadapi banyak persoalan yang memerlukan penyelesaian secara cepat, tepat dan terukur. Diantara persoalan pendidikan kita yang menonjol antara lain tentang belum meratanya akses pendidikan, rendahnya input dan output pendidikan, intervensi Pemerintah secara berlebihan dengan mengeluarkan kebijakan yang berganti-ganti, kesejahteraan guru honorer yang jauh dari hidup layak, angka putus sekolah yang masih cukup tinggi serta rendahnya kualitas guru atau tenaga pendidik.
Berbagai permasalahan di atas sebaiknya segera diselesaikan. Sehingga mutu dan kualitas pendidikan nasional menjadi membaik. Kita wajib mengejar ketertinggalan dari bangsa lain di sektor pendidikan. Diantara yang perlu disikapi oleh kita semua, terutama Pemerintah adalah tentang mutu dan kualitas guru yang dinilai masih rendah. Pendidikan berkulitas meniscayakan keberadaan guru bermutu tinggi. Sebab guru berada pada garda terdepan dalam mendidik anak bangsa.
Pendidikan nasional disamping membutuhkan guru profesional, berkompetensi tinggi juga butuh gurunya manusia. Yakni guru yang mendidik peserta didik secara manusiawi. Jika dalam kajian Filsafat mendidik itu adalah memanusiakan manusia, maka sepantasnya dilakukan secara manusiawi. Tak mungkin memanusiakan manusia secara tak manusiawi.
Munif Chatib (2011) menjelaskan Gurunya Manusia sebagai guru yang punya keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlash akan berintropeksi diri apabila ada siswa yang tidak memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar sebab mereka sadar, profesi guru tidak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan pengembangan kompetensi.
Gurunya Manusia
Menurut hemat saya, Gurunya Manusia mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakan dirinya dengan guru pada umumnya. Pertama, mengajar dan mendidik dengan kasih sayang. Guru melakukan pekerjaan dan profesinya dengan ikhlash. Mereka mendidik peserta didik dengan sepenuh hati. Gurunya manusia bekerja bukan untuk mengejar materi belaka. Mereka merasa memikul amanat besar mengantarkan anak didik menjadi manusia seutuhnya. Sehingga bagi mereka waktu, pikiran dan tenaga terfokus hanya untuk anak-anak didik. Gurunya manusia menyadari  pentingnya kehadiran mereka dalam kehidupan nyata peserta didik. Karenanya, menjadi teladan dengan memberi contoh yang baik ke anak menjadi kewajiban yang harus diusahakan sekuat tenaga.
Kedua, mendidik secara manusiawi. Seperti disinggung sebelumnya, tak mungkin mendidik manusia dengan mengabaikan prinsip-prinsip kemanuisan. Guru dalam mendidik tak boleh mengabaikannya. Guru diminta bisa menghargai pendapat dan perasaan siswa. Gurunya manusia tak menggunakan kekerasan. Mereka tak memperlakukan peserta didik seperti robot. Tak boleh membentak, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan. Gurunya manusia tak pernah marah.  Mendekati anak dengan pendekatan rasional,  perasaan dan kasih sayang. Mereka senantiasa memberi motivasi tak memerintah secara kaku. Mereka tak hanya bisa melarang dengan kejam tapi memberi pandangan atas mudharatnya sesuatu.
Ketiga, mengajar dengan cara menyenangkan. Konsep ini sebenarnya sudah lama diajarkan. Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara sudah lama menyampaikannya. Bahwa mendidik, mengajar anak didik itu wajib menyenangkan. Untuk itu, materi dikemas secara apik, sisitematis sehingga mudah dipahami. Disampaikan dengan berbagai motode pembelajaran yang tidak menjenuhkan. Kelas didesain secara baik sehingga dapat mendukung jalanya proses belajar mengajar. Lingkungan sekolahpun ditata dengan baik sesuai tujuan pembelajaran. Semuanya menjadi tugas dan tanggung jawab gurunya manusia. Jadikan sekolah anda layaknya sebuah taman. Pasti siswa akan betah, nyaman dan senang.
Keempat, menjelajah kemampuan peserta didik. Guru beperan menggali, mengembangkan pootensi yang dimiliki peserta didik. Gurunya manusia meyakini bahwa bakat, potensi dan kecerdasan manusia itu mejemuk dan beragam. Tak ada siswa yang bodoh. Semua peserta didik berpotensi menjadi juara di bidang yang dikuasainya. Karenanya, tak ada alasan menyalahkan peserta didik. Gurunya manusia senantiasa mengevaluasi terkait apa yang telah disampaikan, metode menyampaikannya serta kesiapan peserta didik. Kemudian bertekad memperbaikinya di waktu mendatang.
Kelima,  memposisikan diri sebagai fasilitator. Fasilitator itu seperti tukang kebun yang tiap hari menyirami tanaman. Siswa ibarat tanaman jika diberi air akan tumbuh dan berkembang. Fasilitator hanya mengarahkan, memandu kegiatan, membimbing peserta didik dalam memahami materi. Tidak menggurui, apalagi menjadi sumber belajar tunggal. Guru yang bukan fasilitator biasanya lehernya sering membengkak karena setiap hari ia berceramah dari kelas ke kelas.  Guru fasilitator meyakini bahwa peserta didik sudah menguasai (walau sedikit) tentang materi yang menjadi bahan ajar. Guru fasilitator hanya membangkitkan semangat dan minat serta memantik pengalaman-pengalaman belajar siswa sebelumnya. Kemudian dikembangkan sesuai yang diinginkan.
Keenam, pembelajar abadi. Belajar bagi gurunya manusia adalah kebutuhan dan tuntutan. Belajar itu sepanjang hidup, tak mengenal usia. Belajar tak boleh berhenti saat menjadi guru misalnya. Justru guru diminta menjadi teladan bagi peserta didiknya dalam menebar semangat belajar. Perkembangan ilmu pengetahuan tekhnologi dan kemajuan informasi yang sangat cepat kudu diimbangi oleh guru. Guru tak boleh tertinggal informasi. Mereka harus dapat mengikuti zaman.
Belakangan, Kemeterian Pendidikan Nasional (Kemendikbud) membangun gerakan guru pembelajar. Ini wajib disambut baik oleh setiap guru di Indonesia. Dengan gerakan guru pembelajar diharapkan menghadirkan guru-guru berualitas yang mampu meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan nasional di masa mendatang.
Akhir kata, saat ini Indonesia membutuhkan gurunya manusia. Yakni mereka yang ikhlas mendidik anak negeri. Menghadirkan kelas-kelas yang menyenangkan. Menciptakan sekolah laksana taman. Ya, guru yang mengajar dengan penuh kasih sayang dalam mengantarkan peserta didik pada potensi terbaik yang dimilikinya. Wa Allahu Alam
Tulisan ini dimuat di Harian Umum Radar Crebon, Senin 20 February 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar