Senin, 13 Februari 2017

Pentingnya Pendidikan Seks Sejak Dini


            Tidak tepat lagi jika membayangkan seks bebas itu hanya ada di negara-negara barat. Itu dulu. Seks bebas, pornografi dan prilaku seks menyimpang telah ada dalam lingkungan terdekat kita sekalipun. Coba perhatikan beberapa data berikut.  Berdasarkan  survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada Oktober 2013 memaparkan bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah .  20% dari 94.270  perempuan yang mengalami hamil di luar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja dan  21%  diantaranya pernah melakukan aborsi. Lalu pada kasus terinfeksi HIV dalam rentang 3 bulan sebanyak 10.203 kasus, 30% penderitanya berusia remaja. Itu tiga tahun yang lalu, sekarang angkanya tentu lebih tinggi lagi.
          Kemudian terkait pornografi, Ketua Gerakan Jangan Bugil Depan Kamera (JBDK) Peri Umar Faruk seperti ditulis Kompas.com, menyebutkan bahwa berdasarkan hasil survei yang dilakukan selama 2010, masyarakat Indonesia berada pada urutan keempat di dunia yang suka membuka internet untuk situs pornografi. Pada tahun 2008 dan 2009, Indonesia berada pada urutan ketiga setelah Vietnam, Kroasia, dan beberapa negara Eropa lainnya. Sekarang masyarakat Indonesia berada di peringkat pertama dalam hal membuka situs pornografi.
          Akibatnya, penderita HIV/aids di Indonesia pun meningkat. Sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1987, jumlah penderita HIV/aids bertambah dari tahun ke tahun. Menurut data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional menunjukan, tahun 1987 jumlah penderita AIDS di Indonesia masih lima kasus. Dalam rentang waktu 10 tahun, hanya bertambah menjadi 44 kasus. Tetapi sejak 2007, kasus AIDS tiba-tiba melonjak menjadi 2.947 kasus dan periode Juni 2009 meningkat hingga delapan kali lipat, menjadi 17.699 kasus. Dari jumlah tersebut, yang meninggal dunia mencapai 3.586 orang. Tahun 2010 jumlah meningkat menjadi 21.591, tahun 2011 menjadi 21.031, tahun 2012 berjumlah 21.511, dan pada tahun 2013 menjadi 29.037. (http://www.kemenpppa.go.id)
          Fakta di atas membuat para orang tua merasa waswas dan takut.  Ancaman menghadang pada anak-anak mereka. Ancaman  berupa seks bebas, penyakit seks, kekerasan seksual serta pornografi nyata ada di depan mata.  Apa cukup sekadar merasa takut? Tentu tidak. Harus ada upaya dan usah nyata dalam membentengi anak dari bahaya ancaman seperti disebutkan. Dan saya melihat pendidikan seks adalah salah satu upaya yang kudu dilakukan. Walau diakui, kaitan dengan hal ini para pakar pendidikan masih berselisih pendapat. Sebab, ada sebagian yang bersikukuh bahwa hal itu tak diperlukan apalagi jika dimasukan dalam kurikulum pendidikan.
Pendidikan Seks
          Dr. A. Nasih Ulwan dalam  (2008) mendefinisikan Pendidikan seks sebagai upaya pengajaran penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seks yang diberikan kepada anak agar ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri, dan perkawinan, sehingga jika anak telah dewasa dan dapat memahami unsur-unsur kehidupan ia telah mengetahui masalah-masalah yang dihalalkan dan diharamkan bahkan mampu menerap kan tingkah laku islami sebagai akhlaq, kebiasaan, dan tidak mengikuti syahwat maupun cara-cara hedonistic. 
Kapan pendidikan seks itu dimulai? Menurut Pakar Pendidikan Indonesia, Munif Chatib dalam sebuah seminar dan peluncuran  buku Menikah Itu Ibadah di Gramedia Cirebon belum lama (12/2), pendidikan seks itu harus dilakukan sejak dini. Penulis buku Gurunya Manusia itu menyebutkan ada tiga pola dalam pendidikan seks. Pertama, memberi informasi yang dibutuhkan secara benar dan tepat. Anak sebaiknya memperoleh informasi dari orang tuannya sendiri prihal seks. Orang tua tak boleh menutup-nutupi. Informasi yang disampaikan disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan anak.  Informasi atau ilmu terkait seks akan menjadi bekal anak dalam berprilaku. Informasi yang diperoleh dari luar beresiko terselewengkan. Dan pastinya, orang tua tak dapat mengontrolnya.
Kedua, menjawab pertanyaan anak tentang seks. Ada sebagian dari kita yang tak mau menjawab pertanyaan anak terkait seks. Alasanya, karena hal itu tabu dibicarakan. Tak pantas membahasnya, apalagi dengan anak. Padahal pertanyaan itu muncul secara alami. Pertanyaan tersebut didorong oleh naluri (baca:fitrah) dan rasa ingin tahu yang ada pada setiap anak. Kalau pun menjawab, orang tua terkesan menghindar dari jawaban sesungguhnya. Saat orang tua tak menjawab dikhawatirkan anak mencari jawaban secara liar. Ini berbahaya. Sebab itu, jadilah teman diskusi bagi anak anda tentang apa saja, termasuk terkait prilaku seks.
          Ketiga, terkait prilaku. Prilaku seks sehat kudu diajarkan ke anak. Selain itu, orang tua diminta memberikan teladan dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Hubungan laki-laki- perempuan antara sesama anggota keluarga wajib  dibangun secara sehat. Keteladanan sangat penting. Anak sebaiknya didik sejak dini bagaimana kehidupan seks secara sehat misalnya dengan memisahkan mereka (laki-perempuan)  saat tidur.
Menyesuaikan Usia
          Ketiga pola di atas dilakukan sesuai perkembangan dan usia anak-anak.  Menyampaikan informasi, menjawab pertanyaan dan mendidik prilaku seks sehat harus mengikuti usia sang anak. Fase anak terbagi menjadi masa anak-anak, masa menjelang baligh, masa remaja  atau masa dewasa.  Di sini, orang tua dituntut  mengerti materi apa yang disampaikan dan kapan menyampaikannya.
          Pada usia anak-anak informasi yang dibutuhkan masih sebatas  nama-nama anggota tubuh beserta fungsinya. Kemudian anggota tubuh yang tak boleh disentuh oleh orang lain. Menjelang baligh, mereka mulai dikenalkan fisik lawan jenis. Diajarkan pengetahuan agama terkait kewajiban menurut aurat misalnya. Dan pada masa remaja mereka sebaiknya sudah mulai mengerti  hal-hal terkait reproduksi.
          Demikian dengan menjawab pertanyaan, orang tua sepantasnya menyesuaikan usia anak. Pada anak kecil berilah jawaban secara global, secara umum. Sedangkan pada mereka yang menjelang baligh berilah jawaban yang lebih rinci. Baru setelah dewasa atau menjadi remaja anak berhak mengetahuinya secara mendetail prihal seksualitas. Saat itu, orang tua sebaiknya menjadi sahabat sejati anak-anaknya. Mereka menjadi tempat curhat, teman diskusi bagi para remaja. Pada usia ini, anak mulai bertanya soal pernikahan, menilai pasangan dan lainnya.
          Pendidikan terkait prilaku juga sama, harus disesuaikan usia anak kita.  Pada masa anak-anak orang tua menamkan rasa malu. Mereka dilatih untuk menutup kamar mandi, berganti pakaian dalam kamar. Untuk keamanan mereka, perlu dilatih berteriak saat anggota tubuh vital seperti kelamin disentuh oleh orang lain apalagi yang tak dikenal. Menjelang dewasa, kamar mereka (laki-perempuan) dipisah. Laki-perempuan tak boleh tidur bersama. Berteman dengan lawan jenis diarahkan pada pergaulan yang sehat. Kemudian saat dewasa, orang tua wajib membatasi pergaulan dengan lawan jenis. Tanamkan bahwa masa remaja sebaiknya digunakan pada hal-hal bermanfaat.
          Akhir kata, pendidikan seks memang penting. Pendidikan seks dilakukan sejak dini. Dalam mendidik seks, orang tua juga guru di sekolah wajib menyesuaikan dengan perkembangan dan usia anak. Sehingga mereka matang sesuai dengan perkembangan dan usianya. Jika hal itu dilakukan, harapanya ancaman dan rasa takut orang tua akan hilang. Dan anak-anak kita menjalani hidup secara sehat. Wa Allahu Alam
Dapat Dibaca di Harian Radar Cirebon, Selasa 14 Februari 2017



Tidak ada komentar:

Posting Komentar