Jumat, 13 Februari 2015

CATATAN BUAT PRESIDEN



Keadaan politik  di negeri kita  sedang kacau. Kekacaun disebabkan tidak atau tepatnya belum dilantiknya Komjen Pol Budi Gunawan sebagai kapolri oleh presiden Jokowi setelah DPR meloloskannya. Presiden saat menjelang keberangkatan ke luar negeri menegaskan akan menyelesaikan masalah itu sepulang kunjungannya ke beberapa negara di ASEAN. Masalah berawal saat KPK menetapkan tersangka pada Komjen Pol. Budi Gunawan sementara yang bersangkutan adalah calon tunggal kapolri yang diusulkan oleh Presiden. Penetapan ini disusul dengan penangkapan wakil ketua KPK, Bambang Wijayanto oleh Bareskrim Polri. Ini menjadi babak baru konflik KPK-POLRI. Polemik berkepanjangan dan meluas tak terkendali. Seluruh pimpinan KPK diadukan ke polisi dengan berbagai kasus. Disusul mangkirnya perwira tinggi atas pemanggilan KPK sebagai saksi untuk kasus Budi Gunawan. Maka kesan konflik POLRI-KPK menjadi nyata dan sulit diartikan lain.Akhirnya bola panas berakhir di tangan sang presiden. Presiden nampaknya berat mengambil keputusan entah karena tekanan atau lainnya. Kemudian lahir team sembilan bertugas memberi masukan ke presiden, walau kehadiran team ini dipermasalahkan banyak kalangan karena dianggap tumpang tindih dengan watimpres. Tetap presiden tak bergeming dari posisinya, permasalahan tak kunjung selesai.
Sebenarnya apa yang terjadi  pada diri presiden? Presiden Jokowi yang terlihat tegas pada kapal-kapal asing yang mencuri ikan di perairan kita kini terkesan ragu-ragu, bahkan takut. Apa yang ditakuti? Siapa yang menakuti-nakuti? Untuk menjawabnya, mari kita menariknya ke belakang. Bahwa pak Jokowi adalah presiden yang berlatar belakang berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya. Ia muncul dari rakyat biasa bermula dari kota Solo sebagai wali kota dua periode yang dicintai rakyatnya. Jokowi bukan ketua  apalagi pendiri partai. Bermodalkan kesederhanaan, kejujuran ditarik oleh PDI-P menjadi gubernur DKI. Dan pada akhirnya PDI-P pun tak kuasa menolak dorongan rakyat untuk mencalonkannya menjadi presiden. Saat pencalonan inilah banyak pihak yang bergabung, menawarkan jasa bahkan bisa jadi finansial untuk mendukung dan menjadikannya presiden. Maka hadirlah berbagai kalangan mulai dari pengusaha, mantan pejabat, purnawirawan dan unsur penting lain di negeri ini. Mereka masuk di lingkaran utama Jokowi. Nah nampaknya kepentingan mereka kini (setelah Jokowi presiden) menjadi beragam, juga bisa saling bertentangan dan tarik menarik. Mereka terbaca oleh rakyat menekan presiden dari berbagai kepentingan. Salah satunya terlihat dalam kasus pencalonan Budi Gunawan ini.
Kepentingan itu mulai bermunculan saat penyusunan kabinet. Kabinet yang dijanjikan ramping tak terbukti. Kabinet gemuk ala presiden-presiden sebelumnya ditafsirkan oleh khalayak sebagai pemenuhan dan akomodasi atas berbagai kepentingan baik dari partai politik pengusung, maupun lainnya. Koalisi tanpa transaksi terlihat bias, dan mirip dengan koalisi-koalisi sebelumnya. Di sisi lain rangkap jabatan yang semula ingin dihindari di dalam kabinet tak sepenuhnya terwujud karena sampai hari ini mbak Puan Maharani, menko pengembangan manusia dan kebudayaan  tetap merangkap sebagai ketua DPP PDI-P. Jokowi seperti menabrak batu karang yang kokoh saat berhadapan putri Megawati itu.
Ibarat gunung es kasus Budi Gunawan yang menyeret konflik KPK-POLRI menjadi konflik nyata internal istana. Dan ironisnya KPK yang harus menjadi taruhan. Lembaga anti ruswah yang terlanjur menjadi harapan rakyat dalam pemberantasan korupsi itu kini harus siap diserang dari berbagai arah. Pertama, PDI-P yang notaben pengusung Jokowi melancarkan serangan ke ketua KPK sejak calon kapolri BG yang disinyalir orang dekat Megawati ditetapkan sebagai tersangka. Penyerangan cukup brutal diperlihatkan Hasto Kristianto, Plt Sekjen PDI-P sampai rela buka-bukaan aib partai saat proses pemilihan calon wakil presiden. Serangan di arahkan ke Abraham Samad, ketua KPK yang dituduhnya berambisi menjadi calon wakil presiden mendampingi Jokowi.  Publik sebenarnya bertanya  siapa yang menggandang-gandang Abraham Samad? Bukankah PDI-P sendiri? Kedua, Polri kita. Entah karena kebetulan (tapi di dunia ini tidak  ada yang kebetulan) pengaduan pidana dari masyarakat berdatangan di Bareskrim dan diproses cepat (tidak seperti biasanya) yang mengadukan para pemimpin KPK. Ini memunculkan keraguan dan kecurigaan masyarakat luas. Dugaan kriminalisasi terhadap pimpinan KPK tak terbantahkan. Puncaknya penangkapan Bambang Wijayanto oleh Breskrim polri.
Sekarang rakyat menanti sikap presiden. Langka apa yang akan diambli? Team sembilan melalui ketuanya, Syafii Maarif mengisyaratkan bahwa persiden tak akan melantik BG. Bahkan Syafiia Maarif menyampaikannya secara terbuka ke publik. Harapan kita semua persdiden bisa mengambil keputusan tegas secepatnya, memilih calon kapolri yang bersih dan mengembalikan POLRI dan KPK berwibawa. Pak presiden harus mendengar panggilan nurani rakyat. Pak presiden jangan hanya menjadi petugas partai seperti yang sering diucapkan Puan Maharani, tapi menjadi abdi negara dan rakyat. Ditunggu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar