Minggu, 01 Maret 2015

MENGHADAPI SANG RAJA



Saya seringkali merasa gelisah menjelang sore, pasalnya setelah shalat magrib saya berhadapan dengan anak yang kedua, Gifa panggilannya. Nama lengkapnya sih Muhamad Algifary. Anak saya yang satu ini cukup menguji kesabaran setiap kali diajak belajar. Seketika menjadi lemas, suaranya menghilang. Berbagai jurus pun dimainkan agar gak jadi belajar. Apalagi kalau acara televisi lagi seru-serunya. Dan susahnya lagi jam-jam segitu di sebuah stasiun ditayangkan tayangan yang ia sukai sebut saja serial upin-ipin, Adit Sopo Jarwo, Alfa,,Wah menjadi lengkap ujian kesabaran buat seorang ayah seperti saya.
          Menghadapi anak-anak memang kita harus banyak mengalah dan harus bisa memahami kemauan mereka. Kalau menurut pak Munif Chatib dalam bukunya Orang Tuanya Manusia anak usia 0-7 tahun itu harus kita perlakukan seperti RAJA. Raja di dunia bermain. Kita orang tua harus mampu menjadi abdi yang baik baginya. Segala keinginanya harus kita ikuti, tentu dimbangi dengan kewaspadaan kita  tatkala keinginanya membahayakan. Bila kita mampu memperlakukan anak-anak  bak RAJA yang menguasai kerajaan bermain maka akan berdampak baik bagi perkembangan psikologis mereka. Maka saat itu akan muncul berbagai potensi dan bakat.
          Saat mengabdi kepada raja tentu harus memiliki kesabaran yang cukup. Apalagi sang raja keci, pasti banyak perintah dan keinginan yang aneh-aneh. Maklum mereka anak-anak. Di sini sebagai orang tua saya diuji oleh raja kecil saya, Gifa. Kadang saya gak tahan juga mengahdapinya di meja belajar sehingga melemparkan tanggung jawab ke mamanya. Jadilah saling lempar diantara kita. Si Gifa hanya terbengong menyaksikan abdi-abdinya saling melempar tanggung jawab.
          Anak saya Gifa ini usianya baru 5 tahunan, ia duduk di TK kelas O kecil. Setiap pagi mamanya mengantar dan menungguhinya di sekolah. Di sekolah Gifa termasuk anak yang tidak terlalu aktif, ia cenderung pendiam dibanding teman-teman sekelasnya. Bahkan mamanya sempat merisaukan hal tersebut. Mamanya bercerita selama belajar Gifa tak beranjak dari tempat duduknya. Maklum seorang ibu begitu melihat anaknya beda dengan lainnya kekhawatiran muncul. Pikirnya ada yang berbeda dari anaknya. Tapi walau pun pendiam dan cenderung pasif, si Gifa kerap kali angkat tangan saat sang guru menanyakan sesuatu. Ya, walau kadang gak nyambung juga apa yang ditanyakan dengan jawaban. Dari situ mamanya mengerti bahwa anaknya berani, tidak pemalu menunjukkan kemampuan walau ia pendiam.
          Di TK ternyata anak-anak kita sudah diajarkan banyak pelajaran. Dalam jadwal pelajaran yang oleh mamanya ditempel di daun lemari saya melihat mata pelajaran mengaji, membaca, berhitung, menggambar, bernyanyi, menulis hijaiyah, menulis abjad, doa-doa. Banyak juga, untuk seukuran Gifa. Saya tidak tahu persis di sekolahnya, pembelajarannya menyenangkan apa tidak? Ukuran menyenangkan untuk anak-anak adalah bermain. Artinya kalau proses belajar mengajar dilakukan dengan mengikutsertakan permainan, maka tentu akan menyenangkan. Tapi bila tidak, bisa jadi sekolah menjadi tempat yang membosankan bahkan bisa jadi menakutkan.
          Sudah menjadi rahasia umum, pelajaran-pelajaran di sistem pendidikan kita memang dianggap oleh para pakar pendidikan modern  terlalu banyak sehingga tidak jelas fokusnya di setiap jenjang pendidikan. Pada kurikulum 2013 telah disederhanakan  walau menurut saya masih cukup banyak. Tapi harus diakui lebih sedikit dibanding KTSP. Kurtilas nampaknya masih perlu perbaikan dan uji coba lebih jauh sehingga menteri Anis Baswedan menghentikan pemberlakuannya sementara bagi sekolah yang baru melaksanakan satu semester.
          Muatan pelajaran yang banyak seperti itu yang menyebabkan raja kecil saya sering berpola saat belajar di rumah. Biasanya yang paling berat membimbingnya belajar saat materi mengaji. Buku yang digunakan IQRO. Buku tersebut umum digunakan untuk belajar mengaji di nusantara. Sebenarnya buku yang ditulis oleh KH. As’ad Human tersebut cukup sistematis. Buku enam jilid itu  sebelumnya sudah diuji cobakan di kalangan terbatas di Yogyakarta. Hanya persoalannya menurut saya adalah prihal waktu. Tegasnya, anak seusia Gifa (0-7 tahun) belum saatnya mempelajarinya. Tapi bagaimana lagi,,,semua TK memberlakukan hal yang sama pada anak didiknya. Saya ingat ketika kecil, saya belajar mengaji itu  di usia SD  berkisar 7-10 tahun. Hemat saya ini sedikit dipaksakan. Tidak heran  bila si raja kecil saya keberatan mengikutinya. Dan pengalaman seperti ini tidak hanya pada Gifa. Mamanya bercerita, saat menunggu jam mengaji itu banyak orang tua (wali murid) yang mengeluhkan hal yang sama. Bahkan bagi anak yang malamnya tidak sempat belajar di rumah orang tuanya mengajarinya saat jam istirahat. Dan tidak sedikit juga diantara mereka yang marah-marah, tentu karena tidak sabar membimbing anaknya yang agak telat mengikuti,,LOLA alias loading lama.
          Disamping itu, menghafal juga menyulitkan. Di sekolahnya, Gifa diajarkan menghafal surat-surat pendek, doa-doa, berhitung sampai sepuluh dengan bahasa Arab serta Inggris. Banyak juga materinya. Tak mudah bagi anak bisa mengikutinya. Demikian juga membaca. Saya tidak berpikiran bahwa itu semua tidak baik buat anak didik kita. Tapi sekali lagi saya tegaskan, materi dan usia anak didik kita yang tidak pas. Nampaknya ke depan para praktisi, pakar, pendidikan dan pemerintah harus mendaur ulang kurikulum di TK agar sesuai dengan masa perkembangan anak.
          Ada satu materi yang terlihat berbeda saat Gifa belajar. Dia terlihat senang mengikuti bimbingan saya. Yaitu saat mewarnai atau menggambar. Biasanya saya menggambar terlebih dahulu kemudian dia mewarnai atau meggunakan buku mewarnai. Berbagai gambar telah tersedia. Anak langsung bisa mewarnai. Saya hanya menunjukkan dan menentukan warnanya. Sebab anak belum bisa menentukan warna sesuatu. Dan bila selesai dengan gembira ia menunjukkan kepada saya. Ekspresi wajah seperti ini tak saya jumpai saat selesai belajar mengaji atau menghafal. Entah kenapa? Analisa sementara saya karena materi cocok dengan usianya. Terlalu dini juga kalau menyebut itu bakatnya. Karena bakat tidak hanya ditandai  dengan senang mengerjakannya. Tapi masih banyak ciri bakat lainnya seperti mencari jalan keluar saat dibendung, menghasilkan karya spesial dan lainnya. Disamping cocok dengan perkembangan, juga karena menggambar atau mewarnai satu-satunya materi yang paling mudah diikuti dibanding materi-materi lainnya.
          Setiap hari Jumat, Gifa dan teman-temanya berolahraga. Kadang senam, joget, sering juga jalan kaki ke tempat yang tidak terlalu jauh dari sekolah. Jumat ini hari yang ditunggu-tunggu, disenangi.  Alasanya, bisa dengan cepat saya pelajari. Karena, baik senam atau lainnya dilakukan di luar kelas. Memang kelas kadang seperti penjara yang menakutkan apalagi bila gurunya mengelolanya dengan pendekatan ala tempo dulu yang tidak ada unsur bermain, tidak ada kerja kelompok, tidak tersedia sudut ekspresi, dan masih banyak lagi.
          Melihat ini semua, saya harus merumuskan strategi untuk menghadapi dan membimbing si raja kecil dalam belajar. Saya tak boleh memaksanya saat dia membaikot, mogok belajar. Saya harus memaklumi belajar di sekolah saja bisa jadi sudah membuatnya kehilangan banyak waktu bermain. Belum kesulitan materi yang disampaikan, jelas akan memberatkan pikiran. Dalam belajar pun saya seringkali menyelipkan hiburan seperti memutarkannya lagu-lagu yang dia sukai sambil belajar. Kadang belajar di depan televisi. Walhasil kita mengimbangi semua keinginannya dengan belajar. Nah, alhamdulillah keadaan belajarnya sedikit lebih ceria. Wa Allahu ‘alam



         
         

         
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar