Sabtu, 18 April 2015

Diksi Terpopuler “Petugas Partai”



Dalam kamus bahasa Indonesia, diksi diartikan pilihan kata yang tepat sesuai dengan struktur kalimat. Diksi merupakan istilah yang digunakan oleh seseorang baik dalam bahasa tulisan maupun bahasa lisan.  Akhir-akhir ini diksi yang sangat populer bagi kita semua adalah “Petugas Partai”. Sebuah ungkapan kata yang menjadi perbincangan nasional, yang telah mendapat perhatian dari berbagai kalangan.  Dari petinggi negeri, politisi, akdemisi, sampai rakyat biasa di sudut-sudut kehidupan, mereka sedang disibukan mengotak-atik, berdiskusi bahkan berdebat seputar “petugas partai”. Mereka mencari makna, sampai filosofi diksi itu.
          Kenapa “Petugas Partai” cepat populer? Paling tidak berikut beberapa alasan yang bisa saya sebutkan. Pertama, karena kalimat itu disampaikan orang tersohor di negara ini. Siapa lagi kalau bukan Megawati Sukarno Putri. Mantan presiden yang satu ini dikenal pendiam, berbeda dengan politisi lainnya yang gemar mengumbar statemen di media baik cetak maupun elektronik. Seorang yang pendiam pembicaraanya lebih disimak dan didengar. Terlebih Megawati adalah ketua umum PDI-P yang sangat disegani oleh keluarga besar PDI-P bukan sekedar karena kepimimpinanya di partai tetapi lebih dari itu karena kedudukannya sebagai putri Bung Karno. Dan ini yang sering ditonjolkan oleh oleh PDI-P. Ketokohan Bung Karno menjadi icon dan simbol partai. Dan pada akhirnya ketokohan Megawati pun sangat dominan mewarnai setiap garis kebijakan partai. PDI-P sama dengan Megawati. Megawati sama dengan Bung Karno. Demikian kesimpulan cepatnya. Walaupun kesimpulan seperti itu tidak sepenuhnya benar.
          “Petugas Partai” menjadi sangat populer sejak istilah itu berulang-ulang disebut oleh Megawati dalam pidato penutupan kongres PDI-P di Bali beberapa waktu lalu walau sebelumnya sudah sering diungkapkan oleh Puan Maharani saat menyebut posisi Pak Jokowi. Sontak masyarakat luas merespon ungkapan Bu Mega itu secara beragam. Pro kontra mewarnai perdebatan publik. Ungkapan “Petugas Partai” yang menurut sekjen PDI-P Hasto Kristianto sebagai diksi yang dipilih Bu Mega untuk internal partai itu menjadi konsumsi khalayak. Maklum, karena pidato itu disiarkan secara langsung oleh beberapa TV nasional.
Kedua, karena seperti dipahami oleh khalayak bahwa “Petugas Partai” yang dimaksud adalah presiden Jokowi. Dan saat “petugas partai” diulang-ulang oleh   Bu Mega, Pak Jokowi duduk di barisan depan berhadapan langsung. Ini peristiwa yang tidak biasa. Seorang presiden yang notabenya kepala negara dan kepala pemerintah disebut sebagai petugas partai secara langsung oleh seorang warga negara biasa. Tentu ini menyulut kemarahan sebagian rakyat. Tak pantas seorang warga negara (siapapun dia) berucap seperti itu di hadapan orang nomor satu di negeri ini. Karena “petugas partai” saat disandangkan kepada Jokowi itu sama saja telah mereduksi kewenangan, tugas, kedudukan, bahkan kehormatan  seorang presiden.
          Ketiga, “petugas partai” cepat populer tak lepas dari hiruk pikuk pilpres lalu. Presiden Jokowi dituduh oleh lawan-lawanya sebagai “capres boneka”. Waktu itu PDI-P dan partai pengusung lainnya serta relawan setengah mati menolak dan membuktikan ke pemilih bahwa Jokowi bukan bonekanya Megawati. Tapi aneh, sekarang justru bu Mega sendiri yang meresmikan “presiden boneka” seperti yang dituduhkan lawan-lawan politiknya. Bukankah “Petugas Partai” itu berarti presiden seperti boneka?
“Petugas Partai” atau ”Presiden Boneka”
         Baik “Petugas Partai” maupun “Presiden Boneka” sebenarnya sama-sama berkonotasi negatif. Petugas itu berarti orang suruhan yang ditugasi melakukan suatu pekerjaan. Petugas pasti memiliki atasan atau BOS. Atasan atau bos memiliki kedudukan yang lebih dari orang yang ditugasi (petugas). Petugas partai berarti orang yang diberi tugas tertentu oleh partai. Dalam partai, kewenangan tertinggi berada di tangan ketua umum. Petugas partai bisa diartikan negatif sebagai jongosnya ketua partai. Waduh,,ini lebih ngerih mendengarnya. Apa pengertian seperti ini yang dimaksud oleh Bu Mega dan PDI-P? Semoga tidak.
          Sama halnya dengan “Presiden Boneka”, boneka itu adalah mainan anak-anak, yang jelas tidak bisa apa-apa. Boneka ibarat robot yang dikendalikan oleh operatornya. Boneka hanya bisa menghibur pemiliknya dan menemaninya tidur. Bagimana kalau boneka itu adalah seorang presiden? Tentu kacau balau negara. Bagaiman tidak? Presidenya tidak bisa apa-apa, hanya menjalankan intruksi atau menunggu perintah dari seseorang. Tentu PDI-P dan Bu Mega juga tidak setuju bila Jokowi disebut “Presiden Boneka”. Tapi kenapa mereka mau menjadikannya sebatas petugas partai yang harus taat terhadap semua intruksi partai? Tak boleh membantah. Bila berani membantah keluar dari partai, demikian tegas Megawati. Dalam konteks ini Megawati terlihat sangat arogan pada Jokowi seakan dialah yang menjadikan Jokowi sebagai presiden. Bu Mega lupa bahwa presiden itu dipilih langsung oleh rakyat. Kalau rakyat menghendaki bisa saja Jokowi menjadi presiden tanpa dukungan PDI-P pun, toh saat itu sudah banyak partai yang menggadang-gadangnya sebagai capres.
          Kaitan dengan “Petugas Partai” pak Jokowi sendiri tidak mau ambil pusing. Beliau tidak pernah menanggapinya secara khusus mengenai hal itu. Jokowi tetap berjalan sesuai keyakinan dan pendiriannya. Sebenarnya sebagai seorang presiden bisa saja beliau melawan, atau sekedar klarifikasi terhadap isu petugas partai itu. Namun nampaknya beliau lebih memilih menjawab dengan fakta misalnya dengan melantik Badrudin Haiti sebagai kapolri mengesampingkan Budi Gunawan usulan PDI-P. Tapi itu tidak cukup pak presiden. Karena masih banyak hal yang memerlukan ketegasan dari bapak sebagai presiden yang independen dan mandiri bukan boneka siapapun. Bukan begitu pak presiden?
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar