Senin, 20 April 2015

UN, UJI NYALI



Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, UN sekarang tidak lagi menjadi penentu satu-satunya kelulusan siswa. UN hanya menjadi bagian penting kelulusan bersama faktor lainnya. Kelulusan akan ditentukan oleh sekolah masing-masing. Tapi kenapa masih ada juga kebocoran soal? Diberitakan ada kebocoran soal saat pelaksanaan UN tingkat SLTA-MA. Kebocoran soal di duga terjadi di dua propinsi Aceh dan Yogyakarta. Ada sekitar 30 paket soal yang terbocorkan kunci jawabanya. Diduga pihak percetakan yang membocorkanya. Kasus ini pun sudah di tangan kepolisian.( http://news.okezone.com/read/2015/04/17/65/1135727/ujian-nasional-di-aceh-yogyakarta-berpotensi-diulang )
Orang itu akan melanggar hukum, etika, adat istiadat, bahkan agama biasanya saat terdesak atau saat ada kepentingan yang berkaitan dengan dirinya. Kalau dulu ada banyak kecurangan yang dilakukan siswa, pihak sekolah, sampai pemda agak lumrah (walau tetap salah) karena bisa jadi karena terdesak takut tidak lulus, takut nama baik sekolahnya tercoreng, gengsi bila daerahnya angka kelulusanya rendah. Nah, kalau sekarang dorongan itu sudah tidak. Lantas apa motifnya?
Untuk menemukan motif dibalik kebocoran soal, mari kita mengkaji motivasi siswa-siswa kita dalam belajar. Motivasi menurut Mc. Donald, yang dikutip Oemar Hamalik (2003:158) adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Sedang motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak baik dari dalam diri maupun dari luar siswa (dengan menciptakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu) yang menjamin kelangsungan dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai. (http://belajarpsikologi.com/pengertian-motivasi-belajar/) Nah, sekarang bagaimana dengan motivasi belajar siswa-siswa kita? Secara umum motivasi siswa-siswi kita berorentasi pada nilai (value oriented). Nilia  menjadi target bahkan tujuan dalam belajar. Motivasi itu menguat dalam diri siswa karena dorongan lingkungan mereka mulai lembaga sekolah sampai keluarga. Kenapa? Karena ternyata guru-guru atau sekolah-sekolah kita juga dalam menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran berotrientasi pada nilai juga. Demikian pula orang tua kita, hal pertama yang ditanyakan pada anak-anaknya adalah nilai. Nilai menjadi target mereka yang terpenting. Ranking menjadi hal yang sangat ditunggu saat melihat rapot anaknya. Saat dalam buku rapot tidak tersedia kolom ranking, mereka memaksa guru untuk membuat ranking. Untuk tujuan itu orang tua siap mengeluarkan uang untuk biaya les atau paket-paket kursus anaknya. Walhasil nilai menjadi tujuan belajar anak-anak kita sekarang. Motivasi dan tujuan belajar seperti diatas hanya menghasilkan siswa yang materealis yang megukur segala dengan angka, menciptakan  generasi yang hanya pandai tapi tak bisa berbuat apa-apa, genius tapi tak mampu menyelesaikan masalah.
Menurut Munif Chatib, penulis buku sekolahnya manusia  siswa itu dalam belajar, sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan, orang tua dalam membekali pendidikan anak-anaknya seharusnya berorientasi pada:1.Untuk tahu cara memenuhi kebutuhan hidup mereka, 2. Untuk bisa menyelesaikan berbagai masalah yang akan dihadapi 3. Mengarah kepada tujuan profesi sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki.  Saya menambahkan satu lagi bahwa pembelajaran harus bercorak penanaman karakter atau akhlak mulia dalam bahasa agama. Ini penting, agar siswa tidak hanya dibekali ilmu (knowledg) dan skil atau ketrampilan. Tapi ditanamkan juga karakter yang kuat.
Kementerian Pendidikan Nasional (2011) menyebutkan 18 karakter dalam pendidikan karakter. Salah satu karakter itu adalah kejujuran. Menanamkan kejujuran memang lumayan sulit. Pengalaman saya menjadi guru, susah sekali anak-anak untuk jujur terutama saat mereka mengerjakan soal atau tugas dalam KBM. Mereka terbiasa melihat buku, mencontoh pekerjaan teman. Saya seringkali memberikan motivasi untuk tujuan itu. Saya sering mengatakan bahwa percuma nilai tinggi bila diperoleh dengan mencontek. Lebih baik nilai jeblok asal jujur, mengerjakan sendiri. Kesulitan penaman kejujuran tersebut menurut pengamatan saya  karena value oriented  (orientasi hanya ke nilai semata) sudah tertanam kuat pada diri anak. Sehingga anak mengejar nilai dengan cara apapun termasuk dengan menipu diri sendiri, mengabaikan kejujuran.
 Untuk itu, kedepan tidak ada cara lain dalam menanamkan karakter  anak kita selain terlebih dulu mencabut paradigma yang sudah mengakar itu. Oreintasi kepada nilai harus dihilangkan dari dunuia pendidikan kita. Bila perlu penilaian dengan angka normatif ditiadakan. Ke depan kita barangkali hanya cukup memberi nilai dengan kualitas seperti Baik, Sedang, Kurang tanpa menyebut berapa kuantitatifnya.
UN, Uji Nyali
          Tanggal 4-6 Mei mendatang giliran SMP-MTs yang akan di-UN-kan. Ini tantangan buat kita semua baik lembaga sekolah, orang tua, pemerintah terutama siswa. Ini mirip seperti uji nyali. Mampukah kita jujur? Toh, seperti disebutkan sebelumnya UN tidak berpengaruh besar seperti sebelumnya. UN hanya untuk 1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan  2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya dan 3)pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tidak lebih dari itu. Tidak seram lagi seperti dulu. Dan saya yakin tidak menghantui anak-anak kita lagi. Bagaimana sanggup menerima tanntangan ini?
          Semestinya kita semua sanggup dan saya yakin bisa. Apalagi  sebagai bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang memiliki karakter tinggi dan kuat. Itu sudah ditampilkan oleh pendahulu kita ke pentas dunia. Kita harus belajar dari bung Karno, bung Hatta dan masih banyak tokoh besar yang kita miliki. Mereka memiliki karakter kuat sehingga mampu berperan membawa nama baik bangsa di kanca internasional.
          Melakukan perubahan memang tidak mudah, membutuhkan usaha keras dan kerja nyata serta komitmen tinggi. Revolusi mental yang digagas pak Jokowi (2014) mungkin harus dimulai dari sini, dari kejujuran pelaksanaan UN, atau lebih luas dari dunia pendidikan kita. Dalam tulisan yang monumental, dimuat di Kompas 10 Mei 2014, Jokowi prihatin dengan kondisi bangsa kita pasca reformasi yang belum mampu mereformasi mentalitas dan karakter kita semua. Mental dan karakter bangsa kita tidak membaik bahkan cenderung memburuk. Jokowi menyebut 8 hal, dimana mentalitas bangsa kita merosot. Apa saja? Jokowi menyebut korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat rakus, ingin menang sendiri, ingin kaya secara instan, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Delapan tersebut menurut pengamatan saya bersumber pada rendahnya karakter bangsa kita. Rendahnya karakter bisa diperbaiki melalui pendididikan. Disini relevansinya. Nah, bagaimana? Siapkah nyali kita diuji di ujian nasional nanti?





                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar