Rabu, 08 Juni 2016

Menggali Nilai Edukatif Puasa


          Secara umum, puasa didefinisikan oleh ulama Fiqhi sebagai menahan diri dari semua hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Kewajiban puasa berdasarkan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa seperti telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Q.S Al Baqarah:183)
          Tujuan akhir puasa seperti tersurat dalam ayat di atas adalah membentuk manusia yang  bertakwa. Takwa menjadi tujuan utama dalam berpuasa. Tujuan puasa tersebut  merupakan bagian dari  tujuan pendidikan nasional. Dalam pendidikan nasional, takwa menjadi salah satu tujuan yang ingin dibentuk dalam proses belajar mengajar di sekolah. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003   tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan, tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
          Menurut berbagai literatur Islam, takwa diartikan sebagai usaha sungguh-sungguh  dalam melaksanakan, menaati  semua perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya. Manusia bertakwa adalah contoh manusia sempurna, insan kamil. Dalam kajian filsafat pendidikan, insan kamil  atau manusia sempurna merupakan tujuan akhir pendidikan. Sebab, pendidikan senyatanya adalah upaya atau proses memanusiakan manusia.
          Selama satu bulan, kita umat Islam mengikuti pendidikan dan latihan berdasarkan kurikulum dari Allah SWT melalui ibadah puasa. Karena itu, bulan puasa disebut juga sebagai madrasah ruhaniyah yaitu sekolah pengembangan spritual. Dalam berpuasa, Allah SWT mendidik, melatih kita semua agar menjadi manusia bertakwa.
          Menurut Imam al Gazali, puasa itu terdiri dari tiga tingkatan atau kelas. Tingkatan atau kelas tersebut akan menentukan hasil berpuasa setiap dari kita. Kelas terendah disebut shaumul awam, puasanya masyarakat umum (orang awam). Mereka hanya menahan lapar dan dahaga. Mereka hanya tidak makan dan tidak minum pada siang hari. Mereka menggantinya makan sepuas-puasnya di malam hari. Orang awam hanya memindahkan jam makan-minum.
          Kelas menengah disebut oleh al Gazali sebagai shaumul khoash, puasanya orang pilihan. Mereka tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tidak makan dan tidak minum selama siang hari. Selain itu, mereka berusaha meninggalkan segala perbuatan dosa. Tangan, kaki, mulut, mata, telinga serta seluruh anggota tubuh diupayakan tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Ini merupakan arti  imsak, menahan diri dalam ibadah puasa.
          Kelas tinggi dalam istilah al Gazali disebut shaumul khoashul khoash, puasanya orang super pilihan. Mereka tidak saja menahan lapar dan dahaga. Tidak sebatas menahan anggota tubuh untuk tidak bermaksiat. Lebih dari itu, mereka menjaga hati, perasaan, pikiran dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Mereka menjaga hati dari hasud, iri, prasangka buruk, riya’, dengki dan penyakit hati lainnya.
Nilai Edukatif
Dalam kewajiban puasa terkandung banyak nilai. Diantaranya adalah nilai edukatif. Yakni nilai-nilai yang ada dalan kewajiban berpuasa yang bersifat mendidik.  Nilai-nilai itu, pertama, kedisiplinan. Puasa melatih hidup disiplin. Penerapan disiplin dalam puasa tercermin dalam pengaturan pola makan selama berpuasa. Puasa mengajarkan ketepatan dan keteraturan waktu. Baik imsak maupun takjil memiliki pelajaran penting bila diamati dan dihayati lebih jauh. Imsak artinya saat mulai menahan diri dari makan dan minum. Kita tak boleh melanggar sedikit pun. Bila dilanggar puasa akan batal. Saat imsak tiba makan minum harus berhenti. Demikian juga takjil. Takjil adalah menyegerakan berbuka saat datang waktu maghrib.
Baik imsak ataupun takjil melatih orang tepat waktu. Waktu merupakan sesuatu yang penting dalam hidup seseorang. Waktu seyogyanya mendapat perhatian khusus. Menjadi aneh, jika dalam Ramadhan hidup kita  tidak teratur. Tidur larut malam. Bangun menjadi kesiangan. Bahkan sebagian dari kita menghabiskan siang hari  untuk tidur saja. Juga malas bekerja.
Kedua, kejujuran. Dalam berpuasa, kejujuran seorang muslim diuji. Ia dapat  mengaku berpuasa kepada siapa saja walau sesungguhnya tidak berpuasa. Karena hanya Allah SWT yang mengetahui apakah berpuasa atau tidak. Kapan pun, dimana pun seorang bisa berdusta terkait puasanya.  Hal ini menjadi latihan kejujuran yang nyata. Dalam kehidupan sosial masyarakat Islam, kejujuran   tentang hal itu akan teruji sepanjang bulan Ramadhan.
Ketiga, merangsang rasa simpati dan empati. Smpati merupakan proses ketika seorang merasa tertarik kepada orang lain. Merasakan apa yang dirasakan, dialami, diderita oleh orang tersebut.  Sedangkan empati adalah respons afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
Berpuasa dengan menahan lapar dan dahaga sepanjang hari selama satu bulan melatih pribadi muslim untuk senantiasa peduli dengan penderitaan sesama manusia. Puasa menghadirkan kepedulian sosial. Puasa mengasa ketajaman jiwa sosial seseorang. Dengan puasa diharapkan jiwa sosial kita lebih tajam. Sehingga kita menjadi lebih responsif terhadap apa yang menimpa orang lain.
Keempat, hidup sederhana. Berpuasa makan hanya dua kali yaitu ketika sahur dan berbuka. Berbeda dengan hari biasanya, berpuasa mendidik  hidup lebih hemat dan sederhana. Berpuasa itu sejatinya bukan memindahkan waktu makan dari siang ke malam hari.  Harusnya, selama berpuasa pengeluaran kebutuhan sehari-hari lebih sedikit. 
Tapi, faktanya bulan puasa adalah bulan termahal dalam hitungan keuangan keluarga masyarakat Indonesia. Ini tak selaras dengan semangat latihan hidup hemat nan  sederhana dalam kewajiban berpuasa. Biaya hidup di bulan suci ini lebih besar. Kenapa? Karena ternyata dalam berpuasa konsumsi kita dalam segala hal justru meningkat. Tak heran, harga sembako juga lainnya mengalami kenaikan tajam sebab tingginya permintaan.
Kelima, mendidik sabar. Betapapun rasa haus mencekik tenggorokkan dan lapar melilit perut, ketika waktu  magrib belum tiba, kita tidak diperbolehkan bersentuhan dengan makan dan minuman. Meskipun itu halal,  kita  harus bersabar menunggu hingga waktu berbuka tiba...Satu bulan berpuasa seperti itu kudu membekas dalam diri kita. Sehingga setelah berpuasa kesabaran diri jadi meningkat.
Akhir kata, puasa sebagai ibadah ritual tahunan sungguh kaya makna, nilai dan arti. Dari berpuasa dapat digali nilai-nilai pendidikan. Berpuasa diharapkan meningkatkan disiplin, membentuk pribadi jujur, hidup sederhana, jiwa sosial yang kuat, pribadi sabar, serta membangun kepedulian sosial yang tinggi. Nilai-nilai tersebut bila tertanam kuat akan melahirkan manusia yang bertakwa. Puasa akhirnya lebih bermakna. Tidak sebatas merasa lapar serta dahaga saja. Wa Allahu Alam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar