Senin, 30 Mei 2016

Siapa Ekskutor Hukum Kebiiri?


            Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti U‎ndang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016. Perpu tersebut  salah satunya mengatur  tentang hukuman tambahan bagi pelaku kajahatan seksual terhadap perempuan dan anak berupa hukuman kebiri kimia. Pemerintah menilai bahwa  kejahatan seksual pada perempuan dan anak termasuk kategori kejahatan luar biasa. Karena itu,  perlu penambahan hukuman untuk menimbulkan efek jera.
Kaitan dengan ini, Presiden Jokowi mengatakan, dalam Perppu itu, diatur tentang pemberatan pidana, yakni penambahan masa hukum sepertiga dari ancaman pidana, dipidana‎ mati, pidana seumur hidup, serta pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Pidana tambahan yaitu pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik.
Namun yang menjadi perdebatan sekarang, siapa yang menjadi eksekutor kebiri itu? Secara umum, pemerintah juga masyarakat luas berasumsi bahwa pihak yang tepat menjadi eksekutor adalah para dokter sebagai bagian utama tenaga kesehatan. Tapi keinginan tersebut menjadi sulit diwujudkan.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai oraganisasi yang menaungi dokter sepertinya keberatan jika ditunjuk sebagai eksekutor. Mereka takut melanggar kode etik seorang dokter yang wajib menghormati kemanusiaan. Termasuk soal naluri seksual yang jadi kodrat manusia.
Wakil Ketua PB IDI, Daeng M Faqih menegaskan, IDI  tidak dalam posisi setuju atau tidak. Tapi, saat ini sebetulnya masih dalam pembahasan. Karena dalam internal IDI  masih ada penolakan.  Lalu, bagaimana bila secara resmi IDI ditunjuk? Daeng mengatakan, pemerintah perlu membicarakan lebih lanjut dengan pihak profesi. Sebab, hingga kini pun dia tidak tahu teknis soal hukuman kebiri itu. IDI belum pernah diajak duduk bersama untuk merancang hal tersebut. (http://www.jpnn.com/)
Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pusat Dr dr Prijo Sidipratomo SpRad(K) mengatakan dokter menolak menjadi eksekutor kebiri karena sangat bertentangan dengan kode etik. Sesuai kode etik, seorang dokter harus menjadi pelindung kehidupan sesuai Pasal 11 Kode Etik Kedokteran. Dalam penjelasanya, seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk memelihara kehidupan alamiah pasiennya dan tidak untuk mengakhirinya.
Prijo beralasan, penolakan tersebut bukan berarti dokter tidak mendukung hukuman untuk pelaku kekerasan seksual pada anak-anak. Sebagai buktinya, dia setuju pelaku paedofil dihukum mati. Hal lain yang akan menjadi ganjalan, seorang dokter bertindak harus dengan inform consent atau persetujuan tindakan medis dari pasien atau keluarganya. Tanpa itu. dokter tidak bisa melakukan tindakan medis. Persoalan, bagaimana jika pelaku paedofil kemudian menolak memberikan persetujuan untuk disuntik kebiri?
Menanggapi penolakan IDI di atas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonanhan Laoly mengatakan eksekusi itu, akan dilakukan dokter kepolisian jika dokter umum menolak mengeksekusinya. Hal ini kata Yasonna bukan tanpa sebab, karena hukum telah memerintahkam demikian. Kalau hukum yang memerintahkan kita harus lakukan, tidak boleh menolak. Kalau IDI menolak,  ada dokter polisi. karena hal itu dilindungi Undang-undang.
Lebih jauh, Yasonna mengungkapkan, hukuman kebiri sebagai hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual tidak hanya diterapkan di Indonesia, melainkan juga di beberapa negara lainnya, bahkan di beberapa negara Eropa. Tetapi ia menekankan, hukuman tambahan juga mempertimbangkan sifat kejahatan yang dilakukan pelaku kejahatan seksual tersebut. (republika.co.id/)
Sementara itu, pihak Kepolisian telah menyatakan kesiapannya menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia jika ditunjuk oleh Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Humas Mabes Polri, Irjen Boy Rafli  mengatakan, andai diminta bantuan Kepolisian siap. Untuk bangsa dan negara apa saja kita siap. Termasuk pelaksanaan hukuman kebiri yang sedang jadi perbincangan publik. Tapi tentu kudu melalui proses hukum terlebih dulu. Mekanisme peradilan. Menurut Boy Rafli, hukuman kebiri tergantung putusan hakim dalam persidangan. Kesiapan Polri sendiri tergantung permintaan jaksa sebagai eksekutor. (http://news.detik.com/)
Saran dan solusi
          Mencermati perdebatan tentang eksekutor keberi kimia bagi kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak, hal-hal berikut bisa dijadikan sebagai solusi sekaligus saran untuk pihak terkait. Pertama, jangan ciderai perasaan korban kejahatan seksual.  Perdebatan publik diminta menjaga perasaan para korban kejahatan. Seberat apa pun hukumannya, bagi mereka tidak cukup. Secara psikologis, tak dapat mengobati. Tak menjamin masa depan mereka. Sebab itu semua elemen bangsa wajib menyadari bagaimana penderitaan mereka akibat kejahatan seksual yang menimpa.
          Kedua, semua warga negara wajib taat hukum. Hukum tidak boleh kalah oleh segala kepentingan termasuk kode etik kedokteran. Hukum bukan untuk dilawan. Siapa pun kita kudu memahaminya. Karenanya, hukum musti dikedepankan.
          Ketiga, mengedepankan hukum dibanding ego. Masyarakat luas sebenarnya heran kenapa IDI menolak? Mereka mempertanyakan, sebetulnya penolakan tersebut karena alasan etik profesi atau ego semata? Apa kode etik lebih agung, lebih mulia dibanding penegakan hukum?
          Apa kode etik itu? Ratna Samil (2001) dalam buku Etika Kedokteran  menjelaskan kode etik adalah pedoman perilaku yang berisi garis-garis besar, adalah pemandu sikap dan perilaku. Dalam kedokteran, kode etik menyangkut  dua  hal. Yaitu  Etik Jabatan Kedokteran ( Medical Ethics ) Ini menyangkut masalah yang berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawat, para pembantunya serta terhadap  masyarakat & pemerintah. Kemudian Etik Asuhan Kedokteran ( Ethics of Medical Care ) yakni mengenai sikap & tindakan seorang dokter terhadap penderita yang menjadi tanggungjawabnya.
          Memahami difinisi di atas, menurut hemat saya, kode etik tak selayaknya megalahkan hukum. Hukum berada di atas kode etik yang sepantasnya dijungjung tinggi oleh IDI atau para dokter. Untuk itu, saya kira IDI segera menurunkan ego. IDI kudu siap berdialog dengan pemerintah memecahkan masalah, mencari solusi. Tak tepat bila IDI bersikukuh, mempertahankan egonya.
          Keempat, pemerintah dituntut lebih cepat membuat aturan di bawah Perpu sebagai tindak lanjut teknis. Bisa berbentuk Peratutan Pemerintah (PP), peraturan menteri terkait atau lainnya. Sehingga ketidakjelasan siapa eksekutor kebiri segera terjawab. Bisa jadi, IDI menolak karena dasar hukum teknis terkait masalah itu belum ada. Dan IDI sepantasnya dilibatkan dalam penentuan siapa eksekutor kebiri tersebut. Karena bagaimanapun secara medis mereka adalah pihak yang paling berkompeten.
          Akhir kata, perdebatan tentang eksekutor hukuman kebirih sah saja terjadi. Tapi, alangkah bijak bila perdebatan dan diskusi publik terkait persoalan itu tak menciderai perasaan korban kejahatan. Cukup penderitaan mereka terima dari pelaku. Kita tak boleh menambahinya. Karena itu, segera pemerintah mencari solusi. Menerbitkan aturan di bawah Perpu mengatur secara teknis pelaksanaan hukuman kebiri dan pemberatan lainnya. Untuk IDI, mengambil sikap bijak nan arif adalah pilihan tepat saat ini. Tak perlu mengedepankan ego, apalagi mengatasnamakan kode etik. Sungguh tak etis rasanya, kode etik dijadikan tunggangan ego profesi oleh para dokter.  Wa Allahu Alam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar