Rabu, 20 Juli 2016

Tak Boleh Ada Perpeloncoan Lagi


          Minggu ini adalah hari-hari menggembirakan bagi peserta didik. Mereka masuk sekolah untuk pertama kali setelah libur panjang akhir tahun pelajaran, ramadhan dan lebaran. Lebih lagi bagi mereka yang baru masuk (SD-SLTP-SLTA), menjadi peristiwa yang akan diingat sepanjang hidup. Satu masa yang telah dinanti oleh peserta didik baru sejak beberapa minggu sebelumnya. Kegembiraan bagi peserta didik baru menjadi bertambah saat mengikuti MOPD, kepanjangan Masa Orientasi Peserta Didik Baru, yang dulu kita mengenalnya dengan sebutan Masa Orientasi Siswa (MOS).
          MOS merupakan sebuah kegiatan yang umum dilaksanakan di sekolah guna menyambut kedatangan siswa baru. Masa orientasi lazim dijumpai hampir di tiap sekolah, mulai dari tingkat SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Tak pandang itu sekolah negeri maupun swasta, semua menggunakan cara itu untuk mengenalkan almamater pada siswa barunya. MOS dijadikan sebagai ajang untuk melatih ketahanan mental, disiplin, dan mempererat tali persaudaraan. MOS juga sering dipakai sebagai sarana perkenalan siswa terhadap lingkungan baru di sekolah tersebut. Baik itu perkenalan dengan sesama siswa baru, kakak kelas, guru, hingga karyawan lainnya di sekolah itu. Tak terkecuali pengenalan berbagai macam kegiatan yang ada dan rutin dilaksanakan di lingkungan sekolah. (id.wikipedia.org/wiki)
          Menjadi rahasia umum, MOPD atau MOS sering kali terjebak pada perpeloncoan siswa baru oleh senior mereka. MOS  menjadi ajang adu gengsi antara siswa yang menguras emosi peserta. MOS menjadi ujian terberat bagi peserta didik baru sebelum mereka menikmati semua fasilitas sekolah dengan berbagai program dan model pembelajaran. Praktek perpeloncoan dalam MOS menghadirkan tindak kekerasan.
Menurut Thomas Wibowo, kekerasan itu berbentuk Pertama, kekerasan verbal. Perilaku ini dilakukan melalui penggunaan stereotip-stereotip dan penamaan yang berkonotasi seksis, rasis, kultur, sosio-ekonomi, kelemahan mental, dan homofobik. Misalnya, menyebut siswa si ”kurus” atau si ”gendut”, si ”Batak” atau si ”China”, si ”Hitam”.
Kedua, kekerasan fisik. Perilaku kekerasan ini dilakukan dalam bentuk mendorong, mengguncang, memukul penggaris, mencubit, menarik rambut atau telinga, melempar dengan kapur atau penghapus, menendang, meludah, mencolek bagian tubuh tertentu (perempuan), dan sebagainya.
Ketiga, kekerasan psikologis. Kekerasan ini dilakukan misalnya dalam bentuk teriakan, berbicara secara kasar, menggertak, melempar atau menyobek pekerjaan siswa, mengacam siswa dengan hukuman, vonis nilai ulangan, mengacuhkan, tidak peduli, atau melecehkan pendapat/ pertanyaan siswa. (kompasiana.com)_
Pengenalan Lingkungan Sekolah
Perpeloncoan seperti di atas tidak boleh terjadi lagi terjadi. Pemerintah telah mengubah sistem MOS. Kementerian pendidikan dan kebudayaan RI telah mengeluarkan dan memberlakukan Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah. Dengan diterbitkannnya Permendikbud tersebut maka Permendikbud Nomor 55 Tahun 2014 tentang Masa Orientasi Peserta Didik Baru dinyatakan tak berlaku lagi. Sebab itu, mulai tahun pelajaran 2016-2017 ini MOS tidak boleh diselenggarakan lagi. Sekolah wajib melaksanakan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS).
Pengenalan lingkungan sekolah (PLS) adalah kegiatan pertama masuk sekolah untuk pengenalan program, sarana dan prasarana sekolah, cara belajar, penanaman konsep pengenalan diri, dan pembinaan awal kultur Sekolah.  
PLS bertujuan untuk a) mengenali potensi diri siswa baru, b) membantu siswa baru beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan sekitarnya, antara lain terhadap aspek keamanan, fasilitas umum, dan sarana prasarana sekolah, c) menumbuhkan motivasi, semangat, dan cara belajar efektif sebagai siswa baru, mengembangkan interaksi positif antara siswa dan warga sekolah lainnya, e) menumbuhkan perilaku positif antara lain kejujuran, kemandirian, sikap saling menghargai, menghormati keanekaragaman dan persatuan, kedisplinan, hidup bersih dan sehat untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong.
PLS dilaksanakan paling lama tiga hari pada minggu pertama awal tahun pelajaran. Kegiatan dilaksanakan hanya pada hari sekolah dan jam pelajaran. Penambahan waktu kegiatan diperbolehkan hanya kepada sekolah berasrama dengan terlebih dahulu melaporkan kepada dinas pendidikan provinsi/kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya disertai dengan rincian kegiatannya.
          Sebelum mengikuti kegiatan PLS, peserta didik baru diminta mengisi formulir sebagai data awal bagi panitia untuk mengenal latar belakang peserta. Dalam formulir itu peserta diminta menuliskan mulai dari nama, jenis kelamin,   jumlah saudara,   tempat tanggal lahir,  agama,  alamat rumah,   asal sekolah,   riwayat keesehatan sampai bakat yang dimiliki peserta di bidang seni, olahraga dan sains.
PLS  terdiri dari kegiatan wajib dan kegiatan pilihan. Keduanya harus dilaksanakan sesuai dengan silabus PLS seperti tercantum dalam Lampiran 1 Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016. Sekolah bisa memilih berbagai kegiatan pilihan dan menyesuaikannya dengan kondisi lingkungan sekolah masing-masing.
Kegiatan wajib seperti  mengenalkan visi-misi, program, kegiatan, cara belajar, tata tertib juga berbagai fasilitas sekolah. Dikenalkan pula semua warga sekolah dari kepala sekolah,  guru, staf TU dan lainya.  Kegiatan pilihan misalnya mengenalkan kegiatan ektrakurikuler sekolah, menginformasikan fasilitas umum di sekitar sekolah dan lainnya.
          Perbedaan  PLS dan MOS yang sangat signifikan antara lain adalah dilarang melibatkan siswa senior (kakak kelas) dan/atau alumni sebagai penyelenggara serta tidak diolehkan memberikan tugas kepada siswa baru berupa kegiatan maupun penggunaan atribut yang tidak relevan dengan aktivitas pembelajaran siswa. Dua hal ini yang memunculkan perpolocohan di masa MOS lalu sekaligus menjadi sebab atau ajang balas dendam senior ke junior.
          Singkatnya, penerbitan Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan sekolah harusnya menghilangkan praktek kekerasan dalam MOS. Untuk itu, setiap sekolah kudu mempelajari dan menjadikan Permendikbud tersebut sebagai pedoman dalam kegiatan PLS untuk peserta didik baru. Maka di waktu mendatang tak boleh ada perpeloncoan lagi. Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar