Rabu, 20 Juli 2016

Mendobrak Tradisi Urbanisasi


          Malam lebaran lalu saya kedatangan tamu, anak muda yang bekerja di tempat usaha keluarga. Disamping bersilaturahmi dan berlebaran, ia meminta izin berhenti bekerja. Saya menanyakan alasannya. Ia menjawab akan ke Jakarta, bekerja. Ikut saudara berjualan martabak. Ia berkeyakinan bekerja di kota besar semisal Jakarta akan membawa kehidupan lebih baik, lebih sejahtera. Ia mengatakan untuk menambah dan  mencari pengalaman.
            Usai lebaran, sudah menjadi tradisi masyarakat pedesaan berbondong-bondong berangkat  ke perkotaan, mengadu nasib. Mereka datang ke kota dengan tujuan mencari pekerjaan. Sebutanya adalah urbanisasi. WikipidiaIndonesia.org  mendefinisikan urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan.
          Banyak alasan orang beramai-ramai ke kota. Diantaranya menyempitnya lahan pertanian di pedesaan. Sawah sebagai lahan perekonomian utama di  pedesaan tergerus habis oleh pabrik-pabrik yang didirikan di wilayah pedesaan. Di kota sudah tak tertampung. Kota sudah menyempit sehingga wilayahnya melebar ke pedesaan. Ditambah lagi, sebagian masyarakat pedesaan tak tertarik lagi bertani. Pekerjaan sebagai petani dianggap tak bergengsi, tak menghasilkan banyak uang.
          Selain itu, terbatasnya lapangan pekerjaan di desa menjadi sebab lain. Harus diakui ekonomi pedesaan tak sebaik di kota. Seperti diketahui perkembangan dan kemajuan ekonomi Indonesia belum merata. Pembangunan bertumpuk di kota-kota besar terutama Jakarta sebagai ibu kota negara. Gagasan pembangunan Indonsesia sentris dimana pembangunan tak terpusat di Jakarta dan kota-kota besar lainnya yang sering disampaikan Presiden Jokowi musti didukung oleh semua elemen bangsa. Jokowi meyakinkan, pembangunan kudu dimulai dari desa-desa.
          Kemudian ajakan dari mereka yang sukses. Tak sedikit orang mudik yang sukses di kota. Kesuksesan mereka tentu menjadi daya tarik tersendiri. Terlebih sebagian mereka  aktif mengajak orang lain dengan alasan berbagi kesejahteraan dengan saudara, teman, tetangga juga lainnya.
          Selanjutntnya, soal gaya hidup. Gemerlap gaya hidup masyarakat kota yang disaksikan melalui TV, media sosial dan lainnya telah mempengaruhi masyarakat desa untuk pindah ke kota. Mereka tergiyur oleh gemerlap kehidupan kota. Budaya hedonisme perkotaan dianggap sebagai sebuah kebahagian yang wajib diperjuangkan. Maka pilihannya tak lain kecuali pindah ke kota guna mengejar mimpi tersebut.
          Urbanisasi merupakan persoalan rumit. Satu sisi tak mungkin kita melarang orang pindah ke kota. Itu melanggar Uundang-undang. Dalam UU Dasar 1945 Pasal 28 A ditegaskan setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.  Sisi lain, urbanisasi menjadi persoalan serius bagi tata kelola kota. Sederet dampak negatif menyertai kedatangan para urban. Urbanisasi menjadi beban yang harus dipikul pemerintah kota. Karenanya, tak sedikit pemerintah kota yang mengeluh terkait permasalahan ini.
          Problematika yang muncul akibat urbanisasi antara lain adalah menambahnya jumlah penduduk di perkotaan. Penambahan penduduk yang mencolok menjadi beban berat bagi pemerintah kota. Hal itu sangat dirasakan dalam tata kelola kota terutama yang  terkait dengan keamanan, ketertiban, juga kebersihan.
          Selanjutnya, penganngguran bertambah. Tidak semua urban memperoleh pekerjaan di kota. Peluang kerja di perkotaan juga terbatas. Bagi mereka yang tak memiliki ketrampilan akan sulit dapat bertahan di kota. Maka konsekuensi logisnya angka pengangguran menjadi bertambah. Padahal angka pengangguran sebelumnya sudah cukup tinggi. Contoh di Jakarta, seperti disebutkan oleh sindonews.com, pada tahun 2015 jumlah pengangguran mencapai 7,14 juta orang. Jumlah itu akan bertambah dengan masuknya para urban di Jakarta tahun ini.
          Pada akhirnya, urbanisasi berdampak pada kerawanan sosial. Angka pengangguran yang tak terkendali mendorong tindak kejahatan dan kekerasan meningkat. Kehadiran mereka seperti bom waktu yang siap meledak. Kriminalitas di kota menjadi sesuatu yang menakutkan. Pencurian, perkelahian, tawuran dan kerusuhan mengancam kenyamanan dan keamanan warga kota setiap waktu.
Solusi
          Sebab itu, menurut hemat saya tradisi urbanisasi harus didobrak. Kita kudu bisa menekan angka urbanisasi. Sehingga fenomena urbanisasi tidak lagi menjadi tradisi  setiap pasca lebaran. Para pemudik tidak lagi membawa sanak kerabat ke kota. Dan pada akhirnya, bisa jadi mudik pun tidak lagi menjadi permasalahan tahunan bangsa ini karena turunya angka pemudik disebabkan menurunya jumlah orang bekerja di luar daerahnya.
          Untuk itu, menjadi PR besar bagi pemerintah untuk mewujudkannya. Dan berikut beberapa langkah yang dapat diambil. Pertama, pembangunan Indonesia sentris. Selama ini pembangunan terpusat di pulau Jawa. Di Jawa  sendiri terpusat di Jakarta. Sehingga  ketimpangan antara Jawa dan pulau lainnya sangat mencolok, terlebih bila membandingkannya dengan Jakarta. Contoh  konkrit ketimpangan tersebut adalah soal infrastruktur. Konon perputaran uang 80 persen berada di Jakarta sisanya di daerah lain. Tak heran jika orang berbondong-bondong masuk Jakarta.  Di waktu mendatang pembangunan harus merata ke seluruh wilayah kesatuan Negara Republik Indonesia.
          Kedua, membangun dari desa. Berbeda dengan sebelumnya, pemerintahan Jokowi-JK bertekad membangun Indonesia dari desa-desa. Setiap desa akan diberi dana stimulus berkisar satu milyar. Dana tersebut diharapkan mendorong laju pembangunan dan ekonomi pedesaan. Dana desa digunakan untuk membangun infrastruktur sehingga mendorong perekonomian masyarakat. Terkait dengan dana desa, pemerintah daerah terutama pemerintah desa seyogyanya siap mengelolanya dengan baik. Jangan sampai dana besar itu menjadi ladang korupsi baru. Setiap desa diminta memiliki program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang dalam memanfaatkan dana tersebut.
          Ketiga, mengembangkan kota-kota sentra ekonomi. Sampai saat ini kegiatan ekonomi Indonesia terpusat di Jakarta. Jakarta sebagai ibu kota menjadi pusat pemerintahan negara sekaligus sentra ekonomi. Kedepan, pemerintah wajib memindahkannya ke kota lain sebagai sentra ekonomi nasional. Di setiap pulau besar seperti Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan lainnya dipilih kota yang akan dikembangkan sebagai sentra ekonomi.
          Keempat, memaksimalkan otonomi daerah. Daerah idealnya menjadi ujung tombak pembangunan dan pengembangan ekonomi nasional. Setiap daerah diminta saling bersinergi dan tetap terkordinir oleh pemerintah pusat dalam menjalankan pembangunan dan mengembangkan ekonomi nasional. Otonomi daerah jangan hanya melahirkan raja-raja kecil yang mengabaikan kesejahteraan rakyat. Setiap kepala daerah harus berkomitmen guna membangun daerahnya masing-masing.
          Kelima, melanjutkan program transmigrasi untuk pemerataan penduduk.  Program transmigrasi yang dilaksanakan sejak orde baru masih layak diteruskan. Hal itu bertujuan untuk pemerataan penduduk. Sebab itu, program transmigrasi dikelola lebih baik lagi.
          Akhir kata, pembangunan dan pengembangan ekonomi nasional harus merata. Pemerintah kudu bisa mewujudkannya. Jika mimpi itu terwujud, tradisi urbanisasi dengan sendirinya akan terdobrak, terkikis. Orang kampung tak perlu berhijrah lagi ke kota. Kota besar seperti Jakarta tak akan terkena dampak negtif urbanisasi lagi. Sehingga kesemrautan ibu kota seperti macet, banjir, pengangguran dan problematika sosial lainnya akan mudah teratasi. Semoga. Wa Allahu Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar