Rabu, 08 Juli 2015

Di Balik “Menteri Menjelek-jelekan Presiden”



          Beberapa waktu lalu kita dikejutkan dengan statemen Menteri dalam negeri, Tjahjo Kumolo yang mengatakan ada menteri yang menjelek-jelekan presiden. Ungkapan itu membuat publik bertanya-tanya siapa menteri dimaksud? Tjahyo tak bergeming, tak menyebutkan nama dengan alasan tidak etis. Sebuah jawaban yang menurut saya mengambang, menimbulkan tanya. Apa mengumbar statemen ke publik, menuduh rekan sesama anggota kebinet etis? Jelas tidak etis, apalagi di bulan suci Ramadahan.Itu bagian dari fitnah. Kalau alasanya untuk menjaga wibawa presiden sebenarnya ada cara lain yang lebih elok, bijak, mulia seperti menyelesaikannya secara internal antara PDIP dan presiden Jokowi. Tak perlu disampaikan ke publik. Nampaknya ada maksud lain dibalik tuduhan itu. Ada apa di balik “menteri menjelek-jelekkan presiden”?
          Dengan mudah rakyat membacanya sebagai manuver politik. Tujuannya tak lain mendorong lebih cepat dilakukannya resufle kabinet. Ini bukan pertama kali. Sebelumnya elit PDIP menyebut ada brutus di istana yang menghalangi-halangi komunikasi bu Megawati dengan Jokowi. Dari sudut pandang mereka (baca:elit PDIP) istilah brutus digunakan karena dianggap sebagai benalu bagi Jokowi dalam menjalankan roda pemerintahan sekaligus sebagai penghalang komunikasi Jokowi dengan PDIP sebagai partai pengusung. Mereka diklaim sebagai pengkhianat. Saat itu tuduhan mengarah ke sekretaris kabinet Andi Wijayanto, Luhut Panjaitan, dan Rini soemarno. Nah, untuk yang sekarang tuduhan mengarah ke siapa?
          Adalah Ahmad Basyarah yang pertama kali memberi kesaksian di salah satu TV nasional  tentang rekaman suara yang diduga kuat seorang menteri, dalam sebuah acara, menjelek-jelelkan presiden. Sayang dia tak menyebut nama. Kemudian sinyalemen itu dilanjutkan oleh Politisi PDI Perjuangan lainnya Masinton Pasaribu yang menegaskan bahwa sang menteri dimaksud adalah salah satu menteri permpuan di jajaran kementerian bidang ekonomi. Tuduhan kembali mengarah ke Rini soemarno.
Siapa sebenarnya Rini Soemarno?
          Pertanyaan di atas wajar muncul. Karena sejak awal kabinet kerja dilantik perempuan yang satu ini selalu mendapat sorotan dan tuduhan miring. Mulai dari tuduhan agen neoleberal dalam bidang ekonomi sampai urusan kewarganegaraan ganda. Anehnya tuduhan itu datang dari PDIP yang merekomendasikan Rini bergabung dengan Jokowi dan menjadikannya sebagai ketua team transisi berasama Andi Wijayanto, Akbar Faisal dan lainnya.
          Perempuan yang bernama asli Rini Mariani Soemarno lahir di Maryland, Amerika Serikat, 9 Juni 1958. Ayahnya, Soemarno, merupakan Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan Kabinet Kerja III periode 1960-1962. Di tahun 1962-1963, Soemarno masih menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia dan juga Menteri Urusan Bank Sentral Kabinet Kerja IV. Kemudian mulai 1964-1966, Soemarno menjabat sebagai Menteri Koordinator Kompartimen Keuangan di empat kabinet yang berbeda. Alasan ditunjuknya sebagai Gubernur Bank Indonesia ialah karena Soemarno pernah menjabat sebagai Eksekutif Direktur Bank Internasional untuk Rekontruksi dan Pembangunan di Washington mulai 1 November 1958 hingga Oktober 1960.
          Pada masa kecilnya, Rini pernah berpindah Amerika Serikat, Jakarta, dan Belanda karena tugas ayahnya. Rini mendalami studi ekonomi di Wellesley College, Masschusetts, Amerika Serikat pada tahun 1981. Setelah lulus, Rini sempat magang di Departemen Keuangan Amerika Serikat dan memulai karirnya dengan bekerja di Citibank Jakarta pada tahun 1982. Karirnya terus melesat hingga menggapai kursi Vice President yang menangani Divisi Coorporate Banking, Marketing and Trainning. Sukses di Citibank tak membuat Rini lantas berpangku tangan malah menginginkan tantangan yang lebih besar. Karena itu, pada 1989 ia kemudian memilih pindah ke PT Astra Internasional untuk dapat terus mengembangkan dirinya. Dengan filosofi ingin berkarya sebaik mungkin, Rini terus mendaki tangga sukses. Tahun 1990 karirnya di Astra Internasional berbintang terang. Tahun itu ia dipercaya William Soeryadjaya, komisaris perusahaan itu, menduduki kursi Direktur Keuangan Astra Internasional sampai 1998. Pada Kabinet Gotong Royong tahun 2001 hingga tahun 2004, Rini dipercaya sebagai menteri perindustrian.
          Kedekatanya dengan Megawati Soekarno Putri menjadikan khalayak menganggapnya sebagai kader PDIP. Namun mantan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo membantah bahwa Rini adalah anggota atau kader partai. Menurut Tjahjo, Rini sudah dekat jauh sebelum menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian era Megawati Soekarnoputri. Rini pun membenarkan perihal kedekatannya dengan Megawati. Rini menceritakan sejarah kedekatan ayahnya dengan Presiden Soekarno, ayah Megawati. Dia mengatakan kakak tertuanya seumuran dan bersahabat dengan Guntur Soekarnoputera (kakak Megawati). Kakak perempuannya satu sekolah dengan Sukmawati Soekarnoputri (adik Megawati). Namun secara pribadi, Rini mengaku tak banyak berinteraksi dengan mereka karena umur jauh berbeda. Setelah menjadi menteri, Rini baru intens berinteraksi dengan Megawati. Karena kedekatannya dengan Megawati membuat dia terpilih menjadi Kepala Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-JK.
          Rini Soemarno sengaja dipasang oleh Megawati sebagai orang kepercayaannya di lingkungan Jokowi. Dari Rini, Mega berharap banyak mendapat informasi terkait dengan Jokowi. Melaluinya, Mega menyampaikan pesan ke Jokowi. Rini dijadikan seperti  Radar buat Megawati yang setiap saat dapat memantau gerak-gerik Jokowi. Tapi yang terjadi justru kebalikannya, Rini nampaknya memilki agenda tersendriri. Dia akhirnya lebih setia ke Jokowi yang sekarang menjadi atasanya. Nah, alasan inilah yang memerahkan telinga elit PDIP. Mereka geram, meyebutnya sebagai pengkhianat (baca:brutus istana), menuduhnya mendistorsi pesan Megawati, serta menghalang-halangi komunikasi Mega - Jokowi. Dan terakhir ia dituduh sebagai menteri yang menjelek-jelekkan presiden.
Pelajaran bagi Publik
          Dagelan politik tingkat tinggi ini banyak memberi pelajaran pada publik atau rakyat. Diantaranya dapat saya sebut, pertama, politik selalu buta, menghalalkan segala cara untuk mengejar apa yang menjadi kepentingan. Praktek-praktek keji seperti menuduh, mendiskriditkan, menjadi wajar dilakukan untuk sebuah kepentingan. Politik  seringkali tak mengenal etika, norma juga agama. Agama hanya seringkali dijadikan alat dalam mencapai tujuan politik. Dagelan-dagelan semacam ini sering bermunculan baik di daerah maupun di Jakarta. Ini membuka mata rakyat bahwa dalam politik tidak selalu untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi melulu untuk kepentingan kelompok ,golongan atau keppentingan partai.
          Kedua, dalam politik tak mengenal lawan dan kawan. Tidak ada kawan sejati. Sebaliknya tidak ada lawan sejati. Yang ada adalah kepentingan sejati yang dikejar walau harus menghancurkan pertemanan dan persahabatan. Maka tak heran hari ini kawan besok menjadi lawan atau sebaliknya. Orang menyebut politik itu cair, susah ditebak. Jelas susah ditebak, karena kepentingan juga selalu cair. Di sinilah antara kawan dan lawan bercampur. Bagi orang awam seperti saya kadang susah memilah-milahnya.
          Ketiga, mempertanyakan politk santun. Apa ada politik santun? Belakangan para poltisi kerapkali menyebut-nyebut poltik santun sebagai jargon baru mereka dalam berpolitk. Secara teori bisa jadi poltik santun dapat dipahami sebagai berpolitk yang mengedepankan etika dengan menghindari fitnah, pembunuhan karakter, mencarai kambing hitam, atau lainnya. Tetapi pada dataran praktis bisa disimpulkan hampir tak ada yang namanya poltik santun. Poltik terlihat kejam. Poltik tebukti keji dengan menhalalkan segala cara (walau melanggar etika) dalam menggapai tujuan.
          Akhir kata, siapa dibalik “menteri yang menjelek-jelekkan presiden”? Hanya Allah dan pelaku sesungguhnya yang mengetahui. Karena semuanya masih dalam putaran tuduhan yang belum terbuktikan. Dan ada apa dibalik “menteri yang menjelek-jelekkan presiden” ? Kembali hanya Allah dan pihak yang menuduh yang mengetahui maksud sesungguhnya dari upaya tuduhan itu. Bagi rakyat awam seperti saya, sudah beruntung bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari manuver-manuver politik seperti itu. Pelajaran untuk selalu waspada, memahami setiap sepak terjang para politisi di negeri ini. Hal itu tentu untuk menentukan pilihan di waktu akan datang. Wa Allahu ‘alam

         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar