Selasa, 07 Juli 2015

Dana Partai Politik Dan Kepercayaan Rakyat



          Kementerian Dalam Negeri akhirnya mengurungkan kenaikan dana partai politik. Berkaitan dengan ini menteri dalam negeri Tjahjo Kumolo menegaskan bahwa di samping disebabkan banyaknya pihak yang menentang juga karena sebagian partai politk tidak mau menerima bantuan dana dari pemerintah dan ada beberapa anggota DPR yang tidak menghendaki, walau sudah 10 tahun belum pernah mengalami kenaikan. Pemberian dana bantuan partai selama ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang bantuan keuangan kepada partai politik. Penghitungannya, partai yang memperoleh kursi di Senayan akan mendapat bantuan Rp 108 per suara, yang diperoleh pada pemilihan umum terakhir. Bantuan dana tersebut diberikan setiap tahun.
          Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 Pasal 9, dana tersebt digunakan sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat Partai Politik. Namun, prakteknya dana itu sangat jauh untuk mencukupi operasional partai secara keseluruhan. Partai biasanya menarik iuran dari anggota, atau mencari sumber lain. Untuk alasan ini, beberapa partai dan politisi mengusulkan kenaikan. Namun rakyat nampaknya belum bisa mamahami dan menerimanya. Mereka kembali menolak.
Respon Negatif
          Bila kita mengamati, kenapa publik (baca: masyarakat) selalu merespon negatif apa yang terkait dengan partai politik atau para politisi? Sebelumnya mengenai dana aspirasi khalayak ramai juga menolak dan menentang. Rasa-rasanya apa yang datang dari para poltisi itu buruk yang harus dilawan. Saya sebagai orang awam melihatnya sebagai berikut, pertama, berkaitan dangan hilangnya kepercayaan rakyat.  Rakyat sudah tak percaya lagi pada partai politik atau politisi. Hilangnya kepercayaan tersebut bukan tanpa sabab. Tetapi semata-mata merupakan buah atau hasil dari apa yang dilakukan oleh partai atau politisi selama ini. Mereka seringkali membohongi rakyat. Partai kerapkali tidak konsisten. Inkonsistensi itu berkait dengan kepentingan kelompok atau pribadi yang setiap saat berubah. Menjadi bohong besar kalau mereka melakukan sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara. Rakyat pun telah memahami dan menyadarinya. Mereka berada pada kewaspadaan untuk tidak tertipu kembali oleh janji-janji saat kampanye.
          Merosotnya kepercayaan ini sudah berlangsung cukup lama. Di awal tahun 2014 saja hasil survei Political Communication Institute (Polcomm Institute) menyebutkan bahwa mayoritas publik tidak mempercayai partai politik (parpol). Publik yang tidak percaya parpol yaitu sebesar 58,2 persen. Kemudian yang menyatakan percaya 26,3 persen, dan menyatakan tidak tahu sebesar 15,5 persen.(http://nasional.kompas.com/read/2014/02/09/1551505/Survei.Mayoritas.Publik.Tak.Percaya.Partai.Politik)
          Kedua, banyak kader partai atau para politsi yang tersangkut kasus korupsi. Kasus berdatangan silih berganti, dan menimpa seluruh partai. Hampir tak ada  partai yang bersih. Korupsi tak hanya di pusat. Di daerah banyak kepala daerah, kepala instansi atau kepala dinas yang terjerat tindak pidana korupsi. Dari ketua umum, para petinggi sampai anggota biasa. Sederet nama besar politisi menjalani tahanan karena korupsi seperti Anas Urbaningrum, Luthfi Hasan Ishaq, Andi Malarangeng, Surya Darma Ali dan masih banyak lagi. Rakyat menilainya sebagai kejahatan dan pengkhianatan pada mereka, juga pada bangsa dan negara.
          Ketiga, konflik internal partai. Konflik mengisyaratkan banyaknya kepentingan. Konflik menandakan ego kuat para poltisi terhadap kepentingan masing-masing. Kepentingan-kepentingan kelompok dan golongan itu lebih mereka perjuangkan dibandingkan kepentingan bangsa dan negara.
          Keempat, partai jauh dari etika politik atau biasa disebut politik santun.Politik menghalalkan segala cara menjadi gaya para poltisi dalam merebut semua kepentingan. Yang paling mutakhir kita dipaksa menyaksikan dagelan para politisi mengusung isu resafle kabinet. Mereka terlihat memaksa, walau resafle merupakan hak perogatif presiden. Mereka tak malu meminta kusrsi atau menuntut tambahan jatah. Untuk tujuan itu bahkan mereka sanggup saling menyalahkan, saling menuduh, saling memfitnah, saling menjatuhkan di depan presiden semata-mata untuk mencari muka, atau menjatuhkan lawan. Sungguh keji. Sungguh ironi, mamalukan, dan kampungan. Kabinet kerja yang semestinya bekerja dan bekerja menjadi medan pertarungan sesama anggota kabinet.
Mengembalikan kepercayaan
          Kondisi dan permasalahan di atas seharusnya segera disadari oleh politisi, mengembalikan kembali kepercayaan rakyat. Bila tidak, jangan salahkan rakyat menghukumnya dalam pemilu mendatang. Untuk mengembalikan kepercayaan rakyat, ada beberapa hal yang bisa dilakukan, pertama, tunjukkan komitmen yang kuat dalam memberantas korupsi. Niat yang sungguh-sungguh, tidak kamuflase. Komitmen tulus memudahkan kita semua dalam memberantas korupsi. Komitmen dibarengi dengan tekad bersama. Korupsi harus dilawan secara sama-sama, oleh semua pihak. Dan sampai hari ini saya belum melihat keseriusan partai politik dalam memberantas korupsi. Itu terlihat dari sepak terjang para politisi dalam mengebiri KPKL misalnya. Bila demikian rasanya sulit mengembalikan kepercayaan rakyat. Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Cecep Effendy (2011) menegaskan bagaimana masyarakat bisa percaya sama Parpol atau elit-elitnya yang mengatakan ingin memberantas korupsi, sementara perilaku para elit Parpol tidak menggambarkan hal yang demikian dan Parpol sendiri sampai saat ini tidak ada satupun yang bisa membuktikan  bersih dari segala permainan penyalahgunaan anggaran negara. Akhirnya politisi berkomentar mengenai isu pemberantasan korupsi pun tidak dianggap dan dipercaya lagi oleh rakyat.
          Kedua, merealisasikan janji. Janji adalah hutang yang harus dibayar. Politisi setelah berhasil meraih apa yang diinginkan menjadi anggota dewan, kepala daerah, menteri atau lainnya, segera mewujudkan apa yang telah dijanjikan saat kampanye. Janji-janji mereka akan selalu diingat dan dicatat oleh rakyat. Mereka harus memfokuskan diri untuk bekerja demi rakyat. Partai jangan mengganggunya, jangan mengusiknya dengan seabreg kepentingan atau agenda terselubung partai.
          Ketiga, menampilkan politik santun. Adalah berpolitik mengedepankan akhlahk muliah. Politik mengedepankan keteladanan, bukan sesumbar mengobral janji mengedepankan retorika.
          Akhirnya kembali tidaknya kepercayaan dari rakyat bergantung pada  itikad baik para pelaku politik dalam mengelola partai. Peran mereka dalam mengurus negara (baca: memerintah) akan selalu diamati dan diukur sejauhmana memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Rakyat akan selalu mengevaluasi pilihannya setiap lima tahun dalam pemilu. Saat itu kepercayaan mereka bisa diketahui. Wa Allahu ‘Alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar