Jumat, 10 Juli 2015

Kenapa MK Melegalkan Dinasti Politik?

          Pada tanggal 8 Juli 2015 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya melegalkan dinasti poltik. Dalam persidangan yang dipimpin oleh  Ketua MK Arief Hidayat, MK secara resmi membatalkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015  tentang Pilkada Pasal 7 Huruf r, yang menyebutkan bahwa syarat  calon   kepala daerah (gubernur, Bupati atau Walikota) tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan. Adapun permohonan uji materi diajukan oleh seorang anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Adnan Purichta Ichsan.
          Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan dengan petahana memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Padahal, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif. Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam  UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat 3 yang mengaskan, setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia tanpa diskriminasi. Kemudian MK memandang Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015 juga sulit dilaksanakan oleh penyelenggara pilkada. Ini karena pemaknaan terhadap frasa ”tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana” diserahkan kepada penafsiran setiap orang sesuai kepentingannya hingga bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. (http://print.kompas.com/baca/2015/07/09)
Latar Belakang
          Latar belakang pelarangan calon kepala daerah  memiliki konflik kepentingan kekerabatan (baca:hubungan keluarga) dengan petahana di antaranya pertama, ada (bisa disebut banyak, dan menjadi kecenderungan) sejumlah kepala daerah yang terpiih menggantikan suami, orang tua, atau keluarga initi lainnya setelah mereka menjabat dua periode dan tidak diperbolehkan mencalonkan kembali. Bakhan ada satu propinsi yang beberapa Walikota/Bupati saling memiliki hubungan kekerabatan dengan gubernurnya. Sebut saja propinsi Banten misalnya, Wakil Bupati Serang Tatu Chasanah adalah adik kandung Gubernur Banten (nonaktif) Atut Chosiyah. Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman adalah adik tiri Atut. Adapun Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany adalah adik ipar Atut dan Wakil Bupati Pandeglang Heryani adalah ibu tiri Atut.
          Kedua, faktor kecemburuan politik dan sosial. Sebuah daerah tentu banyak yang berpotensi dan ingin memimpin. Menjadi tidak fair, tidak imbang ketika seorang calon pemimpin harus berhadapan dengan keluarga petahana. Karena dalam banyak hal mereka akan terkalahkan oleh keluarga petahana. Di tambah lagi masyarakat terbiasa merasa nyaman pada zona aman, lebih suka mempertahankan yang ada dibanding mengusung perubahan.
          Ketiga, kecenderungan penyalagunaan wewenang sang petahana dalam pilkada, tentu untuk membantu calon yang memiliki hubungan kekerabatan denganya. Potensi ini sangat wajar muncul karena faktor kekerabatan di antara keduanya, serta keinginan melanggengkan kekuasaan sang petahana. Potensi ini telah mengantarkan tidak sedikit kepala daerah berakhir di jeruji besi sebab kasus korupsi.
          Keempat, memproteksi diri dan keluarga dari sentuhan penegak  hukum. Petahana yang tak bisa mencalonkan lagi, untuk mengamankan diri, keluarga, serta harta kekayaannya mendorong salah satu (bisa istri, anak, adik) keluarga untuk menggantikannya dengan tujuan mengamankan apa yang telah diraih, telah dilakukan selama memimpin dari sentuhan penegak hukum. Bukankah penegak hukum seringkali terbendung saat  berhadapan dengan kekuasaan?
Demokrasi ala Dinasti
          Ungkapkan di atas dimaksudkan bahwa politik dinasti tidak serta merta ada tanpa dukungan rakyat. Artinya politik dinasti lahir konstitusional lewat jalur demokrasi yakni pilkada. Dengan demikian sebenarnya tidak ada yang salah selagi proses pilkadanya berjalan jujur dan adil. Persoalan muncul saat pilkada tidak jurdil, direkayasa, penuh intrik. Dan kecurangan-kecurangan tersebut lebih lebih mudah dilakukan oleh calon petahana karena kekuasaan yang mereka miliki. Saya tidak mengatakan selain mereka tidak ada potensi, tetap ada walau lebih kecil potensinya.
          Sebenarnya dinasti politik takkan berdiri kokoh bila tidak mendapat dukungan dari rakyat. Pilihan rakyatpun tentu beralasan. Bisa jadi karena sang petahana sukses dalam membangun, mensejahterahkan mereka. Apalagi rakyat sekarang sudah mulai melek politik. Hanya memang kekuasaan kalau terlalu lama itu secara umum cenderung korup. Tapi tidak selalu, tergantung pada moralitas orang yang bersangkutan. Kaitan dengan ini Mahfud MD (2015) menegaskan bahwa fenomena politik dinasti yang berkembang di Indonesia bukan semata-mata menyangkut persoalan konstitusionaliitas. Fenomena ini merupakan masalah moralitas politik. (http://nasional.kompas.com/read/2015/07/08/21043481/Mahfud.Nilai.Putusan.MK.Terkait.Politik.Dinasti.Sudah.Tepat)
          Kekuasaan terlalu lama yang cenderung korup itu yang harus diwaspadai, dikontrol oleh semua elemen  seperti  penegak hukum, LSM, jurnalis, media. Dan mereka dituntut berani membongkar penyelewengan-penyelewengan, bila ada. Kontrol dan pengawasan mereka harus netral dari pengaruh kekuatan politik mana pun. Netralitas sangat penting untuk menegakan keadilan dan kejujuran bagi semua pihak. Bila mereka (baca:penegak hukum dan lainnya) tak mampu, tak kuasa mengontrol maka keputusan MK bakal semakin membuat subur politik dinasti yang sedang disangsikan, dicurigai oleh khalayak ramai.  Dinasti politk bakal mempersulit regenerasi dan menutup ruang bagi tokoh baru potensial yang tak memiliki trah politik dinasti. Ini yang disayangkan oleh pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio (2015),  kenapa MK mengabulkan uji materi terhadap pasal tersebut. Seharusnya MK tidak hanya mempertimbangkan dari sisi hukum tapi dari sisi keadilan masyarakat untuk mendapatkan pimpinan yang memang betul-betul dari piliha mereka. (http://news.detik.com/berita/2963518/)
            Akhirnya, setelah dinasti politik dikukuhkan oleh MK. Sekarang kita hanya bisa berharap ke partai politik. Jika ternyata parpol berubah sikap pasca putusan MK dengan tetap mencalonkan keluarga petahana maka pada dasarnya parpol telah mengingkari komitmen saat mereka membahas UU Pilkada beberapa waktu lalu untuk mendemokratiskan pelaksanaan pilkada dan untuk menciptakan regenerasi kepemimpinan di tingkat daerah yang akan membawa manfaat untuk rakyat. Mereka kembali mengkhianati rakyatnya. Wa Allahu ‘Alam
(Dimuat di Harian Radar, Sabtu, 11 Juli 2015)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar