Jumat, 30 Desember 2016

Catatan Politik Akhir Tahun


          Penghujung tahun, mengingatkan saya pada harapan Presiden Joko Widodo setahun lalu. Menjelang awal tahun 2016, Jokowi menginginkan kondusifitas politik di tanah air. Harapan serupah disampaikan Ketua MPR RI, Zulkifli  Hasan. Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut menegaskan, saatnya semua pihak bersatu mencari solusi, meninggalkan segala polemik yang menguras energi dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Jangan biarkan perpecahan menghancurkan bangsa ini. Mari kita ciptakan politik yang teduh. Jangan ciptakan kegaduhan lagi.
          Pertanyaanya, apakah politik teduh terwujud di tahun 2016? Saya akan mengkajinya lebih jauh. Tulisan ini sekaligus menjawab tanya pada tulisan saya di awal tahun, 2016 Politik Teduh,  Mungkinkah? Walau sempat diragukan oleh banyak pihak termasuk saya, nyatanya politik di tahun 2016 bisa dikategorikan lebih teduh. Tak ada gejolak berarti terutama di parlemen. Semua dapat dikendalikan oleh Presiden Jokowi selaku orang nomor wahid di negeri ini. Kinerja Kabinet kerja pun sudah terlihat hasilnya. Tentu masih belum selesai. Masih banyak hal yang harus dilakukan Pemerintahan Jokowi-JK dalam merealisasikan janji-janjinya saat kampanye.
          Presiden Jokowi dinilai mampu mengelola politik nasional secara baik. Berbeda dengan kondisi pada awal pemerintahan yang terlihat terseok-seok. Saat itu tak sedikit pihak meragukan kemampuannya memimpin RI.  Sekarang, selama tahun 2016, Jokowi nampak lebih percaya diri dalam memegang kendali politik. Tak ada gejolak yang menggambarkan guncangan politik. Walau ada konflik terkait beberapa isu nasional, Jokowi mampu mengelolanya secara apik. Sehingga konflik di tengah masyarakat seperti aksi damai Islam pun berakhir dengan happy ending.
          Berikut catatan politik saya selama tahun 2016. Catatan ini anggap saja bagian dari riak-riak kecil dalam dinamika politik di Indonesia. Juga dapat dijadikan pembelajaran bagi semua guna memperbaiki kualitas demokrasi kita di masa akan datang. Pertama, pilkada serentak. Pilkada serentak dijadwalkan akan dilaksanakan pada tanggal 15 Februari 2017. Ada 101 daerah akan memilih kepala daerah. Terdiri adar 7 provinsi,  76 kabupaten dan 18 kota. Ketujuh provinsi tersebut yaitu Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Provinsi Aceh merupakan daerah yang akan paling banyak menggelar pilkada pada 2017, yakni satu pemilihan gubernur dan 20 pemilihan bupati dan wali kota.
          Selama tahun 2016, tahapan Pilkada serentak dilakukan. Mulai sosialisasi, menyiapakan perangkat aturan, membuka pendaftaran bakal calon, menetapkan calon kepala daerah, serta masa kampanye. Keberhasilan Pilkada serentak sebelumnya diharapkan terulang kembali pada Pilkada 2017. Energi para poltisi daerah pun terkuras habis dalam kampanye calon. 2016 menjadi tahun persiapan bagi  Pilkada serentak yang akan datang.
Kedua, Ahok dan Pilkada DKI Jakarta menjadi primadona. Dari sekian banyak daerah, Jakarta telah menyedot prihatian besar publik. Dan Ahok menjadi penyebab utama. Keberadaan Ahok di pentas politik  tak hanya menjadi politik Jakarta semakin dinamis tapi juga liar. Ahok seringkali membuat ledakan politik yang mengguncang Indonesia. Fenomena Ahok sungguh luar biasa. Perhatian masyarakat dalam waktu cukup lama tertujuh pada sosok yang sangat kontrovesial tersebut. Sepertinya, 2016 menjadi tahun-nya Ahok. Sepanjang tahun, pemberitaan tentangnya ramai didiskusikan, menjadi perdebatan publik.
Juga tak kalah menarik adalah fenomena teman Ahok.  Teman Ahok adalah sebuah organisasi perkumpulan relawan berkekuatan hukum yang dididirkan oleh sekelompok anak muda dengan tujuan "menemani" dan membantu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam visinya mewujudkan Jakarta Baru yang Bersih, Maju, dan Manusiawi. Teman Ahok dibentuk berawal dari keprihatinan sejumlah anak muda Jakarta terhadap partai politik di Jakarta. Mereka merasa kecewa dengan sikap dan perlakuan beberapa partai seperti PDIP dan lainnya terhadap Ahok sang Gubernur. Ahok dianggap sukses membangun Jakarta, kenapa Parpol tak mengapresiasi?
Kekecewaan terhadap partai politik, membulatkan tekad Teman Ahok guna mengusung Ahok melalui jalur perseorangan. Dengan bermodal idealisme, mereka mengumpulkan KTP Jakarta sebagai prasyarat pencalonan. KTP menembus angka satu juta. Hanya jelang pendaftaran sejumlah partai berubah haluan. Dimotori oleh Partai Nasdem. Disusul parta Golkar dan Hanura, mereka  berencana mengusung Ahok dengan tanpa syarat. Dan pada akhirnya, perubahan sikap PDIP menjadi penentu pendaftaran Ahok sebagai Cagub lewat jalur parpol. Teman Ahok pun menerima apa yang diputuskan Ahok. Sebab, mereka menyadari mengusung Ahok tanpa parpol bukan sesuatu yang mudah terlebih jika melihat kontroversi yang ada pada diri Ahok.
Pikada DKI Jakarta lebih menarik lagi saat Agus Harimurti Yudhoyono mencalonkan diri bersama Sylviana Murni. Putra sulung mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu diusung oleh koalisi Cikeas yang terdiri dari Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Mereka awalnya bagian dari koalisi kekeluargaan bersama Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sosial (PKS). Mereka pecah kongsih. Gerindra dan PKS mencalonkan Anies Baswedan dan Sandiago Uno.
Pilkada DKI disebut Pilkada rasa Pilpres. Pasalnya, ketiga cagub merupakan tiga gambaran kekuatan politik di Indonesia. Megawati, Prabowo dan SBY. Mereka turun gunung di Pilkada DKI Jakarta. Megawati dengan Ahok yang dianggap sebagai anak ideologisnya.  Prabowo dengan Anies Baswedan. Dan SBY dengan sang putra sulung, AHY.
Ketiga, aksi damai umat Islam. Aksi damai 411 dan aksi super damai 212 adalah tuntutan umat Islam terhadap proses hukum Ahok terkait penistaan agama yang dinilai lamban. Mereka menuntut Polri lebih cepat  menetapkan tersangka bagi gubernur Jakarta non aktif tersebut. Ahok terpeleset lidah dengan menyebut Al Maidah ayat 51. Kasus penistaan agama dijadikan alat politik oleh lawan-lawan Ahok. Elektabilitas Ahok pun tergerus tajam dalam berbagai survei. Nampaknya, isu agama masih menjadi alat politik yang efektif, walau pemilih Jakarta dikenal rasional.
Keempat, moralitas dalam politik. Di akhir tahun, moralitas politik di parlemen diuji kembali. Paling tidak,  ada dua hal yang terasa sangat ganjil telah dilakukan oleh para anggota dewan yang terhormat. Satu, soal Setya Novanto yang diangkat kembali menjadi Ketua DPR RI setelah sebelumnya mengundurkan diri karena kasus papa minta saham yang menghebokan. Ade Komuruddin tak berdaya. Dia harus meninggalkan jabatan dengan setengah tidak hormat. Sebab, Majlis Kehormatan Dewan (MKD) memvonisnya dengan sanksi hukuman sedang atas sejumlah pelanggaran etik.
Kemudian soal rencana revisi terbatas UU MD3. Revisi semata-mata hanya untuk mengakomodir kepentingan politik PDIP guna memperoleh kursi pimpinan di DPR. Jika demikian, jelas mereka hanya mementingkan kepentingan kelompok. Rakyat yang diwakili tak diperjuangkan sebagaimana mestinya. Padahal masih banyak RUU yang mangkrak di prolegnas. Padahal rakyat menanti kinerja mereka merampungkannya.
Singkat kata, politik di tahun 2016 memang terasa teduh, lebih kondusif. Semoga di 2017 lebih baik lagi. Indonesia butuh konsentrasi dalam membangun, mengejar segala ketertinggalan. Itikad kuat Jokowi dalam membangun, mensejahterahkan Indonesia butuh keteduhan politik. Gaduh politik yang berlebihan akan menguras energi secara cuma-cuma. Kegaduhan tersebut akan menghambat kerja kabinet kerja. Apa itu yang kita inginkan? Tentu, tidak bukan?Wa Allahu Alam


2 komentar: