Jumat, 30 Desember 2016

Gusdur dan Semangat Pluralisme

Kemaren (23/12), keluarga, santri dan segenap komponen bangsa menperingati haul  almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gusdur). Malam puncak  haul ke-7 mantan Presiden tersebut diisi dengan ikrar damai umat beragama. Dipimpin ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj, ikrar  diikuti oleh para pemuka agama yang hadir diantaranya Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo, tokoh Hindu Yanto Jaya, Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Uung Sendana, Pendeta Nababan, Biksu Suryanadi Mahathera, serta beberapa tokoh lainnya. 
Mereka berikrar, 1) Akan senantiasa menjaga perdamaian, kerukunan, persaudaraan/keadilan antar sesama umat beragama. 2) Menciptakan suasana sejuk, harmonis, dan bebas konflik antar sesama umat beragama. 3) Memelihara keberagaman dan perbedaan dengan saling melindungi berbagai agama dan keyakinan yang ada di Indonesia secara tulus dan sungguh-sungguh.
4) Menolak segala bentuk intimidasi dan pemaksaan agama/keyakinan serta menolak anarki kekerasan dalam beragama. 5) Mendukung pemerintah untuk menegakkan konstitusi yang melindungi hak warga negara dalam menjalankan agama dan keyakinannya.
Dalam sambutanya, Presiden  Joko Widodo mengenang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai tokoh yang mengingatkan bawa Indonesia merupakan milik bersama, bukan milik golongan atau perseorangan. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara harus dikelola dengan konstitusi yang bisa menaungi segenap masyarakat, bukan aturan yang lainnya. Gus Dur pasti gemes, geregetan, kalau melihat ada kelompok yang meremehkan konstitusi, mengabaikan kemajemukan, memaksakan kehendak, melakukan kekerasan, radikalisme dan terorisme.
Tak aneh, jika dalam haul Gusdur dibacakan ikrar seperti di atas. Pasalnya, Gusdur dikenal sebagai tokoh pluralisme yang tak diragukan lagi jasa-jasanya. Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Gusdur selama hidupnya sangat concern dengan nasib kaum minoritas. Gusdur siap menjadi martir dalam melindungi mereka. Minoritas agama, suku, dan ras juga etnis. Gusdur kerapkali pasang badan dalam membela kaum minoritas. Dia rela disebut kafir manakala membela Ahmadiyah. Dituduh Syiah saat memihak kepentingan muslim bermadzhab Syiah di Indonesia. Difitnah memilkii garis keturunan Cina ketika membela kepentingan etnis tersebut. Sungguh, Gusdur merupakan seorang bapak bagi kaum minoritas. Dia menyadari kemajemukan manusia yang kudu disikapi secara bijak dengan saling menghormati, menolong dan menyayangi.
Jasa Gusdur lain yang pasti akan diingat terus oleh bangsa ini adalah menjadikan Konghucu sebagai agama resmi. Ini terobosan luar biasa dari Gusdur saat menjadi Presiden. Sebuah langkah berani yang tak diambil oleh Presiden sebelumnya. Gusdur merasakan apa yang dirasakan oleh mereka yang memeluk Konghucu. Karena  minoritas agama mereka tak diakui. Gusdur telah membalik keadaan.
Gusdur telah mengajarkan bangsa ini demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang tak hanya memihak pada suara mayoritas tapi melindungi aspirasi minoritas. Demokrasi yang mengakui equlity (kesamaan berdiri, berposisi). Dan demokrasi yang menempatkan hukum di atas segala. Walau untuk itu, beliau bersedia meninggalkan istana megah hanya dengan menggunakan celana pendek dan bersandal jepit.
Gusdur tetap hadir bersama kita. Gagasan dan pemikirannya senantiasa dikaji, didiskusikan. Semangat pluralismenya senantiasa hidup. Setelah tujuh tahun mangkat, semangat pluralisme tersebut masih tetap hangat dan aktual. Tak sedikit dari generasi muda yang meneruskan perjuangannya dalam membangun hidup damai dengan kemajemukan.  Untuk mengenang beliau, marilah kita jaga warisan beliau, yaitu pluralisme.
Pluralisme
Menurut hemat saya, semangat pluralisme  dibangun berdasarkan pada prinsip-prinsip berikut. Pertama,  fakta bahwa  manusia adalah beragam. Terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras, etnis, budaya juga bahasa. Keragaman tersebut tak mungkin sirna. Keragaman itu wajib disadari, diterima. Tak mungkin kita mengabaikan apalagi menolak. Namun  demikian, keragaman itu bermuara dari satu titik. Kita semua anak-cucu nabi Adam as. Semua bersaudara. Tak ada alasan bagi manusia untuk bermusuhan, saling memerangi satu sama lain.
Kedua, tidak menganggap diri paling apa saja. Paling benar. Paling hebat. Paling pintar. Dan paling-paling lainnya. Hal itu akan menumbuhkan sikap menghargai, menghormati terhadap keberadaan yang lain. Pertumpahan darah pertama manusia disebabkan bersemayamnya sifat takabur atau sombong pada diri Qabil. Qabil merasa paling hebat, paling gagah, paling dekat dengan Allah. Dia merendahkkan saudaranya sendiri, Habil. Rasa paling menjadi sebab awal pertumpahan darah anak cucu Adam hingga hari ini.
Ketiga, mendahulukan kesamaan mengesampingkan perbedaan. Untuk persatuan dan kesatuan antara umat manusia selayaknya mengedepankan kesamaan. Abaikan perbedaan. Hadirkan rahmat dari perbedaan yang ada. Perbedaan tidak boleh mengantarkan pada petaka. Carilah titik temu pada perbedaan. Itu akan mengikat kita untuk menyatu.
Keempat, bersatu adalah keniscayaan. Persatuan menghadirkan kasih sayang antara sesama. Tak ada gunanya perpecahan. Tak ada gunanya pertikaian. Dalam Al Quran diceritakan bahwa  manusia ciptakan sebagai khalifah. Sebagai khalifah, manusia sepantasnya bisa memakmurkan bumi. Mensejahterahkan. Menegakan keadilan dan mendamaikan.
Kelima, kekerasan bukan solusi tapi masalah baru. Jangan pernah menempuhnya. Segala hal pasti ada solusinya. Maka semangat mencari solusi adalah sebuah keharusan.
Singkat kata, Gusdur adalah seorang guru bangsa. Ajaranya selayaknya dijaga. Diantara ajaran beliau adalah pluralisme. Untuk itu, sepantasnya semangat pluralisme bangsa ini dirawat, ditumbuhkembangkan dan dibangkitkan. Pluralisme mendatangkan kedamaian hidup berdampingan sebagai bangsa yang majemuk guna mewujudkan cita-cita bersama. Bukankah semboyan bangsa Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika?Wa Allahu Alam

Dimuat di Harian Umum Radar Cirebon Senin 26 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar