Minggu, 18 Desember 2016

Kasus Ahok dan Kematangan Demokrasi kita


            Kasus dugaan penistaan agama oleh Gubernur non aktif Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok) memasuki babak baru. Sidang perdana kasus tersebut telah digelar pada hari Selasa (13/12) lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sidang dilangsungkan kurang dari tiga bulan setelah sosok yang kerap dikenal bicara lugas itu mengeluarkan pernyataan tentang surat Al Maidah ayat 51, yang memicu kecaman dan demonstrasi besar-besaran. Proses hukum kasus Ahok terbilang super cepat.
          Seperti diduga sebelumnya, perhatian masyarakat belum surut. Terbukti, walau sidang dilakukan secara terbuka, disiarkan langsung oleh beberapa stasiun TV nasional, masih banyak kelompok masyarakat yang hadir di Pengadilan. Dua kelompok (yang pro dan kontra) menggelar orasi menyampaikan aspirasinya terkait Ahok. Satu menuntut Ahok dipenjarakan. Yang lain meminta masyarakat memaafkan, menerima proses hukum yang sedang berjalan.
          Mengawasi proses hukum itu sah dilakukan. Tapi, idealnya pengawasan masyarakat tersebut tidak mempengaruhi proses hukum yang sedang berjalan. Hukum harus merdeka. Hukum wajib tegak secara independen. Menurut Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sebab itu, proses peradilan tak boleh diintervensi baik oleh penguasa, ormas,  maupun massa. Para hakim yang memegang palu tak boleh terpengaruh atau dipengaruhi. Sangat berbahaya jika hukum tunduk dan takluk pada tekanan massa misalnya. Dan pada kasus Ahok independensi hukum kita akan diuji.
          Sejatinya, ada lembaga yang memilki kewenangan mengawasi dan mengawal para hakim. Yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Yudisial (KY). Kedua lembaga tersebut bisa bertindak jika menemukan keganjalan pada putusan atau prilaku hakim. Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 20A ditegaskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memilkiki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Pengawasan dimaksud termasuk pada dunia peradilan. Demikian dengan KY, lembaga yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden tersebut memilki wewenang mengawasi para hakim. Dalam UUD 1945 Pasal 24 B ditegaskan, KY memilki wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat , serta prilaku hakim.
          Demokrasi kita sudah terlihat matang. Berbagai ujian dapat terlewati secara baik. Indonesia menjadi negara yang sangat demokratis. Terakhir kasus Ahok menjadi ujian berat bangsa Indonesia dalam berdemokrasi. Rentetan aksi damai terkait kasus Ahok menjadi bukti kedewasaan kita dalam berdemokrasi. Maka tak sepantasnya jika kemajuan berdemokrasi tersebut tehadang oleh oleh sikap tak hormati hukum. Demokrasi itu tidak dibenarkan melawan hukum.
          Kasus Ahok sudah pada ranah hukum. Berilah kesempatan pada hukum untuk memutuskan. Setiap dari kita kudu menerima apapun yang diputuskan. Kita semua wajib patuh dan menghormati hukum yang ada. Bukankah Indonesia adalah negara hukum? Maka selayaknya hukum menjadi panglima di negeri ini.
Ke depan
          Untuk menyempurnakan kematangan Indonesia dalam berdemokrasi, terkait kasus Ahok, menurut hemat saya beberapa point berikut bisa dijadikan pijakan berpikir bersama.Pertama, menjungjung tinggi asas praduga tak bersalah. Yakni asas di mana seseorang dianggap tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah. Hanya vonis pengadilan inkrah yang memastikan seorang bersalah. Yaitu keputusan berkekuatan hukum tetap dan mengikat. Masyarakat tak diperkenankan memvonis siapa pun termasuk dalam kasus Ahok baik vonis bersalah atau tidak bersalah. Masyarakat diminta bersabar sampai hakim mengetuk palu putusan.
          Kedua, berdemokrasi dalam koridor hukum. Belakangan berbagai kelompok masyarakat menggelar aksi damai, menuntut proses hukum  Ahok dilakukan secara cepat. Menyampaikan pendapat di muka umum dilindungi Undang-undang. Namun, ketika persoalan yang dipermasalahkan sebagai tuntutan sudah masuk ke ranah hukum maka sepantasnya aksi-aksi itu dihentikan. Biarkan hukum yang menyelesaikan, memutuskan. Berilah kemerdekaan kepada para hakim dalam mengambil keputusan. Jangan mencoba menekan proses peradilan yang sedang berlangsung.  Saatnya kita semua (baik yang pro maupun yang kontra) menunjukkan kedewasaan dan kematangan dalam berdemokrasi.
          Ketiga, menahan diri. Tak kurang dari tiga bulan, energi bangsa ini terkuras oleh kasus hukum Ahok. Pro-kontra mewarnai. Ahok bahkan melupakan kita tentang banyak hal. Seperti disinggung sebelumnya, demokrasi kita sudah matang. Terbukti segala perbedaan yang ada tetap dalam kesadaran kebhinekaan. Persatuan menjadi hal terpenting yang dijunjung tinggi oleh semua pihak. Sekarang saatnya kita menahan diri, bersabar menanti hasil akhir apa yang diperdebatkan tentang dugaan penistaan agama oleh gubernur non aktif Jakarta tersebut. Sungguh, jika itu bisa dilakukan kita menjadi bangsa besar. Bangsa yang matang berdemokrasi. Kuat bersatu dalam kebhinekaan.
          Keempat, legowo menerima putusan hukum. Peradilan pasti akan mengeluarkan keputusan kasus Ahok. Pertanyaanya, apa kita akan menerimanya? Ini yang akan menguji ketaatan bangsa ini terhadap hukum. Sebagai negara yang berdasarkan hukum tak ada alasan bagi siapapun untuk menolak vonis para hakim. Taat dan mengikuti hukum adalah kewajiban setiap dari kita.
          Walhasil, kita tunggu saja apa yang akan diputuskan dalam proses peradilan yang sedang berlangsung. Ahok apa bersalah atau tidak biarlah hukum yang menentukan. Selama ini kita mampu menunjukkan siapa bangsa Indonesia sesungguhnya. Jangan kotori wajah bangsa ini dengan prilaku yang tak taa hukum. Kita bukan bangsa barbar yang gemar memaksakan kehendak dan mengedepankan kekerasan. Sekali lagi, bukan. Wa Allahu Alam


         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar