Jumat, 14 Oktober 2016

Ketika Agama Diperalat


            Belakangan pemberitaan media menyajikan kasus AA Gatot Brajamusti dan Kanjeng Dimas Taat Pribadi secara fenomenal. Kedua tokoh ini terbelit perkara pidana dalam waktu hampir bersamaan. AA Gatot Brajamusti di Jakarta. Kanjeng Dimas Taat Pribadi di Probolinggo Jawa Timur. Berdasarkan geografi Jakarta-Probolinggo adalah ujung barat dan timur pulau Jawa. Wajar, jika pemberitaan tentang kasus keduanya mendapat perhatian lebih terutama bagi masyarakat Jawa.
           Aa Gatot yang baru terpilih sebagai Ketua ‎Umum persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) ‎periode 2016-2021, bersama Dewi Aminah ditangkap kasus narkoba. Keduanya ditangkap pada Minggu (28/9) pukul 23.00 WIB di Hotel Golden Tulip‎ kamar 1100 Jalan Jenderal Sudirman No 4 Selaparan, Mataram, NTB. 
          Setelah dikembangkan, ternyata tak sekadar kasus narkoba. Gatot terjerat kepemiikan senjata ilegal. Dan mengejutkan khalayak, pendiri Pedepokan Brajamusti tersebut diduga terlibat dalam urusan seks bebas dan menyimpang. Bertopeng agama, yang bersangkutan membujuk pengikutnya melakukan ritual seks. Diawali dengan mencekoki mereka dengan sabu, Gatot memaksa mereka melakukan seks bebas dan menyimpang. Sekarang korbanya bermunculan ke publik. Dari keterangan para korban, mereka diberikan aspat terlebih dahulu untuk mengusir jin. Tapi pada kenyataannya aspat itu sabu. Setelah dicekoki sabu, barulah mereka dicabuli.
          Setali tiga uang, 22 September yang lalu, polisi menangkap Kanjeng Dimas Taat Pribadi di padepokan di Dusun Sumber Cengkelek Desa Wangkal Kecamatan Gading Kabupaten. Taat Pribadi ditetapkan sebagai DPO sejak 21 September 2016 setelah mangkir dari panggilan yang berwajib. Dimas Kanjeng diduga terlibat dalam pembunuhan Ismail Hidayah dan Abdul Ghoni. Keduanya tak lain merupakan pengikut padepokan.
          Kasus Dimas Kanjeng berkembang ke penipuan bermodus penggandaan uang. Seperti diketahui, Dimas Kanjeng diyakini oleh pengikut atau santrinya sebagai sosok hebat nan sakti. Kesaktiannya bisa menggandakan uang berlipat-lipat. Pengikutnya beragam, dari masyarakat kelas bawah sampai kalangan elit. Tercatat, Marwah Daud Ibrahim tokoh ICMI sekaligus politisi partai Golkan sebagai ketua yayasan.  Nampaknya, pengaruh Dimas Kanjeng tak sekadar menutup akal sehat orang awam, para cerdik cendikia pun terbujuk. Mengatasnamakan agama, Dimas Kanjeng mempengarui orang lain dan memperdaya mereka.
          Kasus seperti ini sering muncul di tengah masyarakat. Anda pasti masih ingat Eyang Subur, Ahmad Mushoddiq, Lia Eden dan lainnya. Mereka yang dianggap sebagai guru spritual memilki kelebihan luar biasa itu pada akhirnya hanya seorang penipu belaka. Berjubah agama, mereka mengelabui orang lain. Agama digunakan sebagai media mempengarui orang lain. Agama telah diperalat.
Agama memang sangat sakral. Kesakralan agama yang dipahami secara salah akan menutup akal sehat, membutakan mata hati. Padahal agama itu sejatinya tidak mungkin berlawanan dengan akal. Hal ini yang dimanfaatkan oleh oknum seperti Dimas Kanjeng, AA Gatot Brajamusti lainnya. Agama digunakan sebagai alat sesuai kepentingan mereka. Bahkan dalam ranah politik, kita sering menyaksikan ayat-ayat Tuhan diperjualbelikan.
Kemudian kenapa orang mudah terperangkap? Mudah percaya pada hal-hal seperti itu? Menurut hemat saya ada beberapa hal yang melatar belakangi. Pertama, memahami agama secara dangkal. Minimnya penguasaan terhadap ajaran agama membuat seseorang mudah mempercayai doktrin yang sebenarnya bukan bagian dari agama. Demikian juga belajar agama bukan pada ahlinya. Sebab itu mengetahui jejak atau latarbelakang orang yang akan digurui adalah keharusan.  Terlebih lagi sekarang banyak orang berbicara tentang agama. Hampir semua kalangan dapat berbicara laksana ustadz atau kyai.
Kedua, cinta dunia yang berlebihan atau serakah. Menurut Endro S Efendy, Setiap orang, pasti punya keinginan untuk memiliki sesuatu. Tapi keinginan yang berlebihan dan menjurus serakah tak terkendali inilah yang membuat orang mudah tergiur tipu daya. Keserakahan inilah yang kemudian menyebabkan benteng pertahanan pada pikiran bawah sadar terbuka lebar. Karena pagar pembatas pikiran bawah sadar sudah terbuka, maka tidak lagi mengenal baik dan buruk, pahala dan dosa, atau surga dan neraka. Apa pun yang ditanamkan ke pikiran bawah sadar, akan diterima dan dijalankan sepenuhnya. (Kompasiana.com)
Ketiga, gaya hidup instan dan hedonis. Hidup instan adalah hidup tak mau susah. Segala sesuatu ingin diraih secara cepat. Terlebih dibarengi dengan keyakinan bahwa kebahagian itu terdapat pada hal-hal yang bersifat material. Nilai sesuatu digantungkan pada materi dan bendawi.
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.
Mewaspadai
          Kasus AA Gatot Brajamusti dan Kanjeng Dimas Taat Pribadi kudu menjadi pelajaran berharga. Jangan mudah terperdaya oleh penampilan. Jangan cepat percaya sesuatu yang tak masuk akal. Pelajari terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Kritis terhadap ajaran agama merupakan anjuran agama itu sendiri. Dalam Al Quran misalnya, banyak ayat yang memerintahkan untuk berpikir dan menggunakan akal sehat. Ketokohan seseorang tidak sepantasnya menutup pintu kritis kita.
          Mewaspadainya tak lain kecuali dengan memperdalam ilmu agama. Berguru tentang agama pada mereka yang berkompeten. Jangan asal. Jangan tertipu dengan baju dan sorban yang dikenakan. Llihatlah kedalaman ilmu, akhlak dan perangai yang ditampilkan.
Akhir kata , mengutip Quraish Shihab, akal dan wahyu harus selalu dihubungkan, karena akal tidak dapat mencapai arah yang benar kecuali dengan bantuan wahyu dan wahyu pun tidak menjadi jelas tanpa bantuan akal. Akal bagaikan mata dan wahhyu adalah sinarnya. Mata  tidak berfungsi tanpa ada sinar, dan sinarpun tidak berfungsi menampakan sesuatu tanpa mata. Akal dan wahyu ibarat dua sisi mata uang, tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Harun Nasution (1973) menegaskan bahwa manusia dengan akalnya cukup kuat untuk mengetahui baik dan jahat. Harun Nasution  menempatkan akal pada posisi yang sangat tinggi. Nah, tak salah jika kita mengedepankan akal dalam segala hal.  Dan tak selayaknya kita memperalat agama. Wa Allahu Alam.








          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar